Selasa, 31 Agustus 2021

Tetap Gembira Peringati HUT Ke-76 Kemerdekaan RI di masa Pandemi

Tetap Gembira Peringati HUT Ke-76 Kemerdekaan RI  di masa Pandemi
Oleh: Joyo Juwoto

Tak terasa hampir dua tahun pandemi COVID-19 melanda kita semua. Tidak di desa, tidak di kota kondisi sulit dirasakan oleh semuanya, baik secara ekonomi, pendidikan, maupun sektor transportasi. Hampir semua lini kehidupan kehilangan gairahnya.

Di situasi pandemi seperti ini masyarakat harus pandai dalam mengatur keperluan sehari-hari, sektor yang dirasa sangat penting saja yang harus diprioritaskan, agar kehidupan terus berjalan, dan masyarakat bisa survive di tengah situasi yang serba tidak pasti ini. 

Termasuk dalam merayakan HUT Kemerdekaan negara kita tercinta, jangan sampai seperti biasanya. Pesta sebulan penuh dengan berbagai kegiatan yang melibatkan massa cukup banyak.

Saya rasa hal yang wajar kita bergembira menikmati karunia dan rahmat Allah Swt dengan anugerah Kemerdekaan yang  telah diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa. Sudah seyogyanya kita merayakannya dengan berbagai kegiatan yang positif.

Kita bahagia dengan anugerah dan nikmat yang telah Allah Swt berikan berupa Kemerdekaan adalah termasuk amal kebaikan yang bernilai ibadah dan berpahala. Itu adalah tanda kesyukuran atas nikmat Tuhan.

Ya, kebahagiaan saat merayakan Kemerdekaan tentulah sangat berharga, apalagi di musim pandemi seperti ini. Kita bisa tertawa dalam segala keterbatasan  adalah hal yang sangat luar biasa.

Bergembira adalah perintah Tuhan, dan ini menjadi penanda seorang hamba bahagia dengan punya Tuhan  Allah yang Maha Pengasih dan Penyanyang. Gus Baha' seorang ulama yang sangat viral pernah mengatakannya demikian. Bahkan beliau juga menyitir ayat al Quran yang bunyinya: 

"Qul bifaḍlillāhi wa biraḥmatihī fa biżālika falyafraḥụ, huwa khairum mimmā yajma’ụn."

Artinya: “Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."

Ayat di ayat jelas sekali bahwa seorang hamba hendaknya bergembira dengan karunia Allah Swt yang telah dianugerahkan kepada seorang hamba. 

Gus Baha' juga mengatakan bahwa tertawa itu termasuk ibadah mudah yang sangat dibenci oleh syetan, sebagaimana yang beliau sitir dari Imam Al Ghazali yang berbunyi: 

"Inna min khiyari ummati fimaa nabbaanil mala-ul a’la qauman yadhakuuna jahran min sa’ati rahmatillah, wa yabkuuna sirran min khaufi ‘adzaabih."

Artinya: 
"Sesungguhnya termasuk dari ummatku dari apa yg dikabarkan oleh penduduk langit ialah kaum yang tertawa lantang sebab keluasan rahmat Allah,  dan yang menangis secara rahasia sebab takut adzab-Nya."

Jadi silakan tetap bergembira dalam memeriahkan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI dengan berbagai kegiatan yang disesuaikan dengan musim pandemi seperti ini. Jangan sampai pandemi membuat kita bangsa Indonesia mati gaya.

Ada banyak alternatif merayakan Kemerdekaan yang ke 76 ini dengan berbagai kegiatan yang berbasis online, seperti baca puisi online, karya foto, lomba menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, secara online di media sosial atau mungkin group WA kampung, lomba membuat tagline Kemerdekaan dan tentu masih banyak lagi kegiatan yang dilakukan via dunia maya.

Intinya sesuai tagline HUT RI Ke-76, Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh, rakyat harus bangkit, rakyat harus gembira agar rasa syukur dan kebahagiaan atas Kemerdekaan ini tidak terjajah kembali oleh kondisi pandemi yang belum berkesudahan ini. Salam bahagia, Salam merdeka! 

Bangilan, 31 Agustus 2021

Senin, 30 Agustus 2021

Menelusuri Jejak Joko Tingkir Lewat Tembang Sigra Milir Versi Gus Dur

Menelusuri Jejak Joko Tingkir Lewat Tembang Sigra Milir Versi Gus Dur
Oleh: Joyo Juwoto

“Sigra milir sang gethek sinangga bajul, kawan dasa kang njageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan kering, kang gethek lampahnya alon”.

Artinya: "Mengalirlah segera sang rakit didorong buaya
empat puluh penjaganya
di depan juga di belakang
tak lupa di kanan kiri
sang rakit pun berjalan pelan."

Masyarakat Jawa memang dikenal memiliki tradisi tutur yang sangat kaya, mulai dari legenda, dongeng, folklore, mitos, cerita misteri, hingga tembang-tembang dolanan. 

Tidak seperti tembang yang sudah sangat populer seperti gundul-gundul pacul, lir ilir, atau sluku-sluku bathok, tembang di atas, yang saya bahas ini terasa asing dan kurang merakyat, setidaknya di mana saya menjalani masa kanak-kanak di tempat saya tinggal. 

Entah karena memang di tempat saya tinggal sudah jarang sekali, bahkan jika boleh dikatakan tidak ada lagi anak-anak yang bisa nembang dolanan. Padahal saya termasuk generasi kelahiran delapan puluhan. Orang tua pun tidak ada yang mengajari anaknya nembang. 

Sebagai orang Jawa tentu ini menjadi keprihatinan bersama, di mana kebudayaan kita yang paling sederhana saja, yang berupa tembang dolanan tidak terwariskan dengan baik ke anak cucu kita. 

Saya menulis ini catatan ringan ini, setelah sebelumnya melihat di salah satu postingan di laman FB ada yang membagikan pidato Gus Dur saat mengisi pengajian di Lamongan. Tepatnya di Pringgoboyo Kec. Meduran. 

Gus Dur saat itu yang menjadi pembicara pada haul mbah Anggoboyo. Beliau menembangkan sigra milir dan menerangkan bahwa tembang tersebut adalah kisah perjalanan Joko Tingkir yang akan ke Pajang guna merebut kembali tahta kerajaan yang telah jatuh ke tangan Sutowijoyo dari bumi mentaok.

Setelah pasukan Pajang kalah perang dengan Mataram, Joko Tingkir mengungsi sampai Sumenep Madura. Di sana beliau menggalang kekuatannya kembali. 

Saat itu sebenarnya Joko Tingkir sudah membawa pengawal sebanyak 40 orang yang terdiri dari para jawara. Ini disimbolkan dengan wujud 40 buaya yang mengawal getheknya Joko Tingkir saat di bengawan. "Kawan dasa kang njageni"

Tapi ketika sampai di bengawan Jero, Joko Tingkir alias sultan Hadiwijaya ini singgah di Pringgoboyo, ketika sedang istirahat beliau mendapatkan pesan ghaib dari gurunya, yaitu Sunan Kalijaga, agar tidak melanjutkan perebutan kekuasaan lagi. Lebih baik Joko Tingkir tinggal dan menetap saja di situ untuk mendidik masyarakat. Itu lebih bermanfaat, karena jikalau Joko Tingkir pergi ke Pajang pun, ia tidak akan menang melawan Sutowijoyo. Karena suratan takdirnya memang demikian.

Akhirnya Joko Tingkir menuruti dawuh gurunya untuk menetap di Pringgoboyo, dan selanjutnya oleh masyarakat setempat, beliau lebih dikenal dengan sebutan mbah Anggoboyo. Demikian yang dikisahkan oleh Gus Dur. 

Mengenai tafsir tembang sigra milir ini tentu banyak versi, tapi demikian itu kurang lebihnya yang disampaikan oleh Gus Dur. 

Kisah perjalanan Joko Tingkir naik gethek memang sangat melegenda, peristiwa ini juga diangkat di film, namun kisah yang dikenal masyarakat bahwa ini adalah perjalanan Joko Tingkir ketika akan sowan ke Demak era Sultan Trenggono setelah Joko Tingkir berguru kepada Ki Buyut Banyubiru.

Kisah ini entah versi mana yang benar, karena keduanya bersumber dari tradisi lisan yang sulit dibuktikan kebenarannya.

Gus Dur memang sosok yang suka berziarah dan menemukan makam para waliyullah yang kadang belum dikenal oleh penduduk setempat. Seperti juga beliau  pernah ziarah ke Soko Medalem ke sebuah maqam yang menurut beliau itu adalah maqamnya Sunan Kalijaga. Wallahu a'lam. 

Bangilan, 30 Agustus 2021

Jumat, 27 Agustus 2021

Fatratul Kitabah

Fatratul Kitabah
Oleh: Joyo Juwoto

Dalam khazanah sejarah perjalanan agama Islam, kita mengenal istilah fatratul wahyi, yaitu masa jeda di mana wahyu tidak turun kepada Nabi Muhammad SAW. Masa fatratul wahyi ini, tentu sangat menggelisahkan hati Nabi Muhammad yang baru menerima wahyu pertama, dan entah mengapa tidak diikuti oleh wahyu kedua dan selanjutnya.

Masa jeda memang membingungkan dan menggelisahkan hati. Masa jeda yang tidak menentu, gelap, dan tidak ada kepastian. Dalam bahasa jomlo mungkin bisa disetarakan dengan masa menggantung, masa yang tidak jelas sama sekali.

Tidak bermaksud menyamakan, ternyata dalam dunia menulis ternyata juga sama. Ada masa jeda di mana seorang penulis merasa kesulitan untuk menuangkan idenya menjadi sebuah tulisan. Setidaknya ini yang saya alami dan saya rasakan. Saya tidak tahu dengan penulis-penulis profesional, apakah ada juga masa jeda, masa fatratul kitabah.

Sebagai penulis amatiran kayak saya ini, kadang harus menunggu mood untuk bisa menulis. Parahnya setelah menunggu berbulan-bulan ternyata mood itu tidak datang-datang. Benar jika ada yang mengatakan bahwa aktivitas menunggu itu membosankan dan menggelisahkan. 

Saya sebenarnya juga tidak tahu dan belum mengenali betul apa itu mood. Ia datang sendiri tanpa diundang,  Dan serta merta kabur tanpa diantar seperti jailangkung, ataukah perlu sesajen khusus untuk menghadirkannya. Yang pasti ketika saya hanya berdiam diri menunggu datangnya mood, justru saya semakin kesulitan untuk mendekatinya.

Mood tak pernah mau datang ketika kita menunggunya dengan pasif. Itu yang saya rasakan, yang saya alami. Tak terasa menunggu mood justru merusak dan menghalangi kedatangannya. Akhirnya di tengah kegelisahan menunggu, saya memaksa diri untuk menulis. Hasilnya ternyata juga juga susah untuk menghasilkan tulisan yang selesai, apalagi bagus.

Baru beberapa paragraf, bahkan kadang baru beberapa kata, saya tidak bisa melanjutkan menulis. Mentok. Ah, kadang memang hati ini berkata, betapa susahnya menulis, saya kebingungan sendiri.

Sebagai penulis asal-asalan, masa fatroh menulis ini sering saya alami, cuma kadarnya berbeda-beda. Kadang selang beberapa hari  sudah teratasi, tapi kali ini beda, saya merasakan berbulan-bulan lamanya kesulitan menuangkan ide menjadi sebuah tulisan. Buntu.

Ya wis mau bagaimana lagi, menulis hal sederhana saja malas, dan butuh menunggu mood segala. Hal yang sedemikian tentu susah menjadi penulis professional yang harus menyertakan banyak sumber dan referensi. Salah satu kunci menjadi penulis yang baik tentu harus berdisiplin dalam menulis, dan bisa menghadirkan mood, memperbarui mood, dan bukan sekedar menunggunya saja.

Lalu adakah tips-tips untuk menjaga dan menghadirkan mood? Saya rasa kuncinya adalah pada diri pribadi si penulis itu sendiri.

Kalau saya pribadi jika mood tiba-tiba ngedrop biasanya yang saya lakukan adalah melihat cover-cover buku di perpustakaan atau di toko buku, membaca buku, jalan-jalan, dan bisa juga melakukan hal menarik dan menggemberikan diri sendiri, walau kadang semua itu tidak ada gunanya juga. 

Bangilan, 27/08/2021

Kamis, 26 Agustus 2021

Bermakna Dengan Pena, Membersamai Seminar Literasi Di MA Islamiyah Senori Tuban

Bermakna Dengan Pena, Membersamai Seminar Literasi Di MA Islamiyah Senori Tuban
Oleh: Joyo Juwoto

Generasi era 5.0 adalah generasi serba tahu, google, youtobe, TikTok, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari generasi ini, dalam berkiblat dan mengakses beragam informasi di dunia maya, generasi 5.0 bukan lagi sekedar generasi putih abu-abu.

Alhamdulillah, kemarin siang (25/08/21) saya berkesempatan membersamai generasi 5.0 siswa-siswi MA Islamiyah dalam seminar Literasi yang diadakan diselenggarakan oleh kelompok 09 mahasiswa PPL FT-PAI UNUGIRI Bojonegoro.

Di seminar tersebut saya tidak sendiri, ada pemateri dari pihak kampus UNUGIRI Bojonegoro, beliau yang mulia Bapak Dr. H. Mundzar Fahman. Saya kebagian menyampaikan materi diawal   dan selanjutnya materi diperkaya oleh beliau yang memang sudah sangat berpengalaman di dunia tulis menulis. Karena beliau pernah menjadi direktur Radar Bojonegoro periode 2002-2008.

Kegiatan seminar yang digagas oleh Mahasiswa PLL UNUGIRI Bojonegoro ini dibuka oleh Ibu Dosen Bu Nyai Hamidatun Nihayah, M.H.I., selaku Dosen Pembimbing Lapangan. 

Untuk peserta seminar, diikuti oleh berbagai elemen organisasi di Madrasah, seperti pengurus OSIS, bagian perpustakaan, team redaksi majalah madrasah, IPNU, IPPNU beserta para guru pembinanya.

Tentu saya merasa senang bisa berbagi sedikit pengalaman tentang dunia literasi yang telah saya geluti dalam beberapa tahun ini. Dalam paparan yang saya sampaikan diawal saya memberikan afirmasi bahwa aktivitas membaca dan menulis itu adalah perintah Tuhan, yang bernilai ibadah dan berpahala.

Kemudian saya nukilkan dua surat dalam al Quran yang menyebutkan akan hal itu. Yakni surat pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad adalah perintah membaca. Sedang perintah menulis, Allah menurunkan surat Al Qalam (pena). Nūn, wal-qalami wa mā yasṭurụn
Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan,

Betapa luar biasa dan hebatnya dua aktivitas membaca dan menulis ini, sampai-sampai Allah menjadikan sebagai perintah pertama dalam Nubuwwah. Allah juga menjadikan Qalam sebagai media sumpah. Ini tentu terkandung makna yang mendalam dan hikmah yang luar biasa. 

Selain menyuntikkan motivasi menulis, saya juga menceritakan betapa mudah menulis sebuah buku di era sekarang. Jika dulu kita harus mengikuti segala ketentuan sebuah penerbit mayor, maka hari ini kita bisa bebas menerbitkan buku secara indie. Masalah kualitas buku dan isi buku tentu tinggal personalnya. Tapi tidak dipungkiri banyak juga buku-buku yang diterbitkan secara indie memiliki kualitas premium. 

Hari ini kita punya panggung yang bernama media sosial di mana seseorang bisa dengan mudah mengeshare tulisannya untuk dibaca publik. Seorang penulis bisa menciptakan personal brandingnya sendiri dari media sosial ini.

Hari ini banyak sekali platform media sosial yang mendukung seorang penulis untuk bisa mengaktualkan diri, bisa lewat semisal Facebook, Twitter, Instagram, atau platform yang berbasis literasi semisal kompasiana, whatpad, KBM, lewat berbagai blog dan masih banyak lagi.

Itulah berbagai fasilitas yang memberikan kemudahan dalam berliterasi untuk generasi 5.0. Jadi jika ingin mengembangkan dunia literasi kepenulisan, cukup satu kata kuncinya, mulai saat ini juga. Tulislah hal-hal yang bermanfaat, hindari hoax agar tulisan kita memberikan kontribusi positif dalam kehidupan.

"Literasi adalah kemampuan sekaligus mengekspresikan info apapun yang didapat demi kemashlahatan umat" Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala MA Islamiyah Bapak Gatot Utuh Santoso dalam pidato sambutannya.

Memang akhir dari segala sesuatu harus bermuara kepada kebaikan yang harus terus diwariskan dari generasi ke generasi, terus berestafet menebar manfaat agar pahalanya mengalir berjariyah dan mengabadi. 

وَاِنَّ لَكَ لَاَجْرًا غَيْرَ مَمْنُوْنٍۚ

Dan sesungguhnya engkau pasti mendapat pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.

*Bangilan, 26/08/2021*

Rabu, 25 Agustus 2021

Berlibur ke Perpustakaan

Berlibur ke Perpustakaan
Oleh: Joyo Juwoto

Hari sudah beranjak siang, Matahari tampak ceria memancarkan cahaya emasnya, embun di pucuk-pucuk daun mulai menguap hilang di terpa cahaya siang. Burung-burung berkicauan di dahan pohon menyambut riang hari yang penuh gembira.
Hari libur sekolah telah tiba, Nafa dan Ninda sudah membuat rencana jadwal liburan. Jadwal itu akan disodorkan kepada ayah bundanya. Mereka berdua tampak antusias menyerahkan draft liburan yang mereka buat berdua. Mereka berdua kemudian menemui ayahnya.
"Ayah, liburan kali ini kita tidak hanya bersenang-senang saja, tapi harus ada ilmu yang kita dapatkan". Kata Nafa sambil menyodorkan kertas kepada Ayahnya. 
Ayah yang sedang duduk santai di beranda rumah depan, sambil menikmati secangkir kopi menoleh dan menerima selembar kertas merah jambu dari anak sulungnya.
Ayo...ayo...Yah, kita liburan di pantai? Rengek Ninda. Sebagaimana lazimnya anak-anak, Ninda memang suka bermain air dan pasir. 
Ayah hanya mengangguk-anggukkan kepala, itu sudah sangat melegakan kedua bocah yang ingin pergi untuk liburan. Ya begitulah, dunia anak adalah dunia bermain, mereka butuh wadah untuk menyalurkan keriang gembiraannya dengan liburan bersama. 
"Iya, adik. Nanti kita pasti akan pergi berlibur, tenang saja". Kata Ayah menegaskan anggukannya, dengan perkataan yang membuat mata kedua bocah itu berbinar. 
"Horeee... Kita akan liburan ke pantai, ayo Kak Nafa kita siap-siap".Teriak Ninda gembira sekali menyambut datangnya musim liburan sekolah. 
"Wekkk...memang mau berangkat sekarang, kok sudah siap-siap?. Sambut Nafa meledek adiknya.
" Iya Ayah, kita berangkat liburan sekarang bukan?, tanya Ninda mencari kepastian. 
Iya, kita liburan. Tapi kan tidak harus sekarang adik?, jawab ayah sambil melihat dan membaca kertas itu dengan seksama. Mata beliau kelihatan berbinar gembira. 
Ayah tampak tersenyum melihat draft yang disodorkan oleh Nafa. Dari sekian rencana liburan yang dibuat anaknya, ada yang cukup menarik perhatiannya, yaitu berlibur di perpustakaan. Ini tentu aneh sekali, liburan di perpustakaan adalah liburan yang sangat tidak lazim.
Di rumah, Nafa punya perpustakaan pribadi, perpustakaan yang dibaca oleh anggota keluarga, sehingga semenjak kecil Nafa sudah terbiasa bermain dengan buku. Sayangnya koleksi perpustakaan keluarga untuk bacaan anak kurang banyak. Ini yang mungkin mendorong Nafa ingin liburan di perpustakaan. Ia sangat suka membaca cerita-cerita bergambar.
Nafa punya banyak koleksi buku-buku tipis yang bergambar tokoh kartun di televisi, yaitu buku komik Tayo, sebelum ia bisa membaca, Nafa sudah bisa bercerita dari gambar yang ia lihat di komik tersebut, walau tentu tidak semuanya sesuai dengan apa yang ada di komik. Tapi Nafa sangat antusias menceritakan gambar komik Tayo kepada adiknya.
Di desa di mana keluarga Nafa tinggal, tidak ada perpustakaan, paling ada ya perpustakaan di sekolah-sekolah, itupun ala kadarnya saja. Sekedar memenuhi standard administratif belaka. Perpustakaan memang belum mendapatkan perhatian yang serius dari pihak terkait.
"Kak Nafa, untuk jadwal liburan di perpustakaan ini bisa kita lakukan nanti siang, sehabis shalat dhuhur". Ayo nanti kita ke desa di kecamatan sebelah, di sana ada perpustakaan". Terang Ayah lebih lanjut.
Betulkan Kak Nafa, nanti kita liburan?, sela Ninda kembali. 
"Iya Adik, tapi nanti kita liburannya ke perpustakaan, untuk liburan ke pantai besok-besoknya saja ya?. Di perpustakaan juga bagus lho,  adik bisa bermain ayunan, di sana juga ada aneka macam burung, dan ayam". Kata Ayah menghibur anaknya yang ingin ke pantai.
***
"Wow! Bukunya bagus-bagus ya Yah? Banyak sekali koleksinya". Nafa mendatangi rak buku yang terdapat bacaan khusus untuk anak-anak. Ia sangat gembira melihat buku-buku bacaan bergambar yang beraneka rupa.
"Kak Nafa, saya ambilkan yang itu dong, saya juga mau membaca buku itu." Seru Ninda sambil menunjuk salah satu buku yang bergambar aneka hewan di rak yang agak tinggi. 
Ninda dan Nafa sibuk melihat buku-buku koleksi perpustakaan 1001 Ilmu, suasana perpustakaan itu cukup bersih dengan tatanan lemari dan rak buku yang cukup rapi. Perpustakaan itu milik seorang anggota DPR RI. Walau beliau tinggal di Ibu kota, tapi beliau  memiliki perhatian yang tinggi terhadap dunia literasi, oleh karena itu beliau mendirikan taman bacaan di desanya.
Tidak hanya sekedar perpustakaan, taman baca itu juga menyediakan tempat bermain untuk anak-anak. Ada ayunan, bandulan, perosotan, dan lain-lain yang sangat digemari anak-anak. 
Selain itu di sisi belakang pustakaan juga ada ruang edukasi yang berisi gambar pakaian adat, senjata tradisional, tarian daerah, dari berbagai wilayah di Indonesia. Anak-anak juga bisa melihat ayam mutiara, burung merak, dan aneka burung yang juga ikut meramaikan taman baca tersebut.
“Ayah, saya sudah bosan melihat buku? Kata Ninda yang sejak awal memang kurang menyukai liburan ke perpustakaan.Sedang Nafa tampak sibuk melihat-lihat buku, satu buku belum dibaca, ia letakkan kemudian beralih melihat buku yang lain. Tampaknya ia bingun mau membaca buku apa. Nafa sedang bereksplorasi melihat-lihat sampul bukunya saja.
“Sebentar Nind, ini lihat ada buku bagus sekali gambarnya?, bujuk Nafa kepada adiknya yang memang sudah bosan.
“Nggak ah! Saya tidak mau melihat buku lagi”. Saut Ninda dengan nada ketus.
“Baiklah Adik Ninda, kita beralih ke taman yuk?, ayo Kakak Nafa ke belakang ruang perpustakaan ini, di sana ada tempat bermainyang cukup bagus”. Kata ayah menengahi.
Mereka bertiga kemudian meninggalkan ruang baca perpustakaan, dan beralih ke taman bermain anak. Sebelum sampai di taman bermain, mereka melewati lorong yang di dindingnya ditempeli aneka kebudayaan dari berbagai wilayah di Nusantara.
“Wah, bagus sekali ini bajunya? Ini dari mana ya Yah?, tanya Nafa sambal menunjuk salah satu pakaian adat yang tertempel di sudut lorong menuju taman bermain.
‘Owh, itu baju adat dari Jambi, warnanya merah merona dengan sulaman benang emas, sehingga bajunya terkesan sangat mewah dan indah Kak”. Jawab ayah menerangkan.
“Tidak hanya Jambi saja yang memiliki pakaian adat mewah, kita punya kekayaan budaya yang sangat beragam, lihat itu yang tertempel di sana, bagus-bagus kan? Sambung ayah menerangkan lebih detail.
“Iya Ayah, bagus-bagus. Nafa sangat suka sekali”.
“Oleh Karena itu anakku, belajarlah yang sungguh-sungguh, pelajarilah kebudayaan adi luhung nenek moyang kita, agar besok menjadi manusia Indonesia seutuhnya, dan yang terpenting cintailah negeri ini dengan segenap cinta, karena kita memiliki khazanah kebudayaan yang sangat kaya sekali”.
“Pakaian adat ini, baru sebagian kecil kekayaan kebudayaan Nusantara, masih banyak mutiara terpendam yang kita miliki, semoga kelak engkau bisa memahaminya”. Lanjut ayah melanjutkan keterangannya.
“Ya sudah, ayo sekarang kalian berdua bermain di sana”, tunjuk ayah ke sebuah ayunan di bawah sebuah pohon yang rindang. Kedua bocah itu kemudian berlari kearah ayunan, mereka siang itu sangat gembira sekali berlibur di perpustakaan, hingga tak terasa waktu telah menjelang senja.