Senin, 15 Oktober 2018

Merayakan dan Merasakan Sastra Tuban Rasa Jogja


Merayakan dan Merasakan Sastra Tuban Rasa Jogja
Oleh: Joyo Juwoto


Sebenarnya saya sudah lumayan lama vacum dari menulis, setidaknya dapat dilihat di blog saya yang rata-rata tiap bulan di tahun 2018 ini tidak lebih dari sepuluh tulisan, tidak seperti di tahun sebelumnya. Namun karena saya rasa ini ada event penting yang harus saya ikat dalam monument-monumen kalimat, maka saya memaksakan diri untuk menulis. Walau dengan tersendat-sendat dan tertatih, saya berusaha menyelesaikan tulisan ini. Semoga tulisan yang saya buat dengan pemaksaan diri ini, bisa menjadi sebuah tugu peringatan yang bermanfaat bagi saya pribadi tentunya, maupun untuk hal lain jika ada.

Event penting yang saya maksudkan adalah Tuban Art Festival (TAF) yang ke-3, sebuah acara tahunan yang secara ramai-ramai diadakan oleh Dewan Kesenian Tuban (DKT). TAF sendiri sejatinya acaranya cukup banyak, diantaranya adalah festival seni lukis, festival teater, festival seni rakyat yang diadakan di Sukorejo Parengan, dan terbaru adalah festival seni sastra  yang baru saja dilaksanakan di tahun ini di resto Kono-Kene.

Saya secara pribadi tentu sangat senang, pada tahun ini seni sastra ikut serta ambil bagian meramaikan TAF ke-3 di bawah komando Bapak Djoko Wahono. Kerja kilat, cermat, nan hebat dari para panitia dan komisi sastra yang ada di komite DKT patut diacungi banyak jempol, walau resiko harus pinjam jempol tetangga. Di waktu yang cukup singkat panitia berhasil membuat acara dengan tema “Merayakan Sastra Tuban.” Ini adalah acara yang cukup unik dan langka, Tuban ternyata punya potensi menjadi ladang sastra, kebun kata, dan tentunya bisa menjadi bagian terpenting bagi perkembangan literasi nasional juga tentunya.

Hal ini terbukti makin hari geliat literasi di Bumi Wali begitu terasa dan terasah tajam. Banyak jawara-jawara menulis dari Tuban maupun dari luar kota Tuban yang menggerakkan penanya menuliskan dan mengabadikan apapun tentang kota Tuban dalam karya-karyanya. Kita patut bersyukur bibit-bibit muda penulis Tuban mulai bertunas segar, boleh saja orang bilang bahwa kiblat para penulis adalah kota Jogja, namun jangan pernah lupakan bahwa kota Tuban pun sedang merentangkan sayap untuk terbang ke angkasa sastra Nusantara.

Jika berbicara masalah sastra Tuban, Anda wajib ‘ain hukumnya mengenal orang-orang yang sedang saya bicarakan ini, orang-orang yang menggawangi perayaan sastra Tuban, orang yang mendedikasikan segala perhatiannya untuk sebuah ruang yang bernama sastra. Sekali lagi kayaknya saya harus pinjam jempol masyarakat Tuban untuk me-nge-like kerja dan pengabdian sastrawan Tuban ini.

Merayakan sastra Tuban yang diadakan hari Sabtu lalu (13/10/18) cukup istimewa, walau jauh saya berusaha untuk hadir, padahal saat itu saya sedang tidak enak badan, sangat tidak enak harus berkendara motor di aspal yang panas, menempuh jarak lebih dari 50 Km. Tapi sebagaimana pepatah, manis jangan langsung ditelan, pahit jangan langsung dimuntahkan, dalam kepahitan berkendara akhirnya saya dapat manisnya juga, setelah sampai di lokasi perayaan, bertemu dengan orang-orang yang cakep dan manis-manis, ada orang Tuban rasa Jogja, orang Rembang Rasa Tuban, dan orang-orang lainnya yang berasa luar biasa. Sungguh tidak sia-sia saya merelakan diri berkendara seorang diri.



Acara dalam Perayaan Sastra Tuban terbagi menjadi dua session, pertama bedah buku oleh dua penulis muda berbakat, Daruz Armedian dan Umar Afiq. Kedua, launcing buku para penulis Tuban yang tergabung dalam antologi cerpen dan puisi. Saya dengan penuh khidmad dan seksama dalam tempo yang cukup lama mengikuti acara yang dipandu oleh Mbak Hiday Nur yang juga seorang penulis Tuban.

Saya merasa dua anak muda ini cukup keren, satunya dari Tuban, Mas Daruz yang sedang beruzlah ke kota Jogja, dan yang kedua Kisanak Umar dari Rembang yang justru mengembangkan bakat  menulisnya di kotanya Kanjeng Sunan Bonang. Mas Daruz ini penulis berbakat kelahiran Medalem, Senori, Tuban yang sudah banyak malang melintang di dunia sastra di Jogja, aroma gudeg Jogja, eh, maksudnya sastra Jogja di bawa sampai di dapur Perayaan Sastra Tuban yang kemudian disajikan di atas meja bedah buku yang ditulisnya sendiri. Judulnya ngeri, “Dari Batu Jatuh Samai Pelabuhan Rubuh” buku ini berisi puisi yang menceritakan lokalitas Tuban. Sedang Mas Umar Affiq membedah kumpulan cerpennya yang berjudul “Di Surga Kita Dilarang Bersedih” buku ini tentu cakep kayak penulisnya. Dan saya tidak akan mengomentari penulis yang satu ini, karena saya tidak mau melangkahi manajernya.

Setelah bedah buku, acara dilanjutkan istirahat, makan, ngobrol santai, kemudian sholat bagi yang tidak berhalangan. Kemudian sesi kedua Perayaan Sastra Tuban diisi dengan launcing dua buku karya para penulis Tuban. Buku tersebut berjudul "Kitab Pangeran Bonang dan "Setelah Arus Tak Mungkin Berbalik." Di sesi ini, para kurator, editor, penanggung jawab naskah, dan bagian penerbitan buku menceritakan hal ihwal mulai titik nol hingga akhirnya menjadi sebuah karya bersama. Ini adalah perjuangan yang cukup luar biasa, saya pribadi tentu sangat berterima kasih kepada para bagian di sini yang menyertakan tulisan saya di antologi bersama penulis Tuban.

Semoga tahun depan event Perayaan Sastra Tuban ini bisa dilangsungkan kembali dan tentu dengan format yang lebih progress serta jangkauan yang skalanya lebih luas lagi, agar gaung sastra Tuban berasa Jogja untuk kita rayakan kembali bersama.

1 komentar: