Jumat, 15 April 2022

Shodaqoh di Bulan Ramadhan

Shodaqoh di Bulan Ramadhan
Oleh: Joyo Juwoto

Afdhalus Shodaqoh fi Ramadhan, begitu salah satu hadits mengenai keutamaan shodaqoh di bulan Ramadhan. Walau sebenarnya kapanpun kita melakukan amal shodaqoh Allah SWT akan memberikan balasan kebaikan kepada kita, namun seutama-utamanya shodaqoh berdasarkan hadits di atas yang dilakukan di bulan Ramadhan. 

Shodaqoh adalah amal dua dimensi, dimensi vertikal dan dimensi horizontal, dimensi ilahiah dan dimensi insaniyyah, dimensi ruhaniah dan dimensi sosial. Jika kita shalat maka itu hanya menyangkut ibadah kita secara langsung kepada Allah, puasa, haji pun demikian, namun ibadah zakat, infaq dan shodaqoh tidak hanya menyangkut ibadah ruhaniah saja, namun juga ibadah sosial.

Yang saya maksud dimensi sosial karena dampak ibadah ini secara langsung bisa dirasakan oleh orang yang kita sedekahi, meringankan beban mereka, dan memberikan rasa cinta dan kebahagiaan. Ibadah shodaqoh ini adalah bentuk tanggung jawab moral dan sosial kita di tengah-tengah masyarakat. 

Hanya saja kadang ibadah shodaqoh ini menimbulkan rasa superioritas dalam diri yang bersedekah. Orang yang memberi merasa lebih unggul dan lebih tinggi derajadnya dari yang diberi. Ini penyakit hati. Kita harus memposisikan diri bahwa kita butuh menyalurkan sedekah harta kita, karena di sana ada haknya orang yang memang berkah menerima.

Di sinilah keikhlasan sedekah kita diuji, apakah kita benar-benar ikhlas karena Allah atau karena mengharap yang lainnya. Tidak hanya berharap sanjungan dan pujian sebagai orang yang dermawan, kadang kita sedekah juga mengharapkan kembalian dari Allah yang berlipat-lipat. Allah SWT memang berjanji akan melipat gandakan harta yang kita sedekahkan, tapi bukan berarti kemudian kita membuat satu struktur berfikir jika kita sedekah seribu maka pasti balasannya adalah sepuluh ribu berupa uang. Allah bisa saja mengganti dalam bentuk lain di dunia atau bahkan diberikan kelak di surga, yang pasti Allah pasti akan membalas sedekah kita.

Saya rasa sebuah keterangan jika tangan kanan memberi, jangan sampai tangan kiri mengetahuinya, ini adalah nasehat yang sangat bijak mengenai ibadah sedekah. Kalau orang Jawa bilang, "Sak Apik-apike Wong Yen Awehi Pitulung Kanthi Cara Dedemitan." Sebaik-baik orang itu jika memberi dengan cara sembunyi-sembunyi. 

Semoga amal ibadah kita di bulan ramadhan ini dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang sebaik-baiknya, yang sebanyak-banyaknya, berlimpah dikehidupan dunia dan akhirat kita. Aamiin. 

15 April 2022

Kamis, 14 April 2022

Menggapai Rahmat di Bulan Ramadhan

Menggapai Rahmat di Bulan Ramadhan
Oleh: Joyo Juwoto
Tak terasa puasa telah kita jalani hingga detik ini, di bagian sepuluh pertama. Dalam haditsnya Rasulullah SAW mengatakan bahwa sepuluh hari pertama puasa adalah rahmat. Betapa banyak kebaikan dilakukan oleh umat Islam di bulan ramadhan, ini adalah rahmat yang luar biasa. 

Jika setelah menjalankan shalat isya' biasana orang-orang sama pulang dari masjid, kemudian melanjutkan aktivitasnya di rumah, ada yang nyangkruk di warung, menonton televisi dan aktivis lainnya, maka di bulan ramadhan umat Islam punya aktivitas baru, yaitu shalat taraweh dan tadarus al Qur'an.

Betapa mulianya dan betapa banyaknya Rahmat Allah SWT. yang diturunkan pada malam-malam bulan Ramadhan ini. Di langgar, di masjid umat Islam sama berlomba-lomba beribadah menggapai kemudian dan keberkahan bulan Ramadhan. 

Selain itu kegiatan taraweh dan tadarus, di masjid-masjid biasanya juga diadakan pengajian kitab kuning menjelang berbuka puasa. Masyarakat bergantian membawa takjil maupun sajian berbuka di taruh di masjid, sehingga jamaah tidak perlu pulang terlebih dahulu jika waktu berbuka tiba. Mereka bisa takjil di masjid, kemudian dilanjutkan shalat magrib berjamaah, lalu berbuka bersama di masjid atau ada yang membawa bungkusan buka puasa pulang untuk dimakan di rumah.

Betapa bulan ramadhan menjadi madrasah peradaban umat manusia yang luar biasa. Ramadhan mengajarkan pentingnya mengaji, mengajarkan bagaimana al Qur'an dibaca dan ditelaah setiap hari, mengajarkan hidup untuk saling berbagi, dan Ramadhan mengajarkan bagaimana seorang hamba bertaqwa kepada Allah SWT. 

Ramadhan menjadi semacam telaga keberkahan sungai rahmat di mana umat manusia bisa membasuh daki-daki kedosaan individu maupun dosa sosial yang ada di tengah masyarakat. Ramadhan menyatukan hati dan mendorong masyarakat untuk saling menebar rahmat dan kebaikan, ramadhan seakan menjadi mata air yang menyejukkan di tengah sahara peradaban yang semakin kerontang.

Dalam kitab durrotun nasihin yang menerangkan keutamaan shalat taraweh, pada malam kesepuluh Allah SWT mengaruniakan kepada umat Islam yang menjalankan puasa di siang harinya dan bertaraweh di malam harinya Allah SWT memberikan baginya kebajikan dunia  dan akhirat. Aamin. 


Bangilan, 9 Ramadhan 1443 H

Jumat, 08 April 2022

Keagungan Bulan Ramadhan

Keagungan Bulan Ramadhan
Oleh: Joyo Juwoto

Setahun yang lalu tepatnya bulan Maret 2021, saya mendapat kiriman hadiah buku yang sangat menginspirasi dari Dr. Zaprulkhan, dosen STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung. Judul bukunya Mukjizat Puasa. pak Zap ini adalah salah satu guru saya di group WhatsApp Sahabat Pena Kita.

Buku Dr. Zaprulkhan ini menutur penjelasan mengenai pencerahan spiritual melalui ibadah puasa di bulan ramadhan. Beliau mengatakan bahwa tulisan beliau ini adalah hasil perenungan-perenungan sederhana yang bermula keinginan beliau untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang ada di kepalanya. 

Dalam penuturan beliau dipengantar buku, pak Zap mengaku sangat terinspirasi dengan dua ulama kondang yaitu Imam Al-Ghazali pengarang kitab Ihya' dan Syekh Ibnu Athaillah as Sakandari pengarang kitab Hikam.

Tidak heran diawal tulisan beliau menulis tentang bulan Ramadhan dengan kata-kata yang cukup indah dan bermakna. Berikut saya nukilkan sedikit tulisan beliau:
"Ramadhan adalah samudera indah tempat sejuta mutiara kemuliaan tersimpan. Ramadhan adalah perbendaharaan sakral di mana segala keagungan terpendam. Ramadhan merupakan bulan tempat aneka ragam kebesaran bersemayam. Ramadhan pun merupakan cakrawala kudus tempat semesta karuania tercurahkan."

Saya cukup terpesona awal membaca tulisan Dr. Zaprulkhan di renungan yang pertama, yaitu tentang keagungan ramadhan. Beliau dengan gamblang bisa menggambarkan tentang keagungan ramadhan sejak di paragraf yang pertama. 

Ya, demi keagungan ramadhan inilah kita Umat Islam rela berlapar-lapar dan menahan dahaga sehari penuh, rela begadang menjalankan shalat taraweh, dan rela duduk menekur membaca Al-Quran sepanjang bulan. Semua adalah demi keagungan daripada bulan Ramadhan ini.

Secara lahiriah tak ada beda apakah ini bulan Ramadhan, apakah ini bulan Rajab, atau bulan-bulan lainnya, tapi apa yang membedakan bulan Ramadhan dengan bulan-bulan selainnya? Kullu syai'in sababun kata pak Zap, dan sebab ini yang perlu dikaji. 

Menurut penjelasan di bukunya pak Zap, perbedaan antara bulan Ramadhan dengan bulan lainnya ternyata adalah pada  bulan Ramadhan ini Allah SWT pertama kalinya menurunkan Al Quran ke muka bumi, ini adalah peristiwa besar nan agung sepanjang masa. Jadi tidak heran jika bulan Ramadhan memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bulan selainnya.

Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 185 yang artinya:

"Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)."

Ternyata sebab inilah kemuliaan dan keagungan bulan Ramadhan melebihi bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu mari memanfaatkan dengan sebaik-baiknya Ramadhan tahun ini, semoga kita kelak masih dipertemukan dengan Ramadhan di tahun-tahun berikutnya. Aamin. 


Jumat, 8 April 2022 M/ 6 Ramadhan 1443 H

Kamis, 07 April 2022

Ramadhan Bulan Membaca

Ramadhan Bulan Membaca
Oleh: Joyo Juwoto
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al Qur'an, bulan di mana Rasulullah SAW pertama kali ditemui malaikat Jibril untuk menerima wahyu. Ayat pertama yang turun adalah surat al alaq ayat 1-5. Ayat pertama yang turun adalah perintah untuk membaca. Iqra' bismirabbikalladzii kholaq. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Maha Menciptakan.

Saya di sini tidak hendak menafsirkan ayat Al-Quran, karena bukan kapasitas saya. Karena ilmu tafsir sudah ada kualifikasinya tersendiri. Saya hanya ingin menadabburi firman Allah guna mengambil faedah dan hikmah khususnya untuk diri pribadi saya. Sebagaimana yang sering Cak Nun katakan dalam Maiyahnya. 

Ayat pertama yang turun kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW sangat jelas, yaitu perintah untuk membaca, karena iqra' adalah fiil amar yang dalam ilmu nahwu bermakna perintah. Jadi perintah Allah yang pertama adalah membaca, bukan perintah untuk shalat, zakat, maupun ibadah lainnya. 

Jadi sangat tepat jika bulan Ramadhan adalah bulan membaca, karena Allah menurunkan ayat iqra' di bulan ramadhan. Oleh karena itu sudah menjadi tradisi umat islam di bulan ramadhan semarak membaca al Qur'an bergema di mana-mana. Tiap mushola, masjid, dan di rumah orang-orang sama sibuk membaca Al-Quran. Kesibukan membaca Al-Quran pada bulan Ramadhan meningkat, silakan diperhatikan. 

Tidak hanya membaca Al Qur'an, umat islam, para santri sama mengaji kitab kuning. Pondok pesantren disibukkan dengan kegiatan pasanan baik untuk santri mukim maupun santri yang datang hanya sekedar pasanan di bulan ramadhan. 

Saya sendiri punya tradisi jika ramadhan berusaha mengkhatamkan membaca al Qur'an, walau hanya sekali khatam di bulan ramadhan. Tradisi ini sudah saya lakukan sejak di pondok dulu, karena mbah Yai waktu itu menasehati santri-santri untuk menyibukkan diri dengan membaca Al-Quran pada bulan ramadhan. Semoga ramadhan tahun ini saya bisa mengkhatamkannya juga. Aamiin. 

7 April 2022 M/ 5 Ramadhan 1443 H

Rabu, 06 April 2022

Tidurnya Orang Yang Berpuasa adalah Ibadah

Tidurnya Orang Yang Berpuasa adalah Ibadah
Oleh: Joyo Juwoto

Pada bulan puasa langit surga ditampakkan, dan pintu neraka ditutup oleh Allah SWT, demikian dalam sebuah penjelasan keutamaan bulan puasa. Ya, semua amal kita di bulan puasa adalah bernilai ibadah yang membuahkan pahala. Tidurpun kita tetap mendapatkan pahala. Hadits ini sangat masyhur sekali, Naumusshoimi ibadatun.

Mengapa tidur saja di bulan ramadhan kok dianggap ibadah? Mungkin kelihatannya aneh, tapi jika ditelisik benar adanya. Bayangkan jika kamu tidur, maka potensi maksiat kamu kepada Allah tentu berkurang, dibandingkan saat terjaga. Ini mungkin selemah-lemahnya alasan untuk meninggalkan kemaksiatan berkurang, dibandingkan saat terjaga. Ini mungkin selemah-lemahnya alasan untuk meninggalkan kemaksiatan.

Jika kita berbicara masalah tidur, tentu kita semua tahu kisah ashabul kahfi. Para pemuda ashabul kahfi ini jihadnya adalah tidur di dalam goa selama bertahun-tahun. Mereka dalam mempertahankan keyakinannya ya hanya dengan tidur sampai Allah SWT membangunkan mereka. Jadi jika ada ungkapan tidurnya orang yang puasa ibadah tentu tidak aneh, walau tentu ini bukan untuk dipakai alasan untuk bermalas-malasan.

Dalam memaknai ungkapan hadits tidurnya orang puasa adalah ibadah harus dengan kacamata positif dan produktif, semisal jika tidur saja dihitung sebagai ibadah, maka tentu ketika kita melakukan kebaikan da  amal sholeh sudah barang tentu Allah SWT akan memberikan pahala yang berlimpah.

Jadi bulan Ramadhan adalah bulan diskon besar-besaran yang diberikan Allah kepada kita, ramadhan adalah bentuk kasih sayang dan rahmat Allah yang tiada tara bagi umat Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu mari mempergunakan kesempatan satu bulan sekali dalam setahun ini untuk investasi akhirat kelak.

Investasi itu bisa berupa memperbanyak membaca Al Qur'an di bulan ramadhan, bersedekah kepada dhuafa, tidak meninggalkan shalat taraweh yang memang diberikan keluasan waktu dan kesempatan oleh Allah, maupun dalam bentuk kebaikan-kebaikan lainnya. 

Semoga dengan berinvestasi akhirat tersebut menjadikan kita hamba-hamba yang berhasi lulus di madrasah Allah SWT yaitu madrasah ramadhan, dan akhirnya kita dapatkan gelar hamba yang bertaqwa. Aamiin, aamiin ya Rabbal 'alamin. 

6 April 2022 M/ 4 Ramadhan 1443 H

Selasa, 05 April 2022

Bahagia Menyambut Puasa

Bahagia Menyambut Puasa
Oleh: Joyo Juwoto
Puasa memang istimewa, belum juga kita melaksanakannya Rasulullah Saw sudah mengabarkan sebuah kabar gembira, "Man fariha bidhukhuuli ramadhan harramallahu jasadahu alanniiran" Barang siapa yang bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah haramkan jasadnya masuk neraka. Sebuah kabar gembira yang sangat melegakan jiwa. 

Ini belum juga dilaksanakan ibadahnya, bonusnya sudah dikredit di depan, apalagi pahala puasanya tentu lebih besar lagi. Tidak hanya itu saja, amalan-amalan di bulan puasa pahalanya dilipat gandakan sepuluh kali lipat, sedang ibadah puasa entah seperti apa pahalanya, karena Allah mengatakan itu hanya Dia yang akan langsung memberikannya pahalanya. Ashoumu Li, Wa Ana Ajzi bihi.

Untuk meluapkan kegembiraan banyak cara dilakukan, umat Islam di Indonesia, khususnya Jawa punya tradisi megengan untuk menyambut puasa. Mungkin saja ada yang tidak setuju dengan model luapan kegembiraan yang sedemikian, namanya bergembira menurut saya ya sah sah saja, Allah dan Rasul-Nya sendiri tidak merinci harus seperti ini lho yang namanya bergembira menyambut puasa itu.

Megengan itu sebenarnya hanya kulitnya saja, isinya tetap sama dengan semangat ajaran keislaman. Di dalam acara megengan itu mengandung ajaran berbagi kebahagiaan kepada sesama, juga ajang untuk menjalin tali silaturahmi. Jadi apa masalahnya dengan kegiatan megengan ini? Lha wong makan-makan dan berbagi makanan masak kok ya tidak diperbolehkan.

Secara filosofis megengan memiliki makna yang lebih mendalam lagi, karena megengan itu bermakna menahan diri. Jadi masyarakat sudah mempersiapkan diri untuk menahan diri pada bulan puasa, baik menahan diri dari  pengertian puasa secara syariat maupun secara hakekat.

Rasulullah Saw sendiri juga sudah mengingatkan akan datangnya bulan Ramadhan dua bulan sebelumnya, yaitu saat masuk bulan Rajab. Beliau mengajarkan doa sebagai pengingat akan datangnya Ramadhan. Allahumma baariklana fi rajaba wa sya'baana wa ballighna ramadhan.

Begitulah salah satu keistimewaannya bulan Ramadhan, hingga kedatangannya dikabarkan dua bulan sebelumnya. Umat Islam Nusantara mengabarkan juga dengan tradisi megengannya. 


Bangilan, 4 April 2022

Minggu, 03 April 2022

Kebahagiaan Menyambut Bulan Ramadhan

Kebahagiaan Menyambut Bulan Ramadhan
Oleh: Joyo Juwoto
Bulan Ramadhan adalah bulan taraweh, karena hanya di bulan ini shalat sunat 23 rakaat ini boleh dilaksanakan. Selain di bulan ramadhan tidak ada yang namanya taraweh. Shalat sunat ini yang paling sering dijadikan politik identitas di kalangan umat Islam, jika tarawehnya 23 rakaat berarti NU, jika tarawehnya 11 rakaat berarti golongan Muhammadiyah. 

Saya rasa ikhtilaf fikih yang sedemikian cukup wajar, dan boleh-boleh saja yang terpenting persatuan umat Islam tetap terjaga. Jangan karena perbedaan jumlah rakaat taraweh menjadikan kita saling berselisih paham dengan permasalahan yang demikian. 

Kalau menurut mbah Moen yang namanya shalat taraweh itu ya 23 rakaat, bukan 8 rakaat. Karena yang membuat taraweh itu sahabat Umar bin Khattab, pada jaman Nabi belum ada yang namanya taraweh, adanya adalah shalat malam. Karena Nabi sendiri tidak pernah melakukan taraweh. 

Saya sendiri pernah taraweh 23 rakaat sering juga taraweh 8 rakaat, saya tidak begitu fanatik dalam perbedaan jumlah tersebut. Lha wong jaman saya kecil, walau rakaat taraweh saya 23 rakaat kadang di tengah shalat saya berhenti beristirahat atau hanya sekedar iseng tidak ikut shalat. Jadi kalau dihitung saya taraweh tidak 11 rakaat juga tidak 23 rakaat, di rumah pun saya tidak menambahkannya menjadi 23 rakaat, tidak tahu model yang begini ini masuk golongan apa.

Shalat taraweh cukup menyenangkan bagi anak-anak di kampung saya jaman dulu, karena bulan Ramadhan  sudah dianggap bulan yang istimewa, setidaknya anak-anak makan lebih enak daripada di hari biasanya. Orang tua kita menyediakan makanan yang lebih enak dari biasanya untuk keperluan berbuka puasa dan sahur, ada bonus es dawetnya, kolak, dan aneka macam cemilan lainnya.

Tidak hanya itu saja, Ramadhan bagi anak-anak seperti kami yang hidup di pedesaan adalah hadiah yang luar biasa. Bagaimana tidak pada bulan Ramadhan kata guru-guru ngaji kami di langgar setan-setan dibelenggu. Bayangan kami saat itu setan dirantai sehingga tidak bisa keluar untuk menakuti kami yang memang hidup dibesarkan dalam bayang-bayang cerita demit, setan, gendruwo dan sebangsanya. Kami sangat hafal cerita-cerita makhluk yang entah sebenarnya ada atau tidak, lha wong saya sendiri belum pernah sekalipun tahu wujudnya. 

Maklum memang saat itu listrik belum ada, jika malam hari jalanan kampung cukup lengang pohon masih rimbun, dan kondisinya cukup gelap, wajar jika kami anak-anak takut kalau malam hari. Tapi ketika datang bulan Ramadhan ketakutan kami sirna, setidaknya berkurang karena setan dibelenggu oleh  Allah Swt.

Satu hal yang cukup menyenangkan di bulan Ramadhan adalah musim mercon. Banyak varian mercon yang biasa kami pakai, ada yang dari bekas busi motor, dari ruji sepeda, hingga  membuat mercon dari tabung bekas susu yang digabungkan sedemikian rupa, namun kebanyakan kami membuat mercon dari bumbung bambu. Itulah kebahagiaan-kebahagian kami dalam menyambut bulan Ramadhan selain menyambut ibadah taraweh di langgar ataupun masjid. 


Bangilan, 03 April 2022

Aku Ingin Menjadi Sarjana

Aku Ingin Menjadi Sarjana
Oleh: Joyo Juwoto

Matahari pagi ini terlihat suram, ia tampak malas menebar cahaya keemasannya pada sudut-sudut halaman rumahku, hingga basah daun dan rumput sisa embun semalam masih terlihat berkilauan. Suasana tampak hening, yang terdengar hanya sesekali suara kokok ayam jantan yang terdengar dari kejauhan. 

Pagi itu adalah hari kelulusanku dari sekolah berseragam abu-abu. Iya, aku sebentar lagi akan menanggalkan seragam itu, seragam yang mengukir banyak kenangan dan kisah indah semasa aku bersekolah. Seragam itu akan menjadi salah satu monumen sejarah bagi perjalanan hidupku.

Seragam itu merekam banyak hal yang membuatku tersenyum bahagia, kadang juga berlinang air mata duka, masa yang rasa-rasanya tidak mungkin terulang kembali, masa yang sangat indah untuk dikenang dan mustahil untuk dilupakan.

Jika hari kelulusan banyak dirayakan oleh teman-temanku dengan bunga, foto-foto, dan kebahagiaan, maka itu tidak berlaku untukku. Justru aku dirundung kesedihan yang tiada tara, bahkan aku seperti tidak ingin hari kelulusan itu ada. Sebab bagiku kelulusan ini memupus masa bahagiaku, masa-masa menuntut ilmu. 

Aku masih bermalasan di kamar, tidak segera beranjak untuk pergi ke sekolah dan merayakan kelulusan bersama teman-temanku. Aku yakin, Teman-temanku meneguk banyak kebahagiaan dan keceriaan, mereka akan segera lulus dan menggunakan toga kebesaran. Sedang diriku entah apa yang harus aku rayakan? Atau justru ini adalah perayaan kesedihan hatiku. Entahlah. 

Satu minggu yang lalu saat pengumuman kelulusan, teman-temanku telah menyusun rencana akan ke mana mereka setelah lulus, ada yang ke UI, UGM, ITB, UMM, dan seabrek kampus beken lainnya di dalam negeri, bahkan ada pula yang akan melanjutkan studinya di luar negeri. 

Kebanyakan teman-temanku orangtuanya memang tergolong mampu, sehingga ketika anaknya menginginkan kuliah ke mana saja, tiada masalah. Orang tua mereka akan mengabulkannya. Sungguh sangat berbeda dengan apa yang kurasa. 

Diriku ini yang bukan siapa-siapa, tak punya rencana, bahkan tidak berani untuk merencanakan akan ke mana  setelah lulus nanti. Kusadari kondisi kedua orang tuaku yang tak akan mengijinkan anaknya  melanjutkan kuliah, jangankan untuk kuliah, bisa lulus SMA saja sudah suatu anugerah yang tak terhingga. Orang tuaku hanyalah buruh tani, kuterima dan kusadari itu sepenuh hati.

Tapi bagaimanapun jiwaku tetap meronta, ingin rasanya seperti yang lainnya, lulus SMA bisa melanjutkan untuk kuliah ke Perguruan Tinggi yang kudamba dan kucita-citakan. Aku ingin kuliah di fakultas pertanian. Aku punya keinginan menjadi sarjana pertanian.

Orang-orang di desaku mayoritas adalah petani, semua menggarap sawah dan ladang, hanya saja mereka mengerjakannya sekenanya, tanpa ilmu akademisi, hanya berdasarkan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun. Mereka tidak mengenal basic ilmu pengetahuan tentang pertanian, mereka hanya mengandalkan otodidak dan langsung terjun menggarap sawah dan ladang. 

Aku memimpikan bisa mengubah desaku dengan belajar ilmu pertanian, sehingga kelak ketika aku selesai kuliah bisa mengabdikan diri di dunia yang aku cintai, dunia bercocok tanam. Ah, mustahil rasanya, dan cita-citaku hanyalah impian belaka yang tak mungkin terwujud di dunia nyata.

"Karim, ayo nak segera sarapan, nanti kamu telat lho ke sekolah!" Teriak simbokku dari luar kamar membuyarkan lamunanku. 

"Iya mbok, aku segera sarapan." Jawabku singkat. 

Aku pun menuju ruang makan, tepatnya sebuah meja kayu dengan dingklik dari bambu. Di atas meja sudah disiapkan sarapan kesukaanku. Nasi anget dengan sambal secobek, dan tidak ketinggalan lauk tempe goreng. Aku segera sarapan, sebelum jari beranjak siang.

"Mbok, nanti di sekolah ada pengumuman kelulusan," Ucapku singkat di sela-sela diriku menyendok nasi. 

"Iya nak, itu artinya sekolahmu segera selesai, dan kamu bisa membantu simbok bekerja pada Juragan Bandi." Jawab simbokku, sambil menunggui  aku sarapan. 

"Nanti gantian yang sekolah, adikmu ini juga ingin melanjutkan ke SMP di kota, jadi kamu bisa bantu simbok bekerja untuk menyekolahkan adikmu."

"Iya, mbok!." Jawabku singkat. 

Memang begitulah yang diharapkan oleh simbokku, saya tidak bisa menyalahkan beliau, tidak sampai hati, apalagi sampai menuntut simbokku yang seorang diri membesarkan kami berdua anak-anaknya, dan kemudian juga menuruti keinginan diriku yang memang tidak seharusnya itu. Akun sungguh tidak tega, dan bukankah anak yang baik adalah anak yang taat dan berbakti kepada orang tuanya, khususnya ibunya? Begitu yang diajarkan oleh guru agamaku. 

"Kamu kelihatannya tidak bahagia nak mau lulus? Apakah kamu masih memendam keinginanmu untuk kuliah? Tanya simbokku lagi. 

Nasi terakhir dalam sendokku urung ku masukkan ke dalam mulutku. Aku terdiam mendengar pertanyaan simbokku itu. Memang dulu aku sempat cerita kepada simbokku tentang keinginanku untuk kuliah, tapi itu sudah sangat lama. Itupun saya omongkan sambil lalu saja, tidak kusangka simbok masih mengingatnya.

"Emm, tidak mbok. Justru aku sedang berfikir setelah lulus aku kerja apa biar bisa membantu simbok untuk membantu sekolahnya adik Kirom." Jawabku sekenanya. 

Benarkah itu nak? Kamu tidak sedang membohongi simbokmu bukan? Selidik simbok sambil memandangi diriku. "Simbok kepengin mengkuliahkanmu nak, tapi bagaimana lagi, keadaan kita seperti ini." Lanjut simbokku kelihatan sedih. Wajahnya menjadi sendu. 

Aku hanya terdiam, kemudian sendok terakhirku akhirnya kumasukkan ke dalam mulutku. Simbok juga membisu. Aku jadi merasa sedih pula jika melihat simbokku sedih.

"Jangan sedih mbok, aku akan membantu simbok mencari uang, nanti biar Dik Kirom yang melanjutkan kuliah, setidaknya nanti mimpiku aku titipkan pada Kirom. Dia harus lulus sekolah dan melanjutkan kuliah."

"Maafkan simbokmu ya nak? Simbok tidak bisa menuruti kemauanmu. Semoga engkau besok menjadi orang sukses walau tidak kuliah."

"Gak papa kok mbok, belajar tidak harus kuliah, sebagaimana nyang selalu simbok wejangkan, di manapun kita bisa belajar, kepada apapun kita bisa belajar, belajar tidak hanya di bangku sekolah atau kuliah saja." Ucapku menirukan nasehat simbokku.

Simbok bekerja seorang diri sebagai buruh tani, bapakku telah pergi semenjak adikku belum genap berusia satu tahun. Bapakku yang juga seorang buruh tani telah pergi meninggalkan kami bertiga. Beliau sakit paru-paru. Faktor ekonomi menyebabkan kami tidak bisa mengobatkan bapak dengan layak, hingga beliau meninggal dunia. 

Sebagai anak sulung tentu aku punya kewajiban membantu simbokku untuk mencari nafkah. Juga membantu adikku untuk bisa bersekolah. Walau diriku hanya mampu menamatkan SMA, rasa-rasanya saya cukup bangga dan tidak perlu menyesal. Kukubur dalam-dalam impianku untuk kuliah, demi baktiku kepada sombokku. Aku tidak ingin beliau memikul beban yang membuat pundaknya tak mampu untuk menopangnya.

"Baiklah mbok, saya berangkat sekolah dulu, nanti pengumuman kelulusan, doakan semoga anakmu bisa lulus dengan nilai yang memuaskan."
***

Hari ini aku diwisuda sebagai sarjana S1 jurusan  pertanian di kampus impianku. Aku telah membukatkan tekad untuk mengabdikan ilmu yang kudapat untuk desaku. Walau sebenarnya sebagai lulusan terbaik di kampus, ada tawaran bekerja di kantor kementrian pertanian, namun tawaran yang menggiurkan itu kutolak dengan halus. Aku bertekad akan memajukan desaku lewat dunia pertanian. 

Masih kuingat empat tahun yang lalu, saat kelulusan di SMA, saya dengan ikhlas mengubur mimpiku untuk kuliah. Namun keajaiban itu datang, Pak Lurah memintaku kuliah, beliau saat itu yang baru saja dilantik sebagai kepala desa punya program untuk mencetak sarjana di desa yang dipimpinnya. Kebetulan beliau mencari lulusan  terbaik tingkat SMA, dan puji Tuhan saat pengumuman kelulusan namaku bertengger diurutan  pertama. 

Aku menangis haru, apalagi saat simbokku maju ke depan menemani diriku foto. Simbokku pun berlinangan air mata bahagia, saat MC membacakan namaku sebagai lulusan terbaik di kampus. Aku pun bersujud luruh penuh syukur, kemudian diriku tenggelam dalam pelukan simbokku. Kami berdua menangis sesenggukan. 

Jika tangis simbokku empat tahun yang lalu saat kelulusanku adalah tangis kepedihan, hari ini tangis simbokku adalah tangis kebahagiaan. Aku pun bahagia, impianku kini menjadi nyata. 

Air mata simbokku dan air mataku jatuh ke lantai, membasahi bumi pertiwi. Air mata itu menjadi saksi akan janji bakti, janji suci untuk berbakti kepada tanah tumpah darahku, tanah yang kucintai dengan segenap jiwa dan raga. Tanah yang selama empat tahun kutinggalkan, dan kutimbuni dengan kerinduan-kerinduan yang mendalam. 

"Nak, apa yang kau cita-citakan telah terkabul, jangan lupa tugas beratmu menanti, membangun desamu dengan ilmu yang telah engkau dapatkan di bangku kuliah."

Begitu pesan simbokku, walau lirih pesannya cukup jelas merasuk di sanubariku. Pesan itu menjadi bara yang selalu berkobar di dadaku, menjadi palu godam yang menggetarkan jiwaku, bahwa ada tanggungjawab besar yang harus kuemban. Tanggung jawab sebagai anak yang ingin berbakti kepada simboknya, tanggung jawab sebagai anak desa yang ingin mengabdi kepada ibu bumi pertiwinya. 

Bangilan, 14 Maret 2021

Ngaji Pasan di Bulan Ramadhan

Ngaji Pasan di Bulan Ramadhan
Oleh: Joyo Juwoto

Saya pernah menulis esai singkat bahwa Bulan Ramadhan adalah bulan literasi, khususnya yang terkait dengan literasi membaca. Jika kita perhatikan lembaga pendidikan semisal Pondok pesantren, langgar, maupun masjid pada bulan Ramadhan banyak menyelenggarakan kegiatan pasan dengan pengajian kitab kuningnya, selain tentu pembacaan al Qur'an yang marak dilakukan di bulan ramadhan, baik secara individu maupun secara komunal.

Di Ramadhan yang penuh berkah tahun ini, saya sendiri mengisi waktu bakda shubuh dengan membaca kitab tipis dengan tema akhlaq, yaitu kitab Taisirul Kholaq karya Hafidz Hasan Al Mas'udi. Kitab ini saya baca dengan menggunakan makna gandul (pegon) kemudian saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar mudah dipahami.

Tulisan pegon di awal-awal perkembangan Islam di Nusantara sangat familiar dan banyak dikuasai oleh masyarakat, khususnya santri. Bahkan mereka kadang tidak  bisa membaca dan menulis latin tetapi sangat lancar membaca dan menulis pegon. 

Seiring dengan berjalannya waktu, penguasaan terhadap tulisan pegon di tengah masyarakat mulai menurun, seiring dengan perkembangan tulisan latin yang banyak dipelajari dan digunakan di sekolah-sekolah formal. 

Membaca dan menulis pegon ini menjadi ciri dan identitas yang khas dari sebuah pesantren pada jaman dahulu hingga hari ini. Saya sendiri saat nyantri di ponpes Assalam Bangilan juga mengaji model ngesahi kitab kuning dengan tulisan pegon. 

Saya merasa bangga walau ponpes Assalam secara tipologi adalah pesantren modern, namun tidak meninggalkan sama sekali sisi kesalafannya. Ponpes Assalam yang notabenenya adalah pondok yang memilih Gontor sebagai salah satu kiblat sistem pendidikannya, akan tetapi pondok pesantren Assalam tetap menyisakan ruang untuk belajar membaca dan menulis pegon. 

Walau dalam kesehariannya haram hukumnya bagi santri bercakap-cakap dengan bahasa daerah, karena santri harus berbahasa Arab ataupun Bahasa Inggris, kalau belum menguasai dua bahasa asing tersebut, santri bisa memakai bahasa Indonesia. Jika santri-santri pulang untuk liburan, disuruh bercakap-cakap dengan bahasa daerahnya kepada bapak ibu dan orang-orang di sekitarnya. 

Di Bangilan sendiri ada ulama yang pakar dan banyak menulis maupun mensyarahi kitab kuning dengan tulisan pegon, beliau al maghfurlah KH. Misbah Zainil Mustofa. Saya mengoleksi beberapa kitab hasil karya beliau, dari situ saya  belajar membaca dan menulis pegon.

Di Senori ada Mbah Abu Fadhol yang juga penulis kitab berbahasa Arab maupun bahasa Jawa dengan tulisan pegon. Saya punya copian kitab beliau yang full berbahasa Jawa ala tulisan pegon, tulisannya tidak begitu jelas bagi saya sehingga belum terbaca sampai saat ini. Eman sih sebenarnya. 


Di FB saya mengikuti Gurutta Ahmad Baso, beliau sangat intens melacak manuskrip kuno pesantren dan naskah Walisongo yang tidak hanya berupa pegon, tapi juga aksara Jawa kuno. Pekerjaan ini tentu tidak mudah dan membutuhkan ketekunan yang cukup tinggi. Sayang saya belum pernah ikut kelas Mokmin beliau. Sebuah ikhtiar untuk melacak sumber primer perkembangan Islam di Nusantara yang patut diapresiasi.

Jika dulu banyak Kiai dan santri menulis dengan pegon, maka seyogyanya hari ini bisa kita lakukan juga demi terjaganya akar pesantren yang menghunjam kuat di jantung peradaban masyarakat. 

Kelas membaca dan menulis pegon patut untuk dijaga dan dilestarikan, walau selama pesantren masih ada, pembacaan dan penulisan pegon tidak perlu dikhawatirkan keberadaannya. Tapi bagaimanapun juga perlu ada gerakan menjaga khazanah wisdom lokal warisan kebudayaan pesantren agar tidak tergerus oleh modernisasi kehidupan.


Bangilan, 1 Ramadhan 1443