Minggu, 10 November 2024

Pendidikan Moderasi Beragama dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

 



"Pendidikan Moderasi Beragama dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara"

Oleh: Joyo Juwoto

 

            Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai ragam suku, bahasa, agama, ras, dan budaya. Kita tentu merasa bersyukur bahwa di tengah kemajemukan ini, bangsa Indonesia memiliki konsep luhur yang kita jaga bersama untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, serta memelihara segala bentuk keragaman yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita semua. Konsep luhur itu bernama “Bhinneka  Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

            Kementerian Agama Republik Indonesia memiliki keinginan dan komitmen yang kuat untuk ikut serta menjaga melestarikan, dan juga menguatkan konsep luhur Bhinneka Tunggal Ika tersebut dengan merumuskan satu nilai yang selalu digaungkan oleh Kementerian agama, yaitu Konsep Moderasi Beragama.

            Moderasi beragama ini tercermin dalam sikap untuk ikut serta menjaga kerukunan dalam berbangsa dan bernegara, menunjung tinggi nilai keberagaman, menghargai segala perbedaan, baik suku, ras, agama, dan keyakinan, serta menolak segala bentuk intimidasi, kekerasan, serta perlakuan yang tidak baik yang mengganggu harmoni kehidupan bermasyarakat. Moderasi beragama adalah salah satu nilai untuk mengejawentahkan nilai-nilai ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin.

`           Moderasi beragama adalah konsep penting dalam kehidupan umat beragama di era modern. Hal ini menuntut kita untuk selalu menjaga keseimbangan antara keyakinan agama kita dengan nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan toleransi. M. Quraish Shihab dalam bukunya “Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama” menyandingkan  moderasi dengan kata Wasath atau Tengah.[1] 

Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 143 Allah Swt berfirman: [2]

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

Artinya: “Demikianlah kami jadikan kamu ummatan wasathan… 

Wasathiyyah sendiri dalam Bahasa arab memiliki padanan makna dengan kata tawassuṭ (tengah-tengah), i’tidāl (adil), dan tawāzun (berimbang). Dalam Sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: [3]

خَيْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا

“Sebaik-baik persoalan adalah yang di tengahnya”

Wasath dalam hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah di atas menurut para ulama memiliki arti adlan atau adil, jadi wasath di sini juga bermakna keadilan. Dengan demikian, hadits ini menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan, keadilan, dan moderasi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam praktek agama. Pesan ini sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang mendorong umatnya untuk menjadi umat yang seimbang, adil, dan moderat dalam tindakan dan sikap mereka.

Di dalam Al-Qur’an surat Al Qashash ayat 77 Allah swt berfirman:[4]


وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

Al Qashash ayat 77 di atas mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, berbuat baik kepada sesama manusia, dan menjauhi tindakan yang merusak dan menciptakan kerusakan. Pesan ini adalah bagian dari konsep moderasi beragama yang telah Anda sebutkan dalam konteksnya, yaitu menjaga keseimbangan antara keyakinan agama dan nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan toleransi.

Moderasi beragama merupakan suatu pendekatan atau sikap dalam beragama yang menekankan keseimbangan antara keyakinan agama dengan nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan toleransi. Konsep ini mengajarkan umat beragama untuk tidak melampaui batas dan menjauhi ekstremisme, baik dalam pemahaman agama maupun dalam tindakan yang dilakukan atas nama agama.

Pendekatan moderasi ini memungkinkan individu untuk mempraktikkan agamanya dengan penuh keyakinan dan kedalaman, tetapi juga dengan penuh penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan individu lainnya. Hal ini penting dalam konteks masyarakat yang multikultural dan multireligius, di mana berbagai keyakinan dan tradisi agama harus dapat hidup berdampingan dengan damai.

Dalam kehidupan umat beragama, sering kali muncul masalah akibat kurangnya moderasi beragama. Hal ini bisa tercermin dalam bentuk ekstremisme, intoleransi, konflik antar-agama, dan ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan individu dari latar belakang keagamaan yang berbeda. Konflik ini dapat merusak perdamaian dan harmoni sosial yang ada di tengah masyarakat.

Betapa banyak ungkapan-ungkapan intolerasi seperti bid’ah, sesat, kafir, halal darahnya, yang diproduksi setiap saat oleh orang-orang yang menamakan dirinya sebagai kelompok paling shahih dalam beragama, mereka mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah dalam rangka berdakwah dan kembali kepada ajaran Islam yang kaffah dan murni.

Dari sikap yang intoleran ini pada akhirnya akan melahirkan sikap yang ekstrim dan radikal dalam menjalankan ajaran agama. Diantara ciri-ciri kelompok radikal ini menurut Yusuf Al-Qaradhawi adalah:[5]

1.      Mengklaim kebenaran tunggal dan mencap yang berada di luar kelompoknya itu sesat

Kelompok radikal seringkali memiliki pandangan bahwa hanya mereka yang memiliki pemahaman agama yang benar, sementara orang lain dianggap sesat atau salah. Mereka cenderung memonopoli kebenaran dan menolak keragaman pandangan.

2.      Mempersulit dan memperberat diri dalam menjalankan ajaran agama

Kelompok radikal mungkin mempersulit dan memperberat praktik keagamaan, seringkali menerapkan tafsiran yang ketat dan kaku terhadap ajaran agama. Hal ini dapat menghasilkan praktik yang ekstrem dan mengisolasi kelompok tersebut dari masyarakat yang lebih luas.

3.      Overdodis dam mabuk dalam beragama

Kelompok radikal bisa terlalu obsesif dan terlalu fanatik dalam menjalankan ajaran agama. Mereka mungkin melibatkan diri secara berlebihan dalam praktik-praktik keagamaan hingga menciptakan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sehari-hari.

4.      Kasar dalam berinteraksi dengan Masyarakat

Sikap kasar dan agresif dalam berinteraksi dengan masyarakat adalah ciri kelompok radikal. Mereka mungkin menggunakan bahasa yang provokatif atau tindakan yang mengganggu ketertiban sosial.

5.      Mudah berburuk sangka dengan kelompok di luar dirinya

Kelompok radikal seringkali memiliki sikap berburuk sangka terhadap kelompok atau individu di luar kelompok mereka. Mereka dapat mendemonisasi atau mencurigai niat baik kelompok lain tanpa alasan yang jelas.

6.      Mudah sekali mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengan  penafsiran kelompoknya

Kelompok radikal cenderung cepat mengkafirkan atau menyatakan orang lain sebagai non-Muslim jika mereka memiliki pandangan atau tafsiran agama yang berbeda. Hal ini seringkali mengarah pada konflik dan polarisasi dalam masyarakat.

Klaim kebenaran yang dilakukan oleh sekelompok kaum radikal ini tentu sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang multikultural ini. Bagaimana tidak, masyarakat akan saling bersitegang karena perbedaan pandangan mereka dalam merespon, dan menafsirkan sebuah teks dari kitab suci. Hal ini tentu menjadi preseden buruk bagi kerukunan, kedamaian, dan nilai-nilai toleransi dalam masyarakat.

Untuk itu kita perlu memberikan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai moderasi dalam beragama, agar tercipta masyarakat madani yang menghargai segala bentuk perbedaan yang memang telah menjadi sunnah kehidupan.

Untuk mengcounter ekstrimisme dan radikalisme, perlu adanya upaya mengkampanyekan nilai-nilai toleransi, keberagaman, serta serangkaian sikap yang menghargai segala perbedaan. Dalam konteks ini, empat nilai Ke-NUan yaitu, Tawasuth (moderat) dan I’tidal (adil), Tasammuh (Toleransi), Tawazun (Keseimbangan), dan Amar ma’ruf nahi mungkar, bisa menjadi solusi yang efektif untuk membentengi diri dari ekstrimisme dan radikalisme guna menguatkan pondasi dalam moderasi beragama.

 Berikut adalah penjelasan mengenai empat nilai ke-NUan dan bagaimana mereka dapat menjadi solusi bagi sikap ekstrimisme dan pondasi moderasi beragama:[6]

1.      Tawasuth (Kemoderatan) dan I'tidal (Keadilan)

Tawasuth mengajarkan pentingnya menjalani kehidupan dengan penuh kedamaian dan kedamaian. Nilai ini mendorong umat Islam untuk mengadopsi sikap yang moderat dalam beragama, tidak terlalu ekstrem dalam penafsiran ajaran agama, dan menghindari tindakan ekstremis yang dapat mengganggu ketertiban sosial. Kemoderatan adalah pondasi untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas.

 

Sedang I'tidal adalah nilai yang menekankan pentingnya keadilan dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam urusan beragama. Dalam konteks moderasi beragama, i'tidal mengajarkan bahwa ketidakadilan, penindasan, dan diskriminasi terhadap kelompok agama atau non-agama tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Keadilan adalah solusi untuk menghindari ketegangan dan konflik yang seringkali menjadi pemicu ekstremisme.

 

2.      Tawazun (Keseimbangan)

Tawazun mengacu pada prinsip keseimbangan dalam kehidupan. Dalam konteks agama, nilai ini mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara agama dan dunia. Melalui tawazun, individu diharapkan untuk tidak terlalu ekstrim dalam menjalankan ajaran agama, sehingga tidak melupakan tugas-tugas dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat. Ini dapat mencegah sikap ekstrim yang seringkali muncul akibat fanatisme agama yang berlebihan.

3.      Tasammuh (Toleransi)

Tasammuh adalah nilai yang mendorong toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. Ini mengajarkan pentingnya berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang agama, budaya, dan etnis, tanpa menghakimi atau memusuhi mereka. Tasammuh mempromosikan sikap terbuka dan inklusif, yang merupakan solusi penting untuk mengatasi sikap ekstrimisme dan fanatisme agama.

4.      Amar ma’ruf nahi Mungkar.

Sikap amar ma’ruf nahi mungkar di sini adalah sikap kepekaan masyarakat dalam memperjuangkan hal-hal yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, serta menolak dan mencegah hal-hal buruk yang dapat  menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai dan norma yang ada di tengah-tengah masyarakat.

 

Dengan menerapkan dan mempraktikkan nilai-nilai ke-NUan ini, individu dapat membangun pondasi moderasi beragama yang kuat. Hal ini dapat membantu mencegah sikap ekstrimisme, fanatisme agama, dan konflik antaragama. Selain itu, nilai-nilai ke-NUan juga mendorong kerja sama antaragama dan membangun harmoni sosial, yang merupakan langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang damai dan inklusif.

Moderasi beragama dalam intern kehidupan umat beragama adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang damai dan toleran. Penting untuk memahami bahwa keyakinan agama harus sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Dalam upaya mencapai moderasi beragama, kita harus bekerja sama untuk meningkatkan pendidikan yang menghargai segala perbedaan, penuh toleransi, serta memfasilitasi dialog antar umat beragama, mengawasi media sosial, dan memilih pemimpin yang benar-benar mendukung nilai-nilai ini.

Semoga kita sebagai individu maupun sebagai kelompok umat beragama mampu menjaga nilai-nilai luhur moderasi beragama yang rahmatan lil ‘alamin, ikut serta terlibat dalam upaya pembelajaran dan dialog antar kepercayaan, serta berkontribusi aktif dalam mempromosikan moderasi beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berfalsafahkan Bhinneka Tunggal Ika.



[1] M. Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (PT. Lentera Hati, 2019).

[2] https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-143

[3] M. Quraish Shihab

[4] https://tafsirq.com/28-al-qasas/ayat-77

[6] KH. Abdul Muchit Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama (Khalista Surabaya, 2006)

Jumat, 25 Oktober 2024

Kiai Abil Fadhol As-senory

Kiai Abil Fadhol As-senory 
Oleh: Joyo Juwoto

Kiai Abil Fadhol As-senory 
Terlahir dari kota santri 
Sedan sejengkal bumi dari percik Surga Adn 
Terberkahi lalaran nadzom alfiyah dan imriti para santri

Kiai Abil Fadhol As-senory 
Putra Syaikhil Masyayikh Abdul Syakur As-Suwedangy
Tedak darah Mbah Sambu Sayyid Abdurrahman Lasem

Kiai Abil Fadhol As-senory 
Kiai serba laduni
Mengaji tujuh bulan di Tebu Ireng
Mengkhatamkan Taqrib tujuh kali
Mengajar shohih al-Bukhori pada santri
Bersanadkan ilmu dari Syekh KH. Hasyim Asy'ari

Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Mahrus Ali Lirboyo Kediri 
Mbah Maimoen Zubair, Mbah Faqih Langitan, 
Juga Kiai Hasyim Muzadi semua nyantri di pesantren Darul Ulum Al-Fadholi

Kiai Abil Fadhol As-senory 
Kiai murah hati, sederhana, bersahaja 
Khatam kitab suci dua kali dalam sehari
Shalat berjamaah lima waktu selalu

Kiai Abil Fadhol As-senory 
Berkarya penuh makna
Dalam jejak pena yang melegenda
Kitab Al-Kawakib al-lamma'ah
Pangreksogomo, Ahla al-musamarah fi hikayah Al -auliya Al asyara

Mbah Kiai Abil Fadhol As-senory karyamu mengabadi, menginspirasi sejuta santri.


Bangilan, 25 Oktober 2024

Jumat, 13 September 2024

Kaum Sarungan

Kaum Sarungan
Oleh: Joyo Juwoto

Kaum sarungan, atau santri, adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia. Mereka tidak hanya berkontribusi dalam aspek spiritual dan pendidikan tetapi juga dalam pelestarian budaya dan pengembangan sosial-politik. Peran mereka yang signifikan ini mencerminkan keterikatan yang mendalam antara nilai-nilai agama, budaya, dan kehidupan sehari-hari di Indonesia.

Santri dan pesantren memainkan peran utama dalam pendidikan agama Islam di Indonesia. Mereka membantu menyebarluaskan ajaran Islam dan membimbing masyarakat dalam praktik keagamaan sehari-hari.

Dalam sejarah Indonesia, banyak tokoh santri yang berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara. Mereka sering terlibat dalam aktivitas sosial dan politik, memberikan kontribusi terhadap kebijakan dan perubahan sosial.

Hampir di setiap wilayah, hampir pasti dijumpai makam, petilasan, tempat-tempat yang dijadikan punden masyarakat, dan itu merujuk pada seorang tokoh Kiai atau orang yang dituakan yang babad desa membangun sebuah peradaban. Ini adalah bukti bahwa kaum sarungan tidak terpisahkan dari masyarakat.

Kaum sarungan ini memiliki semboyan Urip iku urup, urip iku urap. Menurut istilah sekarang, hidup itu harus menyala bosku, hidup itu harus berbaur dengan masyarakat dan tidak terpisahkan dengan masyarakat. 

Secara kesantrian, merujuk pada kajian-kajian turots al Islamiyah yang biasa dideras santri, merujuk pada sebuah hadits Nabi bahwa sebaik-naik manusia adalah yang bermanfaat untuk sesama, hal ini memotivasi kaum sarungan untuk selalu berbuat yang bermanfaat untuk umat. 

Diakui atau tidak, Kiai, santri selalu mengedepankan bakti untuk negeri, berdarma untuk bangsa, dengan dedikasi yang tinggi dan keikhlasan yang luar biasa, bahkan sebelum negara ini secara formal terbentuk.

Santri adalah sebuah identitas yang lengkap, oleh karena itu santri harus serba bisa. Santri ketika terjun di masyarakat bisa menjadi petani, bisa menjadi tukang kayu, bisa menjadi birokrat, pengusaha, politisi, dan menjadi apa pun. Namun yang lebih penting dari itu santri haruslah menjadi pengayom masyarakat. 

Oleh karena itu jika santri terjun ke masyarakat jangan sampai jiwa santrinya lepas, karena dari jiwa santri inilah yang akan memancarkan nilai-nilai kebaikan dan keberkahan dalam kehidupan. Ya, kebaikan, keberkahan, dan ridha Tuhan adalah hal yang sangat diperjuangkan oleh seorang yang berjiwa santri.

Jiwa santri akan selalu mengacu pada nilai keikhlasan lillahi ta'ala dalam segala amal perbuatannya, yang dicari santri adalah keberkahan dunia akhirat karena pada dasarnya kaum sarungan ini kakinya menginjak bumi, tapi hatinya melangit di ketinggian sidratil muntaha.

Bangilan, 13 September 2024