Minggu, 24 April 2016

Merawat Kemanusiaan Yang Adil dan beradab

Merawat Kemanusiaan Yang Adil dan beradab

Dimensi kemanusiaan adalah dimensi yang universal, tanpa memandang sekat-sekat keduniaan, ras, atau kelompok sosial. Kemanusiaan harus diakui sebagai milik semua bangsa, semua golongan, dan seluruh kelas sosial di tengah-tengah masyarakat, serta oleh semua agama di dunia ini.

Namun, kadang sebagai manusia beragama, kita justru gagal menerapkan nilai-nilai kemanusiaan. Umat Islam merasa bahwa manusia hanyalah orang Islam. Umat Kristen merasa bahwa manusia hanyalah orang Kristen. Begitu pula penganut agama lain. Ini adalah kegagalan laten yang, ironisnya, justru sering dipelihara dan dipupuk oleh para pemeluk agama, bahkan oleh para tokoh-tokohnya.

Agama adalah pondasi utama dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Hal ini adalah sesuatu yang pokok. Maka, jika agama adalah hal yang pokok, mengapa dasar falsafah bangsa Indonesia bukan agama? Mengapa tidak menggunakan Injil saja, atau Weda, Tripitaka, atau karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim  mengapa tidak menggunakan Al-Qur’an dan Hadits?

Agama adalah rumah besar; ia merupakan kumpulan dari nilai-nilai ubudiyah dan muamalah. Jika kita mempertentangkan agama dengan Pancasila, itu adalah ketidakadilan. Jika Pancasila dihadapkan secara langsung dengan Injil, Weda, Tripitaka, atau Al-Qur’an, tentu saja Pancasila akan kalah. Sebab, pada hakikatnya, Pancasila adalah anak ideologis dari nilai-nilai yang bersumber dari kitab-kitab suci tersebut. Pancasila adalah anak, dan orang tuanya adalah ajaran suci dari agama-agama. Maka, janganlah Pancasila dipertentangkan dengan bapaknya sendiri. Justru Pancasila harus dirawat oleh “bapak-bapaknya” agar tercapai maksud dan tujuan dari Pancasila itu sendiri.

Anggap saja Pancasila sebagai metode atau cara untuk mengomunikasikan nilai-nilai agama kepada bangsa Indonesia. Rasulullah SAW pun bersabda: “Omongilah manusia sesuai dengan kadar berpikirnya.” Maka, jangan terburu-buru menganggap Pancasila sebagai produk kafir, produk Yahudi, Cina, atau Jepang. Bangsa Indonesia memahami nilai-nilai keislaman dengan pendekatan yang sesuai, dan Pancasila adalah salah satunya. Oleh karena itu, jangan salahkan para pendiri bangsa yang memilih Pancasila sebagai cara berkomunikasi dengan rakyat Indonesia.

Pancasila adalah kesatuan nilai yang utuh dari sila pertama hingga sila kelima. Nilai-nilai ini tidak bisa dipisahkan dan tidak dapat diambil secara sepotong-potong. Harus utuh. Menurut Cak Nun, tujuan berbangsa dan bernegara adalah sila kelima, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jika tujuan sila kelima belum tercapai, tentu ada masalah di sila keempat, yakni Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Jika sila keempat gagal, berarti ada masalah di sila ketiga: Persatuan Indonesia. Sila ketiga gagal karena tidak diterapkannya sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dan sila kedua akan gagal apabila sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa belum beres. Bahkan, menurut saya, ketidakberesan pada sila pertama justru kembali bermuara pada kegagalan dalam menghayati sila kedua: nilai kemanusiaan.

Nilai kemanusiaan adalah nilai agung di hadapan apa pun di muka bumi ini, bahkan di langit sekalipun. Manusia sebagai makhluk bumi tidak akan mampu menggapai derajat makhluk langit tanpa terlebih dahulu menjadi manusia yang manusiawi. Simaklah sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits:
“Irhamuu man fil ardhi, yarhamukum man fis samaa’: Sayangilah penduduk bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu.”

Ini adalah sabda luar biasa yang hanya mungkin keluar dari lisan yang mulia. Hanya dengan menyayangi penduduk bumilah, Dzat yang di langit akan menyayangi kita.

Inilah alasan mengapa masalah ketuhanan kita tidak akan pernah beres jika kita tidak membumi, jika kita tidak mengaplikasikan nilai-nilai langit demi kebaikan bumi. Jangan pernah merasa memiliki legalitas kebenaran hanya karena berbuat destruktif atas nama langit. Kebenaran tidak bisa diklaim hanya dengan mengucap “Demi Tuhan.”

Jika membunuh manusia lain demi Tuhan kita anggap sah, jika menyakiti orang lain yang berbeda agama kita anggap perbuatan baik dan berpahala, kita harus bertanya kembali: apakah mencuri atau berzina juga akan menjadi sah hanya karena menyertakan nama Tuhan?

Allah SWT sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Setiap pribadi memiliki martabat, apa pun agamanya, bagaimana pun warna kulitnya, di mana pun ia tinggal. Tak peduli miskin atau kaya, semuanya memiliki harga diri dan kedudukan yang tinggi di hadapan Tuhan. Jika kita menyakiti satu manusia saja, berarti kita telah menyakiti nilai kemanusiaan sejagat. Sebaliknya, jika kita mampu menyayangi satu orang saja, seakan-akan kita telah menyayangi seluruh makhluk di alam semesta.

Dalam surat Al-Maidah ayat 32, Allah SWT berfirman yang artinya:
"Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan seluruh manusia."

Allahu Akbar, Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya. Lihatlah, bagaimana Allah SWT menghargai satu nyawa. Betapa tinggi penghormatan-Nya terhadap nilai kemanusiaan. Siapa pun yang menyakiti orang lain, berarti telah menyakiti seluruh umat manusia. Sebaliknya, jika kita berbuat baik kepada satu orang saja, seolah-olah kita telah berbuat kebaikan untuk semesta.

Oleh karena itu, mari kita bersama-sama merawat nilai-nilai kemanusiaan dengan menjadi pribadi yang baik, pribadi yang memenuhi hak dan kewajiban secara adil, dalam sebuah hubungan sosial yang madani dan berorientasi pada kemakmuran bersama, sebagai perwujudan nilai rahmatan lil 'alamin.

Joyojuwoto

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar