Sabtu, 27 Januari 2024

Lawu yang Membisu

Lawu yang Membisu
Oleh: Joyo Juwoto 

Dingin dan sepi di ufuk pagi
Saat kabut bergelayut 
Di pinggang Lawu yang membisu

Berselimut sunyi
Bermandikan embun-embun pagi
Menyibak pada cahaya mentari 

Sepoi-sepoi angin beraroma bunga hutan
Membelai wajahku yang berpeluh riuh

Pohon-pohon pinus
Tegak berdiri lurus
Seperti keadilan yang semestinya ditegakkan

Aroma kawah menyengat
Seperti keculasan 
Yang benderang dipertontonkan 

Rumput-rumput, ilalang, dan juga bunga keabadian
Merunduk penuh etik tertiup angin 

Aku daki ketinggian puncakmu
Aku jelajahi ngarai dan lembahmu

Aku cari rona keindahanmu pada tugu batu di 3.265 mdpl

Aku cari ketegaranmu pada puncakmu yang dingin membisu

Lawu aku datang memelukmu
Dalam rindu yang mengharu biru


*Bangilan, 27/01/2024*

Kamis, 25 Januari 2024

Meriahkan Peringatan HAB ke-78, Kemenag Tuban Gelar Bimtek dan Lomba Menulis Berita

Meriahkan Peringatan HAB ke-78, Kemenag Tuban Gelar Bimtek dan Lomba Menulis Berita

Tuban-Dalam rangka Hari Amal Bakti yang ke-78, Kementerian Agama (Kemenag) Tuban, menyelenggarakan lomba menulis berita, yang digelar di Aula PLHUT Kemenag setempat, pada Selasa (16/1/2024).
Acara dibuka oleh Plt Kepala Kemenag Tuban, Moh. Qosim. Ketika dihubungi penulis via WhatsApp, beliau berharap kepada seluruh peserta lomba agar bisa mencerna ilmu kepenulisan ini dengan baik, dan mengimplementasikan ilmu yang didapat dari narasumber dalam penulisan berita di masing-masing satkernya.
“Harapannya seluruh peserta bisa mencerna ilmu dan menerapkan dalam tugas kedinasan. Sehingga semua kegiatan yang ada di KUA, Madrasah, ataupun KKM, bisa diberitakan secara masif,” ujar Pria penyuka sajak-sajak Pendekar Syair Berdarah ini.
Lomba penulisan berita ini diawali dengan Bimbingan Teknis (Bimtek) menulis dan jurnalistik dari PWI Tuban, Radar Tuban, dan Harian Bhirawa, yang sekaligus menjadi juri dalam lomba tersebut.
Ketua PWI Tuban, Suwandi, salah satu narasumber berharap setelah mengikuti kegiatan, diharapkan peserta dapat menerapkan hasil bimtek dalam lingkungan kerja masing-masing, khususnya dalam mempublikasikan kegiatan positif untuk mengenalkan lembaga masing-masing peserta, sehingga, lembaganya dikenal oleh masyarakat luas.
“Harapan kami, sebagai Ketua PWI Kabupaten Tuban, sebaiknya setelah mengikuti kegiatan tadi para peserta dapat mengaplikasikan dan mempraktikkan di lingkungan kerja atau satker masing-masing. Namun yang paling penting ialah mempublikasikan setiap kegiatan-kegiatan positif di masing-masing satker. Sehingga dengan cara itu satker yang aktif mempublikasikan kegiatan dapat dikenal masyarakat,” pesan pria kelahiran Bancar itu.
Lomba yang digelar oleh bagian Humas Kemenag Tuban ini, diikuti oleh 60 peserta yang terdiri dari 20 orang perwakilan KUA, 7 orang Satker, 6 orang Kantor Induk, 19 orang dari KKMI, 4 orang dari KKM MTs, 2 orang dari KKM MA, dan IGRA/KKRA diwakili oleh 2 orang peserta.
“Total ada 60 peserta, terdiri dari seksi, seluruh KUA, satker, dan perwakilan KKMI tiap kecamatan,” ujar Laidia Maryati pranata Humas Kemenag.
Lebih lanjut kata Bu Ida, sapaan akrab beliau, lomba ini digagas untuk meningkatkan kompetensi peserta dalam bidang kepenulisan dan jurnalistik. Untuk memberikan semangat kepada para peserta, akan diambil 3 peserta terbaik, sebagai juara 1, juara 2, dan juara 3 yang akan mendapatkan hadiah dan penghargaan dari Kemenag Tuban. (Jwt)

Jumat, 05 Januari 2024

Merindu Puncak Lawu

Merindu Puncak Lawu
Oleh: Joyo Juwoto

Setiap pertemuan pasti menyisakan kenangan, berapapun intensitas pertemuan itu, akan selalu ada hal yang menetap atau sekedar singgah di hati. Karena hidup adalah sekumpulan dari kenangan-kenangan itu sendiri. 

Setelah dari puncak Gunung Lawu, saya mengumpulkan kenangan-kenangan itu, merangkainya menjadi tulisan sederhana sebagai obat penawar rindu. 

Mungkin ada orang yang menanyakan aktivitas naik gunung itu untuk apa? Manfaatnya juga buat apa? Seperti orang kurang kerjaan saja, sia-sia membuang waktu, tenaga dan tentu juga biaya.

Saya rasa itu adalah pertanyaan yang wajar, siapapun boleh menanyakan apapun. Jika saya ditanya saya pun sebenarnya masih bingung harus menjawab apa atas pertanyaan-pertanyaan itu. Sekalipun dijawab orang-orang yang bertanya pun belum tentu puas dengan jawaban kita. 

Saya sendiri setelah menempuh perjalanan ke puncak Lawu, belum juga menemukan apa sebenarnya yang dicari dari sebuah pendakian? Jika jawabannya sekedar membuang waktu untuk bercapek-capek yang sedemikian rupa rasa-rasanya kok tidak lucu, apa tidak ada yang lebih bermutu dibanding sekedar membuang waktu?

Saya tidak seidealis Soe Hok Gie yang menjadikan naik gunung sebagai media untuk meningkatkan rasa cinta tanah air, walau saya juga mengamini apa yang ia utarakan, "Bahwa mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Karena itulah kami naik gunung". Kata beliau. 

Saya hanya menyukai penjelajahan alam, menyukai keindahan panorama, menyukai pohon-pohon, rumput, ilalang, menyukai batu-batu, sungai-sungai, lumpur dan segala ornamen semesta. Betapa indahnya menjelahi lembah, ngarai, kemudian mandi di sungai yang airnya mengalir, menerjang sabana rumput, sangat menyenangkan sekali. Saya selalu memimpikan dan merindukan itu semua. 

Dari pendakian menuju puncak Lawu ternyata saya banyak belajar, baik dari alam, dari teman mendaki, dari sesama pendaki, dan terkhusus dari diri saya sendiri. Selama perjalanan sekitar lima jam mendaki, saya banyak berinteraksi dengan diri, saya banyak bercakap dalam diam. Saya mengamati, menyadari dan merasakan naik turunnya nafas, degup jantung, langkah kaki, dan ketahanan tubuh. Kapan saya harus berhenti, kapan saya harus melangkah mendaki. Moment inilah saya berusaha mengenali diri saya sendiri. 

Oleh karena itu dalam sebuah quote saya menulis, "Ke gunung aku mencari diriku sendiri, dan kepadamu aku akan pulang kembali" Kalimat ini bisa bermakna sangat sederhana, dan bisa juga cukup filosofis dan mendalam. Terserah saja bagaimana menerjemahkannya, atau tak perlu diterjemahkan pun tak mengapa. 

Dalam mendaki gunung saya berusaha memetik hikmah dan pelajaran yang bisa memberi manfaat setidaknya untuk diri saya sendiri.

Untuk mendaki puncak gunung, setinggi apapun itu hanya dibutuhkan selangkah dua langkah yang diulang-ulang. Begitu seterusnya hingga sampai di puncak pendakian. Tentu kesabaran, ketegaran, keuletan harus disertakan dalam  pendakian. Ini yang terpenting, jika tidak pasti kita tidak akan pernah mencapai puncak.

Begitu juga dalam menjalani hidup ini, semua serba aktivitas yang kita ulang-ulang setiap saat, setiap waktu, dan setiap hari, hingga entah sampai kapan kita akhiri perjalanan di dunia ini. Semoga perjalanan yang kita tempuh membawa kita pada pendakian spiritual yang menghantar kita menuju puncak Ketuhanan. Karena pada hakekatnya disitulah Sangkan dan Paraning dumadi kita, yang dalam bahasa agama diungkapkan dengan kalimat, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un".

Jadi merindu puncak Lawu pada hakekatnya adalah merindu pada-Mu jua. Ke gunung aku mencari diriku sendiri, dan kepadamu aku akan pulang kembali. 


Jatirogo, 05/01/2024

Rabu, 03 Januari 2024

Catatan Perjalanan Menuju Puncak Gunung Lawu

 


Catatan Perjalanan Menuju Puncak Gunung Lawu

Oleh: Joyo Juwoto

 

Mendaki gunung adalah keinginan saya yang sudah lama terpendam, semenjak usia muda keinginan itu telah ada, namun baru di usia kepala empat keinginan itu akhirnya menemukan jalannya. Entah terinspirasi oleh apa, secara film 5 CM belum rilis, bahkan novelnya pun belum terbit, yang pasti saya memang menyukai alam dengan segala keindahannya.

Tanggal 30 Desember 2023, pukul 03.30 WIB menjelang shubuh, saya berangkat bertiga memakai dua motor. Saya dibonceng teman dari Sale, Mas Lukman Al Aswad, dan satunya Mas Afif dari Sambong Cepu. Perjalanan cukup lancar walau sebelumnya sebelum berangkat sempat hujan, tapi Alhamdulillah reda.

Mas Lukman dan Mas Afif ini sudah terbiasa naik gunung, sudah banyak gunung yang di daki, khususnya di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ke Lawu pun mereka sudah berkali-kali, baik mendaki secara tektok maupun ngecamp. Saya baru pertama kalinya naik gunung, dan tanpa persiapan yang memadai.

Karena kami sepakat mendaki secara tektok (naik gunung tanpa camping) maka tak perlu persiapan apa-apa kecuali air yang kita jadikan bekal di perjalanan. Untuk makan nanti bisa membawa snack kering atau bisa langsung makan di warungnya Mbok Yem yang legendaris itu. Satu-satunya persiapan yang diperlukan tentu fisik yang sehat dan yang terpenting sepatu/sandal gunung untuk mendaki guna melindungi kaki agar tidak terluka dan tidak mudah terpeleset saat pendakian. Untuk jaket gunung mungkin diperlukan kalau mendaki dan ngecamp di puncak, karena tentu udaranya sangat dingin, namun jika memilih tektokan rasa-rasanya jaket gunung tidak diperlukan.

Setelah bermotor kurang lebih 4 jam, kami sampai di basecamp pendakian jalur Cemoro Kandang, dari jalur ini kami akan naik menuju puncak. Sebenarnya ada beberapa jalur pendakian lain, seperti via Singolangu, Cemoro Sewu, Tambak, dan via Candi Cetho. Karena saya tidak paham jalur-jalur itu, saya hanya manut saja, karena Mas Lukman tentu sudah paham jalur mana yang harus dipilih saat harus mendaki secara tektokan.

Sebelum naik, kami sarapan nasi pecel di depan basecamp, setelah sarapan membeli snack, membeli air kemudian menuju loket tiket pembayaran. Per orang tiketnya dua puluh ribu rupiah, cukup murah. Setelah kami bertiga siap, pukul 08.15 WIB kami siap berangkat, sebelum melangkahkan kaki, kami berdoa agar diberi keselamatan saat mendaki dan pulang kembali dengan selamat. Bismillah kami akhirnya melangkah mendaki puncak Gunung Lawu yang memiliki ketinggian 3265 MDPL.

Mas Afif di depan sebagai penunjuk jalan, mas Lukman di belakang, sedang saya posisi di tengah, posisi yang cukup aman. Dari Basecamp sampai pos 1 cukup aman, apalagi cuacanya juga sangat mendukung, tidak panas dan juga tidak hujan, sepanjang perjalanan hanya terdapat pepohonan dan semak belukar, kami pun terus melangkah, apalagi kami tidak membawa beban apapun kecuali air minum. Di perjalanan kami bertemu dengan pendaki lain yang juga sedang naik , namun rata-rata mereka akan ngecamp, sehingga beban mereka cukup berat, mereka membawa tas di punggung  berjalan perlahan dan bertelekan pada sebuah tongkat.

Kami bertiga tidak memakai tongkat, selain fisik kami yang masih muda, juga tentu faktor beban yang kami bawa cukup ringan. Ada beberapa kelompok pendaki yang kami salip, hingga akhirnya  sampailah kami di pos 1, di pos ini kami istirahat sebentar untuk minum dan juga mengatur nafas, karena perjalanan masih cukup panjang dan melelahkan tentunya. Di pos ini ada penjual snack, air, kopi, dan minuman lainnya, jadi jika kita dari bawah tidak membawa bekal, kita bisa membeli di pos pendakian.

Setelah mengumpulkan nafas, kami melanjutkan misi menuju pos 2, makin ke atas kaki terasa capek dan pegal, jika kita lewat jalur Cemoro Kandang, di Pos 2 ini ada kawahnya, kalau lewat jalur lainnya tidak ada. Ketika mendekati pos 2, suara gelegak kawah sudah terdengan, bau belerang juga mulai menyengat. Jarak jalur yang dilewati pendaki dengan kawah bisa ditempuh sekitar 10 menitan, karena kawah bukanlah tujuan pendakian kami, maka kami hanya cukup mendengar suaranya saja, dan mencium bau belerangnya yang saat itu cukup menyengat. Di pos ini juga ada warung yang jualan makanan.

Seperti pada pos 1, kami juga berhenti sejenak, menata nafas yang mulai ngos-ngosan, karena perjalanan yang masih cukup jauh, kami tak mau terbuai dengan istirahat, jika kelamaan nanti jadi nyaman dan akhirnya malas untuk melanjutkan perjalanan. Menurut Mas Lukman Al Aswad, jarak pos 2 ke pos 3 termasuk yang paling jauh dari pos-pos lainnya, jalannya pun mulai mendaki tajam, saya yang paling senior di segi usia benar-benar diuji dengan medan pendakian ini, ada perasaan apakah saya mampu mencapai puncak? Sedang badan mulai letih. Ini adalah tantangan bagi seorang tektokers, jika berhenti terlalu lama nanti tidak segera sampai dan bisa kemalaman di perjalanan, sedang kami tidak membawa peralatan camping.

Setelah menikmati berbagai sensasi perpaduan antara badan yang capek, kaki yang kemeng, hati yang juga galau untuk segera sampai di pos selanjutnya, akhirnya dengan penuh kesabaran, keuletan, serta tekad dan nekat kami bertiga sampai juga di Pos 3. Ada perasaan lega dan puas bisa sampai di pos 3, karena berarti perjalanan tinggal dua pos lagi, dan tinggal naik puncaknya yang tertinggi, akhirnya bisa istirahat sejenak. Di pos 3 kami ketemu anak-anak muda yang baru turun dari puncak, mereka berhenti di warung melepas lelah, kami pun bertegur sapa, anak-anak muda ini ada yang dari Jakarta, Brebes, dan juga dari Kalimantan. Mereka telah ngecamp di puncak semalaman.

Setelah sampai di Pos 3 ini semangat saya bertambah, karena separuh perjalanan sudah terlampaui, tinggal menuju pos 4, 5, lalu menuju puncak. Perjalanan dari pos 3 menuju pos 4 jalurnya mulai berbatu, tingkat kemiringannya juga lumayan, di jalur ini banyak pohon yang memiliki pucuk daun yang berwarna merah, dan juga bunga edelwais yang melegenda itu mulai banyak bertebaran di sepanjang perjalanan. Kata Mas Afif pucuk daun merah itu bisa di makan, dan menjadi alternatif untuk mengisi perut jika kita tersesat serta kehabisan bekal, begitu yang dilihat di Youtube. Mas Lukman saya tanya katanya belum pernah memakannya, saya kemudian mencoba memetik dan memakan daun merah itu, rasanya asem tapi lumayan enak, kayaknya daun ini bisa  menggantikan daun kedondong untuk dipakai memasak asem-asem, tapi yang terpenting daun itu tidak beracun, sehingga bisa dimakan saat kondisi darurat. Itulah pentingnya kita mengenali alam dengan segala macam medan serta tumbuh-tumbuhannya, sehingga kita bisa memanfaatkannya dengan baik.

Tak terasa perjalanan kami sampai di Pos 4, di pos ini sepi, ada bekas warung tapi sudah tidak dipakai lagi, pemiliknya sudah turun gunung. Dengan penuh semangat kami terus melanjutkan ke pos terakhir yaitu pos 5, perjalanan semakin menyenangkan dan menenangkan, tidak seperti saat menuju pos 3. Dalam perjalanan kami lebih banyak diam, menunduk ke bawah meresapi dan mentadabburi alam ciptaan Tuhan. Ya, perjalanan ke gunung menurut saya memang bukan sekedar menyalurkan hobi, juga bukan sekedar melihat panorama dan keindahan alamnya saja, tapi perjalanan ke puncak gunung pada hakekatnya adalah perjalanan mendaki dan mencari puncak kesejatian dari diri kita sendiri. Orang lain tentu boleh berbeda tentang hal ini.

Setelah sampai di Pos 5 kami istirahat lagi, untuk menuju puncak jalur pendakiannya lumayan, kami harus menyiapkan tenaga yang cukup. Saya sempat rebahan di bebatuan untuk memulihkan badan, udara terasa segar, walau di beberapa titik sisa-sisa kebakaran hutan masih kelihatan. Setelah istirahat kami pun menuntaskan misi menuju Puncak Lawu yang ada tugunya itu. Selangkah dua langkah kami mendaki, dari kejauhan sudah terdengar suara kegembiraan para pendaki yang sudah sampai puncak duluan, sekitar sepuluh menitan akhirnya kami sampai pada tujuan, Puncak Hargo Dumilah 3.265 MDPL, waktu menunjukkan pukul 13,00 WIB.

Setelah berfoto beberapa cekrekan, kami turun. Perut sudah lapar, kami menuju warungnya Mbok Yem yang melegenda. Sebelum sampai di warung Mbok Yem saya melihat sebuah bangunan rumah dari kayu, rumah itu kelihatan cukup tua. Kata Mas Afif itu rumah dipakai keraton ketika ada acara, tapi tidak jelas acara apa yang dilakukan di puncak tersebut. Saya sendiri juga belum mencari informasi tentang itu di google.

Dari bangunan rumah tua ini, kami turun dan sampai di warungnya Mbok Yem, kami pesan nasi pecel dan juga teh. Sambil istirahat kami makan, kemudian juga sholat jamak  qasar Dhuhur dan Asar sekalian di warungnya Mbok Yem. Saat akan turun saya sempat menziarahi sebuah petilasan, konon itu petilasannya Prabu Brawijaya, entah benar entah tidak saya sendiri juga kurang tahu.

Perjalanan turun gunung memang tidak secapek saat naik, tetapi tetap saja dibutuhkan tenaga ekstra, karena kaki menahan beban tubuh saat turun. Alhamdulillah saat turun pun cuaca sangat bersahabat, sehingga saya yang tidak memakai sepatu gunung tidak terlalu kesulitan di medan-medan jika hujan licin. Tapi saat turun dari pos 2 cuaca mulai gelap, kemudian gerimis mulai turun. Di sini saya mulai bermasalah dengan sepatu saya yang licin, berkali-kali saya terpeleset karena jalanan licin, di medan hujan yang seperti ini sangat menyulitkan saya. Makin ke bawah hujan semakin deras, akhirnya kami memakai jas hujan.

Saya merasa jika hujan sejak awal pendakian, mungkin saja saya khususnya akan sangat kesulitan menuju puncak. Untungnya di garis akhir hujan baru turun. Dengan penuh perjuangan akhirnya sekitar pukul 17.30 kami sampai di basecam. Alhamdulillah.

Begitulah perjalanan yang kami tempuh saat mendaki puncak gunung Lawu, setelah mengambil KTP yang ditinggal di petugas kami langsung tancap gas pulang. Sepanjang perjalanan dari Cemoro Kandang sampai Padangan Bojonegoro dilanda hujan deras, baru setelah itu tidak hujan. Perjalanan yang cukup luar biasa, semoga ke depan ada puncak-puncak gunung lain yang bisa saya daki dan saya ziarahi. Salam sungkem, dan Terima kasih.