Bernostalgia dengan Senja dan burung-burung pemakan kenangan
Oleh: Joyo Juwoto
Jika senja datang dipastikan kondisinya sedang damai dan sejuk-sejuknya, semilir angin sepoi-sepoi nan melenakan, kecuali jika senja datang diiringkan dengan hujan dan badai, hal ini tentu pengecualian. Oleh karena itu, tidak heran jika orang-orang yang menyukai senja.
Saya tidak tahu, sejak kapan tepatnya orang-orang menyukai senja, walau banyak pula yang berburu sunrise juga, tetapi biasanya di kalangan seniman banyak menyukai senja dibandingkan dengan terbitnya fajar. Terbukti banyak sekali puisi tentang senja, lukisan tentang senja, maupun syair lagu yang juga bertema tentang tenggelamnya matahari ini.
Sastrawan ternama Sena Gumira Ajidarma menulis cerpen "Sepotong Senja untuk Pacarku", Chairil Anwar menulis puisi "Senja di Pelabuhan Kecil", dan Sujiwo Tejo juga termasuk salah satu seniman yang menyukai senja. Dalam cuitan Twitternya ia menulis: "Kenapa aku suka senja, karena bangsa ini kebanyakan pagi, kekurangan senja. Kebanyakan gairah, kurang perenungan" begitu yang dituliskannya dalam #talijiwo.
Berbicara mengenai senja, saya sendiri punya beberapa puisi tentang matahari yang mulai tenggelam dan hari yang mulai malam. Saya entah suka entah tidak tetapi ternyata senja berhasil menggerakkan pena saya untuk menulis tentang senja. Namun, kali ini bukan itu yang ingin saya bahas.
Di sini saya menyediakan waktu khusus bernostalgia dengan sebuah buku yang di tulis oleh salah satu anggota komunitas kali kening. Judul bukunya "Senja dan Burung-burung Pemakan Kenangan". Buku ini ditulis oleh Adib Riyanto, seorang lelaki yang meneladani Sujiwo Tejo dalam merenungkan siklus alam di penghujung hari ini.
Dalam pengantar bukunya, Mas Adib sendiri mengakui kalau dirinya adalah orang yang menyukai senja. Dari rasa suka dan perenungan tentang senja ini ia tuangkan dalam cerpen-cerpennya.
Cerita-cerita yang ditulis oleh Mas Adib ini cukup melankolis bagi saya, karena sudut ceritanya banyak mengambil kisah-kisah keseharian penduduk desa. Saya merasa diajak bernostalgia oleh penulis untuk melihat kembali masa kecil saya di desa.
Selain membicarakan tentang senja, penulis juga membumbui dengan kisah asmara sepasang muda-mudi yang juga menyertakan senja di dalamnya. Kalau saya tidak salah menduga bagi penulis senja adalah sebuah kenangan yang indah dan susah untuk dilupakan. Entah senja yang bagaimana yang pernah dilalui oleh si penulis ini.
Ada sebanyak 13 cerpen dalam buku Senja dan Burung-burung Pemakan Kenangan ini. Buku ini adalah buku perdana yang diterbitkan oleh penulisnya yang kemudian dilaunching dalam festival Kali Kening tahun 2017 bersama dengan 15 judul buku lainnya.
Saat saya melihat sampul buku yang berwarna biru tua bergambar seekor burung, yang berada di rak buku saya tadi siang, saya kemudian terbawa kenangan dan merindukan moment bersama komunitas kali kening yang merintis kebahagiaan dengan membaca dan menulis.
*Bangilan, di sudut kerinduan, 14 Juli 2019*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar