Oleh
: Joyo Juwoto
Simbol atau rupa memang penting, tapi lebih penting
lagi adalah dzat atau esensi, rupa bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi
ruang dan waktu namun dzat adalah abadi dan satu. Rupa bisa beraneka, tapi dzat
adalah tunggal berdiri sendiri, bebas dari nilai, tidak terikat dengan berbagai
macam pertanyaan,
apa, siapa, di mana dan mengapa.
Dzat tidak perlu
ditanyakan sebagai apa, karena Dia adalah yang mencipta apa itu sendiri, dzat
tidak perlu ditanya-tanya sebagai siapa, karena siapa tidak pernah ada tanpa
dzat, dzat tak perlu ditanyakan di mana dan sedang mengapa, karena
pertanyaan-pertanyaan pencarian itu hanya untuk sesuatu yang tidak ada atau
belum ada dan baru diadakan oleh sang maha dzat itu sendiri.
Dalam
sebuah filosofi kejawen dikatakan: “Yen
mung rupa sing gawe atimu tresna, banjur kepriye anggonmu tresna marang Gusti
kang tanpa rupa?” Kalimat ini sangat menggodaku, dan membawa kesadaranku untuk
berusaha memahami isi yang tersurat maupun yang tersirat dari ajaran adiluhung
khasanah kejawen di atas.
Setiap
orang tentu pertama kali yang dikenalinya adalah rupa, lalu apakah Gusti yang
tanpa rupa tidak bisa dikenali? Jika kita melakukan persaksian tentu harus ada
yang disaksikan, mustahil mengatakan dan mengikrarkan persaksian jika tidak
tahu siapa yang disaksikan. Lalu bagaimana nasib iman kita yang bersaksi tanpa
melihat persaksian itu sendiri?
Orang-orang
yang telah melakukan persaksian dengan sebenar-benarnya maka ia tidak akan mudah
terlena dengan rupa, tidak akan
tergoda oleh citra, tidak mudah tertipu dengan
berbagai macam nama dan sebutan. Menurut orang Jawa orang yang sedemikian ini
telah menguasai ilmu sastra jendra, ilmu kawruh tentang esensi tekstual maupun
konstektual yang tergelar dalam jagad cilik dan jagad gede kehidupan.
Persaksian atau dalam bahasa arab
disebut musyahadah adalah awal perkenalan untuk menuju gerbang keselamatan.
Oleh karena itu seseorang yang menginginkan keselamatan maka hendaknya ia melakukan
persaksian kepada Allah dan Rasul-Nya dengan cara mengucapkan syahadat yang
sebenar-benarnya.
Musyahadah kepada Allah dan Rasul-Nya
memang tidak mudah, kalimat itu tidak hanya sekedar diucapkan tanpa kita tahu
apa yang kita ucapkan, tidak sekedar mencintai nama, tidak sekedar terlena
dengan rupa, namun bermusyahadah harus dilakukan dengan penuh mujahadah hingga
kita sampai kepada Dzat-Nya. Di dalam risalah Qusyairiyah dikatakan : “Barang siapa yang menghiasi dirinya dengan
mujahadah, niscaya Allah akan memperbaiki hatinya dengan Musyahadah”.
Untuk menggapai jalan musyahadah memerlukan mujahadah,
kesungguhan untuk benar-benar ingin berma’rifat kepada-Nya. Usaha lahir batin
dan bertahap, setapak demi setapak, penuh kesabaran melakukan suluk kepada-Nya.
Mulai dari jalan syariat, thariqat,
hakekat, hingga puncaknya jalan ma’rifat.
Perjalanan musyahadah ini tidak bisa dilakukan dengan sepontan dan tergesa, melompat
dari satu langkah ke langkah yang lainnya, harus berurutan dan penuh dengan kesabaran,
dengan penuh mujahadah.
Imam Al Junaid mengatakan, bahwa: “Musyahadah
adalah nampaknya Al Haq di mana alam perasaan sudah mati”. Jika seseorang telah
bermusyahadah maka dirinya akan fana’, alam dan semua makhluk tiada, lebur dan
sirna, yang wujud hanya Sang Khaliq, Allah Swt.
Oleh karena itu jika seseorang telah
terbuka hijabnya untuk bermusyahadah maka ia akan mengetahui Dzattullah, mengetahui
segala rahasia yang tersembunyi dalam tabir rahasia yang berlapis dan
bermukasyafah dari segala yang ghaib. Wallahu a’lam bis showab.
Sepertinya ilmuq dan imanq masih jauh u memahami tulisan ini.tapi bagus...😊
BalasHapus