Buku dan Kemerdekaan Indonesia
Oleh: Joyo Juwoto
Buku memang hanya serupa tumpukan sampah, tidak heran jika banyak orang yang kadang tidak terlalu menghargai sebuah buku.
Buku bagi sebagian orang hanyalah lembaran kertas yang dijilid, yang kemudian ditumpuk sedemikian rupa dalam gudang sempit, atau diletakkan di pojok-pojok ruangan yang pengap.
Adapula buku yang hanya sekedar menjadi aksesoris, jadi pajangan di rak atau lemari di ruang tamu rumah. Biar keren dan intelektual. Mungkin.
Ya begitulah, nasib buku berbeda-beda. Ada yang dicuekin, ada yang dikarantina di dalam ruangan yang pengap, ada pula yang menjadi bagian dari mode pencitraan. Miris.
Dari semua nasib buku di atas tidak ada yang enak. Nasibnya sungguh-sungguh malang nian nasibmu wahai buku.
Padahal secara historis, buku di negara ini punya jasa yang sangat besar bagi langkah awal embrio dan bibit kebangsaan serta kemerdekaan negara Indonesia.
Semua tahu bapak proklamasi kemerdekaan Indonesia, Soekarno-Hatta adalah orang-orang yang menggilai buku. Benar, mereka adalah kutu buku yang mendapat pencerahan dari aksara dalam lembaran-lembaran kertas tersebut.
Tidak hanya itu, bahkan berdirinya republik ini juga berkat buku. Sejarah mencatat bahwa konsep negara republik ini digagas oleh Tan Malaka, seorang tokoh revolusioner dari tanah Minang.
Tan Malaka menulis buku Naar de Republiek sekitar tahun 1925. Selain itu Tan juga menulis buku Massa Actie. Buku-buku ini yang menjadi pegangan dan menginspirasi para tokoh pergerakan Indonesia kala itu, termasuk Bung Karno dan Hatta.
Bahkan sebagaimana yang saya baca dalam buku Catatan Tan Malaka Dari Balik Penjara, Bung Karno pernah diseret ke meja pengadilan Belanda di Bandung, gara-gara menyimpan buku yang ditulis oleh Tan Malaka tersebut.
Bung Karno memang seorang yang mencintai buku, beliau selain seorang orator yang ulung, juga penulis yang baik. Banyak buku yang telah ditulis oleh Soekarno.
Salah satu buku yang ditulis oleh Bung Karno yang ikut menyumbang kemerdekaan Indonesia adalah pledoi beliau yang di beri judul Indonesia Menggugat. Tulisan ini membuat kelabakan pemerintah Belanda kala itu. Pledoi pembelaan Soekarno ini ditulis di penjara dengan referensi tidak kurang dari 16 judul buku yang ditulis oleh tokoh pergerakan dunia saat itu.
Selain menulis Indonesia menggugat, Bung Karno juga menulis buku tebal dua jilid Di Bawah Bendera Revolusi. Selain itu beliau juga menulis buku yang cukup kontroversi, Islam Sontoloyo. Buku ini bahkan sempat menimbulkan polemik antara bung Karno dan Mohammad Natsir.
Selain Tan Malaka, Bung Karno, tokoh lain yang hidupnya tidak bisa dipisahkan dengan buku adalah Bung Hatta. Bung Hatta ini sangat gila dengan buku. Sampai ada yang bilang, istri pertama bung Hatta itu buku, Istri kedua buku, barulah istri ketiga beliau adalah Rahmi Rahim.
Bung Hatta sangat mencintai buku-bukunya. Ketika beliau ditangkap dan dikirim ke pengasingan oleh Belanda, bukunya yang berjumlah 16 peti turut serta di bawa. Gila.
Bung Hatta memang tidak bisa dilepaskan dari buku. Beliau menempatkan buku lebih berharga daripada emas permata. Tidak heran ketika beliau menikah, maharnya adalah buku yang ditulisnya sendiri. Judulnya Alam Pikiran Yunani.
Begitulah sepak terjang beberapa tokoh bangsa Indonesia yang sangat mencintai dan menggilai buku. Bagi mereka buku adalah ruh perjuangan, buku adalah teman setia, dan buku adalah sumber inspirasi bagi perjuangan mereka dalam membentuk dan memerdekakan negara kesatuan republik Indonesia.
Selamat Hari Buku Sedunia.
Bangilan, 23 April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar