*Genthilut*
Oleh: Joyo Juwoto
Entah nama makanan tradisional dari ketela pohon (menyok) ini ada dalam KBBI atau tidak, saya sendiri belum pernah mengeceknya, namun yang pasti genthilut adalah salah satu makanan khas dari ketela pohon yang cukup familiar menjadi camilan masyarakat yang ada di desa saya.
Membahas makanan tradisional di Nusantara, khususnya Jawa memang tidak pernah ada habisnya. Berbagai ragam makanan ataupun jajanan tradisional sangat banyak sekali, bisa dikatakan Nusantara adalah surganya kuliner dunia. Dari satu bahan saja bisa menghasilkan beraneka ragam makanan yang bisa kita nikmati.
Hal ini tentu tidak terlepas dari kreativitas dan daya cipta masyarakat dalam mewujudkan wisdom lokal yang berkaitan dengan kuliner Nusantara. Kebudayaan berkuliner masyarakat kita sangatlah kreatif, inovatif, dan beragama, hal ini merupakan kekayaan budaya yang harus kita syukuri dan kita lestarikan bersama. Sayangnya kekayaan lokal kita semakin hari semakin menipis, terkikis oleh era globalisasi dan modernisasi yang mengangkangi negeri ini.
Seperti yang saya bahas di depan, bahwa genthilut mungkin sudah sangat asing di telinga anak-anak kita, dan kita sebagai orang tua juga tidak merasa memiliki tanggung jawab untuk memperkenalkan genthilut kepada anak cucu kita.
Hari ini kita lebih merasa bangga jika mengajak dinner keluarga di restoran mahal, hari ini kita merasa bergengsi jika pulang ke rumah dengan membawa oleh-oleh kentacky, pizza hut, dan apapun yang berbau barat. Seakan praduk Barat adalah jaminan modernitas dan kegagahan.
Jadi jangan melulu menyalahkan keadaan jika dari hal yang terkecil mulai hilang dan langka dari peradaban kita, jangan heran jika anak cucu kita tidak mengenal pohon silsilah, buyut, canggih, wareng, udeg-udeg siwur dan sebagainya, karena kita ikut serta menjadi aktor melemahnya karakteristik budaya bangsa.
Ah, mungkin rasa-rasanya terlalu berlebihan dan lebay jika saya menghubungkan genthilut dengan peradaban bangsa, toh genthilut hanyalah salah satu produk olahan ketela pohon yang menjadi soko guru ketahanan pangan Nusantara.
Ketela pohon bisa bertahan berbulan-bulan dengan cara dikeringkan dan tetap bisa diolah menjadi makanan khas yang luar biasa enaknya, sebut saja ketiwul. Selain itu biasanya ketela juga dibiarkan kering bahkan hingga membusuk di atas genting rumah penduduk, kelak saat musim hujan tiba, ketela itu akan menjelma juga menjadi makanan khas yang lain lagi nama dan rasanya, walau sama-sama dari ketela. Gatot, namanya.
Dan masih banyak lagi peradaban ketela yang dimiliki oleh bangsa kita, belum peradaban-peradaban lainnya. Begitulah kehebatan, kreativitas dan daya tahan masyarakat kita dalam hal pangan, mereka tidak pernah ambil pusing dengan yang namanya dolar naik ataupun perekonomian global yang sekarat, karena pada dasarnya ekonomi kita adalah ekonomi kerakyatan yang ditopang oleh perketelaan yang beraneka ragam. Tinggal pintar-pintar kita dalam mengolahnya.
*Joyo Juwoto, penulis adalah santri Ponpes ASSALAM, tinggal di Bangilan Tuban.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar