Jumat, 29 Oktober 2021

Hujan dan Kenangan Masa Silam


Hujan dan Kenangan Masa Silam

Oleh: Joyo Juwoto


Mendung gelap menutupi atap langit, angin berkesiur menggoyangkan dahan dan ranting pepohonan, di kejauhan kilat menyambar bersautan. Tak lama kemudian hujan turun membasahi sepotong senja yang tertinggal di bentang cakrawala. 

Suasana menjadi kelam namun syahdu. Senja dan rerintikan hujan adalah perpaduan yang sempurna dalam menggoreskan tinta kenangan di kanvas hati dan jiwa manusia. 

Jika hujan begini yang kukenang adalah masa kanak-kanak. Apalagi hujan di pinggiran senja begini, kenangan itu begitu kuat mengaroma di kepalaku. Saat dekapan cinta dan kasih sayang emak kepada anaknya yang masih belia. Dan juga kenangan akan seorang bapak yang melindungi rumah dan keluarganya dari gemuruh derasnya hujan dan angin topan yang menebarkan ketakutan. 

Iya, saya mengenang masa kanak-kanak saya, mengenang emak dan bapak saya, dan mengenang tanah tumpah darah saya yang bernama kampung halaman. 

Sebenarnya aneh saja saya mengenang hal itu semua, lha wong saya juga tidak tinggal jauh dari kampung saya. Saya masih berada di satu kecamatan dengan kampung kelahiran saya. Hanya saja saat hujan memang hati saya kadang lebih melow dan sentimentil saja. 

Tapi tak apalah saya ingin bercerita dengan diri saya sendiri, mengulas dan menonton kenangan yang bersliweran di kepala. 

Jika hujan tiba, bapakku adalah orang yang paling sibuk. Genting bocor sini dan sana, dengan bertelanjang dada bapakku membenahi genteng yang bocor karena pecah atau kadang hanya karena bergeser saja dari tempatnya. Dengan pikulan bambu beliau membenahi genteng-genteng yang bergeser dari tumpuan kayu usuk dan rengnya. 

Itu belum seberapa, jika hujan bercampur angin, ini yang membuat khawatir kami sekeluarga. Terpaan hujan dan angin menciutkan nyali. Pohon-pohon di sekitar rumah bergoyang keras, hampir-hampir seperti akan tercerabut dari akarnya. Belum lagi disertai sambaran guntur dan petir yang membahana, suasananya sangat menakutkan sekali. 

Kadang kami harus keluar rumah, berhujan-hujanan. Khawatir rumah kami roboh. Emak mendekap anak-anaknya, sedang bapak sibuk mengumandangkan adzan di pojokan rumah. Kalau anginnya tidak terkendali, bapak mengambil cemeti dan menghentakkannya seperti gembala menghalau sapinya. Cetar... Cetar... Begitu bunyi cemeti itu. 

Entah karena apa, angin yang tadinya seakan mau menerjang rumah kami, seperti menyingkir menjauhi bapak yang sedang memainkan cemetinya bagai pemain jaran kepang yang beraksi di pelataran rumah. 

Itu hujan kenangan dan kenangan akan hujan di masa kanakku. Jika sedang beruntung, saat hujan sedang genting rumah kami tidak bocor, dan angin juga tidak sedang mengamuk, kami bisa menikmati syahdunya hujan. 

Bapak membuat bediang untuk menghangatkan sapi-sapi kami, sekaligus menghangatkan badan kami. Jika musim jagung, biasanya emak membuat jagung goreng tanpa minyak. Digoreng kering di nanangan dari tanah. Kalau tidak begitu bapak mbakar singkong. Aduh ini bener-bener syahdu dan mengaduk perasaan saat hujan begini. 

Saya jadi ingat kata-kata mbah Sujiwo Tejo dalam Twitternya, "Tahukah kamu lelaki paling tak berperasaan di bumi, dialah yg jauh dari Kekasih saat hujan tapi tak menulis satu pun puisi." #TaliJiwo.

Haha... Kata-katanya salah satu idola saya ini memang sangat mengena di hati. Sungguh luar biasa. Sayangnya saya tidak menulis puisi saat hujan senja ini bukan karena saya adalah lelaki yang tak berperasaan di bumi, tapi karena memang saya tidak punya kekasih hati yang harus saya tuliskan puisi. Saya hanya punya istri yang saya cintai sepenuh hati, walau tanpa sebait puisi. Uhuk. 


*Bangilan, 29/10/21, kala senja dalam balutan kenangan.*

Minggu, 10 Oktober 2021

Imam Mawardi dan Kitab Al-Hawi Al Kabir

Imam Mawardi dan Kitab Al-Hawi Al Kabir

Kisah tentang Imam Mawardi ini, saya dengar saat mengikuti webinar bersama Gus Nadirsyah Hosen, yang diadakan kampus UNUGIRI Bojonegoro kemarin siang. Dalam salah satu paparannya, Gus Nadir bercerita tentang keikhlasan dari seorang ulama madzhab Syafii yang cukup terkenal di kalangan umat Islam Indonesia.

 Imam Mawardi adalah ulama ahlussunnah wal jamaah yang sangat produktif dalam berkarya. Beliau menulis Kitab tafsir, fikih, sastra, dan politik. Imam Mawardi ini nama aslinya adalah Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Basri asy-Syafi'ie. Beliau dikenal dengan nama Al-Mawardi berasal dari kata Ma-ul Wardi, yaitu untuk memberikan laqob keluarganya yang penjual air mawar.

Gus Nadir bercerita ketika Imam Mawardi akan meninggal dunia, beliau berpesan kepada orang kepercayaannya. "Disuatu tempat saya menyimpan Kitab yang saya tulis, dan belum saya publikasikan. Saya menunggu keikhlasan hati saya dalam mempublikasikannya. Jika nanti saya meninggal dunia, ulurkan Kitab-kitab itu ke tangan saya, jika saya genggam, maka buanglah  kitab itu ke sungai Dajlah dan jangan disebar. Namun jika kitab itu saya lepaskan,  maka saya telah mengikhlaskan kitab yang saya tulis, dan Allah menerima niat saya menulis kitab tersebut".

Alkisah, setelah Imam Mawardi meninggal dunia, kitab tersebut disodorkan ke tangan beliau, dan ternyata beliau membuka tangannya, pertanda niat baik beliau diterima oleh Allah Swt. Oleh orang kepercayaan beliau, sesuai pesan yang disampaikan maka kitab tersebut akhirnya dipublikasikan ke khalayak.

Kitab yang ditulis oleh Imam Mawardi ini judulnya adalah kitab Al-Hawi Al-Kabir yang berjumlah 20 jilid yang membahas tentang masalah fikih. Kitab Al-Hawi Al-kabir ini sebenarnya adalah syarah dari kitab  "Muktashor Al-Muzani" yang diperuntukkan bagi orang-orang yang ingin memperdalam madzhab Asy-Syafi'ie. Kitab karangan Imam Mawardi ini menjadi kitab yang sangat penting dan popular di kalangan umat Islam di dunia dan juga di Indonesia. 


Bangilan, 10/10/21

Senin, 04 Oktober 2021

Kenang-kenangkanlah

Kenang-kenangkanlah
Oleh: Joyo Juwoto

Kenang-kenangkanlah duhai kekasih
Benang cinta yang kita rajut bersama
Merenda lembar demi lembar kain kehidupan
Dari waktu ke waktu

Kenang-kenanglah duhai kekasih
Selaksa rindu yang kita ramu selalu menggebu
Menggetarkan dada diantara kita
Bergelora membakar asmaragama

Kenang-kenangkanlah duhai cinta
Saat nyanyian cinta kita  nyaring melengking
Bagai seruling ditiup sang gembala pulang di senjakala

Kenang-kenangkanlah duhai pujaan jiwa
Betapa cinta yang kita pintal di setiap putaran masa
Telah menjelma menjadi sejuta asa

Kekasih
Hidup adalah misteri yang kadang tak pernah kita mengerti, sebagaimana pertemuan kita dalam altar suci-Nya

Membangun biduk rumah tangga
Mengarungi ganasnya samudera kehidupan
Dan pada saatnya kita akan berlabuh di dermaga penantian

Tuban, 4/10/21

Sabtu, 02 Oktober 2021

Aku adalah Kehampaan

 


Aku adalah Kehampaan

 

 

Aku adalah butiran debu

Aku adalah kerikil dan batu

 

Aku adalah angin

Aku adalah air

Aku adalah api

 

Aku adalah langit

Aku adalah bumi

 

Aku adalah lautan

Aku adalah gunung-gunung

 

Aku adalah sungai

Aku adalah telaga


Aku adalah kehampaan

Aku adalah kefanaan

Aku adalah kekosongan

Aku adalah ke-Akuan

Diri-Ku yang sejati


Bangilan, 2/10/21

Jumat, 01 Oktober 2021

Menepi Berkawan Sepi

Menepi Berkawan Sepi
Oleh: Joyo Juwoto

Pada suatu senja, saat temaram mulai mulai menghunjam
Kau terhuyung diterpa angin laut utara

Matahari memerah darah di ujung lazuardi 
Pedih perih jiwamu bagai butiran pasir dilanda hempasan gelombang pasang 

Kau termenung di bawah langit yang menggulung mendung
Kalut bergelayut menghitam pada cakrawala kelam

Kepada laut kau tumpahkan semudra resah
Kepada ombak kau hempaskan segala gundah

Kepada camar-camar kau titipkan secuil kerinduan entah tentang apa pada sayapnya yang melayang ke angkasa

Kepada karang kau berharap ketegarannya, dalam setiap terjangan badai yang menggoncang 

Kepada pasir-pasir kau mengadu tentang segala kerinduanmu yang berakhir menjadi debu

Kepada angin yang berhembus sepoi-sepoi
Kau merenungi kesunyian hati

Kepada cemara yang melambai, kau munajatkan cinta yang dihempas badai

Kepada hati yang sunyi
Kau menepi, menyepi
Berkawan sepi


Senjakala, 22/09/21