Legenda Gunung Pegat
Pada zaman kejayaan
Kerajaan Majapahit, ada seorang Prawira sandi yang menikahi putri cantik yang
bernama Ledung Sari. Sang Putri mempunyai permintaan jika mereka kelak jadi
menikah ia ingin agar keduanya hidup dan membangun rumah tangga di pelosok
pedesaan yang jauh dari hiruk-pikuk urusan perpolitikan. Permintaan sang putri
Ledung Sari dikabulkan oleh Wira Sandi, namun Majapahit masih berharap walau ia
jauh dari kerajaan Wira Sandi masih bisa menyempatkan diri untuk membantu dan
memikirkan urusan kerajaan serta berbakti kepada Sang Prabu Raden Wijaya.
Setelah keduanya menikah,
sepasang pengantin yang laki-laki ibarat Batara Kamajaya sedang yang perempuan
bak Dewi Ratih lambang kecantikan dewa-dewi kayangan ini bermukim jauh dari
kotaraja. Mereka berdua memilih lereng gunung Pucuk Wangi bagian selatan
sebagai tempat membangun biduk rumah tangga, kearah barat daya dari pusat
pemerintahan Majapahit. Kehidupan mereka berdua dihiasi warna-warni pelangi
kebahagiaan, bahagia apa adanya, bahagia dengan alam yang telah dianugerahkan
Tuhan kepada mereka. Tanah yang subur, air yang jernih mengalir, dan
hewan-hewan liar yang mencukupi kebutuhan hidup, bukan keserakahan dan nafsu
tamak yang menghancurkan. harta benda bukan menjadi ukuran kebahagiaan, derajat
serta pangkat tak lagi membius ambisi sepasang pengantin surga itu.
Dalam dagrasi kuning senja,
puncak gunung Pucuk Wangi kelihatan cerah, udara sepoi-sepoi menyegarkan,
saat itu Ledung Sari sedang berada di rumah berhias menunggu sang suami pulang
dari sawah. Setelah matahari hampir tenggelam Wira Sandi datang dari pintu
depan. Ledung Sari menyambut kedatangan suaminya dengan wajah yang cerah sambil
menyapa, suaranya halus merdu bagai dewi Wara Sembadra, “Monggo
langsung siram Kang Mas, meniko agemanipun gantos” ujar Ledung Sari
sambil menyodorkan pakaian ganti untuk suami. “Ee lha dalah awak lungkrah
sido dadi bungah, ngene iki diajeng” sambut Wira Sandi membalas
ucapan istrinya.
“Lha kenging nopo toh
Kang mas ?”
“Ya mergo awakmu cah ayu,
kang dadi pepujaning atiku, Sedino ra ketemu prasasat kadya sewindu” sambung Wira Sandi sambil
mencubit dagu sang istri.
Sambil tersipu malu
Ledungsari menuju dapur, mempersiapkan makan malam buat suaminya yang seharian
bekerja disawah.
Begitulah hari-hari
kebagiaan sepasang suami istri yang hidup dalam kesederhanaan, makan dari apa
yang ditanam, minum dari air sumber yang banyak terdapat di dekat tempat mereka
tinggal, kehidupan yang penuh dengan harmoni dan cinta antara makhluk Tuhan.
Sejenak kita tinggalkan
lokasi tempat tinggal Wira Sandi dan istrrinya. Gunung Pucuk Wangi ternyata
tidak hanya dihuni oleh manusia saja, namun disitu hidup juga beragam hewan
bahkan juga bangsa lelembut atau siluman. Di puncak gunung Pucuk Wangi tepatnya
di dalam gua hiduplah sepasang naga siluman. Namanya Naga Diahulu. Wujudnya
seperti hewan ular dalam mitologi Cina namun berkepala dua. Satu di depan dan
satunya lagi dibagian ekornya. Naga Diahulu mempunyai dua sifat, yang bagian
kepala agak tumpul warna hitam putih memiliki sifat naga perempuan. Ia sering
disebut sebagai naga Wiling, sedang yang bagian ekor kepalanya agak lonjong
dikenal dengan nama naga Wilang dan ia bersifat sebagai naga jantan. Walau naga
Diahulu memiliki mulut selebar pintu kandang ternak, namun mangsa naga ini
adalah embrio dari janin (bakalan nyawa) seperti telur, janin, dan makhluk
hidup yang masih berupa embrio. Naga Diahulu paling senang memangsa bakal
jabang bayi manusia yang masih dalam rahim sang ibu.
Kembali ke setting dimana
dua sejoli Wira Sandi dan Ledung Sari tinggal, ada siang ada malam dan waktu
pun terus berjalan hingga suatu saat keluarga kecil itu kehabisan bahan makanan
yang menghajatkan untuk pergi ke pasar. Babat adalah tempat terdekat yang
menjadi tujuan mereka untuk berbelanja. Selain itu telah lama juga mereka tidak
melihat keramaian manusia yang saling berinteraksi di tempat yang mempertemukan
segala macam dan model manusia. Di tempat itu berbagai barang keperluan pun tersedia, garam dari laut, asam dari gunung, perkakas-perkakas rumah tangga dari kota semua tumplek blek di tempat yang disebut pasar.
Setelah selesai berbelanja Wira Sandi mengajak istrinya untuk sarapan pagi disebuah
warung makan.
“Diajeng ayo sarapan
dhisik”
Mereka berdua masuk
disebuah warung yang agak luas. Penjualnya seorang perempuan paruh baya,
kulitnya hitam manis, wajah sumringah, grapyak semanak mempersilahkan Wira
Sandi untuk mencicipi menu yang telah disediakan.
”Monggo pinarak….. ingkang
sekeco, ngersakne nopo toh mas ?” sambut si pemilik warung.
“Sarapan mbak Yu” jawab
Wira Sandi pendek.
“Dahar ngagem lawuh menopo
? meniko wonten dendeng banteng, ugi urang watang, meniko jangan lodeh sambel
jeruk purut” ujar perempuan itu menawarkan aneka masakan yang ada diwarungnya.
Di pojok ruangan warung,
terlihat tiga orang laki-laki berwajah sangar berpakaian hitam-hitam, berkumis
lebat memperhatikan Wira Sandi dan istrinya. Namun Wira Sandi tidak begitu
memperhatikan. Setelah selesai makan Wira Sandi membayar kepada pemilik warung.
Setelah selesai membayar Wira Sandi dan istrinya bergegas pulang, Wira Sandi
memanggul belanja, sedang Ledung Sari berjalan di sampingnya. Mereka berdua
berjalan lambat karena medannya yang menanjak. Siang itu langit tampak gelap,
mendung hitam bergulung-gulung, di sudut-sudut cakrawala petir berkilat
menyambar, tanda hujan akan segera turun. Wira Sandi kemudiaan berjongkok ke
tanah dan mengambil sebongkah kecil tanah liat yang kering (brogalan) kemudian
mengheningkan cipta memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
“Ojo pati ceblok banyu udan sakdurunge lemah sing tak gegem ceblok ning bumi pertiwi”
“Ojo pati ceblok banyu udan sakdurunge lemah sing tak gegem ceblok ning bumi pertiwi”
Tiba-tiba disebuah tikungan jalan yang sepi, melompatlah tiga
orang berwajah sangar menghadang jalannya Wira sandi. “Heh ! mandek bondho
opo nyawa ?” bentak salah seorang dari manusia asing itu. Ledung sari kaget dan
merangkul suaminya. “Kakang…kakang aku wedi !!!”
Wira sandi segera tanggap
bahwa ia sedang berhadapan dengan orang-orang yang bermaksud jahat.
Tiga orang berpenampilan sangar itu tertawa terbahak-bahak
meledek Wira sandi.
“Hai ! tadi kau di pasar belum membayar !“
“Lha sudah kan, tadi saya mendapatkan uang kembali dari
penjualnya” bela Wira Sandi
“Itu tadi kan membayar nasi, ini urusan pajak “
“Pajak Apa itu “ lanjut Wira Sandi heran.
“Ini urusan pajak belanja, pajak buat Negara”
“Sebentar-sebentar, Ki sanak ini siapa memang ?” Tanya Wira
sandi
“Ha..ha..ha, ketahuilah, bahwa saya ini adalah pejabat Negara,
sudah segera bayar, sebelum saya hukum kamu”.
Wira sandi bukan anak kemarin sore yang gentar akan
gertakan, ia dengan tenang membalas ancaman itu dengan kata-kata ejekan.
“Lha ! Pejabat Negara
kok mengakali rakyat kecil, ohh…dasar kalian adalah manusia-manusia hina”.
Baru dengar legenda yang satu ini, padahal cukup menarik sebagai cerita rakyat. Mungkin di daerah lain juga masih banyak legenda-legenda yang belum terekspos.
BalasHapusMaaf, agak kurang ngerti yang bagian dialognya, mohon ditranslete
Dialognya Itu bahasa jawa
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus