Selasa, 04 November 2025

Pendakian Gunung Kelud: Menziarahi Mitologi Sang Dewi Kili Suci


Pendakian Gunung Kelud: Menziarahi Mitologi Sang Dewi Kili Suci
Oleh: Joyo Juwoto

Gunung Kelud adalah gunung dengan legenda yang sangat masyhur di seantero Nusantara. Gunung ini terkenal dengan kisah asmara Lembu Suro dan Mahesa Suro, yang mana mereka berdua ingin menikahi Dewi Kili Suci. Cerita legenda ini sudah cukup lama saya baca, namun keinginan untuk menziarahi jejak mitologi dan legenda era kerajaan Jenggala ini nampaknya baru terlaksana di bulan Oktober 2025.

Tentang mitos ataupun legenda ini sebenarnya tidak bisa disepelekan, walau hari ini masyarakat tidak begitu saja percaya akan hal itu, karena memang fungsi dari mitos itu sebenarnya sebagai alat untuk menyimpan informasi sekaligus mewariskannya kepada generasi selanjutnya. Mitos itu sendiri menjadi semacam cluster untuk menjaga warisan leluhur dengan cara mengemas nilai-nilai, pengetahuan, dan pengalaman hidup masa lalu ke dalam bentuk cerita simbolik yang mudah diingat dan diceritakan kembali. 

Melalui mitos, masyarakat tradisional tidak hanya menanamkan ajaran moral dan etika, tetapi juga menyampaikan pengetahuan tentang alam, sejarah asal-usul, hingga tata nilai sosial yang mengatur kehidupan bersama. Dengan demikian, meskipun kini mitos sering dianggap sekadar dongeng atau cerita mistik, keberadaannya tetap memiliki fungsi kultural yang penting sebagai media penyimpanan dan pengajaran moral serta kebijaksanaan lokal yang membentuk identitas suatu komunitas atau kelompok masyarakat.

Walau saya belum memahami ada apa di balik kisah legenda Dewi Kili Suci, Mahesa Suro dan Lembu Suro, namun saya yakin ada pesan luhur yang harus dijaga dibalik legenda itu. Silakan dicermati kutukan dari Lembu Suro saat itu terbunuh terkubur di dasar sumur yang ia buat sendiri di puncak Gunung Kelud:
"Yoh, wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yoiku. Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung."
Artinya: “Ya, orang Kediri besok akan mendapatkan balasan dariku yang berlipat ganda. Kediri akan menjadi sungai, Blitar menjadi tanah lapang, dan Tulungagung akan menjadi kedung”

Dari kutukan itu silakan diambil satu atau bahkan banyak hikmah dan pelajaran hidup tentang keselarasan kehidupan manusia dengan alam. Tentu banyak hal yang perlu direnungkan dari kutukan tersebut, khususnya terkait dengan kelestarian dan keseimbangan alam.

Oke, Saya tak perlu membahas lebih detail lagi tentang legenda dan kutukan itu, karena sejatinya saya ingin menuliskan perjalanan pendakianku ke Gunung Kelud bersama sahabat pendaki, Mas Ziqi, seorang pendaki dari Bangilan Tuban yang sealmamater dengan saya.

Sebelum berangkat ke Gunung Kelud, saya sudah menjelajahi terlebih dahulu medan dan letaknya melalui google map dan menelusurinya di media sosial. Jaraknya ternyata cukup jauh. Jalur Kabupaten Kediri ada dua basecamp: Pertama jalur via Ngancar, dan kedua jalur Laharpang. Untuk jalur dari Blitar ada jalur yang basecampnya di Tulungrejo, dan Jalur Karangrejo. Rata-rata jarak tempuhnya lebih dari tiga jam. Setelah melihat reviewnya di media sosial, saya bersama Mas Ziqi lewat basecamp Karangrejo Kabupaten Blitar, yang hitungan mapnya 173 KM, ditempuh kurang lebih selama 4 jam 18 menit. 

Di layar google map perjalanan dari Bangilan menuju bascamp Karangrejo memang sekitar 4 jam, karena perlu berhenti untuk sholat dan makan perjalanan yang saya tempuh cukup lama, kami berangkat naik motor dari Bangilan pukul 16.30 WIB, dan baru sampai di basecamp pukul 22.30 WIB, perjalanan sekitar 6 jam. Cukup melelahkan sekali.

Sesampainya di basecamp, saya langsung registrasi. Karena kami merencanakan muncak pukul 03.00 WIB dini hari, maka kami beristirahat dan tidur agar capeknya hilang. Awalnya kami hanya berdua yang akan mendaki, tapi lama kelamaan banyak juga anak-anak muda yang juga akan mendaki. Ada yang dari Gresik, Sidoarjo, Surabaya, Malang, bahkan juga banyak yang dari Kediri dan Blitar sendiri.

Singkat kata, sekitar pukul 03.30 WIB, kami meluncur ke pos 1 Gunung Kelud dengan naik motor, perjalanan sekitar setengah jam, di pos ini ada selter untuk penitipan kendaraan. Tepat pukul 04.00 WIB kami meluncur berjalan kaki ke Pos 2 hingga pos 4.  Perlu diketahui bahwa jalur dari pos 1 sampai pos 4 treknya cukup landai dan nyaman bagi para pendaki pemula. Baru setelah pos 4 ini petualangan pendakian dimulai, jalurnya mulai mendaki, medannya pun mulai menyulitkan nafas-nafas tua seperti saya. Karena saat mendaki banyak teman, capeknya perjalanan tidak begitu terasa.

Langit mulai cerah, matahari melempar senyum memberikan nuansa semburat jingga. Walau kabut mulai turun tipis-tipis melayang di udara, namun cahaya pagi tak bisa disembunyikan begitu saja. Setelah pos 4 ini jalurnya sangat menantang, kami harus bergelantungan dengan tali, merangkak menaiki tangga-tangga besi, baru kemudian menelusuri jalan berpasir menuju pos bayangan atau disebut Bukit Pasir Jenggolo Manik. Di pos bayangan ini hamparan pasirnya lumayan luas, dari sini puncak Gunung Kelud sudah kelihatan.

Setelah menghela nafas, meneguk dinginnya air, dan nyemil bekal makanan ringan, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini treknya menurun menuju sebuah lembah dengan hamparan sabana rumput yang menawan. Lembah ini bernama Lembah Joto Suroo. Dari lembah ini pemandangan ke arah puncak sangat instagramable. Spot potonya cukup bagus. Setelah melewati lembah, treknya kembali menanjak. Di sini kami harus bergelayutan pada seutas tampar kembali. Tak lama setelah bergelayutan pada tali dan melewati dinding ratapan, kami pun sampai di Puncak Gunung kelud dengan ketinggian 1731 Mdpl.  Alhamdulillah.

Pendakian ke Gunung Kelud bukan sekadar perjalanan menaklukkan puncak, melainkan juga sebuah ziarah batin menapaki jejak mitologi dan sejarah yang tertanam di setiap lekuk alamnya. Di balik kabut, batu, dan pasir yang terhampar, tersimpan kisah Dewi Kili Suci, Lembu Suro, dan Mahesa Suro yang terus hidup dalam memori kolektif masyarakat. 

Dari sini saya menyadari bahwa mitos bukanlah sekadar dongeng masa lalu, melainkan cermin kearifan, wisdom lokal yang mengajarkan manusia tentang keseimbangan, kesetiaan, dan konsekuensi dari keserakahan. Pendakian ini mengajarkan bahwa alam bukan untuk ditaklukkan, tetapi untuk dihormati, dan legenda bukan untuk dilupakan, tetapi untuk direnungkan agar kita tak kehilangan arah dalam memahami hubungan antara manusia, alam, dan spiritualitas yang menyatu dalam kebudayaan Nusantara.

Senin, 03 November 2025

Ke Puncak Gunung Mongkrang

Ke Puncak Gunung Mongkrang

Jika tulisan saya ini dibaca pendaki gaek, tentu akan ditertawakan habis-habisan, masak seorang pendaki kok Cuma ke Mongkrang? Iya, bukit Mongkrang yang ada di Desa Gondosuli Kecamatan Tawangmangu Karanganyar bukanlah termasuk gunung yang menjadi legenda bagi sejarah pendakian. Tidak seperti Gunung Rinjani, Gunung Semeru, Gunung Slamet, ataupun Gunung Gede Pangrango dengan lembah Mandalawanginya yang menjadi jalur pendakian favoritnya Soe Hok Gie. Tapi manusia diperbolehkan menuliskan sejarahnya sendiri, dan manusia bebas menentukan ke mana kakinya akan dilangkahkan, termasuk bebas ke gunung mana ia akan mendaki, itulah yang menjadi salah satu ciri dari manusia merdeka.

Tapi tak apalah walau tak terlalu tinggi dengan puncak yang berada di 2.194 Mdpl cukup rasanya untuk memeras keringat, berolahraga dengan gembira, mandi cahaya matahari pagi, memanen kemurnian oksigen, dan tentu juga dalam rangka mentadabburi dan mensyukuri keindahan alam ciptaan Allah Swt.

Akhirnya pada kesempatan liburan sekolah, awal tahun 2025, saya bersama sahabat pendaki dari Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan, menuju Gunung Mongkrang untuk meredakan ketegangan syaraf setelah sekian waktu bergulat dengan aktivitas sehari-hari. Sebelum fajar shubuh merekah, saya bersama sahabat-sahabat pendaki telah meluncur menuju Karanganyar Jawa Tengah, di mana Gunung Mongkrang berdiri dengan gagahnya mendampingi Gunung Lawu.

Untuk menuju puncak Mongkrang jalurnya cukup nyaman, dari bascamp menuju puncak memakan waktu kurang lebih 3 jam.  Di setiap pos atau di lokasi yang sekiranya bagus kami tentu tak lupa mendokumentasikannya dalam jepretan kamera handphone. Puncak Candi 1, Puncak Candi 2, masuk sabana rumput dan ilalang, baru kemudian menuju puncaknya yang menjadi akhir dari tujuan pendakian kami.

Setelah melepas lelah, kami pun segera turun. Karena jika terlalu lama berhenti kami khawatir timbul rasa nyaman, dan akhirnya malas untuk turun dan pulang lembali. Karena kondisi menurun, perjalanan turun seharusnya lebih cepat, tapi saat turun memasuki pos dua hujan turun dengan lebatnya. Mau  tidak mau perjalanan sedikit terhambat. Jalanan licin, sehingga kami harus ekstra hati-hati. Agar tidak terlalu kedinginan, kami pun memakai jas hujan plastik yang kami beli di toko. Walau tipis, jas itu menolong kami dari kedinginan akut. Alhamdulillah setelah menerjang hujan selama beberapa waktu kami pun sampai di bascamp. Setelah berbenah, kami pun langsung meluncur pulang.

Mungkin tidak banyak yang bisa saya dokumentasikan dan saya ceritakan perjalanan pendakian ke Gunung Mongkrang ini, namun kesan dan atsar batin setelah pendakian ke gunung itu mengabadi dalam palung hati, terpatri dalam lembaran kebahagiaan jiwa. Tidak begitu kelihatan tapi cukup terasakan. 

Karena bagi saya mendaki gunung bukan sekedar menuruti kesenangan hati, mendaki gunung bukan hanya untuk berbangga diri, mendaki gunung pada hakekatnya adalah mendaki pada puncak kesadaran diri. Mendaki gunung adalah bagian dari kemerdekaan jiwa manusia, jiwa itu melayang bagai kapas menuju puncak pendakian, walau sejatinya tujuan dari pendakian bukan berada di ketinggian, justru mendaki adalah menaklukkan puncak ego masing-masing, dan meletakkannya pada lembah kesadaran jiwa. 

Setiap ke gunung saya selalu bertanya untuk apa? Dan selalu saja ada jawaban yang berbeda di setiap langkah dan jejak kaki pendakian. Karena mendaki adalah seni, seni untuk lebih deep in love with Allah Swt. Salam.

Selasa, 21 Oktober 2025

Lesbumi PCNU Tuban Gelar Pameran Manuskrip, Arsip NU, dan Bursa Keris dalam Rangka HSN 2025

Lesbumi PCNU Tuban Gelar Pameran Manuskrip, Arsip NU, dan Bursa Keris dalam Rangka HSN 2025

Tuban – Dalam rangka memeriahkan peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2025, Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCNU Tuban menyelenggarakan kegiatan Pameran Manuskrip, Arsip NU, dan Bursa Keris bertajuk “Sirkus Kota: Membangun Wacana Independen dalam Kearifan Lokal dan Budaya Islam Nusantara.”

Kegiatan ini akan berlangsung pada 18–20 Oktober 2025 bertempat di depan Gedung Rektorat Kampus IAINU Tuban, Jalan Manunggal No. 11–12, Sukolilo, Tuban.

Pameran ini menjadi ruang perjumpaan antara karya, sejarah, dan warisan budaya yang hidup di tengah masyarakat, sekaligus menjadi bentuk apresiasi terhadap kekayaan intelektual dan spiritual Islam Nusantara. Melalui kegiatan ini, Lesbumi PCNU Tuban berupaya menghidupkan kembali semangat kemandirian wacana budaya yang berpijak pada nilai-nilai lokal dan tradisi pesantren.

Rangkaian kegiatan “Sirkus Kota” akan diisi dengan berbagai agenda menarik:

18 Oktober 2025: Malam Keakraban bersama Kadang Lesbumi Tuban dan masyarakat umum.

19 Oktober 2025: Pentas Seni Teater dan Baca Puisi oleh para seniman muda Tuban.

20 Oktober 2025: Macapatan bersama masyarakat adat Grabagan, dan Jagong Budaya dengan tema “Manuskrip Nusantara sebagai Sumber Pengetahuan: Menggali Nilai-Nilai Leluhur untuk Masa Depan”, menghadirkan dua narasumber: Diaz Nawaksara, kurator dan pakar aksara Nusantara, serta Kang Abdul Rosyid, budayawan Lesbumi Tuban

Ketua Lesbumi Tuban, Mas Hewod, menyampaikan bahwa kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang pameran artefak budaya dan pusaka, tetapi juga wadah refleksi tentang pentingnya merawat warisan literasi, naskah kuno, dan tradisi luhur masyarakat Nusantara.

“Melalui Sirkus Kota, kami ingin menunjukkan bahwa manuskrip, arsip, maupun keris bukan sekadar benda lama, tetapi jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan peradaban kita,” ujar Seniman dari Rengel itu. 

Kegiatan ini terbuka untuk umum dan diharapkan dapat menjadi momentum memperkuat kesadaran budaya, mempererat solidaritas antarpegiat seni, serta meneguhkan semangat kebangsaan dan keislaman di bumi wali Tuban.

Sabtu, 30 Agustus 2025

Ke(tidak)adilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Ke(tidak)adilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Oleh: Joyo Juwoto

"Apa guna punya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli"

"Apa gunanya banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu"

Petikan puisi Wiji Thukul yang berjudul "Apa Guna" di atas menampar diriku sejadi-jadinya, tidak berlebihan rasanya apa yang ditulis dan disuarakan oleh penyair yang entah di mana ia sekarang, melihat kondisi bangsa Indonesia hari ini rasa-rasanya kurang etis dan miskin empati jika kita masih mengatakan "Indonesia sedang baik-baik saja". Saya tidak sedang frustrasi, saya tidak sedang pesimistis melihat kondisi negara yang kita cintai ini, setidaknya kita perlu membuka mata bahwa kondisi negara memang sedang tidak baik-baik saja.

Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela di berbagai sektor pemerintahan kita, padahal virus KKN ini yang dulu saat Orde Baru kita musuhi bersama, ini yang dulu menjadi salah satu pemicu pemerintahan Orde Baru tumbang, tapi nyatanya hari ini praktek KKN justru makin parah dan dilakukan secara terang-terangan, dilakukan di bawah terik matahari siang bolong. Edan.

Demo besar-besaran yang terjadi di Pati beberapa hari silam, yang digawangi oleh Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, membuka mata kita bahwa ketidakadilan benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Bayangkan saja, saat rakyat ekonominya melemah, daya beli masyarakat menurun, pengangguran di mana-mana, alih-alih mencari solusi, justru pemerintah Kabupaten Pati membuat kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat, bahkan mencekik urat nadi kehidupan masyarakat yaitu dengan menaikkan pajak. Seketika rakyat menjerit. Rakyat berbondong-bondong mendemo Bupati Sudewo. 

Dalam skala nasional isu kesenjangan sosial juga mencuat, para pejabat menunjukkan sikap yang arogan dan abai terhadap kepentingan rakyat. Masyarakat sedang susah pejabat hidup bermewah-mewah, masyarakat sedang berduka karena apa-apa tak terbeli, pejabat bersuka cita memamerkan gaya hidup hedoni. 

DPR yang sejatinya sebagai penyambung lidah rakyat ternyata tidak bisa dipegang janjinya saat kampanye, mereka juga tidak mampu menerjemahkan keinginan rakyat di sidang-sidang DPR, justru yang terjadi para anggota dewan ini dianggap kurang dan tidak memiliki empati atas kondisi rakyat yang semakin hari semakin susah. 

Saat momen kemerdekaan tunjungan DPR dinaikkan, sedang kinerja mereka yang berpihak kepada rakyat entah ada atau tidak, pada momen ini sebagian besar anggota DPR berjoged ria, kemarahan tak terbendung lagi, rakyat yang sudah muak dengan DPR menjadi terpantik, demo besar-besaran pun digelar di depan gedung DPR yang terhormat itu.

Pancasila mengamanahkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, tapi pengambil kebijakan di lingkaran pemerintah justru mengamalkan "ketidakadilan bagi seluruh rakyat Indonesia". Rakyat jelata makin sengsara, pejabat berfoya-foya, pejabat bergelimang harta, rakyat miskin dan menderita. 

Belum lagi masalah penegakan hukum dan pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial yang sangat buruk. Siapapun kamu kalau rakyat jangan pernah berharap mendapatkan kemudahan dalam mengakses pelayanan tersebut. Hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, pendidikan yang layak hanya bisa dinikmati oleh segelintir rakyat, hal yang terkait dengan layanan kesehatan juga tidak memihak rakyat kecil. Jika kau miskin jangan sakit saja, begitu kira-kira semboyan yang sering kita dengar bersama.

Rakyat harus melek politik, rakyat harus punya pilihan wakilnya di DPR yang benar-benar berintegritas, jangan hanya memilih hanya karena amplop, jangan memilih karena disuap, sudah saatnya rakyat memegang teguh kedaulatannya dengan memilih pemimpin dan wakil-wakilnya dengan akal sehat dan kebeningan nuraninya, agar rakyat mendapatkan wakil dan pemimpin yang diberkahi Tuhan, agar keberkahan juga dirasakan oleh rakyat itu sendiri. 

Para pejabat dan wakil-wakil rakyat punya demikian, kalian  mendapat amanah dari rakyat mana jangan pernah khianati amanah itu, memimpin berarti melayani masyarakat, memimpin berarti siap berkhidmat untuk rakyat. 

Pada akhirnya, ke(tidak)adilan yang hari ini kita saksikan bukan sekadar fakta sosial, melainkan tamparan keras bagi cita-cita kemerdekaan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata. Indonesia seharusnya berdiri di atas prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, bukan hanya bagi segelintir elite yang berkuasa. 

Jika praktik KKN, kesenjangan sosial, pelayanan publik yang bobrok, dan arogansi pejabat terus dibiarkan, maka bangsa ini perlahan-lahan sedang menggali kuburnya sendiri. Kini, pilihan ada pada kita: tetap diam dalam ketidakadilan, atau bersuara demi terwujudnya Indonesia yang benar-benar adil dan beradab.


Bangilan, 30 Agustus 2025

Rabu, 13 Agustus 2025

Senandung Sunyi di Tepi Kali

Senandung Sunyi di Tepi Kali
Oleh: Joyo Juwoto 

Kali kening mengalir hening 
Bening airnya memantulkan cahaya 
Di temaran senja
Rumpun bambu khusyuk berdoa 

Batu-batu, kerikil, dan lumpur kali
Bernyanyi lirih dalam sepi 
Mengeja masa yang entah bagaimana 
Tentang nasib kali yang semakin sunyi

Gremicik air kali memendam asa
Bunga-bunga ilalang tertiup angin senja 
Melukis riak-riak penuh pesona
Di pelataran senja yang kehilangan makna

Arus kali membawa cerita dari hulu 
Tentang gembala yang pulang kandang 
Tentang kerikil yang terhempas diam
Di sudut waktu yang kelam

Di tepi kali, di tepi rindu
Menatap langit yang semarak kelabu 
Ranting-ranting diam membeku
Desah angin membawa bisik yang tak usai 

Dalam keheningan ini, aku temukan diri
Yang hilang dalam arus waktu
Mencari makna dalam remang senja
Menguak rahasia jiwa yang tak terjamah kata


Bangilan, 13 Agustus 2025

Sabtu, 09 Agustus 2025

Jejak Kalang di Kendeng Utara

Jejak Kalang di Kendeng Utara
Oleh: Joyo Juwoto 

Di rimba lebat nan sunyi terbentang
Wong Kalang menjelajah dalam remang
Melintasi pohon-pohon jati yang tinggi menjulang,
Jejak kaki menyatu dengan bayang-bayang 

Semak belukar menjelma lorong waktu,
Padang ilalang bersaksi dalam bisu
Di antara lembah-lembah kelam
Langkah Kalang menjejak bumi peradaban 

Gunung Lodhito memanggil pelan
Berselimut teka-teki dalam hening sunyi 
Tuk dijelajahi rahasia yang tersembunyi 
Dalam hamparan kabut dan cahaya pagi

Sendang Plengkung, pemandian nganget
Airnya bening mengalirkan kisah,
Tempat Kalang menghapus gundah
melepas penat dan lelah

Punden Belang Yungyang, Watu Celeng puncak Grabagan 
menjadi saksi suci
Pertemuan alam kasunyatan dan keyakinan 

Tegal Kalang, hamparan pertiwi,
Besowo, tanah penuh misteri 
Tumbuh peradaban alami
Di balik Tegal dan ladang, kisah itu mengabadi

Kandang Kalang Senori, tempat gembala ternak
Menyimpan tapak budaya yang melegenda
Di balik kayu-kayu dan batu 
Terekam memori yang tak lekang oleh waktu

Kendeng Utara terus berdesah,
Memanggil jiwa-jiwa yang ingin kembali,
Menapak tilas jejak wong Kalang yang gagah,
Dalam sunyi hutan, peradaban tak pernah mati.


Bangilan, 9 Agustus 2025