Sabtu, 30 Agustus 2025

Ke(tidak)adilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Ke(tidak)adilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Oleh: Joyo Juwoto

"Apa guna punya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli"

"Apa gunanya banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu"

Petikan puisi Wiji Thukul yang berjudul "Apa Guna" di atas menampar diriku sejadi-jadinya, tidak berlebihan rasanya apa yang ditulis dan disuarakan oleh penyair yang entah di mana ia sekarang, melihat kondisi bangsa Indonesia hari ini rasa-rasanya kurang etis dan miskin empati jika kita masih mengatakan "Indonesia sedang baik-baik saja". Saya tidak sedang frustrasi, saya tidak sedang pesimistis melihat kondisi negara yang kita cintai ini, setidaknya kita perlu membuka mata bahwa kondisi negara memang sedang tidak baik-baik saja.

Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela di berbagai sektor pemerintahan kita, padahal virus KKN ini yang dulu saat Orde Baru kita musuhi bersama, ini yang dulu menjadi salah satu pemicu pemerintahan Orde Baru tumbang, tapi nyatanya hari ini praktek KKN justru makin parah dan dilakukan secara terang-terangan, dilakukan di bawah terik matahari siang bolong. Edan.

Demo besar-besaran yang terjadi di Pati beberapa hari silam, yang digawangi oleh Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, membuka mata kita bahwa ketidakadilan benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Bayangkan saja, saat rakyat ekonominya melemah, daya beli masyarakat menurun, pengangguran di mana-mana, alih-alih mencari solusi, justru pemerintah Kabupaten Pati membuat kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat, bahkan mencekik urat nadi kehidupan masyarakat yaitu dengan menaikkan pajak. Seketika rakyat menjerit. Rakyat berbondong-bondong mendemo Bupati Sudewo. 

Dalam skala nasional isu kesenjangan sosial juga mencuat, para pejabat menunjukkan sikap yang arogan dan abai terhadap kepentingan rakyat. Masyarakat sedang susah pejabat hidup bermewah-mewah, masyarakat sedang berduka karena apa-apa tak terbeli, pejabat bersuka cita memamerkan gaya hidup hedoni. 

DPR yang sejatinya sebagai penyambung lidah rakyat ternyata tidak bisa dipegang janjinya saat kampanye, mereka juga tidak mampu menerjemahkan keinginan rakyat di sidang-sidang DPR, justru yang terjadi para anggota dewan ini dianggap kurang dan tidak memiliki empati atas kondisi rakyat yang semakin hari semakin susah. 

Saat momen kemerdekaan tunjungan DPR dinaikkan, sedang kinerja mereka yang berpihak kepada rakyat entah ada atau tidak, pada momen ini sebagian besar anggota DPR berjoged ria, kemarahan tak terbendung lagi, rakyat yang sudah muak dengan DPR menjadi terpantik, demo besar-besaran pun digelar di depan gedung DPR yang terhormat itu.

Pancasila mengamanahkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, tapi pengambil kebijakan di lingkaran pemerintah justru mengamalkan "ketidakadilan bagi seluruh rakyat Indonesia". Rakyat jelata makin sengsara, pejabat berfoya-foya, pejabat bergelimang harta, rakyat miskin dan menderita. 

Belum lagi masalah penegakan hukum dan pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial yang sangat buruk. Siapapun kamu kalau rakyat jangan pernah berharap mendapatkan kemudahan dalam mengakses pelayanan tersebut. Hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, pendidikan yang layak hanya bisa dinikmati oleh segelintir rakyat, hal yang terkait dengan layanan kesehatan juga tidak memihak rakyat kecil. Jika kau miskin jangan sakit saja, begitu kira-kira semboyan yang sering kita dengar bersama.

Rakyat harus melek politik, rakyat harus punya pilihan wakilnya di DPR yang benar-benar berintegritas, jangan hanya memilih hanya karena amplop, jangan memilih karena disuap, sudah saatnya rakyat memegang teguh kedaulatannya dengan memilih pemimpin dan wakil-wakilnya dengan akal sehat dan kebeningan nuraninya, agar rakyat mendapatkan wakil dan pemimpin yang diberkahi Tuhan, agar keberkahan juga dirasakan oleh rakyat itu sendiri. 

Para pejabat dan wakil-wakil rakyat punya demikian, kalian  mendapat amanah dari rakyat mana jangan pernah khianati amanah itu, memimpin berarti melayani masyarakat, memimpin berarti siap berkhidmat untuk rakyat. 

Pada akhirnya, ke(tidak)adilan yang hari ini kita saksikan bukan sekadar fakta sosial, melainkan tamparan keras bagi cita-cita kemerdekaan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata. Indonesia seharusnya berdiri di atas prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, bukan hanya bagi segelintir elite yang berkuasa. 

Jika praktik KKN, kesenjangan sosial, pelayanan publik yang bobrok, dan arogansi pejabat terus dibiarkan, maka bangsa ini perlahan-lahan sedang menggali kuburnya sendiri. Kini, pilihan ada pada kita: tetap diam dalam ketidakadilan, atau bersuara demi terwujudnya Indonesia yang benar-benar adil dan beradab.


Bangilan, 30 Agustus 2025

Rabu, 13 Agustus 2025

Senandung Sunyi di Tepi Kali

Senandung Sunyi di Tepi Kali
Oleh: Joyo Juwoto 

Kali kening mengalir hening 
Bening airnya memantulkan cahaya 
Di temaran senja
Rumpun bambu khusyuk berdoa 

Batu-batu, kerikil, dan lumpur kali
Bernyanyi lirih dalam sepi 
Mengeja masa yang entah bagaimana 
Tentang nasib kali yang semakin sunyi

Gremicik air kali memendam asa
Bunga-bunga ilalang tertiup angin senja 
Melukis riak-riak penuh pesona
Di pelataran senja yang kehilangan makna

Arus kali membawa cerita dari hulu 
Tentang gembala yang pulang kandang 
Tentang kerikil yang terhempas diam
Di sudut waktu yang kelam

Di tepi kali, di tepi rindu
Menatap langit yang semarak kelabu 
Ranting-ranting diam membeku
Desah angin membawa bisik yang tak usai 

Dalam keheningan ini, aku temukan diri
Yang hilang dalam arus waktu
Mencari makna dalam remang senja
Menguak rahasia jiwa yang tak terjamah kata


Bangilan, 13 Agustus 2025

Sabtu, 09 Agustus 2025

Jejak Kalang di Kendeng Utara

Jejak Kalang di Kendeng Utara
Oleh: Joyo Juwoto 

Di rimba lebat nan sunyi terbentang
Wong Kalang menjelajah dalam remang
Melintasi pohon-pohon jati yang tinggi menjulang,
Jejak kaki menyatu dengan bayang-bayang 

Semak belukar menjelma lorong waktu,
Padang ilalang bersaksi dalam bisu
Di antara lembah-lembah kelam
Langkah Kalang menjejak bumi peradaban 

Gunung Lodhito memanggil pelan
Berselimut teka-teki dalam hening sunyi 
Tuk dijelajahi rahasia yang tersembunyi 
Dalam hamparan kabut dan cahaya pagi

Sendang Plengkung, pemandian nganget
Airnya bening mengalirkan kisah,
Tempat Kalang menghapus gundah
melepas penat dan lelah

Punden Belang Yungyang, Watu Celeng puncak Grabagan 
menjadi saksi suci
Pertemuan alam kasunyatan dan keyakinan 

Tegal Kalang, hamparan pertiwi,
Besowo, tanah penuh misteri 
Tumbuh peradaban alami
Di balik Tegal dan ladang, kisah itu mengabadi

Kandang Kalang Senori, tempat gembala ternak
Menyimpan tapak budaya yang melegenda
Di balik kayu-kayu dan batu 
Terekam memori yang tak lekang oleh waktu

Kendeng Utara terus berdesah,
Memanggil jiwa-jiwa yang ingin kembali,
Menapak tilas jejak wong Kalang yang gagah,
Dalam sunyi hutan, peradaban tak pernah mati.


Bangilan, 9 Agustus 2025