Minggu, 03 April 2022

Ngaji Pasan di Bulan Ramadhan

Ngaji Pasan di Bulan Ramadhan
Oleh: Joyo Juwoto

Saya pernah menulis esai singkat bahwa Bulan Ramadhan adalah bulan literasi, khususnya yang terkait dengan literasi membaca. Jika kita perhatikan lembaga pendidikan semisal Pondok pesantren, langgar, maupun masjid pada bulan Ramadhan banyak menyelenggarakan kegiatan pasan dengan pengajian kitab kuningnya, selain tentu pembacaan al Qur'an yang marak dilakukan di bulan ramadhan, baik secara individu maupun secara komunal.

Di Ramadhan yang penuh berkah tahun ini, saya sendiri mengisi waktu bakda shubuh dengan membaca kitab tipis dengan tema akhlaq, yaitu kitab Taisirul Kholaq karya Hafidz Hasan Al Mas'udi. Kitab ini saya baca dengan menggunakan makna gandul (pegon) kemudian saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar mudah dipahami.

Tulisan pegon di awal-awal perkembangan Islam di Nusantara sangat familiar dan banyak dikuasai oleh masyarakat, khususnya santri. Bahkan mereka kadang tidak  bisa membaca dan menulis latin tetapi sangat lancar membaca dan menulis pegon. 

Seiring dengan berjalannya waktu, penguasaan terhadap tulisan pegon di tengah masyarakat mulai menurun, seiring dengan perkembangan tulisan latin yang banyak dipelajari dan digunakan di sekolah-sekolah formal. 

Membaca dan menulis pegon ini menjadi ciri dan identitas yang khas dari sebuah pesantren pada jaman dahulu hingga hari ini. Saya sendiri saat nyantri di ponpes Assalam Bangilan juga mengaji model ngesahi kitab kuning dengan tulisan pegon. 

Saya merasa bangga walau ponpes Assalam secara tipologi adalah pesantren modern, namun tidak meninggalkan sama sekali sisi kesalafannya. Ponpes Assalam yang notabenenya adalah pondok yang memilih Gontor sebagai salah satu kiblat sistem pendidikannya, akan tetapi pondok pesantren Assalam tetap menyisakan ruang untuk belajar membaca dan menulis pegon. 

Walau dalam kesehariannya haram hukumnya bagi santri bercakap-cakap dengan bahasa daerah, karena santri harus berbahasa Arab ataupun Bahasa Inggris, kalau belum menguasai dua bahasa asing tersebut, santri bisa memakai bahasa Indonesia. Jika santri-santri pulang untuk liburan, disuruh bercakap-cakap dengan bahasa daerahnya kepada bapak ibu dan orang-orang di sekitarnya. 

Di Bangilan sendiri ada ulama yang pakar dan banyak menulis maupun mensyarahi kitab kuning dengan tulisan pegon, beliau al maghfurlah KH. Misbah Zainil Mustofa. Saya mengoleksi beberapa kitab hasil karya beliau, dari situ saya  belajar membaca dan menulis pegon.

Di Senori ada Mbah Abu Fadhol yang juga penulis kitab berbahasa Arab maupun bahasa Jawa dengan tulisan pegon. Saya punya copian kitab beliau yang full berbahasa Jawa ala tulisan pegon, tulisannya tidak begitu jelas bagi saya sehingga belum terbaca sampai saat ini. Eman sih sebenarnya. 


Di FB saya mengikuti Gurutta Ahmad Baso, beliau sangat intens melacak manuskrip kuno pesantren dan naskah Walisongo yang tidak hanya berupa pegon, tapi juga aksara Jawa kuno. Pekerjaan ini tentu tidak mudah dan membutuhkan ketekunan yang cukup tinggi. Sayang saya belum pernah ikut kelas Mokmin beliau. Sebuah ikhtiar untuk melacak sumber primer perkembangan Islam di Nusantara yang patut diapresiasi.

Jika dulu banyak Kiai dan santri menulis dengan pegon, maka seyogyanya hari ini bisa kita lakukan juga demi terjaganya akar pesantren yang menghunjam kuat di jantung peradaban masyarakat. 

Kelas membaca dan menulis pegon patut untuk dijaga dan dilestarikan, walau selama pesantren masih ada, pembacaan dan penulisan pegon tidak perlu dikhawatirkan keberadaannya. Tapi bagaimanapun juga perlu ada gerakan menjaga khazanah wisdom lokal warisan kebudayaan pesantren agar tidak tergerus oleh modernisasi kehidupan.


Bangilan, 1 Ramadhan 1443

Tidak ada komentar:

Posting Komentar