Merayakan dan
Merasakan Sastra Tuban Rasa Jogja
Oleh: Joyo
Juwoto
Sebenarnya saya sudah
lumayan lama vacum dari menulis, setidaknya dapat dilihat di blog saya yang
rata-rata tiap bulan di tahun 2018 ini tidak lebih dari sepuluh tulisan, tidak
seperti di tahun sebelumnya. Namun karena saya rasa ini ada event penting yang
harus saya ikat dalam monument-monumen kalimat, maka saya memaksakan diri untuk
menulis. Walau dengan tersendat-sendat dan tertatih, saya berusaha
menyelesaikan tulisan ini. Semoga tulisan yang saya buat dengan pemaksaan diri
ini, bisa menjadi sebuah tugu peringatan yang bermanfaat bagi saya pribadi
tentunya, maupun untuk hal lain jika ada.
Event penting yang
saya maksudkan adalah Tuban Art Festival (TAF) yang ke-3, sebuah acara tahunan yang
secara ramai-ramai diadakan oleh Dewan Kesenian Tuban (DKT). TAF sendiri sejatinya
acaranya cukup banyak, diantaranya adalah festival seni lukis, festival teater,
festival seni rakyat yang diadakan di Sukorejo Parengan, dan terbaru adalah
festival seni sastra yang baru saja
dilaksanakan di tahun ini di resto Kono-Kene.
Saya secara pribadi
tentu sangat senang, pada tahun ini seni sastra ikut serta ambil bagian meramaikan
TAF ke-3 di bawah komando Bapak Djoko Wahono. Kerja kilat, cermat, nan hebat
dari para panitia dan komisi sastra yang ada di komite DKT patut diacungi banyak
jempol, walau resiko harus pinjam jempol tetangga. Di waktu yang cukup singkat
panitia berhasil membuat acara dengan tema “Merayakan Sastra Tuban.” Ini
adalah acara yang cukup unik dan langka, Tuban ternyata punya potensi menjadi ladang
sastra, kebun kata, dan tentunya bisa menjadi bagian terpenting bagi
perkembangan literasi nasional juga tentunya.
Hal ini terbukti
makin hari geliat literasi di Bumi Wali begitu terasa dan terasah tajam. Banyak
jawara-jawara menulis dari Tuban maupun dari luar kota Tuban yang menggerakkan
penanya menuliskan dan mengabadikan apapun tentang kota Tuban dalam
karya-karyanya. Kita patut bersyukur bibit-bibit muda penulis Tuban mulai
bertunas segar, boleh saja orang bilang bahwa kiblat para penulis adalah kota
Jogja, namun jangan pernah lupakan bahwa kota Tuban pun sedang merentangkan
sayap untuk terbang ke angkasa sastra Nusantara.
Jika berbicara
masalah sastra Tuban, Anda wajib ‘ain hukumnya mengenal orang-orang yang sedang
saya bicarakan ini, orang-orang yang menggawangi perayaan sastra Tuban, orang
yang mendedikasikan segala perhatiannya untuk sebuah ruang yang bernama sastra.
Sekali lagi kayaknya saya harus pinjam jempol masyarakat Tuban untuk me-nge-like
kerja dan pengabdian sastrawan Tuban ini.
Merayakan sastra
Tuban yang diadakan hari Sabtu lalu (13/10/18) cukup istimewa, walau jauh saya
berusaha untuk hadir, padahal saat itu saya sedang tidak enak badan, sangat
tidak enak harus berkendara motor di aspal yang panas, menempuh jarak lebih
dari 50 Km. Tapi sebagaimana pepatah, manis jangan langsung ditelan, pahit
jangan langsung dimuntahkan, dalam kepahitan berkendara akhirnya saya dapat
manisnya juga, setelah sampai di lokasi perayaan, bertemu dengan orang-orang yang
cakep dan manis-manis, ada orang Tuban rasa Jogja, orang Rembang Rasa Tuban,
dan orang-orang lainnya yang berasa luar biasa. Sungguh tidak sia-sia saya
merelakan diri berkendara seorang diri.
Acara dalam Perayaan
Sastra Tuban terbagi menjadi dua session, pertama bedah buku oleh dua penulis
muda berbakat, Daruz Armedian dan Umar Afiq. Kedua, launcing buku para penulis
Tuban yang tergabung dalam antologi cerpen dan puisi. Saya dengan penuh khidmad
dan seksama dalam tempo yang cukup lama mengikuti acara yang dipandu oleh Mbak
Hiday Nur yang juga seorang penulis Tuban.
Saya merasa dua anak
muda ini cukup keren, satunya dari Tuban, Mas Daruz yang sedang beruzlah ke kota
Jogja, dan yang kedua Kisanak Umar dari Rembang yang justru mengembangkan bakat
menulisnya di kotanya Kanjeng Sunan Bonang.
Mas Daruz ini penulis berbakat kelahiran Medalem, Senori, Tuban yang sudah
banyak malang melintang di dunia sastra di Jogja, aroma gudeg Jogja, eh,
maksudnya sastra Jogja di bawa sampai di dapur Perayaan Sastra Tuban yang
kemudian disajikan di atas meja bedah buku yang ditulisnya sendiri. Judulnya
ngeri, “Dari Batu Jatuh Samai Pelabuhan Rubuh” buku ini berisi puisi yang
menceritakan lokalitas Tuban. Sedang Mas Umar Affiq membedah kumpulan cerpennya
yang berjudul “Di Surga Kita Dilarang Bersedih” buku ini tentu cakep kayak
penulisnya. Dan saya tidak akan mengomentari penulis yang satu ini, karena saya
tidak mau melangkahi manajernya.
Setelah bedah buku,
acara dilanjutkan istirahat, makan, ngobrol santai, kemudian sholat bagi yang
tidak berhalangan. Kemudian sesi kedua Perayaan Sastra Tuban diisi dengan
launcing dua buku karya para penulis Tuban. Buku tersebut berjudul "Kitab Pangeran Bonang dan "Setelah Arus Tak Mungkin Berbalik." Di sesi ini, para kurator, editor,
penanggung jawab naskah, dan bagian penerbitan buku menceritakan hal ihwal
mulai titik nol hingga akhirnya menjadi sebuah karya bersama. Ini adalah
perjuangan yang cukup luar biasa, saya pribadi tentu sangat berterima kasih
kepada para bagian di sini yang menyertakan tulisan saya di antologi bersama
penulis Tuban.
Semoga tahun depan
event Perayaan Sastra Tuban ini bisa dilangsungkan kembali dan tentu dengan
format yang lebih progress serta jangkauan yang skalanya lebih luas lagi, agar
gaung sastra Tuban berasa Jogja untuk kita rayakan kembali bersama.
Keren Mbah,
BalasHapus