Gambaran indah tentang kemerdekaan, pernah singgah di pelupuk mata KH. Abdul Muchith Muzadi saat dirinya ikut berjuang melawan penjajah. Saat itu, pria yang terlahir di Bangilan Tuban 19 Jumadil Awal 1344H / 4 Desember 1925 M ini, tidak hanya berperang melawan Belanda, namun juga Jepang. Tapi seketika bayangan itu sirna, tatkala melihat barisan generasi muda bangsa saat ini, telah gagap mengeja kata kemerdekaan.
Dengan serta merta, pemuda yang tak ikut berperang ini, salah dalam mengartikan makna kemerdekaan menjadi sebuah kebebasan tak berujung.Guratan kesedihan, jelas tergambar pada raut muka kakak kandung KH. A. Hasyim Muzadi ini. Kepedihan itu kian tampak, tatkala mBah Muchith – demikian ia karib dipanggil – menuturkan kisah perjuangannya dalam drama penjajahan yang pernah dialami bangsa ini.
Masa penjajahan, kenangnya, merupa-kan saat-saat yang sungguh mempri-hatinkan. Betapa kondisi sosial ekonomi bangsa waktu itu masih rendah. “Jangankan mobil, punya sepeda pancal (sepeda angin) saja langka,” tutur pria yang pernah mondok di Pondok Kulonbanon Kajen Pati, asuhan KH Nawawi ini. Saat itu, lanjutnya, masih banyak yang terheran-heran ketika melihat orang lain mengendarai sepeda pancal. “Kok tidak roboh ke samping. Padahal rodanya kan hanya ada di depan dan belakang,” seloroh Kyai yang pernah nyantri di KH Salam (ayah KH Mahfudh Kajen Pati) ini sambil senyum dikulum.
Masyarakat tempo itu, ujarnya, masih sangatlah lugu dan belum mengenal teknologi. Mereka takjub ketika melihat mobil bisa melaju kencang tanpa ada kuda yang menariknya. “Tidak makan rumput lagi,” tukas suami Siti Farida ini terkekeh-kekeh sambil membetulkan letak kacamatanya. Bahkan, biasanya mereka juga akan mengamati dua buah garis memanjang di atas tanah bekas pijakan roda. Betapa pun jauhnya. Sedangkan asap yang ditinggalkan, diciumnya dalam-dalam sambil memejamkan mata.
Beruntung, dirinya dilahirkan dari keluarga yang tergolong mampu dan terpandang. Pak Muzadi, ayahnya, merupakan pedagang tembakau sukses. Hobi memelihara dan jual beli burung perkutut. Akalnya cerdik dan berpandangan jauh ke depan, serta memiliki etos kerja yang tinggi. Sedangkan Rumyati, ibunya, lebih banyak berada di rumah dengan membuat jajanan sambil mengasuh anak-anaknya. Meski demikian, ibunya merupakan sosok yang istimewa bagi mBah Muchith. Ia mengaku, meski tak mengerti dunia luar, tapi seringkali omongan ibunya cocok dan doanya sangat manjur.
Dari ibunya pula, Abdul Muchith bisa membaca al-Qur’an. Selain itu, sang ibu juga mengajarkan pelajaran lain yang bersifat dasar. Untuk menambah wawasan keagamaan, ayah sembilan anak ini lantas mengaji kitab-kitab kecil pada Kyai Ridwan, kyai terkemuka di kampung Bangilan, yang juga masih kerabatnya. Anak pertama dari sembilan bersaudara ini juga nyantri di pesantren Tebuireng Jombang untuk beberapa tahun.
Keaktifan Abdul Muchith di dunia pergerakan dan pendidikan, ia jalani sepulang dari pondok asuhan KH. Hasyim Asy’ari ini. Saat Jepang datang menjajah Indonesia, bersama teman-temannya dia mendirikan koperasi desa dengan nama Tokoku (Ku dalam Bahasa Jepang artinya desa), sekaligus menjadi sekretarisnya selama dua tahun, 1942-1944. Barangkali karena memiliki aliran darah pedagang, menjadikan Abdul Muchith betah beraktivitas di dalamnya.
Ketika Cabang Suisintai “Barisan Pelopor” didirikan di Bangilan, dia ikut aktif di organisasi ini. Suisintai merupakan sebuah organisasi yang berdiri atas inisiatif Bung Karno guna mempersiapkan para pemuda menuju kemerdekaan. Sedangkan kelompok yang lain seperti Fujinkai (untuk para kaum perempuan), Seinendan (untuk para pelajar), Keibodan (untuk kaum pemuda kampung) dan Heiho didirikan oleh Dai Nippon untuk menyongsong Perang Asia Timur Raya.
Suisintai selanjutnya lebih banyak menekankan pada penguatan jiwa nasionalisme. Sementara organisasi yang lain, jiwa pemerintahannya yang lebih kental. “Oleh karena itulah, Suisintai tidak disukai Jepang,” katanya. Jepang, terang mBah Muchith, sebenarnya tidak hanya bermaksud menjajah ekonomi, tapi lebih dari itu. Negeri Matahari itu ingin memasukkan nilai-nilai leluhurnya ke dalam bangsa Indonesia. “Ngakunya sebagai saudara tua Indonesia yang ingin membebaskan kita dari penjajah, tapi tidak tahunnya malah mereka sendiri yang ingin menjajah kita,” tuturnya kesal. “Setidaknya ada tiga jalan yang bisa dilihat dari program itu dengan mudah: bahasa, budaya dan politik,” tambahnya menegaskan.
Setiap guru Sekolah Rakyat waktu itu, paparnya, wajib mengikuti kursus Bahasa Jepang. Nama-nama tempat juga harus di-Jepang-kan. Mereka juga memaksakan kebudayaan Jepang untuk wajib diikuti dan dijalankan orang-orang kita, meski telah banyak yang menolak. “Di antara budaya Jepang yang paling banyak menimbulkan pertentangan dari ulama Indonesia adalah Saekerei,” tukasnya.
Abdul Muchith juga langsung bergabung dengan Hizbullah ketika laskar itu mendirikan cabangnya di daerah Bangilan. Sayang dia tidak bisa mengikuti latihan perwira Hizbullah angkatan pertama di Cibarusa, karena tidak diizinkan orang tuanya. Ia bergabung dengan Hizbullah ketika para alumni pendidikan angkatan pertama itu membentuk Hizbullah di daerah masing-masing. Dirinya bergabung ke dalam Hizbullah setelah setahun berada dalam Suisintai. Di Hizbullah, selain dilatih kemiliteran, ia juga diberi bekal pendidikan kerohanian oleh para ulama.
Kyai Muchith, lantas ditunjuk sebagai Komandan Kompi Hizbullah, tatakala tiga Seksi Hizbullah (Bangilan, Senori dan Singgahan) disederhanakan menjadi satu Kompi Bangilan. Sementara markas utama Batalyon masih tetap di Bojonegoro, dengan Komandan Batalyon Kapten H Romli.
Dengan membawahi 60 orang anak buah, Abdul Muchith bermarkas di rumah Basyar, salah seorang pamannya. Setiap hari Abdul Muchith harus menjalani kehidupan dengan disiplin tentara. Setiap pagi berdinas di markas mengawasi anak buah. Usai Dzuhur dia pulang untuk mengajar di madrasah yang didirikannya bersama masyarakat. Ketika hari mula beranjak malam – dengan menenteng pistol di pinggang – dirinya jalan-jalan ke stasiun untuk melihat situasi. Itu sudah menjadi salah satu kebiasaannya. Termasuk ketika mengajar di sekolah.
Abdul Muchith pun pernah turut bergabung dengan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia), ketika masa-masa awal kemerdekaan tahun 1945. Juga pernah bergabung dengan pasukan Mujahidin. Beberapa kali dirinya ikut bergerilya melawan penjajah Belanda di wilayah Teritorial Troep Komando Distrik Militer Tuban.
Namun ketika ada rasionalisasi Hizbullah ke dalam TNI, 1947, Abdul Muchith tidak masuk ke dalamnya. Karena dia merasa, jiwanya memang bukan jiwa tentara. Dirinya juga pernah masuk TKR, tapi hanya betah selama tiga hari. Ia memilih pulang, karena merasa tidak mempunyai watak sebagai tentara. “Saya memilih kembali sebagai guru,” ujarnya.
Meski perjuangan dalam merebut kemerdekaan telah berhasil, tapi ada yang mengganjal di hati mBah Muchit. “Saya sedih dengan jiwa nasionalisme generasi sekarang,” ujarnya lirih. Pemuda sekarang, kata mBah Muchith, memang lebih unggul di bidang intelektual maupun ekonomi. Namun jika dilihat dari segi akhlak dan sifat nasionalismenya, sungguh sangat memprihatinkan. Sungguh berbeda dengan zaman dulu.
Walau hidup dalam himpitan kemiskinan dan berpengetahuan rendah, kenangnya, ternyata tak pernah menyurutkan langkah perjuangan arek-arek negeri ini kala itu. Dengan api semangat yang terus berkobar, mereka membentuk wadah perjuangan. Mereka tidak hanya mengorbankan harta dan tenaga, tapi juga nyawa. “Merdeka atau Mati”, itulah semboyannya. Mereka bahu membahu, bergotong royong dan berjuang tanpa kenal lelah.
Saat penjajah menggempur kota, lanjutnya, para penduduk kota banyak yang mengungsi ke desa-desa. Di sana, mereka disambut dan diperlakukan sebagai saudara oleh orang kampung. Tidak hanya tempat tinggal, tapi juga makanan dan kebutuhan hidup lainnya dicukupi. “Satu rasa, satu jiwa. Senasib sepenanggungan. Semua beban dipikul bersama. Bahkan mereka lebih mementingkan orang lain dan mengorbankan kebutuhan dirinya sendiri,” tuturnya mBah Muchith. “Nilai-nilai perjuangan itulah yang kini mulai menghilang di hati generasi muda kita. Mereka telah lupa akan nilai sejarah perjuangan tempo dulu,” ujarnya bersedih.
Globalisasi, diakuinya, telah menggerus watak kepribadian pemuda bangsa. Akibatnya, banyak nilai-nilai bangsa yang luntur. Semangat gotong royong, kini telah digantikan dengan pribadi-pribadi sunyi yang individualis. Oleh karena itulah, sebagai sosok Kyai, Pejuang dan guru, ia ingin agar semangat perjuangan perlu dikobarkan lagi. Kyai Muchith mengingatkan, bahwa generasi saat ini sedang lengah. Hal ini dikarenakan musuh yang dihadapi saat ini tidak lah nyata seperti waktu zaman penjajahan. “Mari kita renungi kembali bagaimana pejuang dulu berjuang dalam keadaan yang serba kekurangan. Lantas kita serap kembali makna perjuangan dan kemerdekaan sesuai dengan tujuannya yang murni,” tuturnya. “Ingatlah, bahwa huruf K dalam NKRI itu mempunyai makna Kesatuan. Itulah yang diinginkan para pejuang kemerdekaan. Bukan Serikat, maupun yang lain,” tandasnya. Dedy Kurniawan. http://ruangbening.wordpress.com/2010/01/17/kh-abdul-muchith-muzadi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar