Membaca
Ranggalawe Sang Penakluk Mongol
Oleh
: Joyo Juwoto*
Novel
yang ditulis oleh seorang putra asli Bumi Tuban kelahiran Bulu Meduro, yang
berjudul Ranggalawe Sang Penakluk Mongol ini layak menjadi koleksi dan bahan
bacaan masyarakat Tuban khususnya dan masyarakat nusantara pada umumnya. Saya
juga memimpikan pada saatnya nanti penulis novel ini secara langsung bisa
membedah novelnya di Tuban, di bumi Ranggalawe sendiri.
Saya sudah membaca khatam novel setebal 503 halaman
ini, bahasanya cukup menarik, alurnya mudah dipahami, dan yang penting banyak pengetahuan
yang saya dapatkan. Bakda dhuhur novel ini saya baca, dan selesai sebelum
tengah malam. Alhamdulillah.
Mengapa
novel ini saya rekomendasikan untuk dibaca? Selain isi novel ini bagus untuk
dibaca Sebagaimana yang maksudkan oleh penulisnya, bahwa Kang Makinuddin Samin
menulis novel itu untuk mengingatkan kembali pada kehebatan leluhur kita
ketika mengusir bangsa asing yang hendak
menguasai tanah Nusantara tercinta ini. Novel ini bisa menjadi inspirasi kita
bersama bahwa Nusantara ternyata mampu menangkal ekspedisi militer Mongol yang
kehebatannya terkenal di seantero jagad raya.
Agar lebih dekat dan memahami tokoh Ranggalawe dalam
novel ini, sekilas saya kupas beberapa hal penting tentang sosok Ranggalawe,
Sang Adipati Tuban sebagai berikut :
Asal-Usul Ranggalawe
Asal-usul dan nenek moyang Ranggalawe
memang demikian adanya. Sebagaimana di
dalam buku peringatan 700
tahun Tuban, trah Ranggalawe berasal dari Prabu Banjaransari dari negeri Galuh.
Beliau berputra Raden Matahun. Raden Matahun berputra Raden Arya Randu Kuning
yang melanglang buana di sepanjang pantura hingga sampai di bukit Kalakwilis, kemudian menetap serta membuat perkampungan di
sana yang dikenal dengan nama Lumajang Tengah.
Arya Bangah putra dari Randu Kuning
tidak mewarisi kekuasaan ayahnya, ia pergi mengembara kemudian membuat
perkampungan baru di Lembah Gumenggeng yang subur. Putra Arya Bangah, Raden
Dandang Miring setelah dewasa juga tidak mewarisi kemuliaan orang tuanya, ia
membuka daerah baru di Hutan Ancer. Selanjutnya Kakek Ranggalawe, Raden Dandang
Wacana atau dikenal sebagai Ki Ageng Papringan membuka Hutan Papringan yang kemudian
menjadi sumber legenda MeTU BANyune. Semua kakek buyut Ranggalawe mukti karena
bakti, hebat karena keringat, bukan
mukti hanya sekedar citra dan janji.
Salah seorang putri Ki
Ageng Papringan yang bernama Nyi Ageng Lanang Jaya dinikahi seorang keturunan
brahmana dari Bali, Ida Wangbang atau terkenal dengan nama Arya Wiraraja atau
Banyak Wide, sebagaimana yang tertulis di babad
Manik Angkeran. Dari pohon silsilah Brahmana
Bali dan Ksatria Banjaransari Bumi Galuh, Raden Soreng atau Ranggalawe
terlahir.
Cita-cita Besar dan Kecerdikan Ranggalawe
Sesuai
judulnya, yang menjadi tokoh sentral dalam novel ini adalah Ranggalawe, seorang
adipati kebanggaan masyarakat Tuban sepanjang masa. Menurut Novel ini, Ranggalawe
adalah salah satu tokoh yang menanam benih cita-citanya untuk kejayaan
Nusantara yang egaliter, tidak karena membela trah, suku bangsa, wangsa, golongan
maupun kelompok-kelompok tertentu.
Jika
sejarah takhta kerajaan Jawa selalu diduduki oleh keturunan para raja, dengan
selalu meninggalkan dan mewariskan sengketa politik yang berdarah-darah, maka
Ranggalawe mencita-citakan sebuah kekuasaan yang berdiri untuk semua golongan,
mulia bersama, dan meraih keluhuran bersama dengan bermodalkan perjuangan dan semangat
kerja keras. Karena bagi Ranggalawe tiada kemuliaan tanpa keringat sendiri. Tiada
keluhuran tanpa perjuangan dan
pengorbanan.
Cita-cita besar Ranggalawe ini kemudian diwujudkan
dengan usahanya membantu dan menyatakan satyabrata kepada Raden Wijaya untuk
membangun Negara baru yang kelak bercita-cita menyatukan Nusantara. Untuk
mewujudkan cita-cita yang besar ini tentu diperlukan persiapan dan rencana yang
matang. Dibutuhkan pula sosok yang mumpuni untuk mengatur siasat yang jitu,
apalagi saat itu Raden Wijaya menghadapi dua musuh sekaligus. Musuh dari dalam
yaitu Kerajaan Kediri yang menggantikan Singasari, dan musuh dari luar
kedatangan bangsa Mongol yang menginginkan Jawa takluk di bawah kekuasaan Sang
Imperior dunia Kubilai Khan.
Sekali dayung dua pulau terlampaui, sekali bergerak
dua musuh dipecundangi oleh siasat Banyak Wide dan Ranggalawe. Dengan meminjam
kekuatan Mongol, Ranggalawe berhasil menghancurkan Kediri dalam waktu yang
singkat, bersamaan dengan itu pula Ranggalawe juga berhasil memporak-porandakan
pasukan mongol dengan siasat yang rumit. Bahkan dalam buku “Majapahit Peradaban
Maritim” karya Djoko Nugroho, Kaisar Kubilai Khan tewas di medan perang Tuban. Kata
kunci kekalahan Mongol adalah pada pesta kemenangan, toak Tuban dan tentu
perempuan. Di dalam novel Kang Samin, dua prajurit wanita Tuban, Mamersi dan
Wilangi di susupkan di dalam kemah panglima pasukan Mongol Ike Mese.
Janji
Yang Dikhianati
Dengan hancurnya Kediri dan Mongol sekaligus, maka cita-cita
Ranggalawe untuk mewujudkan impiannya tinggal menuai hasil, bersama Raden
Wijaya dan para kadehannya mereka membangun kerajaan Majapahit di hutan Tarik.
Di dalam novel yang ditulis Kang Samin ini, peran Ranggalawe dan ayahnya, Banyak Wide cukup besar dan sangat vital, mulai saat Raden Wijaya terlunta-lunta sebagai pelarian akibat pemberontakan
Jayakatwang ia ditampung di Sumenep oleh Banyak Wide. Begitu juga peran
Ranggalawe dalam mengatur siasat dan mempersiapkan pasukan perang, telik sandi,
peralatan perang, tidak ketinggalan juga kuda-kuda Sumbawa terbaik hasil dari
gedogan dukuh Trowulan Tuban yang masyhur.
Begitu besarnya peran keluarga Ranggalawe baik di
Sumenep maupun di Tuban terhadap Raden Wijaya sehingga kelak jika ia menjadi
raja, ia berjanji akan mengangkat Ranggalawe sebagai mahapatih, hal ini
tertulis di kitab pararaton yang bunyinya :
“Sira
Ranggalawe arep adegaken patih wurung, margane andaga maring Tuban sira
Ranggalawe tur angapusi rara wang. Wis
kapusan wong Tuban sagunung lor, samahidep ing sira Ranggalawe”. –Pararaton.
“Ranggalawe hendak dijadikan patih, tapi batal.
Orang-orang Tuban bertekad melawan. Merasa dikibuli, orang-orang pegunungan
utara pu bersekutu mendukung Ranggalawe”.
Tidak hanya itu saja janji Raden Wijaya, ia bahkan
juga menjanjikan kelak bumi Jawa akan dibagi sigar semangka, sebagian akan
diserahkan kepada Banyak Wide, sebagian untuk dirinya sendiri. “Bapa Wiraraja, tan sipi gunnge utangingsun
ing sira, munkatekan sadyanisun, isun parone tembe Bhumi Jawa, sira amukti
sapalih, isun sapalih”. –Pararaton.
Setelah Majapahit berdiri janji itu tidak pernah
ditepati oleh Raden Wijaya, namun bagi Ranggalawe itu tidak menjadi masalah,
dia bersama ayahnya tetap memberikan pengabdian terbaik untuk Majapahit. Sayang
pengabdian itu berbalas tuba, dengan berbagai skenario dan taktik licik, kubu
Raden Wijaya berusaha menghabisi trah Banyak Wide. Hal ini dipicu oleh
kekhawatiran raden Wijaya bahwa pamornya kalah terang dibandingkan Ranggalawe.
Hal ini terbukti, setelah Ranggalawe dianggap
pemberontak kemudian dihabisi, Raden Wijaya belum puas, ia terus mengincar
orang-orang yang dianggap masih memiliki hubungan darah dengan keluarga Banyak
Wide. Seakan Raden Wijaya tidak ingin ia ditagih janji oleh keluarga Banyak
Wide. Setelah Ranggalawe tewas di sungai Tambakberas, disusul skenario menghabisi
Lembu Sora, bahkan Patih Nambi yang juga menantu Banyak Wide pun dihabisi di
tanah perdikan yang seharusnya dilindungi hak-haknya.
Ranggalawe dan Kebesaran Majapahit
Saat Ranggalawe menjadi korban kesewenang-wenangan
penguasa Majapahit, ia terima nasib itu sebagai suratan takdir, apalagi setelah
ia diberitahu oleh kawannya Begawan Sukerti dari Alas Mada bahwa manusia hidup
sekedar memenuhi karma. “Semua ini telah menjadi kepastian Hyang Widi jauh
sebelum kita lahir ke dunia” lanjut Begawan Sukerti. Penjelasan dari sahabatnya
ini membuat tenang Ranggalawe, apapun yang terjadi telah ia pasrahkan semuanya
kepada yang kuasa.
Dalam melawan Majapahit di satu sisi Ranggalawe
disebut sebagai pemberontak, namun di sisi lain nama besar dan keagungan
Ranggalawe tidak pernah redup, ia selalu hidup dan namanya terus menyala
melampaui zamannya, begitu yang dikatakan oleh guru Ranggalawe, Ki Ageng
Palangdongan kepada Banyak Wide saat berkunjung di dusun Trowulan.
Perang antara Majapahit dan Tuban memang menyisakan
duka yang mendalam, namun justru kelak Majapahit akan besar dan jaya dari tangan
seorang keturunan Ranggalawe. Begitu yang diramalkan pertapa sakti dari alas
bicak, Empu Hanggarunti.
Menurut penafsiran Kang Samin, penulis novel
Ranggalawe, kebesaran Majapahit berada di tangan Gajah Mada, maka setelah
pengkajian yang mendalam Kang Samin menuliskan bahwa Gajah Mada sebenarnya
adalah anak Ranggalawe dari istri ketiganya Tribuwaneswari anak dari
Kertanegara. Mengapa dalam novel ini menganggap bahwa Gajah Mada adalah anak
Ranggalawe? Kita tahu asal-usul Gajah mada sampai sekarang masih gelap,
siapapun boleh berpendapat sesuai dengan versi dan datanya masing-masing.
Menurut saya ini adalah sebuah keberanian luar biasa dari seorang penulis untuk
menciptakan versi baru dari asal-usul Gajah Mada.
Sebenarnya banyak juga hal-hal baru yang diciptakan
oleh Kang Samin dalam novelnya ini, beliau tidak hanya terpaku pada data dari
serat-serat lama, seperti Pararaton, Kidung Ranggalawe, dan sumber-sumber babad
lainnya. Kang Samin juga banyak mengeksplor dengan kreatif kisah-kisah yang
berhubungan dengan smaranala yang terjadi antara Jaran Pikatan dengan Gayatri, sosok
Nairanjana yang seorang kicaka, dan juga kisah-kisah lain yang mengaduk-aduk
perasaan.
Jika ingin lebih jelas saya persilakan untuk membaca sendiri
novel tersebut. Karena apa yang saya ulas di atas tentu banyak kekurangannya.
Dan terlebih lagi membaca sendiri akan melahirkan buah pengetahuan dari
pohon-pohon aksara. Pengalaman membaca antara satu orang dengan orang lain
tentu berbeda, walau yang dibaca adalah novel yang sama “Ranggalawe Sang
Penakluk Mongol”. Selamat membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar