Menjadi Kartini Menjadi Ibu Yang Sejati
Nama Kartini dianggap menjadi
symbol dan icon perubahan nasib terhadap kedudukan perempuan dihadapan kaum
laki-laki. Sekian lama dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia perempuan dianggap
lebih rendah derajadnya disbanding kaum yang bernama laki-laki. Kita tengok
dalam tatanan social masyarakat Jawa zaman dahulu penyebutan kata perempuan
adalah wanita atau wadon. Wanita berasal dari gabungan kata (kerata basa) ”
wani ditata”, yang berkonotasi bahwa wanita harus tunduk patuh kepada pihak
laki-laki. Sedang kata wadon berasal dari bahasa kawi yaitu “wadu”, yang secara
harfiah bermakna “kawula”. Hal ini bermakna bahwa wanita atau wadon itu
dititahkan menjadi abdi bagi kaum laki-laki. Makna wanita maupun wadon kedua-duanya mengandung beban ideologis bahwa
gender wanita berada dibawah kekuasaan gender laki-laki.
Sepertinya nasib sejarah memang
tidak memihak perempuan, hampir diseluruh belahan bumi nasib wanita sama sekali
tak mendapatkan berkah sejarah. Masyarakat Cina kuno mempunyai sebuah kaidah
“Tidak ada sesuatu yang paling rendah selain wanita” Seperti sedang mengamini
nasib malang perempuan di Italia zaman dahulu wanita dianggap seperti pembantu
bagi kaum laki-laki, di Mesir wanita dianggap sebagai tanda dari setan, di
India masyarakat mempercayai bahwa perempuan merupakan sumber dosa, kerusakan
akhlaq, dan pangkal bencana jiwa, mereka tidak punya hak apapun kecuali
menumpang pada suaminya. Perempuan ibarat baying-bayang suami, jika suaminya
meninggal dunia maka ia harus ikut pati obong bersama jasad sang suami kalau
tidak ingin hanya menjadi budak bagi anak-anaknya dan sanak keluarganya. Orang
Arab pun tak kalah kejamnya terhadap perempuan. Jika suami dikabari istrinya
melahirkan seorang bayi perempuan, sang bayi tinggal memasrahkan hidupnya pada
nasib, dibiarkan hidup ataukah akan dikubur hidup-hidup oleh bapaknya sendiri.
Betapa malang dan tragisnya nasib perempuan dalam setiap pangkuan sejarah,
bahkan seorang Plato pun pernah berujar “Saya bersyukur kepada dewa-dewa karena
delapan berkat” dan salah satu berkat yang dimaksud oleh Plato adalah dia
dilahirkan bukan sebagai seorang perempuan.
Jauh sebelum Kartini berteriak pada
tembok patriarki dan adat lingkungan yang membelenggu, banyak Kartini-kartini dalam
sebutan lain yang namanya kurang mendapat berkah dalam bingkai sejarah. Sebut saja Cut Nyak Dien,
Rohana Kudus, Dewi Sartika, dan bahkan ada seorang perempuan yang pernah
megendalikan sebuah kesultanan besar Aceh Darussalam Sang Maharani Sultanah
Tahul Alam Syafiatuddin Syah, namun saya tak hendak mendebat sejarah. Biarlah
nama-nama Kartini dalam sebutan lain itu namanya harum tanpa cela di maqom yang
luhur disisi Allah SWT tanpa dibumbui puja-puja dari manusia. Apalah arti
sebuah kebesaran nama dibibir-bibir manusia ?, Pahala dan kebesaran namanya toh
takkan luntur dihadapan Sang Maha Mengetahui.
Yang paling penting menurut saya
adalah meneladani nilai dan semangat para Kartini tersebut dan mengejawentahkan
dalam era sekarang. Karena sejarah memang mengajarkan kepada kita untuk bijak
dan peristiwa sejarah adalah sebuah momentum untuk kita hadirkan dan kita
lahirkan kembali semangat Kartini-kartini masa lalu di zaman sekarang. Ingatlah
sejarah itu selalu terulang walau dalam bentuk yang bermacam-macam.
Semangat Kartini untuk keluar
dari belenggu adat kadang dipakai oleh sekelompok orang-orang yang kurang
bertanggung jawab, yang kemudian diformulasikan menjadi sebuah ajaran yang
dikenal dengan gerakan feminisme. Mereka dengan semangat Kartini ingin
melampaui batas kepatutan yang telah diajarkan oleh nenek moyang, dengan berani
mereka juga berusaha memporak-porandakan aturan-aturan agama khususnya ajaran
Islam yang mengatur hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan. Para pegiat
gender ini menuding bahwa banyak aturan-aturan dalam agama yang mendeskritkan
peran dan kebebasan kaum yang dibelanya. Mereka menuntut secara membabi buta
kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan (gender equality).
Jika mereka kaum feminis memang
ingin mengusung Kartini sebagai icon dan pembenar gerakan mereka, seharusnya
mereka perlu merenungi surat yang pernah ditulis oleh Kartini kepada Prof.
Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902. Kartini menulis :
“Kami disini memohon
diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena
kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam
perjuangan hidupnya. Tapi kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali
bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban
yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya : menjadi Ibu pendidik
manusia yang pertama-tama”.
Menurut saya para pegiat gender
hanya menjadikan semangat Kartini sebagai pembenar terhadap apa yang mereka
perjuangkan, segala cara ditempuh termasuk membiaskan makna dari surat-surat Kartini,
mengambilnya sepotong-potong memperkosanya dan menafsirkan dengan dalih-dalih
mereka sendiri. Ada agenda jahat yang disembunyikan guna merusak jiwa kartini
itu sendiri.
Jadi masihkah para feminis tetap
bersikukuh bahwa mereka ada dalam rangka meneruskan cita-cita dan perjuangan
Kartini ? Padahal Kartini pernah menulis seperti ini :
“Kita dapat menjadi manusia
sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi perempuan sepenuhnya”
(Surat Kartini untuk Ny. Abendanon 1900).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar