Minggu, 10 November 2024

Pendidikan Moderasi Beragama dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

 



"Pendidikan Moderasi Beragama dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara"

Oleh: Joyo Juwoto

 

            Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai ragam suku, bahasa, agama, ras, dan budaya. Kita tentu merasa bersyukur bahwa di tengah kemajemukan ini, bangsa Indonesia memiliki konsep luhur yang kita jaga bersama untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, serta memelihara segala bentuk keragaman yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita semua. Konsep luhur itu bernama “Bhinneka  Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

            Kementerian Agama Republik Indonesia memiliki keinginan dan komitmen yang kuat untuk ikut serta menjaga melestarikan, dan juga menguatkan konsep luhur Bhinneka Tunggal Ika tersebut dengan merumuskan satu nilai yang selalu digaungkan oleh Kementerian agama, yaitu Konsep Moderasi Beragama.

            Moderasi beragama ini tercermin dalam sikap untuk ikut serta menjaga kerukunan dalam berbangsa dan bernegara, menunjung tinggi nilai keberagaman, menghargai segala perbedaan, baik suku, ras, agama, dan keyakinan, serta menolak segala bentuk intimidasi, kekerasan, serta perlakuan yang tidak baik yang mengganggu harmoni kehidupan bermasyarakat. Moderasi beragama adalah salah satu nilai untuk mengejawentahkan nilai-nilai ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin.

`           Moderasi beragama adalah konsep penting dalam kehidupan umat beragama di era modern. Hal ini menuntut kita untuk selalu menjaga keseimbangan antara keyakinan agama kita dengan nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan toleransi. M. Quraish Shihab dalam bukunya “Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama” menyandingkan  moderasi dengan kata Wasath atau Tengah.[1] 

Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 143 Allah Swt berfirman: [2]

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

Artinya: “Demikianlah kami jadikan kamu ummatan wasathan… 

Wasathiyyah sendiri dalam Bahasa arab memiliki padanan makna dengan kata tawassuṭ (tengah-tengah), i’tidāl (adil), dan tawāzun (berimbang). Dalam Sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: [3]

خَيْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا

“Sebaik-baik persoalan adalah yang di tengahnya”

Wasath dalam hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah di atas menurut para ulama memiliki arti adlan atau adil, jadi wasath di sini juga bermakna keadilan. Dengan demikian, hadits ini menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan, keadilan, dan moderasi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam praktek agama. Pesan ini sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang mendorong umatnya untuk menjadi umat yang seimbang, adil, dan moderat dalam tindakan dan sikap mereka.

Di dalam Al-Qur’an surat Al Qashash ayat 77 Allah swt berfirman:[4]


وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

Al Qashash ayat 77 di atas mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, berbuat baik kepada sesama manusia, dan menjauhi tindakan yang merusak dan menciptakan kerusakan. Pesan ini adalah bagian dari konsep moderasi beragama yang telah Anda sebutkan dalam konteksnya, yaitu menjaga keseimbangan antara keyakinan agama dan nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan toleransi.

Moderasi beragama merupakan suatu pendekatan atau sikap dalam beragama yang menekankan keseimbangan antara keyakinan agama dengan nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan toleransi. Konsep ini mengajarkan umat beragama untuk tidak melampaui batas dan menjauhi ekstremisme, baik dalam pemahaman agama maupun dalam tindakan yang dilakukan atas nama agama.

Pendekatan moderasi ini memungkinkan individu untuk mempraktikkan agamanya dengan penuh keyakinan dan kedalaman, tetapi juga dengan penuh penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan individu lainnya. Hal ini penting dalam konteks masyarakat yang multikultural dan multireligius, di mana berbagai keyakinan dan tradisi agama harus dapat hidup berdampingan dengan damai.

Dalam kehidupan umat beragama, sering kali muncul masalah akibat kurangnya moderasi beragama. Hal ini bisa tercermin dalam bentuk ekstremisme, intoleransi, konflik antar-agama, dan ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan individu dari latar belakang keagamaan yang berbeda. Konflik ini dapat merusak perdamaian dan harmoni sosial yang ada di tengah masyarakat.

Betapa banyak ungkapan-ungkapan intolerasi seperti bid’ah, sesat, kafir, halal darahnya, yang diproduksi setiap saat oleh orang-orang yang menamakan dirinya sebagai kelompok paling shahih dalam beragama, mereka mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah dalam rangka berdakwah dan kembali kepada ajaran Islam yang kaffah dan murni.

Dari sikap yang intoleran ini pada akhirnya akan melahirkan sikap yang ekstrim dan radikal dalam menjalankan ajaran agama. Diantara ciri-ciri kelompok radikal ini menurut Yusuf Al-Qaradhawi adalah:[5]

1.      Mengklaim kebenaran tunggal dan mencap yang berada di luar kelompoknya itu sesat

Kelompok radikal seringkali memiliki pandangan bahwa hanya mereka yang memiliki pemahaman agama yang benar, sementara orang lain dianggap sesat atau salah. Mereka cenderung memonopoli kebenaran dan menolak keragaman pandangan.

2.      Mempersulit dan memperberat diri dalam menjalankan ajaran agama

Kelompok radikal mungkin mempersulit dan memperberat praktik keagamaan, seringkali menerapkan tafsiran yang ketat dan kaku terhadap ajaran agama. Hal ini dapat menghasilkan praktik yang ekstrem dan mengisolasi kelompok tersebut dari masyarakat yang lebih luas.

3.      Overdodis dam mabuk dalam beragama

Kelompok radikal bisa terlalu obsesif dan terlalu fanatik dalam menjalankan ajaran agama. Mereka mungkin melibatkan diri secara berlebihan dalam praktik-praktik keagamaan hingga menciptakan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sehari-hari.

4.      Kasar dalam berinteraksi dengan Masyarakat

Sikap kasar dan agresif dalam berinteraksi dengan masyarakat adalah ciri kelompok radikal. Mereka mungkin menggunakan bahasa yang provokatif atau tindakan yang mengganggu ketertiban sosial.

5.      Mudah berburuk sangka dengan kelompok di luar dirinya

Kelompok radikal seringkali memiliki sikap berburuk sangka terhadap kelompok atau individu di luar kelompok mereka. Mereka dapat mendemonisasi atau mencurigai niat baik kelompok lain tanpa alasan yang jelas.

6.      Mudah sekali mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengan  penafsiran kelompoknya

Kelompok radikal cenderung cepat mengkafirkan atau menyatakan orang lain sebagai non-Muslim jika mereka memiliki pandangan atau tafsiran agama yang berbeda. Hal ini seringkali mengarah pada konflik dan polarisasi dalam masyarakat.

Klaim kebenaran yang dilakukan oleh sekelompok kaum radikal ini tentu sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang multikultural ini. Bagaimana tidak, masyarakat akan saling bersitegang karena perbedaan pandangan mereka dalam merespon, dan menafsirkan sebuah teks dari kitab suci. Hal ini tentu menjadi preseden buruk bagi kerukunan, kedamaian, dan nilai-nilai toleransi dalam masyarakat.

Untuk itu kita perlu memberikan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai moderasi dalam beragama, agar tercipta masyarakat madani yang menghargai segala bentuk perbedaan yang memang telah menjadi sunnah kehidupan.

Untuk mengcounter ekstrimisme dan radikalisme, perlu adanya upaya mengkampanyekan nilai-nilai toleransi, keberagaman, serta serangkaian sikap yang menghargai segala perbedaan. Dalam konteks ini, empat nilai Ke-NUan yaitu, Tawasuth (moderat) dan I’tidal (adil), Tasammuh (Toleransi), Tawazun (Keseimbangan), dan Amar ma’ruf nahi mungkar, bisa menjadi solusi yang efektif untuk membentengi diri dari ekstrimisme dan radikalisme guna menguatkan pondasi dalam moderasi beragama.

 Berikut adalah penjelasan mengenai empat nilai ke-NUan dan bagaimana mereka dapat menjadi solusi bagi sikap ekstrimisme dan pondasi moderasi beragama:[6]

1.      Tawasuth (Kemoderatan) dan I'tidal (Keadilan)

Tawasuth mengajarkan pentingnya menjalani kehidupan dengan penuh kedamaian dan kedamaian. Nilai ini mendorong umat Islam untuk mengadopsi sikap yang moderat dalam beragama, tidak terlalu ekstrem dalam penafsiran ajaran agama, dan menghindari tindakan ekstremis yang dapat mengganggu ketertiban sosial. Kemoderatan adalah pondasi untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas.

 

Sedang I'tidal adalah nilai yang menekankan pentingnya keadilan dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam urusan beragama. Dalam konteks moderasi beragama, i'tidal mengajarkan bahwa ketidakadilan, penindasan, dan diskriminasi terhadap kelompok agama atau non-agama tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Keadilan adalah solusi untuk menghindari ketegangan dan konflik yang seringkali menjadi pemicu ekstremisme.

 

2.      Tawazun (Keseimbangan)

Tawazun mengacu pada prinsip keseimbangan dalam kehidupan. Dalam konteks agama, nilai ini mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara agama dan dunia. Melalui tawazun, individu diharapkan untuk tidak terlalu ekstrim dalam menjalankan ajaran agama, sehingga tidak melupakan tugas-tugas dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat. Ini dapat mencegah sikap ekstrim yang seringkali muncul akibat fanatisme agama yang berlebihan.

3.      Tasammuh (Toleransi)

Tasammuh adalah nilai yang mendorong toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. Ini mengajarkan pentingnya berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang agama, budaya, dan etnis, tanpa menghakimi atau memusuhi mereka. Tasammuh mempromosikan sikap terbuka dan inklusif, yang merupakan solusi penting untuk mengatasi sikap ekstrimisme dan fanatisme agama.

4.      Amar ma’ruf nahi Mungkar.

Sikap amar ma’ruf nahi mungkar di sini adalah sikap kepekaan masyarakat dalam memperjuangkan hal-hal yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, serta menolak dan mencegah hal-hal buruk yang dapat  menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai dan norma yang ada di tengah-tengah masyarakat.

 

Dengan menerapkan dan mempraktikkan nilai-nilai ke-NUan ini, individu dapat membangun pondasi moderasi beragama yang kuat. Hal ini dapat membantu mencegah sikap ekstrimisme, fanatisme agama, dan konflik antaragama. Selain itu, nilai-nilai ke-NUan juga mendorong kerja sama antaragama dan membangun harmoni sosial, yang merupakan langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang damai dan inklusif.

Moderasi beragama dalam intern kehidupan umat beragama adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang damai dan toleran. Penting untuk memahami bahwa keyakinan agama harus sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Dalam upaya mencapai moderasi beragama, kita harus bekerja sama untuk meningkatkan pendidikan yang menghargai segala perbedaan, penuh toleransi, serta memfasilitasi dialog antar umat beragama, mengawasi media sosial, dan memilih pemimpin yang benar-benar mendukung nilai-nilai ini.

Semoga kita sebagai individu maupun sebagai kelompok umat beragama mampu menjaga nilai-nilai luhur moderasi beragama yang rahmatan lil ‘alamin, ikut serta terlibat dalam upaya pembelajaran dan dialog antar kepercayaan, serta berkontribusi aktif dalam mempromosikan moderasi beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berfalsafahkan Bhinneka Tunggal Ika.



[1] M. Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (PT. Lentera Hati, 2019).

[2] https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-143

[3] M. Quraish Shihab

[4] https://tafsirq.com/28-al-qasas/ayat-77

[6] KH. Abdul Muchit Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama (Khalista Surabaya, 2006)

Jumat, 25 Oktober 2024

Kiai Abil Fadhol As-senory

Kiai Abil Fadhol As-senory 
Oleh: Joyo Juwoto

Kiai Abil Fadhol As-senory 
Terlahir dari kota santri 
Sedan sejengkal bumi dari percik Surga Adn 
Terberkahi lalaran nadzom alfiyah dan imriti para santri

Kiai Abil Fadhol As-senory 
Putra Syaikhil Masyayikh Abdul Syakur As-Suwedangy
Tedak darah Mbah Sambu Sayyid Abdurrahman Lasem

Kiai Abil Fadhol As-senory 
Kiai serba laduni
Mengaji tujuh bulan di Tebu Ireng
Mengkhatamkan Taqrib tujuh kali
Mengajar shohih al-Bukhori pada santri
Bersanadkan ilmu dari Syekh KH. Hasyim Asy'ari

Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Mahrus Ali Lirboyo Kediri 
Mbah Maimoen Zubair, Mbah Faqih Langitan, 
Juga Kiai Hasyim Muzadi semua nyantri di pesantren Darul Ulum Al-Fadholi

Kiai Abil Fadhol As-senory 
Kiai murah hati, sederhana, bersahaja 
Khatam kitab suci dua kali dalam sehari
Shalat berjamaah lima waktu selalu

Kiai Abil Fadhol As-senory 
Berkarya penuh makna
Dalam jejak pena yang melegenda
Kitab Al-Kawakib al-lamma'ah
Pangreksogomo, Ahla al-musamarah fi hikayah Al -auliya Al asyara

Mbah Kiai Abil Fadhol As-senory karyamu mengabadi, menginspirasi sejuta santri.


Bangilan, 25 Oktober 2024

Jumat, 13 September 2024

Kaum Sarungan

Kaum Sarungan
Oleh: Joyo Juwoto

Kaum sarungan, atau santri, adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia. Mereka tidak hanya berkontribusi dalam aspek spiritual dan pendidikan tetapi juga dalam pelestarian budaya dan pengembangan sosial-politik. Peran mereka yang signifikan ini mencerminkan keterikatan yang mendalam antara nilai-nilai agama, budaya, dan kehidupan sehari-hari di Indonesia.

Santri dan pesantren memainkan peran utama dalam pendidikan agama Islam di Indonesia. Mereka membantu menyebarluaskan ajaran Islam dan membimbing masyarakat dalam praktik keagamaan sehari-hari.

Dalam sejarah Indonesia, banyak tokoh santri yang berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara. Mereka sering terlibat dalam aktivitas sosial dan politik, memberikan kontribusi terhadap kebijakan dan perubahan sosial.

Hampir di setiap wilayah, hampir pasti dijumpai makam, petilasan, tempat-tempat yang dijadikan punden masyarakat, dan itu merujuk pada seorang tokoh Kiai atau orang yang dituakan yang babad desa membangun sebuah peradaban. Ini adalah bukti bahwa kaum sarungan tidak terpisahkan dari masyarakat.

Kaum sarungan ini memiliki semboyan Urip iku urup, urip iku urap. Menurut istilah sekarang, hidup itu harus menyala bosku, hidup itu harus berbaur dengan masyarakat dan tidak terpisahkan dengan masyarakat. 

Secara kesantrian, merujuk pada kajian-kajian turots al Islamiyah yang biasa dideras santri, merujuk pada sebuah hadits Nabi bahwa sebaik-naik manusia adalah yang bermanfaat untuk sesama, hal ini memotivasi kaum sarungan untuk selalu berbuat yang bermanfaat untuk umat. 

Diakui atau tidak, Kiai, santri selalu mengedepankan bakti untuk negeri, berdarma untuk bangsa, dengan dedikasi yang tinggi dan keikhlasan yang luar biasa, bahkan sebelum negara ini secara formal terbentuk.

Santri adalah sebuah identitas yang lengkap, oleh karena itu santri harus serba bisa. Santri ketika terjun di masyarakat bisa menjadi petani, bisa menjadi tukang kayu, bisa menjadi birokrat, pengusaha, politisi, dan menjadi apa pun. Namun yang lebih penting dari itu santri haruslah menjadi pengayom masyarakat. 

Oleh karena itu jika santri terjun ke masyarakat jangan sampai jiwa santrinya lepas, karena dari jiwa santri inilah yang akan memancarkan nilai-nilai kebaikan dan keberkahan dalam kehidupan. Ya, kebaikan, keberkahan, dan ridha Tuhan adalah hal yang sangat diperjuangkan oleh seorang yang berjiwa santri.

Jiwa santri akan selalu mengacu pada nilai keikhlasan lillahi ta'ala dalam segala amal perbuatannya, yang dicari santri adalah keberkahan dunia akhirat karena pada dasarnya kaum sarungan ini kakinya menginjak bumi, tapi hatinya melangit di ketinggian sidratil muntaha.

Bangilan, 13 September 2024

Selasa, 20 Agustus 2024

Merayakan Kemerdekaan di Puncak Penanggungan

Merayakan Kemerdekaan di Puncak Penanggungan
Oleh: Joyo Juwoto 

Jauh-jauh hari menjelang peringatan kemerdekaan RI ke -79, saya merencanakan untuk muncak ke gunung, entah gunung apa yang akan saya tuju. Saya tak punya ekspetasi harus ke mana, asal gunung saya rasa sudah senang.

Mendekati Tgl 17 Saya mengabari kawan-kawan yang biasa muncak, saya WA ust. Muammar Rozikin dan mengabari untuk muncak pada tanggal 16 Agustus, agar saat peringatan 17an kita di puncak Penanggungan.

Tak butuh banyak pertimbangan, ada 4 orang yang siap berangkat pada tanggal 16 Agustus, Muammar, Adib, Romli, dan saya sendiri, jadi kami berempat akan meluncur ke basecamp jalur Tamiajeng. Pukul 14.00 WIB kami bermotor meluncur dari Bangilan menuju kota Mojokerto. Dari pantauan google map estimasi perjalan ditempuh sekitar 3 jam.

Dari Bangilan kami melewati Bojonegoro, lalu sampai di perempatan Sumberejo, dari sini kami mengambil jalur selatan, melewati Sukorame Lamongan lalu tembus sampai Kabuh Jombang. Setelah itu kami mengambil jalur jalan raya menuju Mojokerto lewat pinggiran kali Brantas. Sekitar pukul 17.00 WIB kami sampai di alun-alun kota Mojokerto.

Masjid Agung alun-alun Mojokerto menjadi tempat peristirahatan kami, setelah sholat Asar kami bersantai sekalian menunggu sholat Magrib, karena perjalanan yang membolehkan untuk jamak qasar, kami pun menjamak taqdim sholat isya' di masjid tersebut.

Setelah dirasa istirahat cukup, kami pun meluncur kembali menuju basecamp Tamiajeng, perkiraan untuk sampai ke basecamp satu jam lagi. Karena kami merencanakan untuk naik pukul 01.00 WIB, kami menggeber motor dengan santai sambil menikmati dinginnya udara malam, dana pemandangan sepanjang perjalanan.

Karena malam itu adalah malam 17 Agustus, banyak warga yang kami lewati sedang mengadakan acara tirakatan. Mereka sama berkumpul di gang-gang kampung, atau di tempat yang biasa mereka gunakan untuk mengadakan kegiatan bersama warga.

Sekitar pukul 20.00 WIB kami telah nongkrong di warung dekat basecamp. Saya sendiri tidak menyangka para pengunjung yang akan mendaki cukup banyak. Basecamp dipenuhi orang-orang yang akan muncak, jumlahnya benar-benar banyak, ada ribuan. Mereka antri untuk mendaftar.

Kami sendiri setelah sampai basecamp langsung mendaftar, biaya per orangnya lima belas ribu rupiah. Setelah itu antri untuk registrasi di panitia. Sambil menunggu registrasi kami memesan makanan, udara dingin membuat perut serasa mudah lapar. Soto menjadi pilihan kami.

Setelah makan-makan, kami  gunakan waktu menunggu pukul satu malam sambil tiduran, agar kondisi tubuh tidak ngantuk dan capek. Sampai tengah malam para pendaki masih terus berdatangan, malam itu jalur ke Penanggungan seperti pasar malam saja, sangat ramai.

Tepat pukul 01.30 WIB kami berempat menapaki jalanan bersama banyak rombongan dari berbagai daerah. Karena udara malam, saya sendiri terasa berat mendaki saat malam hari, mungkin karena oksigen yang menipis dihirup sekian banyak orang, ditambah bau parfum yang menguar di udara menambah beban berat di paru-paru saya. Sedikit demi sedikit pos-pos pendakian kami lalui, hingga sekitar pukul 03.30 WIB, atau jam tiga dini hari kami sampai di puncak bayangan.

Di puncak bayangan ini banyak sekali tenda, entah berapa jumlahnya, kami berempat yang tidak membawa peralatan ngecamp, cukup istirahat saja duduk-duduk di bebatuan sambil menunggu waktu shubuh tiba. Karena lelah kami tiduran sebentar tanpa alas tanpa atap. Ketika waktu shubuh tiba, kami sholat dengan bertayamum, karena tidak ada air, sholat kami pun sambil duduk.

Setelah matahari mulai tampak, kami melanjutkan sisa perjalanan menuju puncak Pawitra, perkiraan perjalanan 2 jam lagi. Dari puncak bayangan menuju puncak Pawitra cukup terjal, kemiringan membuat kaki dan lutut ini ngilu juga. Belum lagi saat mendaki ke Pawitra ini kita harus waspada kalau-kalau ada batu yang tergelincir dari atas, ini sangat membahayakan pendaki yang di bawah.

Yang menjadi pengobat lelah saat mau summit ke puncak adalah pemandangan ke bawah yang tampak indah, kami berfoto di padang rumput, dan di panorama pegunungan yang cukup mengasyikkan. Setelah menempuh perjalanan penuh keringat, kami pun sampai puncak. Alhamdulillah.

Di atas puncak Pawitra sudah ada ribuan pendaki yang memadati lokasi tersebut. Bentangan Sang Saka Merah Putih sepanjang 1000 meter melingkari perbukitan di puncak Pawitra. Ribuan orang menyanyikan lagu yang cukup syahdu, Tanah Airku. Lautan manusia menjadi saksi perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79. Luar biasa.

Kami berempat setelah cukup berada di atas puncak harus segera turun, sebelum matahari benar-benar menyengat. Tak seperti saat naik, perjalanan turun hanya sekitar tiga jam, pukul 12.00 WIB kami telah sampai di basecamp kembali. Setelah itu kami beristirahat untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan untuk pulang ke Bangilan. Badan capek, namun hati menyimpan rasa puas setelah kami dapat kesempatan merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia di puncak Penanggungan. Alhamdulillah.

Sabtu, 03 Agustus 2024

Mbah Yai Sarbini al-Lengkongy

Mbah Yai Sarbini al-Lengkongy
Oleh: Joyo Juwoto

Mbah Yai Sarbini tedak turun Sunan Giri
Tebuireng tempat nyantri
Pada Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari Sang Guru sejati

Mbah Sarbini
Kiai sederhana dekat dengan jelata
Penyuka rokok dan kopi
Sebatang rokok, secangkir kopi
Sehari terbagi tiga kali
Pagi siang dan sore hari

Mbah Sarbini istiqomah dalam mengaji
Iqna' Kitab yang dikaji 
Jama'ah lima waktu tiada henti

Mbah Sarbini penguasa ilmu falak yang mumpuni
Pembaca rahasia lauhil mahfud
Daun yang jatuh pun bisa terprediksi pasti

Mbah Sarbini Kiai wali pewaris ilmu para Nabi 


Bangilan, 4/6/24

Jumat, 14 Juni 2024

Mbah Misbah



Mbah Misbah al-Bangilani
Oleh: Joyo Juwoto

Reroncean makna Arab Jawi
Tertulis rapi dalam lembaran suci
Kitab pegon Kang Santri
Mbah Misbah Sang Pendekar Pena
Menggurat jejak Khazanah Pesantren Nusantara

Mbah Misbah al-Bangilani
Menggerakkan Pena
Mengukir peradaban dunia
Lewat tulisan yang melegenda
Sepanjang masa

Kitab tafsir al-Iklil, Tajul Muslimin
Juga tafsir Yasin
Menjadi saksi dan bukti
Mbah Misbah al-Bangilani
Pemantik obor literasi

Mbah Misbah al-Bangilani
Meniti lembar rahasia
dalam lembah huruf Nun-Nya
Nun.. Nun... Nun
Wal qolami wa ma yasthuruun


Bangilan, 3 Juni 2024

Jumat, 24 Mei 2024

Ke Puncak Argopuro Lasem

Ke Puncak Argopuro Lasem 
Oleh: Joyo Juwoto 

Di sebelah barat kota Tuban, terdapat pegunungan yang biasa dipakai untuk kegiatan pendakian oleh para penghobi wisata alam, jajaran pegunungan itu bernama Argopuro. Pegunungan Argopuro ini termasuk jajaran pegunungan Kendheng Utara, atau sering disebut sebagai Nusa Kendheng.

Pegunungan ini telah ada ribuan tahun silam, bahkan dalam buku "Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung" diceritakan asal mula orang Jawa berasal dari Sampit Kalimantan yang menyeberang ke laut Jawa dan mendarat di Lasem kemudian menempati lereng pegunungan Argopuro. Rombongan ini dipimpin oleh Kie Seng Dhang, meninggalkan Sampit karena di sana sedang ada wabah yang mematikan, akhirnya mereka tinggal dan menetap di sebelah timur gunung Argopuro dan menjadi cikal bakal orang Jawa.

Pegunungan Argopuro ini terletak di Lasem Kab. Rembang, jaraknya dari tempat saya tinggal kurang lebih sekitar 50 KM, jarak yang cukup dekat, namun baru kemarin (23/5/2024) saya berkesempatan berwisata alam ke puncak Argopuro.

Pukul 07.00 WIB saya bersama tiga orang teman yaitu Mas Adib, Mas Roziqin, dan Mas Ridwan berangkat dari Bangilan menuju pos pendakian jalur desa Ngroto Kec. Pancur Kab. Rembang. Sebenarnya ada beberapa jalur pendakian menuju puncak Argopuro, diantara jalur desa Sukun, kemudian yang dari arah barat bisa via Kajar, kemungkinan dari jalur utara juga ada yaitu via Sluke. Namun jalur yang paling familiar adalah via Ngroto ini.

Setelah naik motor sekitar satu jam lima belas menitan, kami sampai di basecamp desa Ngroto, tepatnya di depan Masjid Jamik Nurul Hikmah, tempatnya cukup enak dan nyaman. Setelah mempersiapkan bekal air dan makanan ringan, kami berempat pun mulai menapaki jalan setapak menuju arah puncak. Sekitar pukul 08.30 WIB kami mulai mendaki.

Gunung Argopuro ini sangat saya rekomendasikan bagi pendaki pemula, karena ketinggiannya sekitar 806 MDPL, saya yang juga amatiran ini tidak terlalu kecapekan untuk mencapai puncaknya. Walau terbilang tidak terlalu tinggi namun menapaki di setiap perjalanannya sungguh menjadi momen yang indah dan membahagiakan. Itu salah satu hal yang saya rasakan, entah untuk orang lain.

Bagi saya pribadi mendaki gunung bukan sekedar untuk melihat panorama keindahan semata, atau sekedar olahraga fisik, namun lebih dari itu, ada gerak spiritual yang menjalar di setiap langkah menuju puncak. Mungkin saya terlalu berlebihan, namun kegiatan apapun itu bisa kita konversi menjadi aktivitas ruhaniah. 

John Muir entah siapa dia menulis sebuah quote yang saya Googling dari internet "Pergi ke gunung seperti pulang ke rumah." Perjalanan ke puncak gunung serasa seperti perjalanan menuju pulang, perjalanan menuju kampung halaman. Sejuta rindu terasa tumpah di setiap langkah menuju puncak, saya sendiri merasa ke gunung itu seperti perjalanan menuju diri sendiri, kita akan merasakan setiap langkah kaki ini, menginjak tanah, batu, dan rerumputan. Kita akan mendengar desah nafas kita sendiri, merasakan sejuknya hawa murni pegunungan, dan kita juga akan menikmati setiap tetesan keringat yang muncul dari pori-pori kulit kita. Perjalanan menuju puncak gunung adalah perjalanan mengenal lebih dekat dirimu sendiri.

Pepohonan di pegunungan Argopuro masih lumayan lebat, sehingga perjalanan kami tidak kepanasan oleh terik matahari, tubuh kami terlindungi oleh dedaunan di sepanjang perjalanan. Jenis-jenis vegetasi di sepanjang jalur cukup beragam, sayang saya kurang begitu mengenal jenis vegetasi tersebut, ada pohon nangka, pohon bambu, lalu ada juga pohon rotan, lainnya entah pohon apa saja.

Setelah mendaki kurang lebih dua jam, kami sampai di puncaknya, di sana berdiri sebuah tugu sebagai penanda, kami langsung berfoto sebagai kenangan kami sampai di sana. Setelah beristirahat sebentar kami pun turun meniti jalan yang kami lalui saat mendaki. Saat dhuhur kami sudah sampai basecamp dan leyeh-leyeh sambil melepas lelah. Setelah sholat kami kemudian pulang ke rumah.

Saya pribadi mereka bersyukur bisa mentadabburi alam ciptaan Tuhan, dan tentunya juga mengenal lebih dekat semesta diri melalui aktivitas mendaki, serta membersamai gunung-gunung dalam bertasbih kepada Allah Swt. sebagai yang termaktub dalam firman-Nya:
"Wahai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang kali bersama Daud!".

Subhanallah.

Rabu, 01 Mei 2024

Kumbang dan Kunang-kunang

Kumbang dan Kunang-kunang
Oleh: Joyo Juwoto

Di tengah padang rumput yang luas dan hijau, terdapat dua serangkai makhluk kecil yang tinggal di sana. Mereka adalah Kumbang, yang sombong dan percaya diri, serta Kunang-kunang, yang baik hati dan ramah.

Kumbang selalu merasa bahwa dia adalah yang terbaik dalam terbang. Dia sering memamerkan kemampuannya di depan teman-temannya. Dia merasa bahwa tak ada yang bisa menandingi kecepatan dan ketangkasan terbangnya. Namun, Kunang-kunang adalah seorang yang rendah hati. Dia tidak suka berlomba-lomba dan lebih suka menikmati keindahan malam dengan cahaya yang dipancarkannya.

Suatu hari, mereka mendengar kabar tentang sebuah lomba adu cepat terbang yang akan diadakan di Pulau Putri, sebuah pulau yang terletak di tengah danau yang indah. Pulau tersebut menjadi tujuan para serangga untuk menunjukkan kemampuan terbang mereka. Kumbang tidak bisa menahan diri untuk tidak berpartisipasi dalam lomba itu. Dia yakin dia akan menjadi pemenang.

Kunang-kunang, di sisi lain, ragu untuk bergabung. Dia tidak terlalu tertarik dengan persaingan dan lebih ingin menikmati perjalanan mereka ke pulau tersebut. Namun, Kumbang meyakinkannya bahwa lomba tersebut adalah kesempatan untuk membuktikan siapa yang lebih baik di antara mereka.

Pada hari perlombaan, Kumbang dan Kunang-kunang memulai perjalanan mereka menuju Pulau Putri. Mereka harus menyeberangi danau yang indah dengan perahu kecil. Selama perjalanan, Kunang-kunang menyaksikan keindahan alam sekitar dan terpesona dengan cahaya yang dipancarkan dari tubuhnya yang membuat malam semakin indah.

Sampai di Pulau Putri, lomba segera dimulai. Para serangga lain berkumpul dengan antusiasme dan semangat. Kumbang dengan bangganya memamerkan kecepatan terbangnya, sedangkan Kunang-kunang lebih memilih memancarkan cahaya terang dari tubuhnya, menari-nari indah di sekitar pulau.

Namun, pada pertengahan lomba, terjadi hal tak terduga. Langit tiba-tiba menjadi gelap karena awan mendung yang menutupi bulan. Cahaya yang dipancarkan oleh Kunang-kunang menjadi sangat berarti dalam situasi ini. Semua serangga panik dan bingung. Mereka kesulitan melihat dan kehilangan arah.

Kumbang yang sombong tidak bisa menemukan jalan pulang karena dia bergantung pada kecepatan dan penglihatan tajamnya. Dia merasa putus asa dan kecewa dengan dirinya sendiri. Sementara itu, Kunang-kunang dengan lembut memancarkan cahaya terangnya, memberikan petunjuk kepada semua serangga untuk kembali ke tempat yang aman.

Kunang-kunang menjadi pahlawan dalam situasi itu. Dia menunjukkan bahwa kebaikan hati dan kerendahan hati lebih berharga daripada kecepatan.

Setelah kejadian itu, Kumbang menyadari betapa pentingnya cahaya yang dipancarkan oleh Kunang-kunang. Dia merasa malu dengan sikap sombongnya sebelumnya dan belajar untuk lebih menghargai dan menghormati teman-temannya.

Kumbang dan Kunang-kunang akhirnya kembali ke padang rumput dengan perasaan saling menghormati dan persahabatan yang lebih kuat. Mereka tidak lagi bersaing satu sama lain, tetapi bekerja sama untuk menjaga keharmonisan di lingkungan mereka.

Setelah kejadian di Pulau Putri, Kumbang dan Kunang-kunang sering kali berkumpul bersama dan berbagi cerita tentang pengalaman mereka. Mereka belajar banyak satu sama lain tentang kelebihan masing-masing dan bagaimana kerja tim dapat mencapai tujuan bersama.

Selanjutnya, Kumbang dan Kunang-kunang menjadi duta kelestarian alam di desa Klampis Ireng. Mereka membantu masyarakat setempat untuk menjaga keindahan dan keberlanjutan lingkungan sekitar, termasuk menjaga kelestarian hutan dan mempromosikan kegiatan yang ramah lingkungan.

Cerita tentang persahabatan Kumbang dan Kunang-kunang yang bertransformasi menjadi kebersamaan dan kerjasama menjadi inspirasi bagi anak-anak di desa. Mereka belajar pentingnya sikap rendah hati, menghargai keunikan setiap individu, dan menjaga alam sebagai warisan yang berharga.

Dengan cerita ini, anak-anak diajarkan nilai-nilai persahabatan, kerendahan hati, dan kepedulian terhadap alam. Mereka belajar bahwa tidak selalu harus menjadi yang terbaik atau bersaing satu sama lain, tetapi bisa saling mendukung dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

Sabtu, 27 Januari 2024

Lawu yang Membisu

Lawu yang Membisu
Oleh: Joyo Juwoto 

Dingin dan sepi di ufuk pagi
Saat kabut bergelayut 
Di pinggang Lawu yang membisu

Berselimut sunyi
Bermandikan embun-embun pagi
Menyibak pada cahaya mentari 

Sepoi-sepoi angin beraroma bunga hutan
Membelai wajahku yang berpeluh riuh

Pohon-pohon pinus
Tegak berdiri lurus
Seperti keadilan yang semestinya ditegakkan

Aroma kawah menyengat
Seperti keculasan 
Yang benderang dipertontonkan 

Rumput-rumput, ilalang, dan juga bunga keabadian
Merunduk penuh etik tertiup angin 

Aku daki ketinggian puncakmu
Aku jelajahi ngarai dan lembahmu

Aku cari rona keindahanmu pada tugu batu di 3.265 mdpl

Aku cari ketegaranmu pada puncakmu yang dingin membisu

Lawu aku datang memelukmu
Dalam rindu yang mengharu biru


*Bangilan, 27/01/2024*

Kamis, 25 Januari 2024

Meriahkan Peringatan HAB ke-78, Kemenag Tuban Gelar Bimtek dan Lomba Menulis Berita

Meriahkan Peringatan HAB ke-78, Kemenag Tuban Gelar Bimtek dan Lomba Menulis Berita

Tuban-Dalam rangka Hari Amal Bakti yang ke-78, Kementerian Agama (Kemenag) Tuban, menyelenggarakan lomba menulis berita, yang digelar di Aula PLHUT Kemenag setempat, pada Selasa (16/1/2024).
Acara dibuka oleh Plt Kepala Kemenag Tuban, Moh. Qosim. Ketika dihubungi penulis via WhatsApp, beliau berharap kepada seluruh peserta lomba agar bisa mencerna ilmu kepenulisan ini dengan baik, dan mengimplementasikan ilmu yang didapat dari narasumber dalam penulisan berita di masing-masing satkernya.
“Harapannya seluruh peserta bisa mencerna ilmu dan menerapkan dalam tugas kedinasan. Sehingga semua kegiatan yang ada di KUA, Madrasah, ataupun KKM, bisa diberitakan secara masif,” ujar Pria penyuka sajak-sajak Pendekar Syair Berdarah ini.
Lomba penulisan berita ini diawali dengan Bimbingan Teknis (Bimtek) menulis dan jurnalistik dari PWI Tuban, Radar Tuban, dan Harian Bhirawa, yang sekaligus menjadi juri dalam lomba tersebut.
Ketua PWI Tuban, Suwandi, salah satu narasumber berharap setelah mengikuti kegiatan, diharapkan peserta dapat menerapkan hasil bimtek dalam lingkungan kerja masing-masing, khususnya dalam mempublikasikan kegiatan positif untuk mengenalkan lembaga masing-masing peserta, sehingga, lembaganya dikenal oleh masyarakat luas.
“Harapan kami, sebagai Ketua PWI Kabupaten Tuban, sebaiknya setelah mengikuti kegiatan tadi para peserta dapat mengaplikasikan dan mempraktikkan di lingkungan kerja atau satker masing-masing. Namun yang paling penting ialah mempublikasikan setiap kegiatan-kegiatan positif di masing-masing satker. Sehingga dengan cara itu satker yang aktif mempublikasikan kegiatan dapat dikenal masyarakat,” pesan pria kelahiran Bancar itu.
Lomba yang digelar oleh bagian Humas Kemenag Tuban ini, diikuti oleh 60 peserta yang terdiri dari 20 orang perwakilan KUA, 7 orang Satker, 6 orang Kantor Induk, 19 orang dari KKMI, 4 orang dari KKM MTs, 2 orang dari KKM MA, dan IGRA/KKRA diwakili oleh 2 orang peserta.
“Total ada 60 peserta, terdiri dari seksi, seluruh KUA, satker, dan perwakilan KKMI tiap kecamatan,” ujar Laidia Maryati pranata Humas Kemenag.
Lebih lanjut kata Bu Ida, sapaan akrab beliau, lomba ini digagas untuk meningkatkan kompetensi peserta dalam bidang kepenulisan dan jurnalistik. Untuk memberikan semangat kepada para peserta, akan diambil 3 peserta terbaik, sebagai juara 1, juara 2, dan juara 3 yang akan mendapatkan hadiah dan penghargaan dari Kemenag Tuban. (Jwt)

Jumat, 05 Januari 2024

Merindu Puncak Lawu

Merindu Puncak Lawu
Oleh: Joyo Juwoto

Setiap pertemuan pasti menyisakan kenangan, berapapun intensitas pertemuan itu, akan selalu ada hal yang menetap atau sekedar singgah di hati. Karena hidup adalah sekumpulan dari kenangan-kenangan itu sendiri. 

Setelah dari puncak Gunung Lawu, saya mengumpulkan kenangan-kenangan itu, merangkainya menjadi tulisan sederhana sebagai obat penawar rindu. 

Mungkin ada orang yang menanyakan aktivitas naik gunung itu untuk apa? Manfaatnya juga buat apa? Seperti orang kurang kerjaan saja, sia-sia membuang waktu, tenaga dan tentu juga biaya.

Saya rasa itu adalah pertanyaan yang wajar, siapapun boleh menanyakan apapun. Jika saya ditanya saya pun sebenarnya masih bingung harus menjawab apa atas pertanyaan-pertanyaan itu. Sekalipun dijawab orang-orang yang bertanya pun belum tentu puas dengan jawaban kita. 

Saya sendiri setelah menempuh perjalanan ke puncak Lawu, belum juga menemukan apa sebenarnya yang dicari dari sebuah pendakian? Jika jawabannya sekedar membuang waktu untuk bercapek-capek yang sedemikian rupa rasa-rasanya kok tidak lucu, apa tidak ada yang lebih bermutu dibanding sekedar membuang waktu?

Saya tidak seidealis Soe Hok Gie yang menjadikan naik gunung sebagai media untuk meningkatkan rasa cinta tanah air, walau saya juga mengamini apa yang ia utarakan, "Bahwa mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Karena itulah kami naik gunung". Kata beliau. 

Saya hanya menyukai penjelajahan alam, menyukai keindahan panorama, menyukai pohon-pohon, rumput, ilalang, menyukai batu-batu, sungai-sungai, lumpur dan segala ornamen semesta. Betapa indahnya menjelahi lembah, ngarai, kemudian mandi di sungai yang airnya mengalir, menerjang sabana rumput, sangat menyenangkan sekali. Saya selalu memimpikan dan merindukan itu semua. 

Dari pendakian menuju puncak Lawu ternyata saya banyak belajar, baik dari alam, dari teman mendaki, dari sesama pendaki, dan terkhusus dari diri saya sendiri. Selama perjalanan sekitar lima jam mendaki, saya banyak berinteraksi dengan diri, saya banyak bercakap dalam diam. Saya mengamati, menyadari dan merasakan naik turunnya nafas, degup jantung, langkah kaki, dan ketahanan tubuh. Kapan saya harus berhenti, kapan saya harus melangkah mendaki. Moment inilah saya berusaha mengenali diri saya sendiri. 

Oleh karena itu dalam sebuah quote saya menulis, "Ke gunung aku mencari diriku sendiri, dan kepadamu aku akan pulang kembali" Kalimat ini bisa bermakna sangat sederhana, dan bisa juga cukup filosofis dan mendalam. Terserah saja bagaimana menerjemahkannya, atau tak perlu diterjemahkan pun tak mengapa. 

Dalam mendaki gunung saya berusaha memetik hikmah dan pelajaran yang bisa memberi manfaat setidaknya untuk diri saya sendiri.

Untuk mendaki puncak gunung, setinggi apapun itu hanya dibutuhkan selangkah dua langkah yang diulang-ulang. Begitu seterusnya hingga sampai di puncak pendakian. Tentu kesabaran, ketegaran, keuletan harus disertakan dalam  pendakian. Ini yang terpenting, jika tidak pasti kita tidak akan pernah mencapai puncak.

Begitu juga dalam menjalani hidup ini, semua serba aktivitas yang kita ulang-ulang setiap saat, setiap waktu, dan setiap hari, hingga entah sampai kapan kita akhiri perjalanan di dunia ini. Semoga perjalanan yang kita tempuh membawa kita pada pendakian spiritual yang menghantar kita menuju puncak Ketuhanan. Karena pada hakekatnya disitulah Sangkan dan Paraning dumadi kita, yang dalam bahasa agama diungkapkan dengan kalimat, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un".

Jadi merindu puncak Lawu pada hakekatnya adalah merindu pada-Mu jua. Ke gunung aku mencari diriku sendiri, dan kepadamu aku akan pulang kembali. 


Jatirogo, 05/01/2024

Rabu, 03 Januari 2024

Catatan Perjalanan Menuju Puncak Gunung Lawu

 


Catatan Perjalanan Menuju Puncak Gunung Lawu

Oleh: Joyo Juwoto

 

Mendaki gunung adalah keinginan saya yang sudah lama terpendam, semenjak usia muda keinginan itu telah ada, namun baru di usia kepala empat keinginan itu akhirnya menemukan jalannya. Entah terinspirasi oleh apa, secara film 5 CM belum rilis, bahkan novelnya pun belum terbit, yang pasti saya memang menyukai alam dengan segala keindahannya.

Tanggal 30 Desember 2023, pukul 03.30 WIB menjelang shubuh, saya berangkat bertiga memakai dua motor. Saya dibonceng teman dari Sale, Mas Lukman Al Aswad, dan satunya Mas Afif dari Sambong Cepu. Perjalanan cukup lancar walau sebelumnya sebelum berangkat sempat hujan, tapi Alhamdulillah reda.

Mas Lukman dan Mas Afif ini sudah terbiasa naik gunung, sudah banyak gunung yang di daki, khususnya di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ke Lawu pun mereka sudah berkali-kali, baik mendaki secara tektok maupun ngecamp. Saya baru pertama kalinya naik gunung, dan tanpa persiapan yang memadai.

Karena kami sepakat mendaki secara tektok (naik gunung tanpa camping) maka tak perlu persiapan apa-apa kecuali air yang kita jadikan bekal di perjalanan. Untuk makan nanti bisa membawa snack kering atau bisa langsung makan di warungnya Mbok Yem yang legendaris itu. Satu-satunya persiapan yang diperlukan tentu fisik yang sehat dan yang terpenting sepatu/sandal gunung untuk mendaki guna melindungi kaki agar tidak terluka dan tidak mudah terpeleset saat pendakian. Untuk jaket gunung mungkin diperlukan kalau mendaki dan ngecamp di puncak, karena tentu udaranya sangat dingin, namun jika memilih tektokan rasa-rasanya jaket gunung tidak diperlukan.

Setelah bermotor kurang lebih 4 jam, kami sampai di basecamp pendakian jalur Cemoro Kandang, dari jalur ini kami akan naik menuju puncak. Sebenarnya ada beberapa jalur pendakian lain, seperti via Singolangu, Cemoro Sewu, Tambak, dan via Candi Cetho. Karena saya tidak paham jalur-jalur itu, saya hanya manut saja, karena Mas Lukman tentu sudah paham jalur mana yang harus dipilih saat harus mendaki secara tektokan.

Sebelum naik, kami sarapan nasi pecel di depan basecamp, setelah sarapan membeli snack, membeli air kemudian menuju loket tiket pembayaran. Per orang tiketnya dua puluh ribu rupiah, cukup murah. Setelah kami bertiga siap, pukul 08.15 WIB kami siap berangkat, sebelum melangkahkan kaki, kami berdoa agar diberi keselamatan saat mendaki dan pulang kembali dengan selamat. Bismillah kami akhirnya melangkah mendaki puncak Gunung Lawu yang memiliki ketinggian 3265 MDPL.

Mas Afif di depan sebagai penunjuk jalan, mas Lukman di belakang, sedang saya posisi di tengah, posisi yang cukup aman. Dari Basecamp sampai pos 1 cukup aman, apalagi cuacanya juga sangat mendukung, tidak panas dan juga tidak hujan, sepanjang perjalanan hanya terdapat pepohonan dan semak belukar, kami pun terus melangkah, apalagi kami tidak membawa beban apapun kecuali air minum. Di perjalanan kami bertemu dengan pendaki lain yang juga sedang naik , namun rata-rata mereka akan ngecamp, sehingga beban mereka cukup berat, mereka membawa tas di punggung  berjalan perlahan dan bertelekan pada sebuah tongkat.

Kami bertiga tidak memakai tongkat, selain fisik kami yang masih muda, juga tentu faktor beban yang kami bawa cukup ringan. Ada beberapa kelompok pendaki yang kami salip, hingga akhirnya  sampailah kami di pos 1, di pos ini kami istirahat sebentar untuk minum dan juga mengatur nafas, karena perjalanan masih cukup panjang dan melelahkan tentunya. Di pos ini ada penjual snack, air, kopi, dan minuman lainnya, jadi jika kita dari bawah tidak membawa bekal, kita bisa membeli di pos pendakian.

Setelah mengumpulkan nafas, kami melanjutkan misi menuju pos 2, makin ke atas kaki terasa capek dan pegal, jika kita lewat jalur Cemoro Kandang, di Pos 2 ini ada kawahnya, kalau lewat jalur lainnya tidak ada. Ketika mendekati pos 2, suara gelegak kawah sudah terdengan, bau belerang juga mulai menyengat. Jarak jalur yang dilewati pendaki dengan kawah bisa ditempuh sekitar 10 menitan, karena kawah bukanlah tujuan pendakian kami, maka kami hanya cukup mendengar suaranya saja, dan mencium bau belerangnya yang saat itu cukup menyengat. Di pos ini juga ada warung yang jualan makanan.

Seperti pada pos 1, kami juga berhenti sejenak, menata nafas yang mulai ngos-ngosan, karena perjalanan yang masih cukup jauh, kami tak mau terbuai dengan istirahat, jika kelamaan nanti jadi nyaman dan akhirnya malas untuk melanjutkan perjalanan. Menurut Mas Lukman Al Aswad, jarak pos 2 ke pos 3 termasuk yang paling jauh dari pos-pos lainnya, jalannya pun mulai mendaki tajam, saya yang paling senior di segi usia benar-benar diuji dengan medan pendakian ini, ada perasaan apakah saya mampu mencapai puncak? Sedang badan mulai letih. Ini adalah tantangan bagi seorang tektokers, jika berhenti terlalu lama nanti tidak segera sampai dan bisa kemalaman di perjalanan, sedang kami tidak membawa peralatan camping.

Setelah menikmati berbagai sensasi perpaduan antara badan yang capek, kaki yang kemeng, hati yang juga galau untuk segera sampai di pos selanjutnya, akhirnya dengan penuh kesabaran, keuletan, serta tekad dan nekat kami bertiga sampai juga di Pos 3. Ada perasaan lega dan puas bisa sampai di pos 3, karena berarti perjalanan tinggal dua pos lagi, dan tinggal naik puncaknya yang tertinggi, akhirnya bisa istirahat sejenak. Di pos 3 kami ketemu anak-anak muda yang baru turun dari puncak, mereka berhenti di warung melepas lelah, kami pun bertegur sapa, anak-anak muda ini ada yang dari Jakarta, Brebes, dan juga dari Kalimantan. Mereka telah ngecamp di puncak semalaman.

Setelah sampai di Pos 3 ini semangat saya bertambah, karena separuh perjalanan sudah terlampaui, tinggal menuju pos 4, 5, lalu menuju puncak. Perjalanan dari pos 3 menuju pos 4 jalurnya mulai berbatu, tingkat kemiringannya juga lumayan, di jalur ini banyak pohon yang memiliki pucuk daun yang berwarna merah, dan juga bunga edelwais yang melegenda itu mulai banyak bertebaran di sepanjang perjalanan. Kata Mas Afif pucuk daun merah itu bisa di makan, dan menjadi alternatif untuk mengisi perut jika kita tersesat serta kehabisan bekal, begitu yang dilihat di Youtube. Mas Lukman saya tanya katanya belum pernah memakannya, saya kemudian mencoba memetik dan memakan daun merah itu, rasanya asem tapi lumayan enak, kayaknya daun ini bisa  menggantikan daun kedondong untuk dipakai memasak asem-asem, tapi yang terpenting daun itu tidak beracun, sehingga bisa dimakan saat kondisi darurat. Itulah pentingnya kita mengenali alam dengan segala macam medan serta tumbuh-tumbuhannya, sehingga kita bisa memanfaatkannya dengan baik.

Tak terasa perjalanan kami sampai di Pos 4, di pos ini sepi, ada bekas warung tapi sudah tidak dipakai lagi, pemiliknya sudah turun gunung. Dengan penuh semangat kami terus melanjutkan ke pos terakhir yaitu pos 5, perjalanan semakin menyenangkan dan menenangkan, tidak seperti saat menuju pos 3. Dalam perjalanan kami lebih banyak diam, menunduk ke bawah meresapi dan mentadabburi alam ciptaan Tuhan. Ya, perjalanan ke gunung menurut saya memang bukan sekedar menyalurkan hobi, juga bukan sekedar melihat panorama dan keindahan alamnya saja, tapi perjalanan ke puncak gunung pada hakekatnya adalah perjalanan mendaki dan mencari puncak kesejatian dari diri kita sendiri. Orang lain tentu boleh berbeda tentang hal ini.

Setelah sampai di Pos 5 kami istirahat lagi, untuk menuju puncak jalur pendakiannya lumayan, kami harus menyiapkan tenaga yang cukup. Saya sempat rebahan di bebatuan untuk memulihkan badan, udara terasa segar, walau di beberapa titik sisa-sisa kebakaran hutan masih kelihatan. Setelah istirahat kami pun menuntaskan misi menuju Puncak Lawu yang ada tugunya itu. Selangkah dua langkah kami mendaki, dari kejauhan sudah terdengar suara kegembiraan para pendaki yang sudah sampai puncak duluan, sekitar sepuluh menitan akhirnya kami sampai pada tujuan, Puncak Hargo Dumilah 3.265 MDPL, waktu menunjukkan pukul 13,00 WIB.

Setelah berfoto beberapa cekrekan, kami turun. Perut sudah lapar, kami menuju warungnya Mbok Yem yang melegenda. Sebelum sampai di warung Mbok Yem saya melihat sebuah bangunan rumah dari kayu, rumah itu kelihatan cukup tua. Kata Mas Afif itu rumah dipakai keraton ketika ada acara, tapi tidak jelas acara apa yang dilakukan di puncak tersebut. Saya sendiri juga belum mencari informasi tentang itu di google.

Dari bangunan rumah tua ini, kami turun dan sampai di warungnya Mbok Yem, kami pesan nasi pecel dan juga teh. Sambil istirahat kami makan, kemudian juga sholat jamak  qasar Dhuhur dan Asar sekalian di warungnya Mbok Yem. Saat akan turun saya sempat menziarahi sebuah petilasan, konon itu petilasannya Prabu Brawijaya, entah benar entah tidak saya sendiri juga kurang tahu.

Perjalanan turun gunung memang tidak secapek saat naik, tetapi tetap saja dibutuhkan tenaga ekstra, karena kaki menahan beban tubuh saat turun. Alhamdulillah saat turun pun cuaca sangat bersahabat, sehingga saya yang tidak memakai sepatu gunung tidak terlalu kesulitan di medan-medan jika hujan licin. Tapi saat turun dari pos 2 cuaca mulai gelap, kemudian gerimis mulai turun. Di sini saya mulai bermasalah dengan sepatu saya yang licin, berkali-kali saya terpeleset karena jalanan licin, di medan hujan yang seperti ini sangat menyulitkan saya. Makin ke bawah hujan semakin deras, akhirnya kami memakai jas hujan.

Saya merasa jika hujan sejak awal pendakian, mungkin saja saya khususnya akan sangat kesulitan menuju puncak. Untungnya di garis akhir hujan baru turun. Dengan penuh perjuangan akhirnya sekitar pukul 17.30 kami sampai di basecam. Alhamdulillah.

Begitulah perjalanan yang kami tempuh saat mendaki puncak gunung Lawu, setelah mengambil KTP yang ditinggal di petugas kami langsung tancap gas pulang. Sepanjang perjalanan dari Cemoro Kandang sampai Padangan Bojonegoro dilanda hujan deras, baru setelah itu tidak hujan. Perjalanan yang cukup luar biasa, semoga ke depan ada puncak-puncak gunung lain yang bisa saya daki dan saya ziarahi. Salam sungkem, dan Terima kasih.