Perbukitan kapur utara atau gugusan pegunungan kendeng membentang luas di wilayah Tuban bagian selatan, hal ini menjadi berkah sekaligus musibah bagi masyarakatnya. Berkah karena bebatuan karst ini menjadi lumbung uang bagi masyarakat sekitar dan musibah karena efek yang ditimbulkan oleh penambangan tersebut. Sumber-sumber air akan menipis dan kerusakan alam baik flora maupun fauna tentu tak terelakkan lagi.
Sebagaimana yang kemarin saya lihat ketika jalan-jalan ke pesanggrahan Gembul, sepanjang perjalanan di kiri kanan jalan batu-batuan putih itu digali dan digergaji untuk memenuhi tuntutan anak istri. Yah !.. saya kira tidak bijak jika kerusakan alam ini hanya sekedar dibebankan kepada para pekerja itu, mereka punya kuwajiban untuk hidup lebih baik seperti layaknya manusia lainnya tentunya. Ke Pesanggrahan Gembul yang konon menjadi tempat bersejarah bagi awal perkembangan Islam, karena di tempat ini kabarnya menjadi markas penting para Wali Songo untuk berkumpul membahas masalah dakwah di tlatah Jawa. Namun sayang saat aku ziarah kesana mbah juru kuncinya sedang tidak ada. Praktis saya tidak bisa mendengar langsung cerita dari sang juru kunci mengenai hal itu. Namun kekudusan pesanggrahan tersebut mampu bercerita ke dalam batinku akan kebenaran kisah tersebut. Walau mungkin dalam kaca mata disiplin ilmu sejarah tak bisa bercerita banyak, karena memang tidak ditemukan bukti-bukti otentik tentang kebenaran kisah tersebut.
Di lembah Gembul dihuni sekawanan kera Jawa yang populasinya cukup banyak. Ada ratusan ekor menurut pengamatan saya. Sayang kera-kera tersebut kurang mendapat asupan makanan. Mereka hanya makan daun-daunan dan akar pohon yang tumbuh di lembah yang mulai gersang. Selain itu menurut warga setempat pada musim panen sekawanan kera Gembul akan mencuri hasil ladang penduduk. Tentu hal itu tidak dibiarkan, oleh penduduk kera-kera lapar itu akan diusir agar tidak mendekati ladang mereka. Yah begitulah nasib kawanan primata yang memang tak punya jaminan hidup dan masa depan dari pemerintahnya. hehe..apalagi pemerintahan kita bangsa manusia ini tentu tak sudi membantu mereka.
Aliran sungai yang membelah lembah kian hari kian menipis, padahal sungai itu menjadi tumpuan kebutuhan masyarakat disekitarnya. Mulai dari mencuci, mandi, hingga digunakan untuk minum warga setempat. Jika benar tempat itu dulu sebagai pusat pertemuan dewan Wali Songo tentu para wali menjadikan tempat itu menjadi semisal taman surga, dibawahnya aliran sungai jernih mengalir, pohon-pohonan rindang menyejukkan pandangan, dan digunakan sebagai tempat taqarrub ilallah, namun sekarang keadaannya lain, walau disitu berdiri sebuah musholla namun saya melihatnya tak lebih dari sekedar bangunan yang dibiarkan tanpa perawatan yang memadai, jika ada seorang juru kunci yang menjaga situs tersebut tak lebih dari panggilan nurani saja tanpa ada campur tangan dari pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kelestarian situs bersejarah. Dan yang tentu menjadi perhatian serius adalah adanya praktek-praktek klenik yang sering dilakukan oleh sebagian masyarakat guna meluluskan apa yang menjadi keinginan mereka dengan cara mendatangi situs tersebut.
Semoga ke depan pemerintah daerah Kab. Tuban dan masyarakat semua tentunya, punya kepedulian terhadap sejarah, lingkungan, dan kelestarian alam agar anak cucu kita kelak tidak buta sejarah serta mencintai alam sekitarnya sebagaimana mereka mencintai ibu bapaknya. Karena pada hakekatnya alam ini yang meliputi bumi dan langit secara bersama mengasuh kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu tepat sekali pitutur sesepuh kita untuk ikut "Memayu Hayuning Bawana Ambrasta Dur Angkara". Salam. JWT
Di lembah Gembul dihuni sekawanan kera Jawa yang populasinya cukup banyak. Ada ratusan ekor menurut pengamatan saya. Sayang kera-kera tersebut kurang mendapat asupan makanan. Mereka hanya makan daun-daunan dan akar pohon yang tumbuh di lembah yang mulai gersang. Selain itu menurut warga setempat pada musim panen sekawanan kera Gembul akan mencuri hasil ladang penduduk. Tentu hal itu tidak dibiarkan, oleh penduduk kera-kera lapar itu akan diusir agar tidak mendekati ladang mereka. Yah begitulah nasib kawanan primata yang memang tak punya jaminan hidup dan masa depan dari pemerintahnya. hehe..apalagi pemerintahan kita bangsa manusia ini tentu tak sudi membantu mereka.
Aliran sungai yang membelah lembah kian hari kian menipis, padahal sungai itu menjadi tumpuan kebutuhan masyarakat disekitarnya. Mulai dari mencuci, mandi, hingga digunakan untuk minum warga setempat. Jika benar tempat itu dulu sebagai pusat pertemuan dewan Wali Songo tentu para wali menjadikan tempat itu menjadi semisal taman surga, dibawahnya aliran sungai jernih mengalir, pohon-pohonan rindang menyejukkan pandangan, dan digunakan sebagai tempat taqarrub ilallah, namun sekarang keadaannya lain, walau disitu berdiri sebuah musholla namun saya melihatnya tak lebih dari sekedar bangunan yang dibiarkan tanpa perawatan yang memadai, jika ada seorang juru kunci yang menjaga situs tersebut tak lebih dari panggilan nurani saja tanpa ada campur tangan dari pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kelestarian situs bersejarah. Dan yang tentu menjadi perhatian serius adalah adanya praktek-praktek klenik yang sering dilakukan oleh sebagian masyarakat guna meluluskan apa yang menjadi keinginan mereka dengan cara mendatangi situs tersebut.
Pesanggrahan Gembul |
Tugu Batu Yang Konon Digunakan Sebagai Tiang pengikat hewan tunggangan wali Songo |
sejarah yang hilang oleh waktu..
BalasHapusJalan2 kaleh sinten pak?
mantaaabbb
BalasHapusSuwun mbah. Gawe referensi ����
BalasHapus