Oleh: Joyo Juwoto*
Berpuisi adalah salah satu
cara menempuh jalan sunyi. Tentu tidak
semua orang mampu melakukannya. Saya mengatakan, mereka ini adalah orang
pilihan, orang yang mendapatkan anugerah Tuhan.
Hanya orang-orang yang
tangguh di nalar dan tabah secara nurani yang sanggup memikul beban berat dari
sebuah kesunyian ini.
Ketika saya meniti kata
demi kata dalam puisi Cak Sarib, seakan saja sedang diperjalankan menuju tangga
ma'rifatullah, menuju altar suci Ketuhanan.
Sejatinya puisi memang
bukan sekedar deretan kata tanpa makna, bahkan disetiap susunan huruf-huruf
dalam bait puisi adalah bagian dari kontemplasi sang penulis.
Kumpulan puisi yang ditulis
Cak Sarib cukup indah dan puitik, dengan menawarkan makna dan tafsir yang
beragam. Puisi yang baik menurut saya memang puisi yang kaya akan makna dan
metafor. Bisa jadi puisi itu pendek, tapi mengandung makna mendalam. Perhatikan
puisi pendek yang ditulis oleh Cak Sarib yang berjudul "Diam" sebagai
berikut:
“Diam”
"Sunyi nisbi derap
desir hati melewatkan angin kebahagiaan panjatkan doa episode kebajikan dan
keabadian."
Simak dan lihatlah, betapa
singkatnya puisi ini. Tapi di balik itu ada makna yang nyamudra. Diam
adalah satu dari sekian proses pengendapan gerak lahir dan gerak batin.
Pada posisi diam bukan
berarti vakum dari sebuah nilai dan ide. Pada posisi diam justru saat yang sama
kita sedang mengaktifkan dan menggerakkan energi tanpa batas, “Kosong itu
berisi, berisi itu kosong.”
Secara filosofis sebenarnya
saya tidak mampu menggapai makna dari ungkapan “Kosong itu berisi, berisi itu
kosong”, namun sebagai gambaran yang saya pahami secara sederhananya saya
kutipkan mutiara Hikamnya Ibn Athaillah as-Sakandari sebagai berikut:
مانفعَ القَلبَ شَيءٌ مثلُ عُزْلةٍ
يَدْخُلُ بها ميدان فِكرةٍ
Artinya: "Tiada
sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati kecuali uzlah,karena dengannya alam
fikir akan menjadi lapang."
Menurut saya, puisi yang
berjudul "Diam" ini adalah bentuk uzlah fikiran dan hati dari
Cak Sarib. Dan puisi ini menurut saya menjadi ruh dari kumpulan puisi beliau
yang berjudul "Bunga Kasih Menara Ma'rifat Rindu Jalan Hu."
Dalam diam akan tumbuh
bunga ma'rifat, dan bunga itu kemudian mewangi menebar kebaikan di semesta
raya. Bunga adalah simbol dari nilai-nilai kebaikan, sedang aroma wanginya
adalah keabadian sebagai bekal menuju jalan kerinduan kepada jalan Hu.
Hu ini berasal dari kata Huwa,
diwaqofkan menjadi Hu, menurut Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab Mafatihul
Ghaib Hu adalah isim dhomir yang mewakili asma'ul a'dzom Allah
Swt. Jadi kerinduan kepada jalan Hu adalah kerinduan untuk bersatu dengan-Nya.
Saya mengamini bahwa puisi
adalah salah satu jalan untuk suluk kepada Tuhan. Sebagaimana Syekh
Jalaluddin Rumi dengan magnum opusnya "Al Matsnawi" yang menjadi secawan anggur di altar suci
ketuhanan.
Saya rasa puisi-puisi Cak
Sarib bisa menjadi "Bunga Kasih Menara Ma'rifat Rindu Jalan Hu. Sebagai
jalan bersuluk untuk meraih ma'rifatullah dengan jalan bekerja dan berkarya
yang didasarkan pada niat Lillahi Ta'ala, sebagaimana yang dikatakan oleh Prof.
Titik Triwulan Tutik dalam prolognya di buku ini juga.
Membaca puisi Cak Sarib
seperti berenang di sebuah telaga keteduhan. Kadang juga seperti berdiri
mematung di pinggir pantai berkarang penuh gelombang. Saya tidak hendak
memonopoli tafsir atas puisi beliau, silakan arungi dan jelajahi di setiap
diksinya dan pembaca akan merasakan pengalaman batin dan sensasinya
sendiri-sendiri.
Akhir kata, selamat untuk
Cak Sarib yang telah memahatkan ujung penanya menjadi jariyah yang tak
berkesudahan. Mengalir bersama gremicik sungai kata dan telaga makna dalam
untaian bait-bait puisinya. Semoga.
Bangilan, 21 Juni 2020
Menempuh Jalan Sunyi* Sebuah Epilog pada Antologi Puisi "Bunga Kasih Menara Ma'rifat Rindu Jalan Hu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar