“Press”
Tak Perlu Dibungkam, Ia Sudah Lebih Dahulu Bisu
Oleh
: Joyo Juwoto
Saya
bukanlah orang press kecuali wajah saya yang memang agak ngepress atau lebih
tepatnya berwajah pas-pasan. Jika saya
menulis judul yang mungkin dirasa
membuat gigi senut-senut, rahang terkatup kuat, gigi menggigit gregetan
yang disertai dengan dada sesak dan degup jantung yang kencang saya mohon maaf.
Saya sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan perbuatan pelakoran atau
tikung menikung di tempat yang tidak tepat. Saya hanya ingin menulis sesuka
saya tanpa ada beban dan tendensi yang tidak baik. Saya hanya ingin menulis itu
saja, tidak lebih tidak kurang.
Kebetulan
malam ahad yang menjadi malam jahanam bagi para jomblo yang tidak dirindukan,
entah kenapa pikiran saya yang memang sedang kosong melompong ini ingin membual
sejadi-jadinya. Ya pokoknya jari tangan saya yang menggerakkan pikiran, atau
pikiran saya yang menggerakkan jari tangan. Ah entahlah mana yang benar, saya
tentu tidak ingin membahas hal remeh tersebut panjang lebar.
Jika
Pak Sena Gumira Aji Darma pernah mengatakan, “Ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara” saya geser sedikit
kalimatnya menjadi “Ketika press dibungkam, sastra
harus berbicara”. Saya
terus terang tidak ngonangi di mana press benar-benar dibungkam dan sama sekali
tidak dapat berteriak. Jikalau ngonangi masa press dibungkam, mungkin ya masa di mana saya masih
kecil dan tidak mengerti
dengan yang namanya peristiwa agung bungkam membungkam ini.
Menarik
senada apa yang dikatakan
oleh Pak Sena bahwa press ternyata pernah punya taji yang mengorek-korek
borok-borok kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga karena ulah usilnya ini, press harus
dibungkam oleh tangan-tangan
yang berkepentingan agar diam dan tidak banyak bicara yang bukan-bukan. Lha
wong masalah bukan-bukan saja kok harus dipresskan, apa tidak lebih baik diam
saja.
Jika melihat fenomena hari ini, baik itu press
televisi, koran, press internet maupun press-press yang lain kayaknya tidak
perlu dibungkam. Kan bingung mau dibungkam apanya, mulut saja tidak punya, mana
yang harus dibungkam memang. lucu bukan? Kalaupun punya mulut press sekarang
lebih menjelma menjadi sosok nyanyi sunyi seorang bisu. Ealah, apalagi ini,
nyanyi kok sunyi dan parahnya bisu lagi.
Jadi
sekarang ini press tak perlu dibungkam, karena ia sudah lebih dahulu bisu dalam menyuarakan realisme
sosial yang sebenar-benarnya dan setepat-tepatnya tanpa tendensi apapun kecuali
karena nilai-nilai kemanusiaan yang telah kehilangan rasa manusiawinya. Walau tentu press yang bisu nanti akan disebut
sebagai oknum dan tidak semua press seperti itu. Saya juga tidak mengingkari
jika ada press yang memang masih memegang teguh kode etik dan undang-undang
press tentunya.
Saya
nulis ini karena kemarin adalah hari press, hari ulang tahunnya, hari
peringatannya, eh kenapa bukannya mengucapkan selamat dan membawakan setumpuk
hadiah dan tumpeng segunung Lawu kok malah melakukan pelakoran terhadap makhluk
yang bernama press. Saya perlu meminta maaf ditulisan ini jika pena saya
melukai. Tapi yakinlah luka yang saya goreskan ini ibarat tukang sunat yang
memotong daging yang tak berguna bagi remaja tanggung. Sesudah disunat tentu
tak perlu dipertanyakan lagi mengenai kedewasaan dari remaja tadi.
Saya
menulis ini bukan sebuah protes atau sebuah penuntutan yang harus dipenuhi oleh
pihak-pihak tertentu dan oleh siapapunda juga. Seperti yang saya tuliskan di
depan mungkin ini efek dari pikiran kosong dan malam ahad yang tidak dirindukan
oleh para pasukan jomblo keluharan. Ya itu saja tidak lebih tidak kurang.
Jadi
ya sudah tidak perlu diperpanjang lagi tulisan ini dan akhirnya saya mohon maaf
yang sebesar-besarnya jika ada hal yang kurang berkenan, dan tentunya saya
ucapkan terima kasih serta saya ucapkan selamat hari press nasional semoga
press semakin di depan dalam menyuarakan bahasa kemanusiaan yang adil dan beradab
sesuai dengan sila pancasila yang kita yakini bersama. Salam press, salam
merdeka.
😷😀
BalasHapus