Selasa, 31 Oktober 2023

Nasehat dari Kiai Misbah Zainil Mustofa

 


Nasehat dari Kiai Misbah Zainil Mustofa

Oleh: Joyo Juwoto

 

 

Pak Moehaimin memiliki kedekatan tersendiri dengan KH. Misbah Zainil Mustofa, karena beliau pernah menjadi juru terjemah kitab-kitabnya Mbah Bah. Dari seringnya interaksi dalam proses penerjemahan ini Pak Moehaimin banyak belajar ilmu pengetahuan dari mbah Bah, secara tidak langsung Pak Moehaimin nyantri kepada pengasuh pondok pesantren Al Balagh ini.

Ada sebuah cerita yang dituturkan oleh beberapa santri kurun awal, karena begitu dekatnya Pak Moehaimin dengan mbah Misbah, sampai-sampai mbah Bah jika makan biasanya tidak dihabiskan, hanya
dimakan separonya saja, sebagiannya biasanya diberikan kepada Pak Moehaimin.

Setelah peristiwa bangkrutnya Pak Moehaimin dari usaha jual beli kayu jati, pak Moehaimin pindah dari Santren ke desa Weden, beliau kembali berkumpul dengan mertuanya,  H. Abdul Madjid. Namun hal ini tidak berlangsung lama, setelah itu pak Moehamin pindah lagi ke dusun Talok Desa Sidokumpul.

Karena keluarga mertua Pak Moehaimin mayoritas sebagai petani, sedang Pak Moehaimin tidak begitu mengenal seluk-beluk pertanian, maka untuk menopang ekonomi keluarga Pak Moehaimin menjadi penerjemah kitab mbah Misbah. Selain menjadi penerjemah, Pak Moehaimin juga membuka kursus mengetik, saat itu yang diamani untuk memegang kursus ngetik adalah Ust. Heri. Namun sayang uang dari hasil kursus ngetik ini tidak sampai kepada Pak Moehaimin, uangnya dilarikan oleh ust. Heri.

Walhasil Pak Moehaimin hanya mengandalkan penghasilannya dari menerjemahkan kitab. Saat itu ekonomi pak Moehaimin sedang krisis-krisisnya, pagi jam 7 beliau berangkat ke ndalemnya Mbah Bah untuk menerjemahkan kitab, kemudian sekitar jam sebelas siang beliau pulang dan mengajar di madrasah. Saat itu madrasah ASSALAM sudah bertempat di Bangilan, baru ada satu gedung yang berdiri, yang dibangun oleh santri-santri sendiri, ASSALAM masih sangat prihatin sekali, muridnya hanya beberapa orang saja.

Di saat kondisi yang begitu sulitnya, Pak Moehaimin dinasehati oleh Mbah Misbah, “Min, goda kuwi suwene limang tahun, sing kuat ngempet. Mengko nek wis limang tahun, empet meneh nganti limang tahun, mengko goda kuwi lak koyok kacang goreng” Begitu dawuh mbah Misbah kepada Pak Moehaimin.

Mendengar nasehat dari Mbah Bah, Pak Moehaimin memantapkan niat dan tekadnya untuk terus berjuang di jalur pendidikan dengan ASSALAM sebagai ladang perjuangannya. Apalagi beliau juga selalu ingat akan gemblengan dari gurunya KH. Imam Zarkasyi, “Andaikata muridku tinggal satu, akan tetap kuajar, yang satu ini sama dengan seribu, kalaupun yang satu ini pun tidak ada, aku akan mengajar dunia dengan pena”. (KH Imam Zarkasyi) Begitu kira-kira dawuh dan gemblengan dari gurunya itu.

 

 

Senin, 30 Oktober 2023

Santri ASSALAM Kurun Awal Berjuang Membangun Gedung Madrasah

 


Santri ASSALAM Kurun Awal Berjuang Membangun Gedung Madrasah

Oleh: Joyo Juwoto

 

Masa-masa awal setelah peristiwa pecahnya  ASSALAM di Sidokumpul, Pak Moehaimin tidak lagi menempati gedung madrasah yang telah diperjuangkannya, beliau keluar dari ASSALAM lama yang kemudian namanya diubah menjadi dengan nama lain. Dengan keluarnya Pak Moehaimin dari madrasah yang dibangunnya, waktu itu banyak santri yang mengikuti beliau keluar, santri-santri itu tetap ingin diajar oleh beliau. “Kulon nderek ngaji Pak Moehaimin mawon” begitu kata santri-santri yang bersikukuh untuk keluar dari madrasah awal.

Diantara santri Pak Moehaimin yang waktu itu ikut Pak Moehaimin namanya Rofiq, karena ia tetap ingin mengaji dengan Pak Moehaimin, sampai Rofiq ini harus rela meninggalkan rumah, kemudian ikut simbahnya yang berada di desa Medalem Senori, demi ia tetap nyantri kepada Pak Moehaimin.

Ada pula kisah yang cukup dramatis, waktu itu ada santri yang namanya Anwari, saat itu ia belum tahu jika pak Moehaimin sudah tidak mengajar di madrasah, Anwari ini berada di kelas untuk mengikuti pembelajaran, namun karena kemudian ia tahu pak Moehaimin sudah tidak berada di madrasah itu, dengan serta merta Anwari ini melompat jendela kemudian menyusul Pak Moehaimin yang memang ndalemnya berada di sebelah timurnya sungai, yang berjarak hanya beberapa meter dari madrasah lama. Anwari akhirnya melanjutkan belajarnya di ndalem Pak Moehaimin.

Karena tidak mempunyai gedung, Pak Moehaimin mengajar santri di ndalem beliau, di depan rumah ada mushola keluarga, di situ dipakai ruang kelas, di sebelah barat mushola ada toko kecil yang akan digunakan usaha perdagangan, karena tidak memiliki gedung untuk santri, maka toko itu dipakai gothakan santri putra. Santri putri menempati ruang di belakang dekat dapur rumah. Selain memanfaatkan mushola sebagai ruang kelas, santri-santri juga bersekolah di rumah warga, yaitu salah satunya di rumah pak Ruslan, tetangga depan rumah Pak Moehaimin.

Kondisi darurat yang menyebabkan pembelajaran ditempatkan di tempat seadanya, dan juga menempati rumah warga tentu tidak baik jika harus berlama-lama, akhirnya pada tahun 1983 Pak Moehaimin membeli tanah di Bangilan, tepatnya di sebelah selatan pasar Bangilan, tanah itu milik keluarga Pak Muzadi, setelah tanah terbeli dengan cara dicicil, maka Pak Moehaimin mulai merencanakan pembangunan gedung madrasah.

Karena kekurangan biaya, maka kayu untuk bangunan gedung tersebut memakai kayu glugu (pohon kelapa) yang kebetulan di area tanah tersebut banyak ditumbuhi pohon kelapa. Pembangunan gedung ini banyak dibantu oleh Danramil Bangilan saat itu, namanya Pak Kholis, juga dibantu oleh bapak Dansek Bangilan. Ceritanya Bapak Dansek yaitu Bapak TAsman ini mengajari pak Moehaimin caranya mencari dana, yaitu dengan cara mengedarkan kalender, bahkan Pak Dansek sendiri juga ikut serta membantu dengan cara menyuruh para bawahannya untuk membeli kalender.

Santri-santri tidak tinggal diam, mereka menebang pohon kelapa yang kayunya dipakai untuk pembangunan, mereka juga menggergajinya sendiri. Selain itu untuk batu bata untuk bangunan juga dibuat oleh para santri sendiri. Mulai dari menyiapkan bahan tanah liatnya, membuat adonan, mencetak dan kemudian membakarnya, itu dilakukan oleh para santri. Adapun santri yang terlibat dalam perjuangan membangun madrasah ini diantaranya adalah Purhadi Nata Bata (julukan yang diberikan oleh Pak Moehaimin), Daerobi, Syafi’i, Ucuk Suparman, dan beberapa santri lainnya.

Santri-santri tersebut selain menyiapkan bahan-bahan dan material bangunan mereka juga terjun langsung menjadi tukang dan menjadi kulinya. Ucuk Suparman santri dari Pulut Bangilan ini  punya keahlian nukang, beliau yang menjadi tukang bangunan dan dibantu oleh santri-santri lainnya.

Begitulah dulu perjuangan para santri dalam membangun gedung pondok, membangun madrasah, mereka dengan penuh keikhlasan berjuang dengan segala pengorbanan yang tak terkira kepada pondoknya.

Nilai-nilai perjuangan dan nilai-nilai keikhlasan yang sedemikian ini perlu dijaga, dirawat, dan dituturkan dari generasi ke generasi selanjutnya, agar api perjuangan para santri kurun awal tetap membara di jiwa para santri lainnya. Para santri harus selalu ingat semboyang perjuangan yang selalu digemblengkan Pak Moehaimin:“Bondo bahu pikir lek perlu sak nyawane sisan”.

 

Minggu, 29 Oktober 2023

Mimpi Pada Sebuah Kapal

 



 


Mimpi Pada Sebuah Kapal

Oleh: Joyo Juwoto

 

Ada sebuah kisah menarik yang diceritakan oleh Abah KH. Moehaimin Tamam sendiri, kisah ini saya dengar saat menjadi santri dan tentu banyak santri lain yang ikut mendengarkan dan mengetahuinya, kisah ini sering dan berulang kali beliau ceritakan saat beliau mengajar santri, kisah ketaatan seorang santri kepada gurunya, walau harus dibayar dengan perpisahan yang sangat menyedihkan, begini kisahnya:

Ada seorang santri yang bernama Sholihin, santri ini berasal dari Pulau Bawean Kab. Gresik, Sholihin adalah santri yang sangat taat dan mencintai gurunya, yaitu KH. Abd. Moehaimin Tamam. Kang Sholihin ini seperiode dengan Usth Sunayah, juga Usth Zairoh, beliau termasuk santri kurun awal berdirinya pondok pesantren ASSALAM yang saat itu masih berada di desa Sidokumpul Kec. Bangilan.

Pada suatu ketika Sholihin ini sowan kepada Pak Moehaimin, karena beberapa hari Sholihin ini tidak tenang hatinya, ia selalu mimpi yang sama dalam beberapa waktu. Pada awalnya Sholihin menganggap itu adalah mimpi biasa mimpi yang sebagai bunga tidur belaka, tapi pada suatu hari mimpi itu muncul lagi mendatangi tidurnya, sehingga saat terbangun Sholihin merenungi apa yang menjadi mimpinya itu.

Sebagai santri yang berasal dari pulau Bawean sangat wajar sebenarnya ia mimpi naik sebuah perahu, karena memang kampungnya harus menyeberang lautan jika harus ke kota Gresik, begitu juga ketika ia berangkat mondok ke Bangilan ia juga harus menyeberang naik perahu, oleh karena itu pada mulanya Sholihin tidak memperhatikan mimpi itu, mimpi naik pada sebuah kapal. Tapi anehnya mimpi itu terus mendatanginya, sehingga Sholihin merasa gelisah, ada apa dengan mimpinya itu.

Dalam mimpinya Sholihin seolah-olah akan menaiki sebuah kapal besar, dia tidak sendiri, banyak orang yang juga berbondong-bondong menaiki kapal tersebut. Namun anehnya, ketika Sholihin mau naik ke atas kapal, ia ditolak dan tidak diperbolehkan masuk. Ada seorang yang menghalanginya, orang itu berkata kepadanya:

 “Nak, kamu jangan naik kapal ini! Jika kamu memaksa naik, maka kapal ini akan tenggelam, dan kamu juga akan tenggelam bersama kapal dan semua penumpangnya” ujar orang tersebut memperingatkan Sholihin yang akan ikut naik kapal tersebut.

“Jika Kamu tidak naik, maka kapal ini akan selamat, kamu selamat, dan para penumpangnya juga akan selamat” Lanjut sosok misterius yang datang di mimpi Sholihin.

Setelah bermimpi demikian, Sholihin terbangun dari tidurnya, setelah bangun Sholihin mengambil air wudhu kemudian sholat malam dan berdo’a meminta petunjuk atas mimpi yang selalu mendatanginya itu.

Karena tidak mendapatkan jawaban atas mimpinya itu, Sholihin kemudian sowan kepada Pak Moehaimin, Sholihin matur atas mimpi yang selalu mendatangi tidurnya beberapa hari yang lalu. Setelah mendengar cerita dari Sholihin, Pak Moehaimin menghela nafas dalam, seakan ada beban berat yang beliau tanggung, beliau terdiam beberapa saat.

Setelah beliau menghela nafas, Pak Moehaimin berkata kepada Sholihin santri dari Bawean itu. “Nak, Kalau saumpama saya menerangkan takwil mimpimu itu apakah  engkau siap menerimanya? Kata Pak Moehaimin pelan. Sholihin pun menjawab, “Insyallah siap Pak” Jawab Sholihin lirih.

Kemudian pak Moehaimin pun mentakwilkan arti mimpi dari santrinya itu. “Begini Anakku, kapal itu ibaratnya adalah Pondok ASSALAM ini, sebagaimana dalam mimpimu, jika Nanda Sholihin naik kapal ASSALAM, maka kapal ASSALAM akan tenggelam, dan Nanda Sholihin juga akan tenggelam, namun jika Nanda Sholihin tidak jadi naik kapal ASSALAM, tidak melanjutkan mondok di ASSALAM, insyallah kapal ASSALAM akan selamat, begitu juga Nanda Sholihin juga akan selamat, dan seluruh penumpang kapal ASSALAM akan selamat”.

Mendengar takwil dari mimpi itu, Sholihin menangis ngguguk-ngguguk penuh dengan kesedihan, ia sangat mencintai ASSALAM, ia juga sangat mencintai Pak Moehaimin sebagai gurunya, sebagai kiainya. Tapi bagaimana lagi, ia harus berpisah dengan gurunya, ia harus meninggalkan kapal ASSALAM demi keselamatan dirinya, juga keselamatan kapal ASSALAM beserta seluruh penumpangnya.

Akhirnya Sholihin ini pamit untuk pulang kembali ke kampung kelahirannya di Bawean, ia harus berpisah dengan pesantren yang sangat dicintainya, ia harus berpisah dengan gurunya. Menurut cerita dari pak Moehaimin, Sholihin ini akhirnya mondok di Surabaya, kemudian setelah pulang dari pondok beliau kembali ke kampungnya dan menjadi Kiai di Bawean sana.

Perpisahan antara Sholihin dengan pak Moehaimin ini, oleh Pak Moehaimin diibaratkan seperti “Rajulaani tahabbba fillah, wa tafarraqa fillah” dua orang yang saling mencintai karena Allah, dan dua orang yang akhirnya harus dipisahkan oleh taqdir juga karena Allah. Sebuah suri teladan yang luar biasa antara seorang santri dan gurunya, semoga Allah memuliakan beliau berdua. Aamin ya rabbal ‘aalamin.