Merawat Kemanusiaan Yang Adil dan beradab
Dimensi kemanusiaan adalah
dimensi yang universal, tanpa memandang sekat-sekat keduniaan, ras, atau
kelompok sosial. Kemanusiaan harus diakui sebagai milik semua bangsa, semua
golongan, dan seluruh kelas sosial di tengah-tengah masyarakat, serta oleh semua
agama di dunia ini.
Namun, kadang sebagai manusia
beragama, kita justru gagal menerapkan nilai-nilai kemanusiaan. Umat Islam
merasa bahwa manusia hanyalah orang Islam. Umat Kristen merasa bahwa manusia
hanyalah orang Kristen. Begitu pula penganut agama lain. Ini adalah kegagalan
laten yang, ironisnya, justru sering dipelihara dan dipupuk oleh para pemeluk
agama, bahkan oleh para tokoh-tokohnya.
Agama adalah pondasi utama dalam
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Hal ini adalah sesuatu yang pokok. Maka,
jika agama adalah hal yang pokok, mengapa dasar falsafah bangsa Indonesia bukan
agama? Mengapa tidak menggunakan Injil saja, atau Weda, Tripitaka, atau karena
mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim mengapa tidak menggunakan Al-Qur’an dan
Hadits?
Agama adalah rumah besar; ia
merupakan kumpulan dari nilai-nilai ubudiyah dan muamalah. Jika kita
mempertentangkan agama dengan Pancasila, itu adalah ketidakadilan. Jika
Pancasila dihadapkan secara langsung dengan Injil, Weda, Tripitaka, atau
Al-Qur’an, tentu saja Pancasila akan kalah. Sebab, pada hakikatnya, Pancasila
adalah anak ideologis dari nilai-nilai yang bersumber dari kitab-kitab suci
tersebut. Pancasila adalah anak, dan orang tuanya adalah ajaran suci dari
agama-agama. Maka, janganlah Pancasila dipertentangkan dengan bapaknya sendiri.
Justru Pancasila harus dirawat oleh “bapak-bapaknya” agar tercapai maksud dan
tujuan dari Pancasila itu sendiri.
Anggap saja Pancasila sebagai
metode atau cara untuk mengomunikasikan nilai-nilai agama kepada bangsa
Indonesia. Rasulullah SAW pun bersabda: “Omongilah manusia sesuai dengan
kadar berpikirnya.” Maka, jangan terburu-buru menganggap Pancasila sebagai
produk kafir, produk Yahudi, Cina, atau Jepang. Bangsa Indonesia memahami
nilai-nilai keislaman dengan pendekatan yang sesuai, dan Pancasila adalah salah
satunya. Oleh karena itu, jangan salahkan para pendiri bangsa yang memilih
Pancasila sebagai cara berkomunikasi dengan rakyat Indonesia.
Pancasila adalah kesatuan nilai
yang utuh dari sila pertama hingga sila kelima. Nilai-nilai ini tidak bisa
dipisahkan dan tidak dapat diambil secara sepotong-potong. Harus utuh. Menurut
Cak Nun, tujuan berbangsa dan bernegara adalah sila kelima, yaitu Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jika tujuan sila kelima belum
tercapai, tentu ada masalah di sila keempat, yakni Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Jika sila
keempat gagal, berarti ada masalah di sila ketiga: Persatuan Indonesia.
Sila ketiga gagal karena tidak diterapkannya sila kedua: Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab. Dan sila kedua akan gagal apabila sila pertama, Ketuhanan
Yang Maha Esa belum beres. Bahkan, menurut saya, ketidakberesan pada sila
pertama justru kembali bermuara pada kegagalan dalam menghayati sila kedua:
nilai kemanusiaan.
Nilai kemanusiaan adalah nilai
agung di hadapan apa pun di muka bumi ini, bahkan di langit sekalipun. Manusia
sebagai makhluk bumi tidak akan mampu menggapai derajat makhluk langit tanpa
terlebih dahulu menjadi manusia yang manusiawi. Simaklah sabda Rasulullah SAW
dalam sebuah hadits:
“Irhamuu man fil ardhi, yarhamukum man fis samaa’: Sayangilah penduduk bumi,
niscaya yang di langit akan menyayangimu.”
Ini adalah sabda luar biasa yang
hanya mungkin keluar dari lisan yang mulia. Hanya dengan menyayangi penduduk
bumilah, Dzat yang di langit akan menyayangi kita.
Inilah alasan mengapa masalah
ketuhanan kita tidak akan pernah beres jika kita tidak membumi, jika kita tidak
mengaplikasikan nilai-nilai langit demi kebaikan bumi. Jangan pernah merasa
memiliki legalitas kebenaran hanya karena berbuat destruktif atas nama langit.
Kebenaran tidak bisa diklaim hanya dengan mengucap “Demi Tuhan.”
Jika membunuh manusia lain demi
Tuhan kita anggap sah, jika menyakiti orang lain yang berbeda agama kita anggap
perbuatan baik dan berpahala, kita harus bertanya kembali: apakah mencuri atau
berzina juga akan menjadi sah hanya karena menyertakan nama Tuhan?
Allah SWT sangat menghargai
nilai-nilai kemanusiaan. Setiap pribadi memiliki martabat, apa pun agamanya,
bagaimana pun warna kulitnya, di mana pun ia tinggal. Tak peduli miskin atau
kaya, semuanya memiliki harga diri dan kedudukan yang tinggi di hadapan Tuhan.
Jika kita menyakiti satu manusia saja, berarti kita telah menyakiti nilai
kemanusiaan sejagat. Sebaliknya, jika kita mampu menyayangi satu orang saja,
seakan-akan kita telah menyayangi seluruh makhluk di alam semesta.
Dalam surat Al-Maidah ayat 32,
Allah SWT berfirman yang artinya:
"Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh
orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan seluruh manusia."
Allahu Akbar, Maha Benar
Allah dengan segala firman-Nya. Lihatlah, bagaimana Allah SWT menghargai satu
nyawa. Betapa tinggi penghormatan-Nya terhadap nilai kemanusiaan. Siapa pun
yang menyakiti orang lain, berarti telah menyakiti seluruh umat manusia.
Sebaliknya, jika kita berbuat baik kepada satu orang saja, seolah-olah kita
telah berbuat kebaikan untuk semesta.
Oleh karena itu, mari kita
bersama-sama merawat nilai-nilai kemanusiaan dengan menjadi pribadi yang baik,
pribadi yang memenuhi hak dan kewajiban secara adil, dalam sebuah hubungan
sosial yang madani dan berorientasi pada kemakmuran bersama, sebagai perwujudan
nilai rahmatan lil 'alamin.
Joyojuwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar