Sabtu, 18 September 2021

Menuju Puncak Penanjakan Gunung Bromo

Menuju Puncak Penanjakan Gunung Bromo
Oleh: Joyo Juwoto

Entah saya mulai dari kelokan yang mana, saat akan aku tuliskan kisah perjalananku serombongan menuju puncak Penanjakan Gunung Bromo. Perjalanan yang tentu sangat menyenangkan. 

Saya tak menghitung berapa jumlah kelokan yang harus ditempuh sebelum sampai pos dusun Tlogosari desa Tosari Pasuruan. Yang pasti ada dua kelokan yang Saya ingat, kelokan ke kiri, dan ke kanan, cuma itu diulang-ulang entah berapa kali. Soalnya bisa pusing jika Saya hitung jumlahnya. 

Itu belum kelokan yang harus kami tempuh via Jep dari homestay menuju puncak tujuan perjalanan kami di beberapa pos wisata. Yang paling ekstrim itu jalur dari lautan pasir. Tanjakannya membuat jantung berdebar. 

Awalnya kami serombongan memilih jalur Tumpang Malang, karena suatu hal kami pindah jalur lewat Pasuruan. Wah kayaknya tepat bisa sekalian sowan dan berziarah ke maqam mbah Yai Hamid Pasuruan. Mungkin nanti akan Saya tulis sendiri tentang ziarah saya ke beliau. 

Own ya, kami berangkat dari rumah sekitar jam 16.00 WIB,   dua mobil meluncur memecah jalanan yang cukup gerah, walau hari sudah sore. Masuk kota Pasuruan via jalur tol sudah cukup malam, hingga kami sampai di penginapan Tosari kurang lebih pukul 23.00 WIB. 

Di Tosari cukup dingin bagi kami yang terbiasa di tinggal di Tuban yang memiliki suhu udara lumayan panas. Kami harus menunggu pemberangkatan sekitar pukul tiga dini hari. Ya, kami menunggu di penginapan dengan istirahat  dalam balutan jaket tebal. Tidur.

Jam tiga pagi kami dibangunkan guide yang akan membawa kami ke puncak Bromo. Kami pun mempersiapkan diri. Ada beberapa lokasi yang akan dikunjungi, diantaranya puncak Penanjakan untuk melihat matahari terbit, lautan pasir, padang savana bukit Teletubbies, dan kawah Bromo.

Setelah rombongan siap, dua jep meluncur membawa kami ke puncak. Jalannya seperti di awal Saya tuliskan, berkelok ke kiri dan ke kanan berulang-ulang entah berapa kali hitungan. Sesampainya di puncak hari masih gelap. Kami menunggu matahari terbit dengan menghabiskan segelas kopi, ada juga yang memilih jahe susu.

Saya sendiri menyeruput secangkir kopi sambil menulis puisi, untuk mengabadikan perjalanan Saya ke puncak Bromo. Saya jadi ingat Soe hok gie yang menulis puisi saat muncak ke gunung yang judulnya Mandalawangi-Pangrango. Puisinya Soe Hok Gie bagus sekali, Saya suka.

Ini bait pertama puisi Soe Hok Gie:

Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
... 

Bagi Soe Hok Gie naik gunung adalah sarana untuk belajar dan menempa diri, jadi bukan sekedar jalan-jalan menghilangkan stres dan kebosanan. Saya sendiri belum pernah naik gunung yang berjalan kaki, suatu saat Saya ingin mencoba. 

Tentu naik gunung era Soe Hok Gie dan era sekarang sudah jauh berbeda medannya, tapi setidaknya spiritnya harus tetap dijaga. Naik gunung guna belajar dan menguji keteguhan hati. Bukan sekedar jalan-jalan.

Kembali ke lokasi matahari terbit, saat itu sudah banyak orang yang akan melihat matahari terbit di puncak Penanjakan. Ya, sekitar 30an pengunjung, maklum masa pandemi.

Setelah shubuh kami pun bergabung ke lokasi matahari terbit. Saya berfikir tentang matahari terbit yang banyak ditunggu orang, secara filosofis matahari terbit adalah simbol hilangnya kegelapan dan terbitnya sinar harapan. Meminjam istilah Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang."

Setelah matahari naik sepenggalah, kami turun ke lautan pasir. Di bawah gunung batok yang berada di kawasan pegunungan Bromo. Dari kisah lautan pasir inilah, menurut tutur masyarakat menjadi salah satu legenda tentang Rara Anteng dan Joko Seger. Hal ini bisa dibaca tentang legenda Gunung Batok. 

Dari lautan pasir ini,. Kami meluncur sampai di savana rerumputan yang lebih dikenal dengan nama bukit Teletubbies. Sayang, waktu itu tidak ada boneka lucu yang terkenal dengan slogan "Berpelukan" itu.

Setelah puas foto-foto, kami pun bersepakat kembali ke homestay. Ada satu paket yang kami tinggalkan yaitu kawah Bromo. Untuk menuju ke sana rasa-rasanya sudah tidak ada tenaga, akhirnya kami pun memilih untuk pulang saja. 

Bangilan, 18/09/2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar