Oleh: Joyo Juwoto
Santri itu kiblatnya adalah Kiai, punjernya juga Kiai, pandangannya mengikuti Kiai, sehingga dalam memahami apapun biasanya santri hampir dapat dipastikan nderek dawuhe Kiai, sami'na wa atho'na selalu dengan Kiai. Begitupula dalam memandang ideologi Pancasila, sikap santri pasti mengikuti dawuh Kiainya.
Pancasila ini termasuk yang sering didawuhkan oleh KH. Maimoen Zubair sebagai bagian dari PBNU yang menjadi Pusaka Nusantara yang wajib kita jaga bersama. PBNU di sini bukan singkatan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, tapi kepanjangan dari Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-undang Dasar 1945. Sangat pas dan paket komplit sekali.
Saya di sini dalam memahami Pancasila tidak akan membahas secara ilmiah, di negara ini sudah banyak pakar tentang itu, bahkan ada lembaga negara yang digaji ratusan juta untuk menjadi juru tafsir Pancasila itu sendiri. Saya juga tidak akan membahas bagaimana dulu Piagam Jakarta yang menjadi ruh dari Pancasila ini. Saya hanya akan membahas Pancasila dengan bahasa yang mudah diterima oleh kalangan santri.
Entah ketepatan atau tidak, ideologi bangsa Indonesia kok memakai istilah Pancasila, yang berarti lima dasar. Lha dalam ajaran santri angka lima ini cukup sakral karena dihubungkan dengan rukun Islam yang lima isinya, jumlah ibadah shalatnya umat Islam ya lima waktu juga.Tidak hanya itu saja, secara kejawen Pancasila sesuai dengan istilah sedulur papat lima pancer. Jadi kayak klop begitu jika mengomongkan masalah Pancasila tadi baik secara syariat Islam maupun secara kejawen.
Salah seorang ulama Sepuh yaitu beliau KH. Maimoen Zubair dawuh: "Pancasila itu terdiri dari lima bintang yang itu sejalan dengan konsep maqashid as-syariah di dalam Islam. Lima hal itu adalah menjaga jiwa, akal, harta, keturunan, dan martabat manusia." Lihatlah, bagaimana Mbah Moen begitu seriusnya memaknai dan memberikan tafsir Pancasila sebagai maqhasid as-syariah dalam ajaran Islam.
Lima hal yang di dawuhkan Mbah Moen adalah sesuatu yang sangat asasi dalam kehidupan manusia, dan ajaran Islam sangat concern dengan hal tersebut, karena menjaga maqasid as-syariah berarti menjaga keberlangsungan hidup dan kehidupan yang membawa kepada kemaslahatan, baik secara individu maupun secara sosial.
Habib Luthfi Pekalongan juga sangat menekankan agar para santri dan generasi muda bangsa selalu berpegang teguh dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Karena pada dasarnya Pancasila itu memiliki keterkaitan dengan keagamaan. Pancasila boleh diperdebatkan penafsirannya, tetapi Pancasila tidak boleh memperdebatkan butir-butirnya. Apalagi saat Muktamar NU di Situbondo sudah putuskan bahwa Pancasila adalah asas Negara dan Jam’iyah Thariqah menegaskan NKRI harga mati.
Habib luthfi juga dawuh: “Pancasila mampu melindungi pluralitas yang ada, dan menjadi ideologi negara, maka Pancasila akan memperkokoh pertahanan nasional dan memperkokoh NKRI. Sebab Pancasila akan dimiliki semua pihak. Bila Pancasila itu tumbuh pada diri setiap anak bangsa dengan diperkokoh atau di beck-up oleh agamanya, maka kekuatan, kesatuan dan persatuan semakin erat terjalin dan tidak akan mudah digoyahkan. Karena Pancasila menjadi sebab tumbuhnya nasionalisme dan bebas dari kepentingan politik atau tidak akan menjadi bemper kepentingan politik. Sehingga tumbuh mekar secara murni kecintaan kepada agama, tanah air dan bangsa. Dari itu akan menjadi cermin bagi bangsa lain.”
Saya mengamini apa yang didawuhkan beliau Habib Luthfi, bahwa Pancasila adalah ideologi negara yang melindungi keberagaman dan pluralitas di Indonesia, Pancasila harus ditanamkan sejak dini di dalam sanubari anak bangsa, dan biarkan nilai-nilai Pancasila itu tumbuh menjadi jatidiri bangsa yang melahirkan rasa nasionalisme, cinta tanah air, bangsa dan negara.
Mungkin kalangan akademisi memandang ini adalah hanya sekedar otak-atik mathuk saja, namun bagi saya tidak demikian, segala upaya yang dilakukan oleh Ulama guna menafsirkan Pancasila di atas adalah sebuah kecerdasan sekaligus kearifan untuk menyampaikan nilai-nilai Pancasila kepada kaum santri dengan penuh kebijaksanaan. Menurut saya justru ini adalah sebuah nilai plus.
Tapi bagaimanapun juga kita sangat boleh untuk tidak sepakat dengan banyak hal, termasuk dalam penalaran Pancasila di atas. Yang pasti Pancasila sebagai ideologi bangsa, Kebhinekaan yang Tinggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-undang Dasar 1945 adalah pandangan final yang harus kita jaga, kita rawat, dan kita semai untuk anak cucu kelak.
Isitimewa mbah Guru,
BalasHapus