Jumat, 29 Oktober 2021

Hujan dan Kenangan Masa Silam


Hujan dan Kenangan Masa Silam

Oleh: Joyo Juwoto


Mendung gelap menutupi atap langit, angin berkesiur menggoyangkan dahan dan ranting pepohonan, di kejauhan kilat menyambar bersautan. Tak lama kemudian hujan turun membasahi sepotong senja yang tertinggal di bentang cakrawala. 

Suasana menjadi kelam namun syahdu. Senja dan rerintikan hujan adalah perpaduan yang sempurna dalam menggoreskan tinta kenangan di kanvas hati dan jiwa manusia. 

Jika hujan begini yang kukenang adalah masa kanak-kanak. Apalagi hujan di pinggiran senja begini, kenangan itu begitu kuat mengaroma di kepalaku. Saat dekapan cinta dan kasih sayang emak kepada anaknya yang masih belia. Dan juga kenangan akan seorang bapak yang melindungi rumah dan keluarganya dari gemuruh derasnya hujan dan angin topan yang menebarkan ketakutan. 

Iya, saya mengenang masa kanak-kanak saya, mengenang emak dan bapak saya, dan mengenang tanah tumpah darah saya yang bernama kampung halaman. 

Sebenarnya aneh saja saya mengenang hal itu semua, lha wong saya juga tidak tinggal jauh dari kampung saya. Saya masih berada di satu kecamatan dengan kampung kelahiran saya. Hanya saja saat hujan memang hati saya kadang lebih melow dan sentimentil saja. 

Tapi tak apalah saya ingin bercerita dengan diri saya sendiri, mengulas dan menonton kenangan yang bersliweran di kepala. 

Jika hujan tiba, bapakku adalah orang yang paling sibuk. Genting bocor sini dan sana, dengan bertelanjang dada bapakku membenahi genteng yang bocor karena pecah atau kadang hanya karena bergeser saja dari tempatnya. Dengan pikulan bambu beliau membenahi genteng-genteng yang bergeser dari tumpuan kayu usuk dan rengnya. 

Itu belum seberapa, jika hujan bercampur angin, ini yang membuat khawatir kami sekeluarga. Terpaan hujan dan angin menciutkan nyali. Pohon-pohon di sekitar rumah bergoyang keras, hampir-hampir seperti akan tercerabut dari akarnya. Belum lagi disertai sambaran guntur dan petir yang membahana, suasananya sangat menakutkan sekali. 

Kadang kami harus keluar rumah, berhujan-hujanan. Khawatir rumah kami roboh. Emak mendekap anak-anaknya, sedang bapak sibuk mengumandangkan adzan di pojokan rumah. Kalau anginnya tidak terkendali, bapak mengambil cemeti dan menghentakkannya seperti gembala menghalau sapinya. Cetar... Cetar... Begitu bunyi cemeti itu. 

Entah karena apa, angin yang tadinya seakan mau menerjang rumah kami, seperti menyingkir menjauhi bapak yang sedang memainkan cemetinya bagai pemain jaran kepang yang beraksi di pelataran rumah. 

Itu hujan kenangan dan kenangan akan hujan di masa kanakku. Jika sedang beruntung, saat hujan sedang genting rumah kami tidak bocor, dan angin juga tidak sedang mengamuk, kami bisa menikmati syahdunya hujan. 

Bapak membuat bediang untuk menghangatkan sapi-sapi kami, sekaligus menghangatkan badan kami. Jika musim jagung, biasanya emak membuat jagung goreng tanpa minyak. Digoreng kering di nanangan dari tanah. Kalau tidak begitu bapak mbakar singkong. Aduh ini bener-bener syahdu dan mengaduk perasaan saat hujan begini. 

Saya jadi ingat kata-kata mbah Sujiwo Tejo dalam Twitternya, "Tahukah kamu lelaki paling tak berperasaan di bumi, dialah yg jauh dari Kekasih saat hujan tapi tak menulis satu pun puisi." #TaliJiwo.

Haha... Kata-katanya salah satu idola saya ini memang sangat mengena di hati. Sungguh luar biasa. Sayangnya saya tidak menulis puisi saat hujan senja ini bukan karena saya adalah lelaki yang tak berperasaan di bumi, tapi karena memang saya tidak punya kekasih hati yang harus saya tuliskan puisi. Saya hanya punya istri yang saya cintai sepenuh hati, walau tanpa sebait puisi. Uhuk. 


*Bangilan, 29/10/21, kala senja dalam balutan kenangan.*

Minggu, 10 Oktober 2021

Imam Mawardi dan Kitab Al-Hawi Al Kabir

Imam Mawardi dan Kitab Al-Hawi Al Kabir

Kisah tentang Imam Mawardi ini, saya dengar saat mengikuti webinar bersama Gus Nadirsyah Hosen, yang diadakan kampus UNUGIRI Bojonegoro kemarin siang. Dalam salah satu paparannya, Gus Nadir bercerita tentang keikhlasan dari seorang ulama madzhab Syafii yang cukup terkenal di kalangan umat Islam Indonesia.

 Imam Mawardi adalah ulama ahlussunnah wal jamaah yang sangat produktif dalam berkarya. Beliau menulis Kitab tafsir, fikih, sastra, dan politik. Imam Mawardi ini nama aslinya adalah Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Basri asy-Syafi'ie. Beliau dikenal dengan nama Al-Mawardi berasal dari kata Ma-ul Wardi, yaitu untuk memberikan laqob keluarganya yang penjual air mawar.

Gus Nadir bercerita ketika Imam Mawardi akan meninggal dunia, beliau berpesan kepada orang kepercayaannya. "Disuatu tempat saya menyimpan Kitab yang saya tulis, dan belum saya publikasikan. Saya menunggu keikhlasan hati saya dalam mempublikasikannya. Jika nanti saya meninggal dunia, ulurkan Kitab-kitab itu ke tangan saya, jika saya genggam, maka buanglah  kitab itu ke sungai Dajlah dan jangan disebar. Namun jika kitab itu saya lepaskan,  maka saya telah mengikhlaskan kitab yang saya tulis, dan Allah menerima niat saya menulis kitab tersebut".

Alkisah, setelah Imam Mawardi meninggal dunia, kitab tersebut disodorkan ke tangan beliau, dan ternyata beliau membuka tangannya, pertanda niat baik beliau diterima oleh Allah Swt. Oleh orang kepercayaan beliau, sesuai pesan yang disampaikan maka kitab tersebut akhirnya dipublikasikan ke khalayak.

Kitab yang ditulis oleh Imam Mawardi ini judulnya adalah kitab Al-Hawi Al-Kabir yang berjumlah 20 jilid yang membahas tentang masalah fikih. Kitab Al-Hawi Al-kabir ini sebenarnya adalah syarah dari kitab  "Muktashor Al-Muzani" yang diperuntukkan bagi orang-orang yang ingin memperdalam madzhab Asy-Syafi'ie. Kitab karangan Imam Mawardi ini menjadi kitab yang sangat penting dan popular di kalangan umat Islam di dunia dan juga di Indonesia. 


Bangilan, 10/10/21

Senin, 04 Oktober 2021

Kenang-kenangkanlah

Kenang-kenangkanlah
Oleh: Joyo Juwoto

Kenang-kenangkanlah duhai kekasih
Benang cinta yang kita rajut bersama
Merenda lembar demi lembar kain kehidupan
Dari waktu ke waktu

Kenang-kenanglah duhai kekasih
Selaksa rindu yang kita ramu selalu menggebu
Menggetarkan dada diantara kita
Bergelora membakar asmaragama

Kenang-kenangkanlah duhai cinta
Saat nyanyian cinta kita  nyaring melengking
Bagai seruling ditiup sang gembala pulang di senjakala

Kenang-kenangkanlah duhai pujaan jiwa
Betapa cinta yang kita pintal di setiap putaran masa
Telah menjelma menjadi sejuta asa

Kekasih
Hidup adalah misteri yang kadang tak pernah kita mengerti, sebagaimana pertemuan kita dalam altar suci-Nya

Membangun biduk rumah tangga
Mengarungi ganasnya samudera kehidupan
Dan pada saatnya kita akan berlabuh di dermaga penantian

Tuban, 4/10/21

Sabtu, 02 Oktober 2021

Aku adalah Kehampaan

 


Aku adalah Kehampaan

 

 

Aku adalah butiran debu

Aku adalah kerikil dan batu

 

Aku adalah angin

Aku adalah air

Aku adalah api

 

Aku adalah langit

Aku adalah bumi

 

Aku adalah lautan

Aku adalah gunung-gunung

 

Aku adalah sungai

Aku adalah telaga


Aku adalah kehampaan

Aku adalah kefanaan

Aku adalah kekosongan

Aku adalah ke-Akuan

Diri-Ku yang sejati


Bangilan, 2/10/21

Jumat, 01 Oktober 2021

Menepi Berkawan Sepi

Menepi Berkawan Sepi
Oleh: Joyo Juwoto

Pada suatu senja, saat temaram mulai mulai menghunjam
Kau terhuyung diterpa angin laut utara

Matahari memerah darah di ujung lazuardi 
Pedih perih jiwamu bagai butiran pasir dilanda hempasan gelombang pasang 

Kau termenung di bawah langit yang menggulung mendung
Kalut bergelayut menghitam pada cakrawala kelam

Kepada laut kau tumpahkan semudra resah
Kepada ombak kau hempaskan segala gundah

Kepada camar-camar kau titipkan secuil kerinduan entah tentang apa pada sayapnya yang melayang ke angkasa

Kepada karang kau berharap ketegarannya, dalam setiap terjangan badai yang menggoncang 

Kepada pasir-pasir kau mengadu tentang segala kerinduanmu yang berakhir menjadi debu

Kepada angin yang berhembus sepoi-sepoi
Kau merenungi kesunyian hati

Kepada cemara yang melambai, kau munajatkan cinta yang dihempas badai

Kepada hati yang sunyi
Kau menepi, menyepi
Berkawan sepi


Senjakala, 22/09/21

Minggu, 19 September 2021

Sowan Mbah Yai Hamid Pasuruan


Sowan Mbah Yai Hamid Pasuruan
Oleh: Joyo Juwoto

Sepulang dari puncak Penanjakan Bromo jalur Tosari Pasuruan, kami serombongan mengagendakan untuk sowan ziarah ke maqam mbah Yai Hamid yang berada di lingkungan Masjid besar Pasuruan dekat alun-alun.

Suul adab rasanya bagi kami, jika tidak ziarah ke maqam mbah Hamid, sedang kami sedang berada di wilayah yang dekat dengan beliau. Lagi pula biasanya perjalanan santri itu kalau tidak pergi haji, sowan kiai, ya menziarahi maqamnya para wali. Ngalap berkah.

Mbah Hamid Pasuruan terkenal sebagai waliyyullah, sayang Saya sendiri tidak pernah bertemu beliau secara fisik, Saya lahir 3 tahun sebelum mbah Yai Hamid Pasuruan pulang keharibaan Allah Swt.

Pertama kali Saya kenal nama Mbah Yai Hamid dari Mbah Yai Saya. KH. Abd. Moehaimin Tamam. Mbah Yai bercerita saat beliau sowan ke Pasuruan. Kisah ini Saya tulis dalam buku Memoar Santri mbeling, yang Saya tulis bertiga dengan teman Santri di pondok Assalam.

Dari buku yang kemarin Saya beli di toko dekat maqamnya Mbah Hamid yang berjudul: "Percik-percik Keteladanan Kiai Hamid" Saya banyak mendapati hikmah dan Keteladanan dari kisah perjalanan beliau, mulai dari masa kecil hingga beliau meninggal dunia.

Mbah Hamid muda ternyata seorang yang keras dan pemberani, beliau sering konfrontasi dengan etnis Cina yang memang banyak dijumpai di Lasem, tempat beliau tinggal. Demikian menurut shohibul hikayat dalam buku tersebut.

Mbah Hamid muda pernah nyantri ke berbagai Pesantren, seperti di Kasingan Rembang, Talangsari Jember, dan paling lama beliau mondok di Pesantren Tremas, Pacitan di bawah asuhan KH. Dimyathi.

Dari Pesantren Termas inilah yang menurut penulis buku banyak mempengaruhi kepribadian Mbah Hamid. Saya rasa ini cukup beralasan, karena Mbah Hamid muda yang nama aslinya Abdul Mu'thi menghabiskan masa belajarnya di Pesantren legendaris ini. Mbah Hamid mondok di Termas kurang lebih 12 tahun.

Sifat beliau yang dalam tanda kutip mbeling saat usia remaja ternyata sangat kontras dengan kehidupan beliau saat telah menapaki jenjang pernikahan. Beliau terkenal sebagai sosok yang sangat sabar, lembut, dan penuh kasih sayang.

Sebagaimana yang didawuhkan Gus Baha' ada wali lewat jalur keilmuannya, ada wali jalur riyadhohnya, dan ada pula wali lewat jalur istrinya. Maksudnya lewat jalur kesabaran dalam menghadapi perilaku istri yang kadang menjadi ujian bagi sang wali tersebut.

Menilik hal tersebut, Mbah Hamid ini wali dari semua jalur. Beliau seorang yang alim, suka riyadhoh, dan sangat sabar dengan istri beliau yang usianya terpaut sekitar 11 tahun. Tidak heran jika beliau dikenal sebagai wali yang memiliki banyak karomah. Mbah Hamid juga terkenal sebagai Kiai yang sangat dermawan. Banyak orang yang mengisahkan akan hal ini.

Ada yang sowan kepada Mbah Hamid kemudian mendapatkan sangu uang beberapa rupiah, dan si tamu tadi didoakan agar bisa naik haji. Entah bagaimana prosesnya si tamu segera bisa berangkat haji setelah sowan kepada Mbah Hamid. Padahal uang sangu dari Mbah Hamid masih utuh disimpan di lipatan pecinya. Kisah ini Saya dengar dari Mbah Yai Saya.

Saya tak hendak mengisahkan banyak hal tentang Mbah Hamid, selain karena keterbatasan Saya mengenai beliau, juga karena Mbah Hamid di mata umat ibarat samudera, yang tak akan habis untuk kita timba air hikmah dan keteladanan dari beliau. Saya saat ini hanya merasa senang bisa sowan dan ziarah ke maqam beliau. Semoga kita semua bisa meneladani kepribadian dari sosok Kiai yang luar biasa ini. Aamin.

Bangilan, 19/09/2021

Sabtu, 18 September 2021

Menuju Puncak Penanjakan Gunung Bromo

Menuju Puncak Penanjakan Gunung Bromo
Oleh: Joyo Juwoto

Entah saya mulai dari kelokan yang mana, saat akan aku tuliskan kisah perjalananku serombongan menuju puncak Penanjakan Gunung Bromo. Perjalanan yang tentu sangat menyenangkan. 

Saya tak menghitung berapa jumlah kelokan yang harus ditempuh sebelum sampai pos dusun Tlogosari desa Tosari Pasuruan. Yang pasti ada dua kelokan yang Saya ingat, kelokan ke kiri, dan ke kanan, cuma itu diulang-ulang entah berapa kali. Soalnya bisa pusing jika Saya hitung jumlahnya. 

Itu belum kelokan yang harus kami tempuh via Jep dari homestay menuju puncak tujuan perjalanan kami di beberapa pos wisata. Yang paling ekstrim itu jalur dari lautan pasir. Tanjakannya membuat jantung berdebar. 

Awalnya kami serombongan memilih jalur Tumpang Malang, karena suatu hal kami pindah jalur lewat Pasuruan. Wah kayaknya tepat bisa sekalian sowan dan berziarah ke maqam mbah Yai Hamid Pasuruan. Mungkin nanti akan Saya tulis sendiri tentang ziarah saya ke beliau. 

Own ya, kami berangkat dari rumah sekitar jam 16.00 WIB,   dua mobil meluncur memecah jalanan yang cukup gerah, walau hari sudah sore. Masuk kota Pasuruan via jalur tol sudah cukup malam, hingga kami sampai di penginapan Tosari kurang lebih pukul 23.00 WIB. 

Di Tosari cukup dingin bagi kami yang terbiasa di tinggal di Tuban yang memiliki suhu udara lumayan panas. Kami harus menunggu pemberangkatan sekitar pukul tiga dini hari. Ya, kami menunggu di penginapan dengan istirahat  dalam balutan jaket tebal. Tidur.

Jam tiga pagi kami dibangunkan guide yang akan membawa kami ke puncak Bromo. Kami pun mempersiapkan diri. Ada beberapa lokasi yang akan dikunjungi, diantaranya puncak Penanjakan untuk melihat matahari terbit, lautan pasir, padang savana bukit Teletubbies, dan kawah Bromo.

Setelah rombongan siap, dua jep meluncur membawa kami ke puncak. Jalannya seperti di awal Saya tuliskan, berkelok ke kiri dan ke kanan berulang-ulang entah berapa kali hitungan. Sesampainya di puncak hari masih gelap. Kami menunggu matahari terbit dengan menghabiskan segelas kopi, ada juga yang memilih jahe susu.

Saya sendiri menyeruput secangkir kopi sambil menulis puisi, untuk mengabadikan perjalanan Saya ke puncak Bromo. Saya jadi ingat Soe hok gie yang menulis puisi saat muncak ke gunung yang judulnya Mandalawangi-Pangrango. Puisinya Soe Hok Gie bagus sekali, Saya suka.

Ini bait pertama puisi Soe Hok Gie:

Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
... 

Bagi Soe Hok Gie naik gunung adalah sarana untuk belajar dan menempa diri, jadi bukan sekedar jalan-jalan menghilangkan stres dan kebosanan. Saya sendiri belum pernah naik gunung yang berjalan kaki, suatu saat Saya ingin mencoba. 

Tentu naik gunung era Soe Hok Gie dan era sekarang sudah jauh berbeda medannya, tapi setidaknya spiritnya harus tetap dijaga. Naik gunung guna belajar dan menguji keteguhan hati. Bukan sekedar jalan-jalan.

Kembali ke lokasi matahari terbit, saat itu sudah banyak orang yang akan melihat matahari terbit di puncak Penanjakan. Ya, sekitar 30an pengunjung, maklum masa pandemi.

Setelah shubuh kami pun bergabung ke lokasi matahari terbit. Saya berfikir tentang matahari terbit yang banyak ditunggu orang, secara filosofis matahari terbit adalah simbol hilangnya kegelapan dan terbitnya sinar harapan. Meminjam istilah Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang."

Setelah matahari naik sepenggalah, kami turun ke lautan pasir. Di bawah gunung batok yang berada di kawasan pegunungan Bromo. Dari kisah lautan pasir inilah, menurut tutur masyarakat menjadi salah satu legenda tentang Rara Anteng dan Joko Seger. Hal ini bisa dibaca tentang legenda Gunung Batok. 

Dari lautan pasir ini,. Kami meluncur sampai di savana rerumputan yang lebih dikenal dengan nama bukit Teletubbies. Sayang, waktu itu tidak ada boneka lucu yang terkenal dengan slogan "Berpelukan" itu.

Setelah puas foto-foto, kami pun bersepakat kembali ke homestay. Ada satu paket yang kami tinggalkan yaitu kawah Bromo. Untuk menuju ke sana rasa-rasanya sudah tidak ada tenaga, akhirnya kami pun memilih untuk pulang saja. 

Bangilan, 18/09/2021

Jumat, 17 September 2021

Derai Cemara di Puncak Bromo

Derai Cemara di Puncak Bromo
Oleh: Joyo Juwoto

Siluet wajahmu kueja sepanjang perjalanan 
Dan dalam deretan bayang-bayang cemara
Kurindui rinai senyummu dalam buai cinta yang syahdu
Mendekap  dinginnya malam yang menusuk kalbu

Kekasihku adalah pohon-pohon cemara
Yang tercipta dari kerling matamu, yang menyimpan misteri
Dan senyapnya kegelapan yang menyelimuti hati

Irama degup jantungmu masih kudengar diantara kelok jalan yang menanjak terjal
Deru mobil bagai dengus nafasmu yang berbisik lembut di lembah dadaku

Bromo, tebing dan jurangmu kujelajahi, dan kupahatkan kenangan sepanjang waktu, di bongkahan batu-batu keabadian
Desau dan risau anginmu membisik pada cemara yang menari di mabuk asmara

Bromo, wajahmu bukan hanya sekedar keindahan belaka
Ada gelap di malammu yang bisu
Ada terjal di Puncakmu yang kelabu
Ada dingin di lembah ngaraimu yang beku
Dan derai cemaramu merangkai kidung asmara di puncak keabadian cinta 

Bromo,  kenanganku padamu abadi, terpatri dalam bait-bait puisi ini. 

Puncak Penanjakan, 17/09/2021

Rabu, 08 September 2021

Hari-hari Mochi Pergi

Hari-hari Mochi Pergi
Oleh: Joyo Juwoto

Semenjak mochi pergi ada yang kurang di rumah kami, ada yang hilang dari hati kami. Bagaimanapun juga ia pernah ada dan mengisi hari-hari kami sekeluarga. Kami merasa kehilangan tanpa adanya Mochi. 

Seperti yang saya singgung ditulisan pertama, mochi bukanlah kucing yang suka heboh. Ia hampir tidak pernah bersuara, sampai saat kawin sekalipun. 

Tiap saya pulang ke rumah, mochi selalu membuntuti saya sampai ke dapur, ia biasanya saya bawakan pur kucing, selain tiap pagi saya belikan ikan asin di pasar Bangilan. 

Di rumah kami anak mochi Ada 8 ekor, seharusnya ada 11 ekor. Anak periode pertama di rumah tinggal tiga, sudah besar-besar. Yang tiga ekor diadopsi teman.

Anak mochi yang masih masa menyusui ada lima ekor, usianya belum genap sebulan. Karena mochi pergi meninggalkan kami dan anak-anaknya, praktis kami lebih repot dari hari biasanya. 

Kami harus berbagi mengasuh lima anak mochi yang belum bisa makan dan minum. Yang paling repot tentu istriku, kadang dibantu sulungku Naila. Pagi, siang, dan sore hari harus memberikan susu untuk bayinya mochi. 

Istriku membelikan susu khusus kucing dan dotnya di toko pakan burung. Alhamdulillah anak-anak mochi sudah pintar ngedot, walau awalnya agak kesusahan.

Sekarang timbul masalah baru, biasanya mochi menjilati bulu-bulu anaknya biar bersih. Sekarang jika bulu-bulunya kotor istriku yang harus ngelap anak-anak itu. Belum lagi jika anak-anak mochi buang kencing dan pub sembarangan. 

Ini benar-benar masalah, air kencing dan kotoran anak-anaknya mochi mengotori beranda belakang rumah kami.

Tadi malam saya membuka-buka laman fb, saya ingat ada yang menjual kandang kucing ukuran  besar. Saya berfikir kayaknya cocok jika beli kandang kucing. Saya cari-cari dan ketemu, kemudian Saya WA penjualnya.

Ukuran kandangnya tinggi 110 cm, panjang 100 cm, dan lebar 60 cm, Saya rasa cukup untuk rumah anak-anak mochi. Oleh penjualnya dikasih harga 370.000 dan ongkir sampai rumah 20.000. Saya pun mengiyakan. 

Barangnya katanya inden, Saya harus menunggu hari Jumat katanya mau dikirimkan. Saya berharap kandang ini menjadi jawaban dari masalah air kencing dan pub anak-anak kucing yang sembarangan.

Anak-anak mochi harus tetap kami pelihara, minimal sampai mereka bisa mangunyah makanan sendiri, kemudian ada yang mau mengadopsinya. 

Semoga kami bisa mengantarkan anak-anak mochi sampai tumbuh mandiri dan menjadi kucing-kucing yang lucu seperti mochi dulu. 

Kerek, 8/9/21

Minggu, 05 September 2021

Menulis adalah jalan sunyi namun pesannya abadi

"Menulis adalah jalan sunyi namun pesannya abadi"
Oleh: Joyo Juwoto

Sedang Quote di atas saya dapati di lembar buku kedua yang berjudul "Rekontruksi Pendidikan Nasional." Buku itu khusus dihadiahkan kepada Saya oleh penulisnya sendiri, Dr. Ngainun Naim, seorang penulis produktif yang kelahiran dari kota Tulungagung.

Membaca judul  buku yang ditulis pak Ngainun tentu kepala Saya jadi berkernyit, lidah Saya berat, otak Saya bereaksi keras, ini buku ilmiah yang bakalan menguras konsentrasi otak, dan meminjam istilah Pak Ngainun sendiri, buku ini bakalan membuat migrain pembacanya.

Membaca buku memang ada yang memiliki fungsi rekreatif, semisal membaca novel, membaca cerpen, buku traveling, ataupun membaca puisi. Ini semua adalah buku-buku yang bergenre otak kanan.

Tapi otak perlu dibiasakan juga membaca buku-buku yang serius, dan ilmiah. Semisal membaca jurnal ilmiah, agar kita terbiasa juga membaca buku yang cocok dikonsumsi otak kiri, agar seimbang diantara keduanya.

Buku Pak Ngainun ini dicetak oleh penerbit Teras yang beralamat di Jogja pada tahun 2009, namun sekilas saat Saya mengintip daftar isinya, buku ini sangat relevan dengan kondisi pendidikan kita hari ini.

Saya tak hendak meresensi buku beliau, karena Saya belum khatam membacanya. Saya baru membaca Pengantar penulis, menengok daftar isinya, dan baru mulai menapaki lembar di bab pertama.

Saya perlu pelan-pelan mengunyah buku ini, menelaahnya kembali, menikmati sensasi otak yang agak berat, dan dahi yang berkerut, Saya harus hati-hati, takut tersedak dengan bahasanya yang disajikan secara ilmiah, yang dibumbui dengan istilah yang kadang asing bagi Saya. 

Ya beginilah kalau kurang membaca buku ilmiah, susah sendiri jika menemukan kalimat-kalimat asing, sampai perlu membuka dan bertanya pada Mbah google segala. Tapi Saya bertekad mengkhatamkan buku pak Ngainun ini, bukan apa-apa, jangan-jangan buku ini bisa Saya jadikan salah satu rujukan thesis yang akan Saya tulis nanti. Tentu sangat membahagiakan sekali.

Mendapat kiriman buku dari Pak Dr. Ngainun ini adalah sebuah keberkahan tersendiri, ibarat  kejatuhan buah durian, karena buku ini Saya dapatkan secara gratis. Ada dua buku yang beliau kirim ke Saya, satunya adalah buku yang berjudul "Moderasi Beragama Dalam Bernegara" yang ditulis oleh Forum Penyuluh Agama Islam Kab. Tulungagung.

Saya tahu, pak Ngainun mengirimkan bukunya guna menyemangati Saya yang mulai kendor dalam menulis, semoga apa yang beliau usahakan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah Swt. Sebagaimana yang beliau pesankan, menulis adalah jalan sunyi namun pesannya abadi, semoga bisa Saya lampaui. Aamin. 

Bangilan, 05/09/21

Sabtu, 04 September 2021

Mochi Secepat Ini Kau Pergi.

Mochi Secepat Ini Kau Pergi.
Oleh: Joyo Juwoto

Mochi seekor kucing mixdom berwarna coklat susu yang cukup lucu, dan menggemaskan. Mochi berada di keluarga kami setahun lebih, ia cukup menghibur dan ikut mewarnai kegembiraan hati kami sekeluarga. 

Semenjak kehadiran Mochi ada hal yang berubah di rumah kami. Awalnya pasukan tikus sering mengganggu di rumah, setelah mochi menjadi satpam terdepan, tikus-tikus itu kabur entah kemana.

Padahal kami sekeluarga waktu itu sempat mentertawakan Mochi, lha kucing sebesar itu kok tidak punya suara garang. Suaranya sangat lirih dan pelan sekali. Meong.

Naila, anak sulungku adalah yang punya keinginan mengadopsi kucing yang kami dapatkan via online. Kami mengambilnya di 30KM  dari rumah tempat tinggal kami.

Setelah beberapa bulan tinggal di keluarga kami, Mochi ketemu soulmatenya, ketemu jodohnya. Seekor kucing kampung yang cukup gagah berwarna putih, hitam, berpadu warna coklat.

Tidak seperti perkawinan ala kucing  yang biasa saya kenal, yang saling berkejaran di atas atap rumah, saling mengeong, mendengus cukup keras, dan menghebohkan seisi rumah. Mochi menjalani masa birahinya dengan cukup tenang dan khidmat, hingga kami tidak mengenali kalau Mochi ternyata sudah hamil.

Kami bahagia, anak-anak senang, Mochi akan segera melahirkan. Setelah beberapa waktu tibalah saatnya Mochi melahirkan. Alhamdulillah Mochi melahirkan 6 ekor anaknya yang lucu-lucu. Ada yang berwarna hitam penuh, coklat cerah, dan ada yang berwarna hitam bercampur putih. Menggemaskan sekali.

Mochi ini termasuk ibu yang baik dan perhatian kepada anak-anaknya. Ketika usia anak-anaknya sudah mulai mendekati masa bisa makan, Mochi sering pulang dengan membawa anakan tikus hasil berburunya. 

Nalurinya mengatakan bahwa anaknya sudah waktunya belajar makan sendiri. Tapi Mochi ini sangat sayang anaknya, dia masih rela dan mau menyusui walau anaknya sudah besar dan bisa makan sendiri. Saya jadi terharu melihat Mochi yang kelihatan kurus karena menyusui 6 anaknya yang seharusnya sudah disapih itu. 

Seiring berjalannya waktu, anak-anak Mochi makin hari makin besar, Otomatis di rumah kami sekarang ada 6 ekor kucing. Kami cukup kuwalahan. Akhirnya sesuai kesepakatan dengan anak-anak, 3 kucing akan kami hibahkan kepada orang lain.

Di rumah sekarang tinggal Mochi dan tiga anaknya. Oleh Naila, Nafa, dan Ninda, anak Mochi dipanggil Si Iyenk, Si Oyenk, dan Enthut alias Caca Marica. Mochi dan ketiga anaknya menjadi primadona di keluarga kami.

Seperti kehamilan di tahun pertama yang sunyi, tiba-tiba Mochi sudah hamil lagi. Ia mengandung anaknya untuk periode kedua. Tepat tanggal 17 Agustus 2021 Mochi melahirkan 5 ekor bayi yang lucu. Alhamdulillah tepat bertepatan dengan HUT RI Ke-76.

Masa kegembiraan itu tidak berlangsung lama, pagi tadi Mochi pulang ke rumah kondisinya kelihatan lemah. Ia ambruk di ruang tengah rumah kami. Anak-anaknya tidak tahu kalau ibunya hari ini telah tiada. 

Saya sudah mengusahan apa yang Saya bisa. Mochi Saya beri pertolongan dengan meminumkan air Kelapa muda. Ia muntah, badannya lemas. Kelihatannya racun telah merayap sampai di jantungnya. Mochi akhirnya pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan anaknya yang baru berumur 2 mingguan. 

Terima kasih Mochi pernah hadir dan memberikan kegembiraan untuk kami, jangan khawatir kami akan mengurus anak-anakmu, dan mengantarkannya menjadi kucing yang lucu seperti dirimu dulu. Semoga. 😭😭

Bangilan, 04 September 2021

Selasa, 31 Agustus 2021

Tetap Gembira Peringati HUT Ke-76 Kemerdekaan RI di masa Pandemi

Tetap Gembira Peringati HUT Ke-76 Kemerdekaan RI  di masa Pandemi
Oleh: Joyo Juwoto

Tak terasa hampir dua tahun pandemi COVID-19 melanda kita semua. Tidak di desa, tidak di kota kondisi sulit dirasakan oleh semuanya, baik secara ekonomi, pendidikan, maupun sektor transportasi. Hampir semua lini kehidupan kehilangan gairahnya.

Di situasi pandemi seperti ini masyarakat harus pandai dalam mengatur keperluan sehari-hari, sektor yang dirasa sangat penting saja yang harus diprioritaskan, agar kehidupan terus berjalan, dan masyarakat bisa survive di tengah situasi yang serba tidak pasti ini. 

Termasuk dalam merayakan HUT Kemerdekaan negara kita tercinta, jangan sampai seperti biasanya. Pesta sebulan penuh dengan berbagai kegiatan yang melibatkan massa cukup banyak.

Saya rasa hal yang wajar kita bergembira menikmati karunia dan rahmat Allah Swt dengan anugerah Kemerdekaan yang  telah diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa. Sudah seyogyanya kita merayakannya dengan berbagai kegiatan yang positif.

Kita bahagia dengan anugerah dan nikmat yang telah Allah Swt berikan berupa Kemerdekaan adalah termasuk amal kebaikan yang bernilai ibadah dan berpahala. Itu adalah tanda kesyukuran atas nikmat Tuhan.

Ya, kebahagiaan saat merayakan Kemerdekaan tentulah sangat berharga, apalagi di musim pandemi seperti ini. Kita bisa tertawa dalam segala keterbatasan  adalah hal yang sangat luar biasa.

Bergembira adalah perintah Tuhan, dan ini menjadi penanda seorang hamba bahagia dengan punya Tuhan  Allah yang Maha Pengasih dan Penyanyang. Gus Baha' seorang ulama yang sangat viral pernah mengatakannya demikian. Bahkan beliau juga menyitir ayat al Quran yang bunyinya: 

"Qul bifaḍlillāhi wa biraḥmatihī fa biżālika falyafraḥụ, huwa khairum mimmā yajma’ụn."

Artinya: “Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."

Ayat di ayat jelas sekali bahwa seorang hamba hendaknya bergembira dengan karunia Allah Swt yang telah dianugerahkan kepada seorang hamba. 

Gus Baha' juga mengatakan bahwa tertawa itu termasuk ibadah mudah yang sangat dibenci oleh syetan, sebagaimana yang beliau sitir dari Imam Al Ghazali yang berbunyi: 

"Inna min khiyari ummati fimaa nabbaanil mala-ul a’la qauman yadhakuuna jahran min sa’ati rahmatillah, wa yabkuuna sirran min khaufi ‘adzaabih."

Artinya: 
"Sesungguhnya termasuk dari ummatku dari apa yg dikabarkan oleh penduduk langit ialah kaum yang tertawa lantang sebab keluasan rahmat Allah,  dan yang menangis secara rahasia sebab takut adzab-Nya."

Jadi silakan tetap bergembira dalam memeriahkan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI dengan berbagai kegiatan yang disesuaikan dengan musim pandemi seperti ini. Jangan sampai pandemi membuat kita bangsa Indonesia mati gaya.

Ada banyak alternatif merayakan Kemerdekaan yang ke 76 ini dengan berbagai kegiatan yang berbasis online, seperti baca puisi online, karya foto, lomba menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, secara online di media sosial atau mungkin group WA kampung, lomba membuat tagline Kemerdekaan dan tentu masih banyak lagi kegiatan yang dilakukan via dunia maya.

Intinya sesuai tagline HUT RI Ke-76, Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh, rakyat harus bangkit, rakyat harus gembira agar rasa syukur dan kebahagiaan atas Kemerdekaan ini tidak terjajah kembali oleh kondisi pandemi yang belum berkesudahan ini. Salam bahagia, Salam merdeka! 

Bangilan, 31 Agustus 2021

Senin, 30 Agustus 2021

Menelusuri Jejak Joko Tingkir Lewat Tembang Sigra Milir Versi Gus Dur

Menelusuri Jejak Joko Tingkir Lewat Tembang Sigra Milir Versi Gus Dur
Oleh: Joyo Juwoto

“Sigra milir sang gethek sinangga bajul, kawan dasa kang njageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan kering, kang gethek lampahnya alon”.

Artinya: "Mengalirlah segera sang rakit didorong buaya
empat puluh penjaganya
di depan juga di belakang
tak lupa di kanan kiri
sang rakit pun berjalan pelan."

Masyarakat Jawa memang dikenal memiliki tradisi tutur yang sangat kaya, mulai dari legenda, dongeng, folklore, mitos, cerita misteri, hingga tembang-tembang dolanan. 

Tidak seperti tembang yang sudah sangat populer seperti gundul-gundul pacul, lir ilir, atau sluku-sluku bathok, tembang di atas, yang saya bahas ini terasa asing dan kurang merakyat, setidaknya di mana saya menjalani masa kanak-kanak di tempat saya tinggal. 

Entah karena memang di tempat saya tinggal sudah jarang sekali, bahkan jika boleh dikatakan tidak ada lagi anak-anak yang bisa nembang dolanan. Padahal saya termasuk generasi kelahiran delapan puluhan. Orang tua pun tidak ada yang mengajari anaknya nembang. 

Sebagai orang Jawa tentu ini menjadi keprihatinan bersama, di mana kebudayaan kita yang paling sederhana saja, yang berupa tembang dolanan tidak terwariskan dengan baik ke anak cucu kita. 

Saya menulis ini catatan ringan ini, setelah sebelumnya melihat di salah satu postingan di laman FB ada yang membagikan pidato Gus Dur saat mengisi pengajian di Lamongan. Tepatnya di Pringgoboyo Kec. Meduran. 

Gus Dur saat itu yang menjadi pembicara pada haul mbah Anggoboyo. Beliau menembangkan sigra milir dan menerangkan bahwa tembang tersebut adalah kisah perjalanan Joko Tingkir yang akan ke Pajang guna merebut kembali tahta kerajaan yang telah jatuh ke tangan Sutowijoyo dari bumi mentaok.

Setelah pasukan Pajang kalah perang dengan Mataram, Joko Tingkir mengungsi sampai Sumenep Madura. Di sana beliau menggalang kekuatannya kembali. 

Saat itu sebenarnya Joko Tingkir sudah membawa pengawal sebanyak 40 orang yang terdiri dari para jawara. Ini disimbolkan dengan wujud 40 buaya yang mengawal getheknya Joko Tingkir saat di bengawan. "Kawan dasa kang njageni"

Tapi ketika sampai di bengawan Jero, Joko Tingkir alias sultan Hadiwijaya ini singgah di Pringgoboyo, ketika sedang istirahat beliau mendapatkan pesan ghaib dari gurunya, yaitu Sunan Kalijaga, agar tidak melanjutkan perebutan kekuasaan lagi. Lebih baik Joko Tingkir tinggal dan menetap saja di situ untuk mendidik masyarakat. Itu lebih bermanfaat, karena jikalau Joko Tingkir pergi ke Pajang pun, ia tidak akan menang melawan Sutowijoyo. Karena suratan takdirnya memang demikian.

Akhirnya Joko Tingkir menuruti dawuh gurunya untuk menetap di Pringgoboyo, dan selanjutnya oleh masyarakat setempat, beliau lebih dikenal dengan sebutan mbah Anggoboyo. Demikian yang dikisahkan oleh Gus Dur. 

Mengenai tafsir tembang sigra milir ini tentu banyak versi, tapi demikian itu kurang lebihnya yang disampaikan oleh Gus Dur. 

Kisah perjalanan Joko Tingkir naik gethek memang sangat melegenda, peristiwa ini juga diangkat di film, namun kisah yang dikenal masyarakat bahwa ini adalah perjalanan Joko Tingkir ketika akan sowan ke Demak era Sultan Trenggono setelah Joko Tingkir berguru kepada Ki Buyut Banyubiru.

Kisah ini entah versi mana yang benar, karena keduanya bersumber dari tradisi lisan yang sulit dibuktikan kebenarannya.

Gus Dur memang sosok yang suka berziarah dan menemukan makam para waliyullah yang kadang belum dikenal oleh penduduk setempat. Seperti juga beliau  pernah ziarah ke Soko Medalem ke sebuah maqam yang menurut beliau itu adalah maqamnya Sunan Kalijaga. Wallahu a'lam. 

Bangilan, 30 Agustus 2021

Jumat, 27 Agustus 2021

Fatratul Kitabah

Fatratul Kitabah
Oleh: Joyo Juwoto

Dalam khazanah sejarah perjalanan agama Islam, kita mengenal istilah fatratul wahyi, yaitu masa jeda di mana wahyu tidak turun kepada Nabi Muhammad SAW. Masa fatratul wahyi ini, tentu sangat menggelisahkan hati Nabi Muhammad yang baru menerima wahyu pertama, dan entah mengapa tidak diikuti oleh wahyu kedua dan selanjutnya.

Masa jeda memang membingungkan dan menggelisahkan hati. Masa jeda yang tidak menentu, gelap, dan tidak ada kepastian. Dalam bahasa jomlo mungkin bisa disetarakan dengan masa menggantung, masa yang tidak jelas sama sekali.

Tidak bermaksud menyamakan, ternyata dalam dunia menulis ternyata juga sama. Ada masa jeda di mana seorang penulis merasa kesulitan untuk menuangkan idenya menjadi sebuah tulisan. Setidaknya ini yang saya alami dan saya rasakan. Saya tidak tahu dengan penulis-penulis profesional, apakah ada juga masa jeda, masa fatratul kitabah.

Sebagai penulis amatiran kayak saya ini, kadang harus menunggu mood untuk bisa menulis. Parahnya setelah menunggu berbulan-bulan ternyata mood itu tidak datang-datang. Benar jika ada yang mengatakan bahwa aktivitas menunggu itu membosankan dan menggelisahkan. 

Saya sebenarnya juga tidak tahu dan belum mengenali betul apa itu mood. Ia datang sendiri tanpa diundang,  Dan serta merta kabur tanpa diantar seperti jailangkung, ataukah perlu sesajen khusus untuk menghadirkannya. Yang pasti ketika saya hanya berdiam diri menunggu datangnya mood, justru saya semakin kesulitan untuk mendekatinya.

Mood tak pernah mau datang ketika kita menunggunya dengan pasif. Itu yang saya rasakan, yang saya alami. Tak terasa menunggu mood justru merusak dan menghalangi kedatangannya. Akhirnya di tengah kegelisahan menunggu, saya memaksa diri untuk menulis. Hasilnya ternyata juga juga susah untuk menghasilkan tulisan yang selesai, apalagi bagus.

Baru beberapa paragraf, bahkan kadang baru beberapa kata, saya tidak bisa melanjutkan menulis. Mentok. Ah, kadang memang hati ini berkata, betapa susahnya menulis, saya kebingungan sendiri.

Sebagai penulis asal-asalan, masa fatroh menulis ini sering saya alami, cuma kadarnya berbeda-beda. Kadang selang beberapa hari  sudah teratasi, tapi kali ini beda, saya merasakan berbulan-bulan lamanya kesulitan menuangkan ide menjadi sebuah tulisan. Buntu.

Ya wis mau bagaimana lagi, menulis hal sederhana saja malas, dan butuh menunggu mood segala. Hal yang sedemikian tentu susah menjadi penulis professional yang harus menyertakan banyak sumber dan referensi. Salah satu kunci menjadi penulis yang baik tentu harus berdisiplin dalam menulis, dan bisa menghadirkan mood, memperbarui mood, dan bukan sekedar menunggunya saja.

Lalu adakah tips-tips untuk menjaga dan menghadirkan mood? Saya rasa kuncinya adalah pada diri pribadi si penulis itu sendiri.

Kalau saya pribadi jika mood tiba-tiba ngedrop biasanya yang saya lakukan adalah melihat cover-cover buku di perpustakaan atau di toko buku, membaca buku, jalan-jalan, dan bisa juga melakukan hal menarik dan menggemberikan diri sendiri, walau kadang semua itu tidak ada gunanya juga. 

Bangilan, 27/08/2021

Kamis, 26 Agustus 2021

Bermakna Dengan Pena, Membersamai Seminar Literasi Di MA Islamiyah Senori Tuban

Bermakna Dengan Pena, Membersamai Seminar Literasi Di MA Islamiyah Senori Tuban
Oleh: Joyo Juwoto

Generasi era 5.0 adalah generasi serba tahu, google, youtobe, TikTok, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari generasi ini, dalam berkiblat dan mengakses beragam informasi di dunia maya, generasi 5.0 bukan lagi sekedar generasi putih abu-abu.

Alhamdulillah, kemarin siang (25/08/21) saya berkesempatan membersamai generasi 5.0 siswa-siswi MA Islamiyah dalam seminar Literasi yang diadakan diselenggarakan oleh kelompok 09 mahasiswa PPL FT-PAI UNUGIRI Bojonegoro.

Di seminar tersebut saya tidak sendiri, ada pemateri dari pihak kampus UNUGIRI Bojonegoro, beliau yang mulia Bapak Dr. H. Mundzar Fahman. Saya kebagian menyampaikan materi diawal   dan selanjutnya materi diperkaya oleh beliau yang memang sudah sangat berpengalaman di dunia tulis menulis. Karena beliau pernah menjadi direktur Radar Bojonegoro periode 2002-2008.

Kegiatan seminar yang digagas oleh Mahasiswa PLL UNUGIRI Bojonegoro ini dibuka oleh Ibu Dosen Bu Nyai Hamidatun Nihayah, M.H.I., selaku Dosen Pembimbing Lapangan. 

Untuk peserta seminar, diikuti oleh berbagai elemen organisasi di Madrasah, seperti pengurus OSIS, bagian perpustakaan, team redaksi majalah madrasah, IPNU, IPPNU beserta para guru pembinanya.

Tentu saya merasa senang bisa berbagi sedikit pengalaman tentang dunia literasi yang telah saya geluti dalam beberapa tahun ini. Dalam paparan yang saya sampaikan diawal saya memberikan afirmasi bahwa aktivitas membaca dan menulis itu adalah perintah Tuhan, yang bernilai ibadah dan berpahala.

Kemudian saya nukilkan dua surat dalam al Quran yang menyebutkan akan hal itu. Yakni surat pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad adalah perintah membaca. Sedang perintah menulis, Allah menurunkan surat Al Qalam (pena). Nūn, wal-qalami wa mā yasṭurụn
Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan,

Betapa luar biasa dan hebatnya dua aktivitas membaca dan menulis ini, sampai-sampai Allah menjadikan sebagai perintah pertama dalam Nubuwwah. Allah juga menjadikan Qalam sebagai media sumpah. Ini tentu terkandung makna yang mendalam dan hikmah yang luar biasa. 

Selain menyuntikkan motivasi menulis, saya juga menceritakan betapa mudah menulis sebuah buku di era sekarang. Jika dulu kita harus mengikuti segala ketentuan sebuah penerbit mayor, maka hari ini kita bisa bebas menerbitkan buku secara indie. Masalah kualitas buku dan isi buku tentu tinggal personalnya. Tapi tidak dipungkiri banyak juga buku-buku yang diterbitkan secara indie memiliki kualitas premium. 

Hari ini kita punya panggung yang bernama media sosial di mana seseorang bisa dengan mudah mengeshare tulisannya untuk dibaca publik. Seorang penulis bisa menciptakan personal brandingnya sendiri dari media sosial ini.

Hari ini banyak sekali platform media sosial yang mendukung seorang penulis untuk bisa mengaktualkan diri, bisa lewat semisal Facebook, Twitter, Instagram, atau platform yang berbasis literasi semisal kompasiana, whatpad, KBM, lewat berbagai blog dan masih banyak lagi.

Itulah berbagai fasilitas yang memberikan kemudahan dalam berliterasi untuk generasi 5.0. Jadi jika ingin mengembangkan dunia literasi kepenulisan, cukup satu kata kuncinya, mulai saat ini juga. Tulislah hal-hal yang bermanfaat, hindari hoax agar tulisan kita memberikan kontribusi positif dalam kehidupan.

"Literasi adalah kemampuan sekaligus mengekspresikan info apapun yang didapat demi kemashlahatan umat" Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala MA Islamiyah Bapak Gatot Utuh Santoso dalam pidato sambutannya.

Memang akhir dari segala sesuatu harus bermuara kepada kebaikan yang harus terus diwariskan dari generasi ke generasi, terus berestafet menebar manfaat agar pahalanya mengalir berjariyah dan mengabadi. 

وَاِنَّ لَكَ لَاَجْرًا غَيْرَ مَمْنُوْنٍۚ

Dan sesungguhnya engkau pasti mendapat pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.

*Bangilan, 26/08/2021*

Rabu, 25 Agustus 2021

Berlibur ke Perpustakaan

Berlibur ke Perpustakaan
Oleh: Joyo Juwoto

Hari sudah beranjak siang, Matahari tampak ceria memancarkan cahaya emasnya, embun di pucuk-pucuk daun mulai menguap hilang di terpa cahaya siang. Burung-burung berkicauan di dahan pohon menyambut riang hari yang penuh gembira.
Hari libur sekolah telah tiba, Nafa dan Ninda sudah membuat rencana jadwal liburan. Jadwal itu akan disodorkan kepada ayah bundanya. Mereka berdua tampak antusias menyerahkan draft liburan yang mereka buat berdua. Mereka berdua kemudian menemui ayahnya.
"Ayah, liburan kali ini kita tidak hanya bersenang-senang saja, tapi harus ada ilmu yang kita dapatkan". Kata Nafa sambil menyodorkan kertas kepada Ayahnya. 
Ayah yang sedang duduk santai di beranda rumah depan, sambil menikmati secangkir kopi menoleh dan menerima selembar kertas merah jambu dari anak sulungnya.
Ayo...ayo...Yah, kita liburan di pantai? Rengek Ninda. Sebagaimana lazimnya anak-anak, Ninda memang suka bermain air dan pasir. 
Ayah hanya mengangguk-anggukkan kepala, itu sudah sangat melegakan kedua bocah yang ingin pergi untuk liburan. Ya begitulah, dunia anak adalah dunia bermain, mereka butuh wadah untuk menyalurkan keriang gembiraannya dengan liburan bersama. 
"Iya, adik. Nanti kita pasti akan pergi berlibur, tenang saja". Kata Ayah menegaskan anggukannya, dengan perkataan yang membuat mata kedua bocah itu berbinar. 
"Horeee... Kita akan liburan ke pantai, ayo Kak Nafa kita siap-siap".Teriak Ninda gembira sekali menyambut datangnya musim liburan sekolah. 
"Wekkk...memang mau berangkat sekarang, kok sudah siap-siap?. Sambut Nafa meledek adiknya.
" Iya Ayah, kita berangkat liburan sekarang bukan?, tanya Ninda mencari kepastian. 
Iya, kita liburan. Tapi kan tidak harus sekarang adik?, jawab ayah sambil melihat dan membaca kertas itu dengan seksama. Mata beliau kelihatan berbinar gembira. 
Ayah tampak tersenyum melihat draft yang disodorkan oleh Nafa. Dari sekian rencana liburan yang dibuat anaknya, ada yang cukup menarik perhatiannya, yaitu berlibur di perpustakaan. Ini tentu aneh sekali, liburan di perpustakaan adalah liburan yang sangat tidak lazim.
Di rumah, Nafa punya perpustakaan pribadi, perpustakaan yang dibaca oleh anggota keluarga, sehingga semenjak kecil Nafa sudah terbiasa bermain dengan buku. Sayangnya koleksi perpustakaan keluarga untuk bacaan anak kurang banyak. Ini yang mungkin mendorong Nafa ingin liburan di perpustakaan. Ia sangat suka membaca cerita-cerita bergambar.
Nafa punya banyak koleksi buku-buku tipis yang bergambar tokoh kartun di televisi, yaitu buku komik Tayo, sebelum ia bisa membaca, Nafa sudah bisa bercerita dari gambar yang ia lihat di komik tersebut, walau tentu tidak semuanya sesuai dengan apa yang ada di komik. Tapi Nafa sangat antusias menceritakan gambar komik Tayo kepada adiknya.
Di desa di mana keluarga Nafa tinggal, tidak ada perpustakaan, paling ada ya perpustakaan di sekolah-sekolah, itupun ala kadarnya saja. Sekedar memenuhi standard administratif belaka. Perpustakaan memang belum mendapatkan perhatian yang serius dari pihak terkait.
"Kak Nafa, untuk jadwal liburan di perpustakaan ini bisa kita lakukan nanti siang, sehabis shalat dhuhur". Ayo nanti kita ke desa di kecamatan sebelah, di sana ada perpustakaan". Terang Ayah lebih lanjut.
Betulkan Kak Nafa, nanti kita liburan?, sela Ninda kembali. 
"Iya Adik, tapi nanti kita liburannya ke perpustakaan, untuk liburan ke pantai besok-besoknya saja ya?. Di perpustakaan juga bagus lho,  adik bisa bermain ayunan, di sana juga ada aneka macam burung, dan ayam". Kata Ayah menghibur anaknya yang ingin ke pantai.
***
"Wow! Bukunya bagus-bagus ya Yah? Banyak sekali koleksinya". Nafa mendatangi rak buku yang terdapat bacaan khusus untuk anak-anak. Ia sangat gembira melihat buku-buku bacaan bergambar yang beraneka rupa.
"Kak Nafa, saya ambilkan yang itu dong, saya juga mau membaca buku itu." Seru Ninda sambil menunjuk salah satu buku yang bergambar aneka hewan di rak yang agak tinggi. 
Ninda dan Nafa sibuk melihat buku-buku koleksi perpustakaan 1001 Ilmu, suasana perpustakaan itu cukup bersih dengan tatanan lemari dan rak buku yang cukup rapi. Perpustakaan itu milik seorang anggota DPR RI. Walau beliau tinggal di Ibu kota, tapi beliau  memiliki perhatian yang tinggi terhadap dunia literasi, oleh karena itu beliau mendirikan taman bacaan di desanya.
Tidak hanya sekedar perpustakaan, taman baca itu juga menyediakan tempat bermain untuk anak-anak. Ada ayunan, bandulan, perosotan, dan lain-lain yang sangat digemari anak-anak. 
Selain itu di sisi belakang pustakaan juga ada ruang edukasi yang berisi gambar pakaian adat, senjata tradisional, tarian daerah, dari berbagai wilayah di Indonesia. Anak-anak juga bisa melihat ayam mutiara, burung merak, dan aneka burung yang juga ikut meramaikan taman baca tersebut.
“Ayah, saya sudah bosan melihat buku? Kata Ninda yang sejak awal memang kurang menyukai liburan ke perpustakaan.Sedang Nafa tampak sibuk melihat-lihat buku, satu buku belum dibaca, ia letakkan kemudian beralih melihat buku yang lain. Tampaknya ia bingun mau membaca buku apa. Nafa sedang bereksplorasi melihat-lihat sampul bukunya saja.
“Sebentar Nind, ini lihat ada buku bagus sekali gambarnya?, bujuk Nafa kepada adiknya yang memang sudah bosan.
“Nggak ah! Saya tidak mau melihat buku lagi”. Saut Ninda dengan nada ketus.
“Baiklah Adik Ninda, kita beralih ke taman yuk?, ayo Kakak Nafa ke belakang ruang perpustakaan ini, di sana ada tempat bermainyang cukup bagus”. Kata ayah menengahi.
Mereka bertiga kemudian meninggalkan ruang baca perpustakaan, dan beralih ke taman bermain anak. Sebelum sampai di taman bermain, mereka melewati lorong yang di dindingnya ditempeli aneka kebudayaan dari berbagai wilayah di Nusantara.
“Wah, bagus sekali ini bajunya? Ini dari mana ya Yah?, tanya Nafa sambal menunjuk salah satu pakaian adat yang tertempel di sudut lorong menuju taman bermain.
‘Owh, itu baju adat dari Jambi, warnanya merah merona dengan sulaman benang emas, sehingga bajunya terkesan sangat mewah dan indah Kak”. Jawab ayah menerangkan.
“Tidak hanya Jambi saja yang memiliki pakaian adat mewah, kita punya kekayaan budaya yang sangat beragam, lihat itu yang tertempel di sana, bagus-bagus kan? Sambung ayah menerangkan lebih detail.
“Iya Ayah, bagus-bagus. Nafa sangat suka sekali”.
“Oleh Karena itu anakku, belajarlah yang sungguh-sungguh, pelajarilah kebudayaan adi luhung nenek moyang kita, agar besok menjadi manusia Indonesia seutuhnya, dan yang terpenting cintailah negeri ini dengan segenap cinta, karena kita memiliki khazanah kebudayaan yang sangat kaya sekali”.
“Pakaian adat ini, baru sebagian kecil kekayaan kebudayaan Nusantara, masih banyak mutiara terpendam yang kita miliki, semoga kelak engkau bisa memahaminya”. Lanjut ayah melanjutkan keterangannya.
“Ya sudah, ayo sekarang kalian berdua bermain di sana”, tunjuk ayah ke sebuah ayunan di bawah sebuah pohon yang rindang. Kedua bocah itu kemudian berlari kearah ayunan, mereka siang itu sangat gembira sekali berlibur di perpustakaan, hingga tak terasa waktu telah menjelang senja.

Minggu, 02 Mei 2021

Ramadhan Bulan Literasi





 Ramadhan Bulan Literasi 

Bulan Ramadhan adalah bulan al Qur'an, bulan yang penuh berkah di mana pada bulan ini Allah Swt menurunkan Al Qur'an dari langit ke bumi.

Kita tahu bahwa Al Qur'an yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw adalah surat al Alaq, atau masyhur disebut sebagai surat Iqra'. 

Kalimat Iqra' adalah perintah dari Allah untuk membaca. Setelah turun surat Iqra' sebagian ulama berpendapat   surat berikutnya yang turun adalah surat Al Qalam.

Surat Iqra' secara tersurat sangat jelas kita diperintahkan untuk membaca. Membaca apa saja, baik sesuatu yang tersurat maupun yang tersirat. Membaca ayat-ayat Allah, baik qauliyah maupun kauniyah. Ya, membaca ini menjadi perintah pertama Tuhan kepada hamba-hamba-Nya.

Untuk surat Al Qalam, artinya adalah pena. Di dalam surat ini Allah bersumpah demi pena. Tentu pena memiliki rahasia yang cukup besar hingga Allah menjadikannya sebagai kalimat sumpah. 

Tentu bukan suatu kebetulan jika setelah Allah memerintahkan membaca kemudian diikuti sumpah dengan pena. Ada kaitan erat antara aktivitas membaca dengan pena.

Dari serangkaian apa yang saya utarakan di atas, mulai dari turunnya Al Qur'an pada bulan Ramadhan, kemudian perintah untuk membaca, yang disusul sumpah atas nama pena maka saya mengambil sebuah kesimpulan bahwa bulan Ramadhan selain disebut sebagai bulan Al Qur'an maka ijinkan saya menyebutnya juga sebagai bulan literasi.

Saya rasa penyebutan ramadhan sebagai bulan literasi tidaklah berlebihan dan tidak menyalahi kaidah dalam agama kita. Karena memang pertama kali perintah Allah berkaitan dengan kegiatan literasi itu sendiri.

Terlebih, di bulan ramadhan umat Islam khususnya para santri di pondok pesantren banyak mengisinya dengan kegiatan literasi juga. Seperti membaca, mentelaah berbagat kitab-kitab klasik para ulama terdahulu dan berbagai kegiatan spiritualitas  seperti shalat sunnah tarawih, witir, dan wiridan.

Di setiap bulan Ramadhan, pondok-pondok pesantren di seluruh Indonesia banyak mengadakan pengajian kitab kuning atau dalam khasanah pesantren dikenal dengan istilah "Pasan". 

Pasan atau mengaji berbagai kitab-kitab klasik dalam bahasa Arab yang biasanya dimaknai menggunakan bahasa Jawa adalah sebuah kegiatan literasi yang luar biasa. Ini adalah tradisi literasi terbesar yang dilakukan oleh para santri secara serentak di bulan ramadhan yang patut mendapatkan perhatian. 

Para santri menyimak ulasan kitab yang dibaca oleh para Kiai kata perkata. Mereka dalam istilah pesantren nyasahi kitab, atau memberikan makna dengan tulisan Arab pegon di kitab yang mereka bawa sesuai dengan apa yang dibaca oleh sang Kiai. 

Ada pula santri yang menyimak hanya "nguping" saja. Maksudnya hanya mendengarkan dengan telinga tanpa repot-repot menyimak kitab yang dikaji oleh para Kiai. Biasanya ini dilakukan oleh santri-santri sepuh. Mereka mengaji hanya sekedar tabarrukan saja. 

Dengan tekun para santri tersebut mengaji dan mengkaji kitab-kitab berbahasa Arab tersebut hingga khatam di beberapa hari di bulan ramadhan.

Saya melihat tradisi pasan ini  adalah kegiatan literasi yang sangat luar biasa dari khazanah pesantren di Indonesia. Dari kegiatan ini saya berharap akan lahir tradisi keilmuan yang membawa perubahan besar bagi kehidupan kita dalam beragama, berbangsa dan bernegara. 

Bangilan, 17 Ramadhan 1442 H

Kamis, 29 April 2021

Sekuntum Cinta untuk Kekasih Tercinta

Sekuntum Cinta untuk Kekasih Tercinta
Oleh: Joyo Juwoto

Mencintaimu kekasihku, bukan seperti kisah drama cinderela
Bukan pula seperti Romeo juliet
Atau kisah kasih dalam dunia dongeng lainnya

Mencintaimu, adalah kenyataan dalam hidup
Yang kadang perih dan pedih
Walau lebih banyak gula-gulanya

Mencintaimu adalah sebuah kepastian 
Laksana langit yang bertabur berjuta bintang kebahagiaan
Walau kadang tersaput mendung dan kabut 

Percik api cinta kadang menyala-nyala
Dan berkobar menjadi  amukan rindu yang menggebu

Tak jarang pula api itu berubah menjadi samudera cemburu yang memanen badai dan debu dalam bahtera cinta

Namun begitulah cinta, selalu mengajarkan tentang arti sebuah kesabaran
Cinta selalu punya cara tuk memaafkan, bagi sebuah kekhilafan

Cinta selalu punya celah, untuk menyatukan dua hati yang telah terpatri di papan azali

Apapun yang terjadi, puzzle cinta  selalu menyatu dan mengukuhkan rasa diantara kita berdua

Cinta selalu punya cara menjaga kemurnian bara apinya

Cinta selalu mengalirkan mata air dan air mata yang jernih menyejukkan

Cintaku padamu mungkin sederhana
Tak seperti bunga-bunga kata para pujangga

Namun yakinlah cintaku tetap harum mewangi
Bagai kebun seribu bunga di taman argaloka, yang kelak akan kita panen di surga Firdaus-Nya


Bangilan, 25/04/21
Teruntuk istriku tercinta

Sabtu, 27 Februari 2021

Cahaya Cinta

Cahaya Cinta
Oleh: Joyo Juwoto

"Luka adalah tempat di mana cahaya memasukimu" (Rumi)

Pagi berkabut pekat, dingin menusuk tulang belulang. Saya telah terbangun bersamaan dengan turunnya malaikat yang mengusung seperti malam. Hening.  Sepagi itu saya telah terbangun, bahkan ayam jantan belum berkokok memamerkan kukuruyuknya. Dan fajar sodiq pun belum turun menyapa mayapada. 

Saya adalah seorang suami dari seorang gadis yang saya cintai, ia telah menjadi istri saya semenjak lima belas tahun silam, namun Tuhan sepertinya belum berkenan menitipkan amanah, permata hati dan belahan jiwa di tengah-tengah keluarga kami.

Sepagi itu saya telah bangun, setiap hari tanpa henti selama lima tahun. Ya, itu  adalah amalan ijazah dari seorang Kiai sepuh yang harus saya lakukan. Tidak boleh berhenti, tidak boleh absen satu kali pun. Jika terpaksa absen, maka saya harus mengulanginya lagi dari hitungan awal.

"Nak, bacalah wirid ini di sepertiga malam. Baca selama lima tahun tanpa henti, sesudah shalat tahajud. Baca sebanyak 313 kali, sampai menjelang subuh, jangan sampai absen satu hari pun. Jika kamu lupa, maka harus kamu ulang dari hitungan pertama lagi." Begitu ijazah yang diwejangkan Pak Kiai kepadaku. 

"Nun Inggih Kiai, Qabiltu" Jawab saya, tanpa banyak bertanya kepada beliau. Kemudian saya dan istri berpamitan untuk pulang. 

"Terima kasih Kiai, InsyaAllah dawuh panjenengan akan saya lakukan, mohon undur diri dan mohon doanya." Saya bersalaman mencium tangan beliau kemudian saya dan istri keluar rumahnya Kiai sambil membawa cahaya harapan yang terang. 

Begitulah adab yang diajarkan orang tua dan guru-guru saya dulu, jika mendapatkan dawuh Kiai jangan banyak bertanya. Kalau memang itu untuk kebaikan lakukan, jangan mempertanyakan ini itu yang tidak penting. 

Walau Ijazah yang diwejangkan mbah Kiai itu sangat berat bagi saya, tapi mau apalagi, saya harus melakukannya. Semua demi keinginan saya dan istri agar dikaruniai oleh Tuhan anak-anak yang telah kami rindukan cukup lama.

Setidaknya hari ini saya pulang mendapatkan solusi, walau hasilnya menunggu lima tahun yang akan datang. Waktu yang cukup lama, dan membutuhkan kesabaran yang tiada batasnya. Saya dan istri selalu mengingat Innallaha ma'as Shabirin. Ini yang menjadi obat penenang kami berdua.

Sudah sepuluh tahun lamanya kami menunggu dan berusaha berbagai cara, segala saran dari kerabat, tetangga, dan bahkan orang yang tidak kami kenal telah kami lakukan, namun takdir Tuhan tidak bisa ditembus oleh kuatnya ikhtiar hamba-Nya. Mekanisme takdir adalah misteri sejak azali yang tak terpecahkan. 

Hari ini adalah ulang tahun ke sebelas pernikahan saya dan istri. Rasa putus asa, capek dan bosan tentu kadang mendera, namun kekuatan cinta kami berdua mengalahkan segalanya. Cinta kami ibarat bara yang membakar, meletup dan menghasilkan energi yang tak pernah surut padam, untuk menerangi dan menggerakkan bahtera rumah tangga kami.

"Sayang, InsyaAllah semoga ikhtiar saya kali ini ada hasilnya." Bisik saya pelan di telinga istri. 

"Iya sayang, semoga Tuhan mengijabahkan apa yang akan kita usahakan." Jawab istri saya tidak kalah pelannya dengan bisikan saya. Ia tampaknya agak ragu dengan apa yang diucapkannya sendiri. 

Bagaimana tidak, sudah sepuluh tahun lamanya kami berumah tangga, Tuhan belum menjawab doa dan ikhtiar kita berdua. Ada rasa sakit dan banyak luka yang tergores dan mendera dalam rumah tangga kami. Entahlah, kami berusaha sabar dan terus berikhtiar.

Sebagaimana kata penyair Sufi Jalaluddin ar Rumi, saya berharap luka ini menjadi tempat di mana cahaya memasuki jiwa saya. Saya berharap cahaya bahagia akan terbit dari sana. 

Banyak omongan kerabat atau tetangga yang kadang menyakitkan hati kami berdua, walah demikian kami hanya menjawabnya dengan kata sabar. Jika Tuhan telah berkehendak dengan Kun-Nya maka akan segera diikuti proses Fayakun. Itu yang menjadi keyakinan kami.

"Kang, istrimu itu mandul, ceraikan saja. Kayak tidak ada wanita lain saja." Kata tetangga suatu ketika saat ngobrol-ngobrol di kedai kopi. 

Biasanya saya hanya tersenyum dan diam menanggapi hal yang demikian, bagaimanapun jua saya telah mengambil janji di hadapan Tuhan saya menikahi gadis itu dengan  sepenuh cinta dan akan membahagiakannya. Tidak mungkin saya menyakiti hatinya dengan menceraikannya hanya gara-gara kami belum dikaruniai momongan.

Saya tahu istri saya juga tidak kalah menderitanya, banyak hal yang harus ia telan sendiri segala kepahitan hidup selama ini. Dan saya tidak ingin menambahkan beban penderitaan dengan menceraikannya. 

Apalagi sebenarnya kami telah sepakat dan mengikat janji, bahwa kami tidak akan periksa ke dokter agar tidak ketahuan siapa yang sebenarnya mandul. Istri saya, atau bahkan mungkin justru saya sendiri. Kami percaya keajaiban Tuhan. 

Lima tahun telah berlalu, selama itu tak sekalipun saya absen membaca doa ijazah dari Pak Kiai. Saya berusaha dengan sungguh-sungguh, berkonsentrasi penuh, bahkan sangat keras berikhtiar agar segera dikarunia momongan. 

Hasilnya apa? Di tahun kelima, belum ada tanda bahwa istri saya nyidam. Kadang ada tanda seperti nyidam, tapi ketika diperiksa bidan istri saya hanya meriang saja. Saya jadi berfikir telah mengerjakan hal yang sia-sia selama lima tahun. Hasilnya nol besar. Bulshit, omong kosong belaka.

Karena tidak ada tanda-tanda kehamilan, maka saya sowan kembali  kepada Kiai yang telah memberikan ijazah lima tahun silam. Hati saya masih memendam kedongkolan yang luar biasa. 

Seperti telah mengetahui kedatangan saya, mbah Kiai telah menunggu saya di depan pintu rumah beliau. 

"Kang, yang sabar. Sumeleh marang ketetapane Gusti Pengeran. " Dawuh beliau sambil mendorong saya keluar pintu. 

"Kamu pulang saja kang, dan amalkan ijazah saya lima tahun lagi." Jawab Pak Kiai enteng tanpa beban. 

Saya sendiri kaget dan agak jengkel, bahkan belum sempat duduk, saya sudah disuruh pergi, tapi akhirnya saya pulang juga. Walau dengan perasaan yang Hancur berkeping-keping rasanya. 

"Bagaimana sayang hasilnya? Tanya istri sesampainya saya di rumah. Istri saya seakan membaca air muka saya, ia diam dan tampak sedih. Mendung bergelayut di raut wajahnya. 

Saya tak menjawab, langsung saja saya menuju kamar. Saya terdiam dan merenung cukup lama. " Ah, Tuhan, ini benar-benar tidak adil." Batin saya. 

Saya seakan sudah tidak punya harapan. Mungkin ini takdir yang harus saya jalani. Saya pasrah. Sumeleh opo jare Gusti. Hidup berumah tangga tanpa dikaruniai buah hati. Untung saja lagi-lagi cinta kami terus bersemi dan tak pernah mati. Saya dan istri menjalani kehidupan ini dengan penuh kerelaan. 

Waktu terus berlalu, keinginan untuk punya momongan sudah tidak terpikirkan. Saya hanya fokus bekerja dan beribadah. Ijazah dari Pak Kiai masih terus saya lakukan. Hanya bedanya hati ini sudah sumeleh, tidak lagi berharap apapun kecuali hanya keikhlasan kepada jalan takdir yang harus kami lalui berdua.

Suatu ketika, pada suatu senja di bulan April pada sisa musim penghujan yang mulai mengering, istri saya mengeluh tidak enak badan. 

Awalnya tidak begitu dihiraukan, karena biasanya mungkin karena kecapekan. Satu dua hari dipakai istirahat cukup biasanya sudah baikan. Namun sudah tiga hari ini sakitnya istri belum juga reda. Ia sering muntah. Mual katanya. Saya mengajak istri untuk periksa ke dokter, agar sakitnya diobati. Awalnya istri menolak. Tapi akhirnya kami berangkat untuk periksa.

Setelah periksa ke dokter, dokter bilang kepada kami. 

"Jaga kesehatan ya bu, diusia ibu yang sekarang seharusnya ibu sudah tidak lagi hamil. Ini adalah kehamilan dengan resiko tinggi." Kata sang dokter kepada kami. 

"Apa dok....? Istri saya positif? Istri saya hamil? Setengah berteriak saya dengan spontan berdiri dan memegang kedua bahu dokter yang memeriksa istri saya. Sambil mengguncang-ngguncang bahunya, saya berkata:

" Dok,... Ini adalah penantian panjang kami. Hampir dua puluh tahun lamanya kami menunggu momen ini, dok."

Kemudian saya merangkul istri saya yang kelihatan syok bahagia. Kami berpelukan sambil berurai air mata. Istri saya hanya diam tak berkata-kata. Tangis haru dan bahagia membasahi bumi cinta kami. 

"Duh Tuhan, Terima kasih dengan anugerah ini. Segala puji dengan segala amanah dan karuniamu yang dahsyat luar biasa." 

Saya dan istri pun tersungkur bersujud di lantai. Cukup lama. Binar bahagia memenuhi kedua kelopak mata kami. Penantian panjang telah berbuah anugerah yang indah dari Tuhan Yang Maha Pemurah. 

Bangilan, 27 Februari 2021
Joyo Juwoto

Selasa, 02 Februari 2021

Di Tengah Badai Hujan

Di Tengah Badai Hujan
Oleh: Joyo Juwoto

Bulan Januari tahun ini curah hujannya cukup tinggi. Hampir setiap hari hujan turun. Tidak heran jika di media sosial berseliweran status tentang banjir yang melanda wilayah mereka. Begitu juga di tempat saya, intensitas hujan cukup tinggi, beberapa minggu ini tiap sore hari pasti hujan. 

Pasca operasi katarak, besoknya bapak harus kontrol. Bapak operasi sore hari, besok paginya kain kasa yang menutupi mata beliau boleh dibuka di rumah. Setelah itu ditetesi obat yang telah diberikan oleh dokter. Sorenya langsung diminta kontrol untuk diperiksa kondisi mata beliau pasca operasi. Dokter Haryo buka praktik sore hari, jam 17.00 WIB hingga selesai.

Sore itu saya dan adik seperti biasa berangkat ke Bojonegoro untuk kontrol. Dari rumah mendung sudah bergelayut resah. Tinggal menunggu jatuhnya saja. Benar sebelum kami berangkat hujan turun dengan deras.

Karena jadwal telah ditentukan oleh dokter, walau hujan deras kami harus tetap berangkat. Toh kita naik mobil, walau nantinya banyak kendala yang harus dihadapi, khususnya saya yang harus ekstra keras melihat jalan raya dari balik kaca mobil yang pasti berembun dan buram. Maklum mobil tua, harus ekstra sabar. Sore itu bapak harus tetap berangkat kontrol untuk mengecek kondisi mata beliau pasca operasi  kemarin sore. Tidak boleh ditunda, ini sangat urgen. 

Dengan perlahan mobil berjalan menembus basah. Saya harus hati-hati karena jalan yang licin dan sesekali bertemu jalan berlubang. Di sepanjang perjalanan banyak titik-titik jalan raya yang tergenang air cukup dalam.

Hujan yang menerjang senja ini cukup mengganggu perjalanan kami. Jalan raya banyak yang  rusak diterjang air yang turun dari dataran yang lebih tinggi. 

Untungnya jika ada jalan yang tidak memungkinkan untuk dipakai sisipan dengan kendaraan dari arah yang berlawanan, ada saja yang membantu mengatur lalu lintas. Kita sebagai pengendara hanya butuh berempati memberikan  uang receh kepada mereka. Tidak pun mereka tidak masalah. 

Saya merasa terbantu dan senang dengan orang-orang yang bersukarela membantu mengatur lalu lintas tersebut. Insyallah amal mereka mendapatkan pahala di sisi Tuhan. Saat dulu ngaji Saya pernah mendengar, bahwa salah satu dari cabang iman adalah menyingkirkan duri dari jalan. Kebajikan ini bernilai pahala. 

Alhamdulillah Saya tentu juga bersyukur bahwa banjir yang terjadi di daerah Saya tidak begitu parah. Memang curah hujan bulan ini cukup tinggi, sehingga banjir melanda di mana-mana. Saya mengikuti berita di media sosial banjir telah menjadi bencana yang mengerikan di berbagai daerah. 

Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam setengah, perjalanan yang lebih lambat dari biasanya kami pun sampai di klinik dokter Haryo. Kebetulan sampai di klinik bapak langsung dipanggil untuk diperiksa. Dokter bertanya tentang kondisi mata bapak, kemudian mata beliau diperiksa dengan alat yang ada di situ. Kata dokter mata beliau masih bengkak, tapi perkembangan penglihatan beliau sudah bagus. Alhamdulillah.

Dokter selanjutnya meresepkan obat untuk diminum satu minggu ke depan. Setelah itu bapak harus kontrol lagi untuk perawatan dan pengobatan mata beliau agar lebih maksimal. (Joyo Juwoto) 


Minggu, 31 Januari 2021

Silaturrahmi

Silaturrahmi
Oleh: Joyo Juwoto

Kemarin saya diajak teman, untuk bersilaturrahmi di beberapa temannya yang sebagian besar juga teman saya. Silaturrahmi memang menyenangkan dan penuh keberkahan, ini alasan saya mengiyakan ajakan beliau.

Berangkat dari rumah selepas dhuhur, kami serombongan Phanter meluncur ke kota minyak. Di bawah gerimis hujan syahdu mobil yang kami tumpangi membelah jalan raya Bangilan-Cepu yang sudah lumayan bagus, walau di sana-sini masih ada jalan yang rusak dan berlubang. 

Sepanjang perjalanan kami melewati sumur-sumur minyak tua, di wilayah Banyuurip, Kedewan ini memang memiliki sumber minyak yang sudah terkenal sejak jaman Belanda. Sayang kota yang kaya minyak ini sangat kontras dengan kondisi jalannya yang banyak berlubang, walau tadi saya sebut sudah lumayan.

Ketika bedhug Asar ditabuh, kami sudah sampai di rumah Kang Ali. Teman waktu mondok di Pesantren Assalam Bangilan. Beliau asli Singgahan Tuban, yang berdomisili di Cepu karena tugas negara sebagai dosen di salah satu kampus di kota tersebut. Ya, biasa ketemu konco lawas gurau ngalor-ngidul. 

Dari Cepu silaturrahmi kami berlanjut ke seorang teman yang ada di Wado kecamatan Kedungtuban. Di rumah mas Saiful Hadi. Sudah lama saya tidak bertemu secara face to face. Paling hanya saling lihat dan sapa di beranda Facebook saja. Mas Saiful ini pakar bahasa Inggris, pernah belajar di Pare, dan kuliah jurusan bahasa Inggris di salah satu kampus di Bojonegoro.

Setelah panjang lebar bergurau, kami pamit. Mas Saiful berjanji jika ada kesempatan akan dolan ke Bangilan. Napak tilasi beberapa tahun silam pas beliau ikut mengembangkan bahasa Inggris di Pesantren kami yang ada di Bangilan. Ini tentu hal yang cukup menyenangkan, saling dolan mendolani.

Kami pamitan saat adzan magrib berkumandang. Kami magrib di rumahnya mas Faiq  yang serombongan dengan kami dari Bangilan. Rumahnya tidak jauh dari rumahnya mas Saiful. Kami disambut dengan ramah, grapyak semanak dari shohibul bait, dan dijamu mie ayam favorit. Luar biasa berkah melimpah. Kenyang, kemudian pamit pulang, untuk melanjutkan perjalanan silaturrahmi ke Jipangulu, Margomulyo.

Jipangulu ini sebuah desa yang secara administratif ikut Kabupaten Bojonegoro, letaknya berbatasan dengan Menden wilayah Blora yang yang dipisahkan oleh bengawan Solo. Praktis untuk menuju ke sana kami harus naik jukung. Bengawan sedang banjir, satu keberanian tersendiri untuk duduk di jukung yang dijalankan dengan mesin diesel. Walau hati berdebar juga. 

Di Margomulyo ini kami ketemu dengan Pak Yai Badrun. Temannya teman yang se-almamater dengan saya di STIT Muhammadiyah Bojonegoro. Beliau masuk kuliah lewat jalur beasiswa Madin, sedang saya jalur regular. Beliau adik angkatan saya. 

Mas Badrun ini tokoh muda penggerak NU yang progressif. Beliau banyak banyak bercerita tentang lika-liku berjuang di NU di wilayah pedalaman itu. Banyak tantangan yang harus dihadapi, tapi itulah resiko perjuangan. 

Banyak hal yang saya petik dari obrolan itu. Tentang semangat pengabdian dan keikhlasan perjuangan beliau ngurusi NU. Kiprah dan dakwah Kang Badrun patut untuk diteladani. 

Sambil menikmati secangkir kopi hitam yang panas, sembari nglethik kacang obrolan kami tak terasa sudah cukup lama. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin Saya ketahui, khususnya terkait dengan petilasan mbah Santri dan goa Sentono yang belum sempat diobrolkan. Mungkin lain waktu. 

Tubuh mulai lelah dan mata ini mulai mengantuk, saat obrolan kami ditutup dengan sebungkus nasi goreng hangat, setelah itu kami pamitan untuk pulang. (Joyo Juwoto) 

Bangilan, 31/01/21

Rabu, 27 Januari 2021

5 Menit yang Menentukan

5 Menit yang Menentukan
Oleh: Joyo Juwoto

Setelah lolos tes swab di laboratorium, tekanan darah bapak juga aman, padahal satu minggu sebelumnya sempat dinyatakan naik sedikit oleh dokter. Dokter memberikan resep obat, dan kami menebusnya di apotek. Obat itu diminum 1x sehari. 

Harga obat yang kami tebus di apotek cukup murah, 25 ribu dapat satu kempleng pil. Jika dihitung satu hari minum satu obat sesuai resep dokter, obatnya tidak habis. Mau minum nambah pastinya  tidak boleh. Karena obat hanya boleh diminum sesuai dosis, tertakar, dan diresepkan. Tidak seperti jamu yang bebas kita minum sekehendak kita. 

Sisa obat masih cukup banyak, tentu sisa obat ini juga tidak boleh diberikan kepada orang lain. Walau dengan kondisi yang sama dengan bapak. Sama-sama tekanan darahnya naik. Itu tindakan ilegal dan tidak dibenarkan dalam dunia medis.

Dunia kedokteran memang rumit bagi orang awam seperti saya. Karena kerumitannya ini tidak semua orang yang punya cita-cita jadi dokter terkabul. 

Mungkin di masa-masa kita TK dahulu kita dan teman-teman punya cita-cita untuk menjadi dokter atau ada yang bercita-cita menjadi pilot. Itu sebelum melihat kerumitan-kerumitan di dunia kedokteran. Termasuk juga mungkin kerumitan di dalam biaya perkuliahannya. 

Setelah dinyatakan aman untuk menjalani operasi, tahapan-tahapan yang diterangkan oleh dokter kami ikuti. Termasuk diantaranya mengecek kembali tekanan darah bapak. 

Sayang saat tes tekanan darah saya tidak ikut mendampingi beliau. Jadi saya tidak bisa menuliskannya di sini berapa tekanan darah bapak. Adik dan paman yang mendampingi tidak begitu memperhatikan, tapi tak mengapa yang penting aman dan siap untuk operasi mata.

Sebelum operasi bapak sempat mengeluh perutnya sakit. Melilit katanya. Saya tidak begitu paham itu gejala apa, saya hanya berusaha menenangkannya dengan bercerita bahwa operasi mata katarak itu operasi ringan. Jadi jangan terlalu khawatir. Padahal saya sendiri juga mengalami semacam kegelisahan tersendiri. 

Mungkin saja sakit perut yang dialami bapak karena dipengaruhi oleh kondisi psikologis beliau sebelum dioperasi. Apalagi beliau juga belum makan semenjak pagi. Beliau juga bercerita dua hari sebelum operasi tidurnya kurang nyenyak.

Waktu menunjukkan pukul 15.30 WIB, Petugas piket mulai memanggil pasien yang akan dioperasi. Satu persatu menuju ruangan periksa dan mendapatkan seragam yang khas, baju dan sarung berkolor dan makai tudung di kepala. 

Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan yang tidak saya pahami, bapak yang mendapatkan nomor urut empat harus menunggu pasien pertama, kedua dan ketiga. Saya tidak berani banyak tanya kepada team medis tentang serba-serbi operasi yang akan dijalani bapak. Saya lebih banyak berdiam dan berdoa saja. 

Pengantar pasien yang akan operasi juga tidak diperkenankan masuk ruang operasi. Begitulah standart medis yang telah ditetapkan yang harus kami patuhi. Kami menunggu diluar ruangan.

Tak berselang lama bapak dipanggil dari ruang tunggu menuju ruang operasi. Saya memberanikan diri bertanya kepada salah satu team medis yang memanggil bapak. Kira-kira berapa jam waktu yang diperlukan untuk operasi. 

Seakan melihat kegelisahan Saya, mas medis yang Saya tanya menjawab dengan tersenyuh ramah. Tindakan operasi katarak cukup cepat, tidak perlu menunggu hitungan jam. Cukup Lima menitan katanya. Sedang untuk lain-lainnya mungkin sekitar sepuluh menitan. Pasien sudah bisa keluar ruangan. 

Saya merasa tenang dengan dengan jawaban mas medis yang kemudian membawa bapak ke dalam ruang operasi. Saya masih melihat punggung bapak yang kemudian hilang ditelan pintu. Suasana menjadi sepi, terutama perasaan Saya sendiri. 

Tapi bagaimanapun ketepatan medis dalam melakukan analisis dan tindakan operasi yang terukur dan ilmiah, tetap saja doa dan harapan baik memberikan kekuatan tersendiri kepada jiwa kita untuk lebih tenang dan tawakkal. Insyallah semua akan baik-baik saja.

Tak berselang lama, sekitar lima belas menitan bapak, sudah dibawa keluar ruangan. Biasa saja, kondisinya seperti bapak saat masuk ruangan. Bedanya mata bapak sebelah kanan ditutup dengan kasa putih. (Joyo Juwoto) 

Bojonegoro, 26 Januari 2021