"Pendidikan Moderasi Beragama dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara"
Oleh: Joyo Juwoto
Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai ragam suku, bahasa, agama,
ras, dan budaya. Kita tentu merasa bersyukur bahwa di tengah kemajemukan ini,
bangsa Indonesia memiliki konsep luhur yang kita jaga bersama untuk mewujudkan
persatuan dan kesatuan bangsa, serta memelihara segala bentuk keragaman yang
telah dianugerahkan Tuhan kepada kita semua. Konsep luhur itu bernama “Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu
jua.
Kementerian Agama
Republik Indonesia memiliki keinginan dan komitmen yang kuat untuk ikut serta
menjaga melestarikan, dan juga menguatkan konsep luhur Bhinneka Tunggal Ika
tersebut dengan merumuskan satu nilai yang selalu digaungkan oleh Kementerian
agama, yaitu Konsep Moderasi Beragama.
Moderasi beragama
ini tercermin dalam sikap untuk ikut serta menjaga kerukunan dalam berbangsa
dan bernegara, menunjung tinggi nilai keberagaman, menghargai segala perbedaan,
baik suku, ras, agama, dan keyakinan, serta menolak segala bentuk intimidasi,
kekerasan, serta perlakuan yang tidak baik yang mengganggu harmoni kehidupan
bermasyarakat. Moderasi beragama adalah salah satu nilai untuk mengejawentahkan
nilai-nilai ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin.
` Moderasi beragama
adalah konsep penting dalam kehidupan umat beragama di era modern. Hal ini
menuntut kita untuk selalu menjaga keseimbangan antara keyakinan agama kita
dengan nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan toleransi. M. Quraish Shihab dalam
bukunya “Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama” menyandingkan moderasi dengan kata Wasath atau Tengah.[1]
Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 143 Allah Swt berfirman: [2]
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا…
Artinya: “Demikianlah kami jadikan kamu
ummatan wasathan…
Wasathiyyah sendiri dalam Bahasa arab memiliki padanan makna dengan
kata tawassuṭ (tengah-tengah), i’tidāl (adil), dan tawāzun (berimbang). Dalam
Sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: [3]
خَيْرُ
الْأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا
“Sebaik-baik persoalan
adalah yang di tengahnya”
Wasath dalam hadits yang dinisbatkan
kepada Rasulullah di atas menurut para ulama memiliki arti adlan atau adil,
jadi wasath di sini juga bermakna keadilan. Dengan demikian, hadits ini
menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan, keadilan, dan moderasi dalam
berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam praktek agama. Pesan ini sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam yang mendorong umatnya untuk menjadi umat yang seimbang,
adil, dan moderat dalam tindakan dan sikap mereka.
Di dalam Al-Qur’an surat Al Qashash ayat 77 Allah swt berfirman:[4]
وَٱبْتَغِ
فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ
ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ
ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ
Artinya: “Dan carilah pada apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Al Qashash ayat 77 di atas
mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat,
berbuat baik kepada sesama manusia, dan menjauhi tindakan yang merusak dan
menciptakan kerusakan. Pesan ini adalah bagian dari konsep moderasi beragama
yang telah Anda sebutkan dalam konteksnya, yaitu menjaga keseimbangan antara
keyakinan agama dan nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan toleransi.
Moderasi beragama merupakan suatu
pendekatan atau sikap dalam beragama yang menekankan keseimbangan antara
keyakinan agama dengan nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan toleransi. Konsep
ini mengajarkan umat beragama untuk tidak melampaui batas dan menjauhi
ekstremisme, baik dalam pemahaman agama maupun dalam tindakan yang dilakukan
atas nama agama.
Pendekatan moderasi ini memungkinkan
individu untuk mempraktikkan agamanya dengan penuh keyakinan dan kedalaman,
tetapi juga dengan penuh penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan individu
lainnya. Hal ini penting dalam konteks masyarakat yang multikultural dan
multireligius, di mana berbagai keyakinan dan tradisi agama harus dapat hidup berdampingan
dengan damai.
Dalam kehidupan umat beragama, sering kali muncul masalah akibat
kurangnya moderasi beragama. Hal ini bisa tercermin dalam bentuk ekstremisme,
intoleransi, konflik antar-agama, dan ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan
individu dari latar belakang keagamaan yang berbeda. Konflik ini dapat merusak
perdamaian dan harmoni sosial yang ada di tengah masyarakat.
Betapa banyak ungkapan-ungkapan intolerasi seperti bid’ah, sesat,
kafir, halal darahnya, yang diproduksi setiap saat oleh orang-orang yang
menamakan dirinya sebagai kelompok paling shahih dalam beragama, mereka
mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah dalam rangka berdakwah dan kembali
kepada ajaran Islam yang kaffah dan murni.
Dari sikap yang intoleran ini pada akhirnya akan melahirkan sikap
yang ekstrim dan radikal dalam menjalankan ajaran agama. Diantara ciri-ciri
kelompok radikal ini menurut Yusuf Al-Qaradhawi adalah:[5]
1.
Mengklaim
kebenaran tunggal dan mencap yang berada di luar kelompoknya itu sesat
Kelompok radikal
seringkali memiliki pandangan bahwa hanya mereka yang memiliki pemahaman agama
yang benar, sementara orang lain dianggap sesat atau salah. Mereka cenderung
memonopoli kebenaran dan menolak keragaman pandangan.
2.
Mempersulit
dan memperberat diri dalam menjalankan ajaran agama
Kelompok
radikal mungkin mempersulit dan memperberat praktik keagamaan, seringkali
menerapkan tafsiran yang ketat dan kaku terhadap ajaran agama. Hal ini dapat
menghasilkan praktik yang ekstrem dan mengisolasi kelompok tersebut dari
masyarakat yang lebih luas.
3.
Overdodis
dam mabuk dalam beragama
Kelompok
radikal bisa terlalu obsesif dan terlalu fanatik dalam menjalankan ajaran
agama. Mereka mungkin melibatkan diri secara berlebihan dalam praktik-praktik
keagamaan hingga menciptakan ketegangan dan konflik dalam kehidupan
sehari-hari.
4.
Kasar
dalam berinteraksi dengan Masyarakat
Sikap kasar dan
agresif dalam berinteraksi dengan masyarakat adalah ciri kelompok radikal.
Mereka mungkin menggunakan bahasa yang provokatif atau tindakan yang mengganggu
ketertiban sosial.
5.
Mudah
berburuk sangka dengan kelompok di luar dirinya
Kelompok
radikal seringkali memiliki sikap berburuk sangka terhadap kelompok atau
individu di luar kelompok mereka. Mereka dapat mendemonisasi atau mencurigai
niat baik kelompok lain tanpa alasan yang jelas.
6.
Mudah
sekali mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengan penafsiran kelompoknya
Kelompok
radikal cenderung cepat mengkafirkan atau menyatakan orang lain sebagai
non-Muslim jika mereka memiliki pandangan atau tafsiran agama yang berbeda. Hal
ini seringkali mengarah pada konflik dan polarisasi dalam masyarakat.
Klaim kebenaran yang dilakukan oleh sekelompok kaum radikal ini tentu
sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang multikultural ini.
Bagaimana tidak, masyarakat akan saling bersitegang karena perbedaan pandangan
mereka dalam merespon, dan menafsirkan sebuah teks dari kitab suci. Hal ini
tentu menjadi preseden buruk bagi kerukunan, kedamaian, dan nilai-nilai
toleransi dalam masyarakat.
Untuk itu kita perlu memberikan pemahaman yang mendalam tentang
nilai-nilai moderasi dalam beragama, agar tercipta masyarakat madani yang
menghargai segala bentuk perbedaan yang memang telah menjadi sunnah kehidupan.
Untuk mengcounter ekstrimisme dan radikalisme, perlu adanya upaya
mengkampanyekan nilai-nilai toleransi, keberagaman, serta serangkaian sikap
yang menghargai segala perbedaan. Dalam konteks ini, empat nilai Ke-NUan yaitu,
Tawasuth (moderat) dan I’tidal (adil), Tasammuh (Toleransi), Tawazun (Keseimbangan),
dan Amar ma’ruf nahi mungkar, bisa menjadi solusi yang efektif untuk
membentengi diri dari ekstrimisme dan radikalisme guna menguatkan pondasi dalam
moderasi beragama.
Berikut adalah penjelasan
mengenai empat nilai ke-NUan dan bagaimana mereka dapat menjadi solusi bagi
sikap ekstrimisme dan pondasi moderasi beragama:[6]
1.
Tawasuth
(Kemoderatan) dan I'tidal (Keadilan)
Tawasuth mengajarkan pentingnya menjalani kehidupan dengan penuh
kedamaian dan kedamaian. Nilai ini mendorong umat Islam untuk mengadopsi sikap
yang moderat dalam beragama, tidak terlalu ekstrem dalam penafsiran ajaran
agama, dan menghindari tindakan ekstremis yang dapat mengganggu ketertiban
sosial. Kemoderatan adalah pondasi untuk mempromosikan perdamaian dan
stabilitas.
Sedang I'tidal adalah nilai yang menekankan pentingnya keadilan
dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam urusan beragama. Dalam konteks
moderasi beragama, i'tidal mengajarkan bahwa ketidakadilan, penindasan, dan
diskriminasi terhadap kelompok agama atau non-agama tidak sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Keadilan adalah solusi untuk menghindari ketegangan dan
konflik yang seringkali menjadi pemicu ekstremisme.
2.
Tawazun
(Keseimbangan)
Tawazun mengacu pada prinsip keseimbangan dalam kehidupan. Dalam
konteks agama, nilai ini mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara
agama dan dunia. Melalui tawazun, individu diharapkan untuk tidak terlalu
ekstrim dalam menjalankan ajaran agama, sehingga tidak melupakan tugas-tugas
dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat. Ini dapat mencegah sikap ekstrim
yang seringkali muncul akibat fanatisme agama yang berlebihan.
3.
Tasammuh
(Toleransi)
Tasammuh adalah nilai yang mendorong toleransi dan penghargaan
terhadap perbedaan. Ini mengajarkan pentingnya berinteraksi dengan orang-orang
dari berbagai latar belakang agama, budaya, dan etnis, tanpa menghakimi atau
memusuhi mereka. Tasammuh mempromosikan sikap terbuka dan inklusif, yang
merupakan solusi penting untuk mengatasi sikap ekstrimisme dan fanatisme agama.
4.
Amar
ma’ruf nahi Mungkar.
Sikap amar ma’ruf nahi mungkar di sini adalah sikap kepekaan
masyarakat dalam memperjuangkan hal-hal yang baik, berguna dan bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat, serta menolak dan mencegah hal-hal buruk yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai dan
norma yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Dengan menerapkan dan mempraktikkan nilai-nilai ke-NUan ini,
individu dapat membangun pondasi moderasi beragama yang kuat. Hal ini dapat
membantu mencegah sikap ekstrimisme, fanatisme agama, dan konflik antaragama.
Selain itu, nilai-nilai ke-NUan juga mendorong kerja sama antaragama dan
membangun harmoni sosial, yang merupakan langkah penting dalam menciptakan
masyarakat yang damai dan inklusif.
Moderasi beragama dalam intern kehidupan umat beragama adalah kunci
untuk menciptakan masyarakat yang damai dan toleran. Penting untuk memahami
bahwa keyakinan agama harus sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
universal. Dalam upaya mencapai moderasi beragama, kita harus bekerja sama
untuk meningkatkan pendidikan yang menghargai segala perbedaan, penuh
toleransi, serta memfasilitasi dialog antar umat beragama, mengawasi media
sosial, dan memilih pemimpin yang benar-benar mendukung nilai-nilai ini.
Semoga kita sebagai individu maupun sebagai kelompok umat beragama
mampu menjaga nilai-nilai luhur moderasi beragama yang rahmatan lil ‘alamin,
ikut serta terlibat dalam upaya pembelajaran dan dialog antar kepercayaan,
serta berkontribusi aktif dalam mempromosikan moderasi beragama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara yang berfalsafahkan Bhinneka Tunggal Ika.