Oleh: Joyo Juwoto
"Luka adalah tempat di mana cahaya memasukimu" (Rumi)
Pagi berkabut pekat, dingin menusuk tulang belulang. Saya telah terbangun bersamaan dengan turunnya malaikat yang mengusung seperti malam. Hening. Sepagi itu saya telah terbangun, bahkan ayam jantan belum berkokok memamerkan kukuruyuknya. Dan fajar sodiq pun belum turun menyapa mayapada.
Saya adalah seorang suami dari seorang gadis yang saya cintai, ia telah menjadi istri saya semenjak lima belas tahun silam, namun Tuhan sepertinya belum berkenan menitipkan amanah, permata hati dan belahan jiwa di tengah-tengah keluarga kami.
Sepagi itu saya telah bangun, setiap hari tanpa henti selama lima tahun. Ya, itu adalah amalan ijazah dari seorang Kiai sepuh yang harus saya lakukan. Tidak boleh berhenti, tidak boleh absen satu kali pun. Jika terpaksa absen, maka saya harus mengulanginya lagi dari hitungan awal.
"Nak, bacalah wirid ini di sepertiga malam. Baca selama lima tahun tanpa henti, sesudah shalat tahajud. Baca sebanyak 313 kali, sampai menjelang subuh, jangan sampai absen satu hari pun. Jika kamu lupa, maka harus kamu ulang dari hitungan pertama lagi." Begitu ijazah yang diwejangkan Pak Kiai kepadaku.
"Nun Inggih Kiai, Qabiltu" Jawab saya, tanpa banyak bertanya kepada beliau. Kemudian saya dan istri berpamitan untuk pulang.
"Terima kasih Kiai, InsyaAllah dawuh panjenengan akan saya lakukan, mohon undur diri dan mohon doanya." Saya bersalaman mencium tangan beliau kemudian saya dan istri keluar rumahnya Kiai sambil membawa cahaya harapan yang terang.
Begitulah adab yang diajarkan orang tua dan guru-guru saya dulu, jika mendapatkan dawuh Kiai jangan banyak bertanya. Kalau memang itu untuk kebaikan lakukan, jangan mempertanyakan ini itu yang tidak penting.
Walau Ijazah yang diwejangkan mbah Kiai itu sangat berat bagi saya, tapi mau apalagi, saya harus melakukannya. Semua demi keinginan saya dan istri agar dikaruniai oleh Tuhan anak-anak yang telah kami rindukan cukup lama.
Setidaknya hari ini saya pulang mendapatkan solusi, walau hasilnya menunggu lima tahun yang akan datang. Waktu yang cukup lama, dan membutuhkan kesabaran yang tiada batasnya. Saya dan istri selalu mengingat Innallaha ma'as Shabirin. Ini yang menjadi obat penenang kami berdua.
Sudah sepuluh tahun lamanya kami menunggu dan berusaha berbagai cara, segala saran dari kerabat, tetangga, dan bahkan orang yang tidak kami kenal telah kami lakukan, namun takdir Tuhan tidak bisa ditembus oleh kuatnya ikhtiar hamba-Nya. Mekanisme takdir adalah misteri sejak azali yang tak terpecahkan.
Hari ini adalah ulang tahun ke sebelas pernikahan saya dan istri. Rasa putus asa, capek dan bosan tentu kadang mendera, namun kekuatan cinta kami berdua mengalahkan segalanya. Cinta kami ibarat bara yang membakar, meletup dan menghasilkan energi yang tak pernah surut padam, untuk menerangi dan menggerakkan bahtera rumah tangga kami.
"Sayang, InsyaAllah semoga ikhtiar saya kali ini ada hasilnya." Bisik saya pelan di telinga istri.
"Iya sayang, semoga Tuhan mengijabahkan apa yang akan kita usahakan." Jawab istri saya tidak kalah pelannya dengan bisikan saya. Ia tampaknya agak ragu dengan apa yang diucapkannya sendiri.
Bagaimana tidak, sudah sepuluh tahun lamanya kami berumah tangga, Tuhan belum menjawab doa dan ikhtiar kita berdua. Ada rasa sakit dan banyak luka yang tergores dan mendera dalam rumah tangga kami. Entahlah, kami berusaha sabar dan terus berikhtiar.
Sebagaimana kata penyair Sufi Jalaluddin ar Rumi, saya berharap luka ini menjadi tempat di mana cahaya memasuki jiwa saya. Saya berharap cahaya bahagia akan terbit dari sana.
Banyak omongan kerabat atau tetangga yang kadang menyakitkan hati kami berdua, walah demikian kami hanya menjawabnya dengan kata sabar. Jika Tuhan telah berkehendak dengan Kun-Nya maka akan segera diikuti proses Fayakun. Itu yang menjadi keyakinan kami.
"Kang, istrimu itu mandul, ceraikan saja. Kayak tidak ada wanita lain saja." Kata tetangga suatu ketika saat ngobrol-ngobrol di kedai kopi.
Biasanya saya hanya tersenyum dan diam menanggapi hal yang demikian, bagaimanapun jua saya telah mengambil janji di hadapan Tuhan saya menikahi gadis itu dengan sepenuh cinta dan akan membahagiakannya. Tidak mungkin saya menyakiti hatinya dengan menceraikannya hanya gara-gara kami belum dikaruniai momongan.
Saya tahu istri saya juga tidak kalah menderitanya, banyak hal yang harus ia telan sendiri segala kepahitan hidup selama ini. Dan saya tidak ingin menambahkan beban penderitaan dengan menceraikannya.
Apalagi sebenarnya kami telah sepakat dan mengikat janji, bahwa kami tidak akan periksa ke dokter agar tidak ketahuan siapa yang sebenarnya mandul. Istri saya, atau bahkan mungkin justru saya sendiri. Kami percaya keajaiban Tuhan.
Lima tahun telah berlalu, selama itu tak sekalipun saya absen membaca doa ijazah dari Pak Kiai. Saya berusaha dengan sungguh-sungguh, berkonsentrasi penuh, bahkan sangat keras berikhtiar agar segera dikarunia momongan.
Hasilnya apa? Di tahun kelima, belum ada tanda bahwa istri saya nyidam. Kadang ada tanda seperti nyidam, tapi ketika diperiksa bidan istri saya hanya meriang saja. Saya jadi berfikir telah mengerjakan hal yang sia-sia selama lima tahun. Hasilnya nol besar. Bulshit, omong kosong belaka.
Karena tidak ada tanda-tanda kehamilan, maka saya sowan kembali kepada Kiai yang telah memberikan ijazah lima tahun silam. Hati saya masih memendam kedongkolan yang luar biasa.
Seperti telah mengetahui kedatangan saya, mbah Kiai telah menunggu saya di depan pintu rumah beliau.
"Kang, yang sabar. Sumeleh marang ketetapane Gusti Pengeran. " Dawuh beliau sambil mendorong saya keluar pintu.
"Kamu pulang saja kang, dan amalkan ijazah saya lima tahun lagi." Jawab Pak Kiai enteng tanpa beban.
Saya sendiri kaget dan agak jengkel, bahkan belum sempat duduk, saya sudah disuruh pergi, tapi akhirnya saya pulang juga. Walau dengan perasaan yang Hancur berkeping-keping rasanya.
"Bagaimana sayang hasilnya? Tanya istri sesampainya saya di rumah. Istri saya seakan membaca air muka saya, ia diam dan tampak sedih. Mendung bergelayut di raut wajahnya.
Saya tak menjawab, langsung saja saya menuju kamar. Saya terdiam dan merenung cukup lama. " Ah, Tuhan, ini benar-benar tidak adil." Batin saya.
Saya seakan sudah tidak punya harapan. Mungkin ini takdir yang harus saya jalani. Saya pasrah. Sumeleh opo jare Gusti. Hidup berumah tangga tanpa dikaruniai buah hati. Untung saja lagi-lagi cinta kami terus bersemi dan tak pernah mati. Saya dan istri menjalani kehidupan ini dengan penuh kerelaan.
Waktu terus berlalu, keinginan untuk punya momongan sudah tidak terpikirkan. Saya hanya fokus bekerja dan beribadah. Ijazah dari Pak Kiai masih terus saya lakukan. Hanya bedanya hati ini sudah sumeleh, tidak lagi berharap apapun kecuali hanya keikhlasan kepada jalan takdir yang harus kami lalui berdua.
Suatu ketika, pada suatu senja di bulan April pada sisa musim penghujan yang mulai mengering, istri saya mengeluh tidak enak badan.
Awalnya tidak begitu dihiraukan, karena biasanya mungkin karena kecapekan. Satu dua hari dipakai istirahat cukup biasanya sudah baikan. Namun sudah tiga hari ini sakitnya istri belum juga reda. Ia sering muntah. Mual katanya. Saya mengajak istri untuk periksa ke dokter, agar sakitnya diobati. Awalnya istri menolak. Tapi akhirnya kami berangkat untuk periksa.
Setelah periksa ke dokter, dokter bilang kepada kami.
"Jaga kesehatan ya bu, diusia ibu yang sekarang seharusnya ibu sudah tidak lagi hamil. Ini adalah kehamilan dengan resiko tinggi." Kata sang dokter kepada kami.
"Apa dok....? Istri saya positif? Istri saya hamil? Setengah berteriak saya dengan spontan berdiri dan memegang kedua bahu dokter yang memeriksa istri saya. Sambil mengguncang-ngguncang bahunya, saya berkata:
" Dok,... Ini adalah penantian panjang kami. Hampir dua puluh tahun lamanya kami menunggu momen ini, dok."
Kemudian saya merangkul istri saya yang kelihatan syok bahagia. Kami berpelukan sambil berurai air mata. Istri saya hanya diam tak berkata-kata. Tangis haru dan bahagia membasahi bumi cinta kami.
"Duh Tuhan, Terima kasih dengan anugerah ini. Segala puji dengan segala amanah dan karuniamu yang dahsyat luar biasa."
Saya dan istri pun tersungkur bersujud di lantai. Cukup lama. Binar bahagia memenuhi kedua kelopak mata kami. Penantian panjang telah berbuah anugerah yang indah dari Tuhan Yang Maha Pemurah.
Bangilan, 27 Februari 2021
Joyo Juwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar