Sang Pangeran Pengembara Tanpa Alas Kaki “Ibrahim bin Adham”
Ibrahim bin Adham seorang raja
penguasa tujuh kota, Maharaja dari negeri Balkh kehidupannya sangat glamour di
tengah gemerlapnya istana yang mewah. Ia habiskan hari-harinya untuk pesta-pora,
jika menjelang malam sinar lampu berpendar diantara pilar-pilar istana yang
megah, gemerlapnya gelas-gelas minuman berpadu dengan gelak tawa dan nyayian
para biduanita yang menawan. Berbagai macam sajian makanan dan minuman siap
memuaskan hasrat badaniyah sepanjang pesta itu digelar. Menjelang pagi pangeran
baru akan berangkat tidur, dan bangun saat matahari terbenam.
Kehidupan sang pangeran terus
berulang hingga ia menyangka hari ini adalah kemarin, kemarin adalah hari ini, tak
ada pembeda antara kemarin, hari ini, bahkan esok hari. Hingga pada suatu
ketika di tengah gemerlapnya pesta istana muncullah seekor anjing kotor bersama
darwis tua, entah karena apa sang pangeran terpesona ada getar panggilan jiwa yang
harus ia tuntaskan, ada janji yang harus dipenuhi, ada misteri yang tak bisa dijelaskan
dengan rangkaian kata. Sang Darwis melihat dengan cahaya Tuhannya.
Termangu dalam dzauq-Nya,
buru-buru sang pangeran mengejar darwis tua dan anjingnya ketika mereka
melangkah pergi meninggalkan istana, hingga pangeran lupa tak memakai alas kaki. Ada benang-benang
halus yang menarik jiwa pangeran untuk terus mengikuti kemana langkah sang
darwis. Inilah ketika jiwa yang murni telah bertemu dengan jodohnya, “al
arwaahu Junuudun mujannadah famaa ta’aarafa minha I’talafa, wa maa tanaakara
minhaa ikhtalafa….” Ruh-ruh adalah
seperti tentara yang berbaris-baris, maka yang saling mengenal akan bersatu
& yang saling mengingkari akan berselisih…”. Kisah suluknya Bupati Semarang
Pangeran Mangkubumi, Ki Pandannarang yang mengikuti penjual rumput ke gunung
Jabalkat yang ternyata adalah guru spiritual tanah Jawa Kanjeng Sunan kalijaga mungkin
juga terinspirasi dari kisah sang pangeran dari Balkh ini.
Tak terasa semalam penuh
pangeran mengikuti darwis tua, hingga mereka sampai di sebuah takiyah al
maulawiyah. Seorang Syekh sufi memimpin pesta spiritual, cawan-cawan khamr
disajikan untuk menyambut sang sufi baru Ibrahim bin Adham. Khamrnya para sufi
lebih memabukkan dari pada khamr yang paling memabukkan sekalipun, bahkan
sebelum anggur itu sendiri diciptakan. Khamrnya para sufi adalah kasidah-kasidah
cinta Ilahiyyah.
Syekh menunjuk seorang darwis
untuk maju ke depan menyanyikan kasidah cintanya Jalauddin ar Rumi, sambil memetik senar alat
musiknya darwis itu bersenandung syahdu :
Adalah ruh yang tidak meng-ada
Karena keberadaannya tidak
lain hanyalah cela
Jadilah orang yang mabuk
cinta
Karena semua keberadaan
adalah kecintaan
Tanpa hanyut dalam cinta
Tiada jalan menuju yang dicinta
Mereka bertanya apa itu
cinta ?
Katakana cinta adalah
meninggalkan kemauan
Barang siapa belum mampu
lepas dari keinginannya
Tiadalah pilihan lain
untuknya
Seorang pecinta adalah raja
Dunia ini hanyalah debu di
bawah kakinya
Seorang raja tidak akan
berpaling
Kepada apa yang ada di
bawah kakinya
Darwis itu hanyut dalam nyanyiannya,
tiap bait-bait syairnya menyentuh jiwa sang pangeran, darwis pun menyelesaikan
lagunya
Jangan terpana di atas kuda
jasmani
Dan cepatlah berjalan
dengan kedua kakimu
Sebab Allah akan memberikan
dua sayap
Bagi mereka yang berhasil
lepas dari kuda jasmani
Lantunan syair mewarnai tiap
sudut-sudut takiyah menerangi jiwa-jiwa yang gelap, memantulkan secercah cahaya
yang menyelinap masuk ke dalam hati sang pangeran, pelan namun pasti kedamaian
dan kebahagiaan dirasakannya. Bening bagai embun pagi tertimpa mentari, sejuk
bagai oase di padang pasir yang gersang. Luar biasa.
Kemudian masuklah darwis lain,
ia membawa pedupaan, yang diatasnya ada sepotong kayu gaharu. Api membara, asap
mengepul memenuhi ruangan dan paru-paru yang berada diruangan itu. “Seorang
mukmin seperti gaharu ia mengharumkan ruangan jika terbakar” ungkap darwis
itu.
Setelah itu syekh darwis
memberi isyarat agar dua orang darwis maju ke depan untuk menghidangkan
khamr-khamr sufi kepada pangeran agar dahaganya terpuaskan. Kasidah-kasidah cinta
terus dituangkan dari gelas-gelas jiwa yang suci. Kedua darwis ini menyanyikan
kasidah cinta Laila dan Majnun. Sambil meniup serulingnya dua darwis itu terus bernyanyi
hingga kisah berakhir dengan perkataan Majnun kepada Layla,
“Pergilah jauh wahai gambar
Jangan engkau menghalangi
jalanku
Menuju Yang Maha Menggambar”
Dua darwis itu pun menyudahi
nyanyiannya, masing-masing dari darwis yang hadir disitu memberi hadiah kepada
pangeran, mulai dari pakaian dari kulit kambing khas para darwis, penutup
kepala dari bulu-bulu yang halus, minyak kesturi yang mewangi, tapi tidak ada
satu pun yang memberinya sandal kakinya terasa sakit dan terkelupas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar