Minggu, 31 Januari 2021

Silaturrahmi

Silaturrahmi
Oleh: Joyo Juwoto

Kemarin saya diajak teman, untuk bersilaturrahmi di beberapa temannya yang sebagian besar juga teman saya. Silaturrahmi memang menyenangkan dan penuh keberkahan, ini alasan saya mengiyakan ajakan beliau.

Berangkat dari rumah selepas dhuhur, kami serombongan Phanter meluncur ke kota minyak. Di bawah gerimis hujan syahdu mobil yang kami tumpangi membelah jalan raya Bangilan-Cepu yang sudah lumayan bagus, walau di sana-sini masih ada jalan yang rusak dan berlubang. 

Sepanjang perjalanan kami melewati sumur-sumur minyak tua, di wilayah Banyuurip, Kedewan ini memang memiliki sumber minyak yang sudah terkenal sejak jaman Belanda. Sayang kota yang kaya minyak ini sangat kontras dengan kondisi jalannya yang banyak berlubang, walau tadi saya sebut sudah lumayan.

Ketika bedhug Asar ditabuh, kami sudah sampai di rumah Kang Ali. Teman waktu mondok di Pesantren Assalam Bangilan. Beliau asli Singgahan Tuban, yang berdomisili di Cepu karena tugas negara sebagai dosen di salah satu kampus di kota tersebut. Ya, biasa ketemu konco lawas gurau ngalor-ngidul. 

Dari Cepu silaturrahmi kami berlanjut ke seorang teman yang ada di Wado kecamatan Kedungtuban. Di rumah mas Saiful Hadi. Sudah lama saya tidak bertemu secara face to face. Paling hanya saling lihat dan sapa di beranda Facebook saja. Mas Saiful ini pakar bahasa Inggris, pernah belajar di Pare, dan kuliah jurusan bahasa Inggris di salah satu kampus di Bojonegoro.

Setelah panjang lebar bergurau, kami pamit. Mas Saiful berjanji jika ada kesempatan akan dolan ke Bangilan. Napak tilasi beberapa tahun silam pas beliau ikut mengembangkan bahasa Inggris di Pesantren kami yang ada di Bangilan. Ini tentu hal yang cukup menyenangkan, saling dolan mendolani.

Kami pamitan saat adzan magrib berkumandang. Kami magrib di rumahnya mas Faiq  yang serombongan dengan kami dari Bangilan. Rumahnya tidak jauh dari rumahnya mas Saiful. Kami disambut dengan ramah, grapyak semanak dari shohibul bait, dan dijamu mie ayam favorit. Luar biasa berkah melimpah. Kenyang, kemudian pamit pulang, untuk melanjutkan perjalanan silaturrahmi ke Jipangulu, Margomulyo.

Jipangulu ini sebuah desa yang secara administratif ikut Kabupaten Bojonegoro, letaknya berbatasan dengan Menden wilayah Blora yang yang dipisahkan oleh bengawan Solo. Praktis untuk menuju ke sana kami harus naik jukung. Bengawan sedang banjir, satu keberanian tersendiri untuk duduk di jukung yang dijalankan dengan mesin diesel. Walau hati berdebar juga. 

Di Margomulyo ini kami ketemu dengan Pak Yai Badrun. Temannya teman yang se-almamater dengan saya di STIT Muhammadiyah Bojonegoro. Beliau masuk kuliah lewat jalur beasiswa Madin, sedang saya jalur regular. Beliau adik angkatan saya. 

Mas Badrun ini tokoh muda penggerak NU yang progressif. Beliau banyak banyak bercerita tentang lika-liku berjuang di NU di wilayah pedalaman itu. Banyak tantangan yang harus dihadapi, tapi itulah resiko perjuangan. 

Banyak hal yang saya petik dari obrolan itu. Tentang semangat pengabdian dan keikhlasan perjuangan beliau ngurusi NU. Kiprah dan dakwah Kang Badrun patut untuk diteladani. 

Sambil menikmati secangkir kopi hitam yang panas, sembari nglethik kacang obrolan kami tak terasa sudah cukup lama. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin Saya ketahui, khususnya terkait dengan petilasan mbah Santri dan goa Sentono yang belum sempat diobrolkan. Mungkin lain waktu. 

Tubuh mulai lelah dan mata ini mulai mengantuk, saat obrolan kami ditutup dengan sebungkus nasi goreng hangat, setelah itu kami pamitan untuk pulang. (Joyo Juwoto) 

Bangilan, 31/01/21

Rabu, 27 Januari 2021

5 Menit yang Menentukan

5 Menit yang Menentukan
Oleh: Joyo Juwoto

Setelah lolos tes swab di laboratorium, tekanan darah bapak juga aman, padahal satu minggu sebelumnya sempat dinyatakan naik sedikit oleh dokter. Dokter memberikan resep obat, dan kami menebusnya di apotek. Obat itu diminum 1x sehari. 

Harga obat yang kami tebus di apotek cukup murah, 25 ribu dapat satu kempleng pil. Jika dihitung satu hari minum satu obat sesuai resep dokter, obatnya tidak habis. Mau minum nambah pastinya  tidak boleh. Karena obat hanya boleh diminum sesuai dosis, tertakar, dan diresepkan. Tidak seperti jamu yang bebas kita minum sekehendak kita. 

Sisa obat masih cukup banyak, tentu sisa obat ini juga tidak boleh diberikan kepada orang lain. Walau dengan kondisi yang sama dengan bapak. Sama-sama tekanan darahnya naik. Itu tindakan ilegal dan tidak dibenarkan dalam dunia medis.

Dunia kedokteran memang rumit bagi orang awam seperti saya. Karena kerumitannya ini tidak semua orang yang punya cita-cita jadi dokter terkabul. 

Mungkin di masa-masa kita TK dahulu kita dan teman-teman punya cita-cita untuk menjadi dokter atau ada yang bercita-cita menjadi pilot. Itu sebelum melihat kerumitan-kerumitan di dunia kedokteran. Termasuk juga mungkin kerumitan di dalam biaya perkuliahannya. 

Setelah dinyatakan aman untuk menjalani operasi, tahapan-tahapan yang diterangkan oleh dokter kami ikuti. Termasuk diantaranya mengecek kembali tekanan darah bapak. 

Sayang saat tes tekanan darah saya tidak ikut mendampingi beliau. Jadi saya tidak bisa menuliskannya di sini berapa tekanan darah bapak. Adik dan paman yang mendampingi tidak begitu memperhatikan, tapi tak mengapa yang penting aman dan siap untuk operasi mata.

Sebelum operasi bapak sempat mengeluh perutnya sakit. Melilit katanya. Saya tidak begitu paham itu gejala apa, saya hanya berusaha menenangkannya dengan bercerita bahwa operasi mata katarak itu operasi ringan. Jadi jangan terlalu khawatir. Padahal saya sendiri juga mengalami semacam kegelisahan tersendiri. 

Mungkin saja sakit perut yang dialami bapak karena dipengaruhi oleh kondisi psikologis beliau sebelum dioperasi. Apalagi beliau juga belum makan semenjak pagi. Beliau juga bercerita dua hari sebelum operasi tidurnya kurang nyenyak.

Waktu menunjukkan pukul 15.30 WIB, Petugas piket mulai memanggil pasien yang akan dioperasi. Satu persatu menuju ruangan periksa dan mendapatkan seragam yang khas, baju dan sarung berkolor dan makai tudung di kepala. 

Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan yang tidak saya pahami, bapak yang mendapatkan nomor urut empat harus menunggu pasien pertama, kedua dan ketiga. Saya tidak berani banyak tanya kepada team medis tentang serba-serbi operasi yang akan dijalani bapak. Saya lebih banyak berdiam dan berdoa saja. 

Pengantar pasien yang akan operasi juga tidak diperkenankan masuk ruang operasi. Begitulah standart medis yang telah ditetapkan yang harus kami patuhi. Kami menunggu diluar ruangan.

Tak berselang lama bapak dipanggil dari ruang tunggu menuju ruang operasi. Saya memberanikan diri bertanya kepada salah satu team medis yang memanggil bapak. Kira-kira berapa jam waktu yang diperlukan untuk operasi. 

Seakan melihat kegelisahan Saya, mas medis yang Saya tanya menjawab dengan tersenyuh ramah. Tindakan operasi katarak cukup cepat, tidak perlu menunggu hitungan jam. Cukup Lima menitan katanya. Sedang untuk lain-lainnya mungkin sekitar sepuluh menitan. Pasien sudah bisa keluar ruangan. 

Saya merasa tenang dengan dengan jawaban mas medis yang kemudian membawa bapak ke dalam ruang operasi. Saya masih melihat punggung bapak yang kemudian hilang ditelan pintu. Suasana menjadi sepi, terutama perasaan Saya sendiri. 

Tapi bagaimanapun ketepatan medis dalam melakukan analisis dan tindakan operasi yang terukur dan ilmiah, tetap saja doa dan harapan baik memberikan kekuatan tersendiri kepada jiwa kita untuk lebih tenang dan tawakkal. Insyallah semua akan baik-baik saja.

Tak berselang lama, sekitar lima belas menitan bapak, sudah dibawa keluar ruangan. Biasa saja, kondisinya seperti bapak saat masuk ruangan. Bedanya mata bapak sebelah kanan ditutup dengan kasa putih. (Joyo Juwoto) 

Bojonegoro, 26 Januari 2021

Senin, 25 Januari 2021

Hasil Tes Swab

Hasil Tes Swab
Oleh: Joyo Juwoto

Waktu menunjuk pada angka 13.45, Saya segera menuju laboratorium untuk mengambil hasil swab bapak. Dari klinik dokter Haryo jaraknya tidak terlalu jauh, perkiraan tidak sampai menghabiskan sebatang rokok sudah sampai di lokasi.

Di kecamatan Bangilan di mana Saya tinggal, memang belum ada klinik yang melayani swab antigen. Di kecamatan sebelah ada, yaitu di klinik dr. Intan Jatirogo. Bapak harus swab di laboratorium Fortuna  atas rekom dokter yang akan mengoperasi beliau.

Saya nama jalan di Bojonegoro tidak hafal. Bahkan cenderung bingung. Padahal empat tahun Saya kuliah di Bojonegoro. Untung saja kelemahan Saya ini ditutupi oleh teknologi masa kini yang bernama google maps. 

Untung lagi letak laboratorium Fortuna berada di jalan yang dekat dulu Saya kuliah. Jika Saya kuliah di Jl. Ade Irma Suryani, sedang Fortuna berada di jalan utama  P. Sudirman No. 137. Kampus Saya dari jl. P. Sudirman sebelum Fortuna belok ke kiri. Tepat di sebelah kiri jalan ada toko bukunya. 

Dulu saat Saya kuliah seingat Saya tempat itu belum ada toko bukunya. Entah sejak kapan toko buku itu buka. Tapi sebelum kampus di mana Saya kuliah ada entah perpustakaan entah toko buku second, yang mempunyai koleksi bacaan cukup banyak. Saya pernah mampir dan tanya-tanya saja. Sekarang rumah itu sudah tidak ada. Berganti dengan rumah baru.

Nasib perbukuan kita memang kayaknya masih lesu dan berlanjut sepi. Entah kapan toko buku bisa seramai kedai kopi, atau kita perlu berinovasi toko buku menyamar sebagai kedai kopi. Biar ramai. 

Saya sendiri pernah bermimpi membuka toko buku yang dikreasikan dengan kedai kopi. Sampai saat ini Saya masih tidur, dan menikmati mimpi itu. Mau bangun eman. Mimpi itu terlalu indah.

Ah Saya melamun. Sambil nyetir lagi. Lamunan Saya ternyata lebih jauh dari jarak ke Laboratorium. Tak terasa Saya sudah sampai di depan Fortuna. Saya disambut bapak yang bertugas parkir dengan ramah. Diarahkan roda kendaraan Saya yang agak melenceng ke luar jalan raya. 

Saya lalu masuk ke bagian pendaftaran saat awal tadi Saya mengantar swab bapak.  Hasilnya sudah disiapkan di selembar amplop tertutup. Saya membukanya dengan perasaan agak berdebar. Lalu Saya membaca hasil tes swabnya, "Negatif" Alhamdulillah. (Joyo Juwoto) 

Bojonegoro, 25 Januari 2021

Menunggu Matahari Terbit dari Kelopak Mata Bapak

Menunggu Matahari Terbit dari Kelopak Mata Bapak
Oleh: Joyo Juwoto

Dokter Haryo menjadwalkan operasi katarak bapak Jam 15.00 WIB sore ini. Kami serombongan berangkat dari rumah jam 11.00 WIB. Jarak rumah menuju Bojonegoro ditempuh sekitar satu jam. 

Saya diberi jadwal datang Jam 12.00 WIB untuk tes swab antigen di laboratorium Fortuna. Karena mengikuti jadwal yang diberikan dokter, jam 12.05 Saya telah sampai di laboratorium. Sekitar 10 menitan pengambilan swab di hidung bapak selesai. 

Selanjutnya Saya meluncur ke kliniknya dokter Haryo. Karena hasil swab baru bisa diambil satu jam lagi. Kami yang mengantar bapak harus menunggu satu jam untuk pengambilan hasil swab, dan menunggu dua jam untuk operasi. Itu pun kalau jam 15.00 tepat dokternya sudah  ada.

Oke gak papa, dibawa santai dan enjoy saja, lebih baik menunggu dua jam daripada telat sepuluh jam. Tentu Kliniknya dokter Haryo pasti sudah tutup.

Daripada jenuh, saat menunggu ini Saya gunakan untuk menulis. Membuang unek-unek dalam pikiran. Juga menjaga hati dari rasa was-was. Bagaimanapun juga mendengar kata operasi itu membuat kepala Saya agak pening juga. 

Bukan kali ini saja Saya harus menghadapi kata yang namanya operasi. Kedua anak Saya Nafa dan Ninda juga terlahir secara sesar. Namun tetap saja kata operasi mengganggu ketenangan Saya.

Dari rumah saja Saya tadi sudah mondar-mandir. Resah. Saya rasa ini perasaan yang wajar ketika seseorang mau menghadapi sesuatu yang mendebarkan. Ya sudah untuk mengatasi perasaan yang tidak karuan ini obatnya ya pasrah saja. Tawakkal kepada Allah Swt.

Dari rumah tadi bapak puasa. Bukan puasa syariat tapi puasa mau operasi. Saya Senin kemarin saat periksa sebenarnya tidak mendengar dokter Haryo mensyaratkan puasa sebelum operasi, tapi puasa pun tak mengapa.

Menit demi menit terus berlalu, perputaran jarum jam terasa bertalu lebih keras, sebagaimana bunyi jantung Saya yang yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Kami masih setia menunggu sampai matahari terbit dari kedua kelopak mata bapak. (Joyo Juwoto) 

Bojonegoro, 25 Januari 2021

Sabtu, 23 Januari 2021

Mengantar Bapak Berobat Mata

Mengantar Bapak Berobat Mata
Oleh: Joyo Juwoto

Bapak sakit. Matanya berkabut, dua-duanya. Untuk melihat samar-samar, masih bisa berjalan tanpa dituntun. Praktis beliau tidak bisa berladang dan bersawah seperti biasanya. Walau beliau masih saja pergi ke ladang, hanya untuk tidur di tempat kesukaannya. Di gubug di tegalan.

Tentang aktivitas bapak Saya bersawah dan berladang, Saya pernah menuangkannya dalam sebuah esai yang berjudul "Bapakku Seorang Marhean" Pada akhirnya tulisan ini Saya gubah menjadi sebuah cerpen. Entahlah, esai rasa cerpen atau cerpen yang amburadul. 

Hampir satu tahun beliau sakit Mata. Sudah berobat tapi belum juga sembuh. Diperiksakan di dokter spesialis Mata oleh adik Saya, dokter menyuruh untuk operasi Mata. Bapak menderita katarak, tapi beliau tidak mau operasi. 

Makin lama mata bapak makin parah. Makin gelap, tapi masih bisa melihat samar-samar dengan bantuan sinar sentolop. Tapi gerak beliau semakin terbatas, tidak bisa lagi pergi ke gubug tempat teristimewanya. 

Bapak nyerah. Beliau mau dioperasi asal dengan duwitnya sendiri. Tidak mau merepotkan anak-anaknya. Ada sapi tiga ekor di rumah, itu yang akan digunakan biaya operasi. Karena tabungannya orang desa ya itu binatang ternak. Orang desa menyebutnya rajakaya. 

Dijuallah dua ekor sapi itu. Si babon dengan anaknya yang belum lepas menyusu. Usianya sekitar 4 bulanan. Nasib baik, hasil penjualan sapi itu harganya cukup tinggi 17 juta rupiah.

Uang sapi yang dipelihara bapak bertahun-tahun yang akan dipakai untuk biaya operasi. Saya pun berunding dengan adik untuk memberangkatkan bapak periksa sebelum di lakukan tindakan operasi mata.

Sebenarnya bapak punya BPJS kelas tiga dari pemerintah desa, tapi beliau tidak mau memakainya. Saya juga punya BPJS dari lembaga sekolah, bapak bisa Saya cover di sana. Lagi-lagi beliau juga tidak mau. Mindset bapak Saya masih khas orang desa jaman dahulu, jika berobat memakai BPJS jangan-jangan obatnya tidak manjur. Hanya mendapatkan obat yang ala kadarnya saja, dan tidak mendapatkan pelayanan yang manusiawi. 

Entah mindset ini sesuai dengan faktanya atau tidak, tapi begitu yang Saya dengar dari bapak. Entah benar entah tidak.

Senin tanggal 18 Januari 2020 Saya antar bapak bersama adik dan istrinya ke Bojonegoro. Ke dokter spesialis Mata yang terkenal, dr. Haryo. Beliau dokter spesialis Mata melanjutkan profesi ayahnya yang juga seorang dokter spesialis mata.

Setelah mendaftar kami mengantri cukup lama. Saat mengantri itulah Saya kemarin menulis tentang "NU dan dakwah Tahlilan dalam Meneguhkan Komitmen Kebangsaan" Tulisan yang sebenarnya lebih mengupas tentang diri Saya sendiri. 

Ya, daripada boring menunggu antrian yang cukup panjang akhirnya bisa menyelesaikan tulisan tersebut.

Mendekati jam 20.00 WIB bapak diperiksa oleh mungkin dr. Haryo. Karena Saya tidak kepikiran menanyakan siapa yang memeriksa bapak. Berbekal informasi dulu sudah pernah periksa, dokter tetep menyuruh untuk operasi. 

Mata kanan dulu yang akan dioperasi. Dokter memberikan obat tetes untuk dipakai tiga hari sebelum pelaksanaan operasi. Ada dua macam obat tetes Mata yang diberikan, wadahnya warna merah jambon dan biru langit. Masing-masing dari obat itu harus diteteskan sehari enam kali. Sesuai jadwal waktu shalat, dan sekali menjelang tidur. 

Tanggal 25 Januari 2021 senin depan bapak akan dioperasi oleh dokter yang terkenal itu. Ya, tetangga Saya banyak yang berobat dan operasi ke sana. Alhamdulillah  sembuh.

Saya berharap dan berdoa kepada Allah Swt. semoga operasi Mata yang akan dijalani bapak Saya berjalan lancar dan nantinya berbuah kesembuhan. 

Saya juga meminta dengan sangat, kerelaan dari para pembaca tulisan Saya ini, ikut mendoakan kesembuhan bapak Saya. Saya dan keluarga tidak bisa membalas apa-apa. Hanya Tuhan yang membalas kebaikan dan ketulusan doa para pembaca. Aamin. (Joyo Juwoto) 

Bangilan, 23 Januari 2021

Happy Ending

Happy Ending
Oleh: Joyo Juwoto

Tanggal 8 Januari 2021, Saya menerima kabar rapid tes kemenakan Saya reaktif. Ya, dia harus rapid tes karena menjadi persyaratan magang
 dari pihak sekolah. 

Kemenakan Saya saat ini sedang studi di salah satu SMK di kota soto, Lamongan. Dengan kondisi OTG, saat menjalani tes dan hasilnya reaktif, oleh dokter di Lamongan direkomendasikan agar isolasi mandiri selama dua pekan.

Walhasil dia pun pulang ke Bangilan untuk isolasi mandiri. Ketepatan rumah yang Saya tempati direkom keluarga sebagai tempat isolasi. Kami pilih satu kamar  bagian belakang yang menjadi satu bagian dengan dapur, kamar mandi, dan toilet. Sangat pas untuk ruang isolasi mandiri. 

Apalagi belakang dapur masih ada pekarangan belakang yang bisa dipakai untuk olahraga ringan dan berjemur. 

Ruang depan yang terhubung dengan ruang belakang oleh Istri disekat dengan plastik transparan, agar bisa dipakai untuk memantau kemenakan yang sedang menjalani isolasi mandiri dua pekan ke depan.

Tanggal 9 Januari 2021 diantar pak Liknya yang ada di Lamongan, kemenakan Saya tiba di Bangilan. Langsung menempati ruang isolasi yang telah disiapkan sebelumnya. 

Kami dan keluarga besar tidak melakukan kontak fisik sama sekali. Percakapan kami lakukan lewat sekat plastik transparan, sama via WhatsApp. 

Untuk kebutuhan makan dan minum sehari-hari akan dikirimkan, ditaruh di kursi depan pintu ruang isolasi. Protokol Kesehatan benar-benar harus diterapkan. 

Dari Lamongan dokter memberikan tablet multi vitamin dan mineral merk Becom-zet. Dari keluarga menambahi kapsul procumin propolis dan madu. Selain tentu buah-buahan yang harus dikonsumsi sehari-hari seperti jeruk, pisang, dan rambutan. 

Hari demi hari berlalu. Terasa lambat, kayak tidak seperti biasanya. Padahal tentu ini hanya perasaan  belaka. Karena waktu masih berputar sama. Sehari semalam 24 Jam, satu pekan tujuh hari, dan satu bulan sama dengan antara 30/31 hari. 

Setelah berjuang melawan kebosanan hari yang di tunggu pun tiba. Ya begitulah puasa selalu berbuah lebaran, dan isolasi mandiri segera terselesaikan tepat hari jumat kemarin tanggal 22 Januari 2021.

Pagi di hari jumat perasaan kami seperti perasaan orang yang sedang menyambut hari pembebasan. Tapi masih deg-degan juga. Menunggu saat rapid tes nanti hasilnya bagaimana.

Setelah mandi dan sarapan pagi, Saya mengajak  kemenakan Saya untuk swab antigen di Jatirogo. Di dokter Intan ternyata ada layanan swab antigen. Kliniknya berada di desa Sugihan sebelum Pasar sapi tepat. 

Pada awalnya Saya telah mendaftar tes swab antigen di RS Aisyiyah Bojonegoro. Saya sudah transfer diawal, karena syaratnya demikian. Karena suatu hal Saya batalkan. Saya lalu menghubungi pihak RS. bagaimana jika pendaftaran yang sudah kadung Saya lakukan Saya batalkan. 

Pihak RS Aisyiyah menjawab bahwa uang Saya akan dikembalikan utuh. Pagi hari uang itu sudah ditranfer kembali di rekening Saya.

Saya meminta maaf dan mengucapkan terima kasih atas pelayanan yang bagus dan luar biasa dari pihak RS Aisyiyah. Saya tentu senang, uang kembali seratus persen. 

Karena Saya punya pengalaman hampir mirip, yaitu saat saya mengirimkan barang via salah satu perusahaan ekspedisi. Setelah Saya daftar Saya batalkan. Saya kena denda sekian persen dari biaya pengiriman. Tapi gak papa. Resiko keteledoran saya. 

Kembali tentang tes swab antigen di Jatirogo, sampai di dokter Intan kami ke loket pendaftaran. Kami ditanya mau tes apa, rapid antibodi yang biayanya 150 ribu atau tes swab antigen dengan biaya 250 ribu. 

Karena ingin mengetahui kondisi apakah masih ada virus covid 19 yang bersarang di tubuh kemenakan, maka kami memutuskan untuk swab antigen saja. Karena menurut petugasnya, tingkat keakuratannya lebih baik dibanding rapid antibodi. Hasilnya pun juga relatif cepat 20 menitan.

Tak berselang lama, kemenakan Saya di swab, kami harus menunggu sambil hilir mudik. Ada perasaan cemas jika nanti hasilnya tetap pisitif seperti tes pertama di Lamongan. Kami berdoa semoga negatif. Toh di Lamongan kemarin hanya rapid saja. Karena dokter merekom untuk isolasi mandiri, kami pun mengikuti apa kata dokter saja. 

Sekitar duapuluh menitan berlalu, petugas memanggil nama kemenakan Saya. Kami pun mendekat. Berdasarkan hasil tes swab antigen kemenakan Saya dinyatakan negatif. Alhamdulillah. Happy ending.  (Joyo Juwoto) 

Jelaru, 23 Januari 2021.

Senin, 18 Januari 2021

NU dan Dakwah Tahlilan dalam Meneguhkan Komitmen Kebangsaan

*NU dan Dakwah Tahlilan dalam Meneguhkan Komitmen Kebangsaan*
Oleh: Joyo Juwoto

Jika membaca dan mencermati judul saya dalam tulisan ini, orang tentu ada mengira saya bukanlah penganut faham Aswaja NU. Itu kira-kira saya saja. Entah benar entah tidak. Harapan saya semoga saja tidak.

Karena memang sejarah perjalanan ke-NUan saya abu-abu sih. Tidak jelas, Saya  ini NU yang bagaimana. NU garis tengah, lurus, menyamping atau bahkan mungkin yang NU garis lucu saja.

Kartanu sebagai salah satu identitas Keanggotaan di NU Saya tidak punya, Saya bukan Ansor, bukan pula bagian dari organisasi struktural NU. Saya bagian dari NU kebanyakan, NU kultural. 

Waktu menjadi pelajar saya tidak ikut dan menjadi anggota IPNU, bahkan saat menjadi pelajar justru saya dekat dengan mahasiswa LIPIA, yang tentu ke-NUannya sangat tidak lulus ujian kema'arifan. Walau tentu tidak semuanya. Banyak sahabat saya lulusan LIPIA tapi NU-nya tetep ijo royo-royo. Pembaca tentu sudah  tahu, Gus Ulil Abshar Abdalla pengampu pengajian Ihya' online itu juga jebolan LIPIA. Beliau tetep ijo.

Lalu pada saat kuliah, saya juga tidak masuk dalam organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi pada NU, justru saya adalah anggota IMM. Walau menjadi anggota pasif. Lha wong saya kuliahnya di STITMU. Haha...paket komplit kan perjalanan ketidak-NUan saya.

Tapi perlu saya garis bawahi, bahwa Saya hari ini menjadi mahasiswa pascasarjana di IAI Sunan Giri Bojonegoro, sebuah lembaga perkuliahan yang terbesar dan membanggakan, milik warga NU di Jawa Timur bagian barat. Mungkin lain waktu Saya akan bercerita tentang pilihan Saya, kuliah lagi di usia Saya yang sudah di kepala empat ini.

Kembali mencermati judul tulisan Saya, Saya memakai kata dakwah untuk Saya sandingkan dengan tahlilan. Sepengetahuan ke-NUan Saya, warga Nahdliyin tidak memakai kata dakwah untuk menyebut aktivitas tahlilan. Biasanya ya tahlilan saja, tanpa embel-embel dakwah.

Di era sekarang kata dakwah menjadi kata yang cukup hight. Jika ada yang mengatakan ini adalah jalan dakwah, seakan-akan itu sama saja dengan jalan Tuhan yang harus diperjuangkan. Kata dakwah sebangun dengan memperjuangkan dan membela Tuhan, padahal kata Gus Dur, "Tuhan tidak perlu dibela."

Saya di sini bukan dalam rangka alergi dengan kata dakwah, apalagi sampai merendahkan kata dakwah. Tidak sama sekali tidak. Wong, sebelum (menjadi) apa-apa kita adalah seorang dai. Yang kader atau mantan kader tentu masih hapal, "Qabla kulli sya'in nahnu ad-duat." Benerkan?

Saya di sini hanya ingin membagi apa dan menuangkan dalam tulisan yang saya rasakan tentang tahlilan, yang Saya anggap mampu Meneguhkan Komitmen kebangsaan warga masyarakat. Ya, Saya hanya akan bercerita, bukan menulis jurnal ilmiah jadi santai saja, tak perlu menyertakan berbagai teori yang rumit yang Saya sendiri juga tak memahaminya.

Saya menulis ini teringat beberapa waktu yang lalu, tetangga saya ada yang meninggal dunia. Bisa dibayangkan duka cita dari keluarga yang ditinggalkan. Seperti biasa warga masyarakat sama melayat. Ada tahlilan dan sholat jenazah dilakukan sebagai rangkaian dari upacara kematian.

Setelah selesai, para tetangga sama pulang ke  rumah masing-masing. Suasana rumah duka menjadi sepi. Para pelayat dalam pandangan psikologi shohibul janazah adalah hiburan. Walau mendung duka masih menggelayut di kelopak mata, dan air mata kesedihan belum mengering, namun ada rasa bahagia ketika tetangganya datang menghibur dengan taburan doa untuk almarhum.

Lalu pada malam harinya, tetangga kembali berdatangan untuk tahlilan. Ini sangat menghibur Kepada shohibul musibah. Saya tidak tahu apakah ini karena faktor kebiasaan atau karena faktor apa, tapi Saya melihat wajah ceria shohibul bait menyambut tamu-tamunya.

Misi agama, silaturrahim, menggembirakan orang lain, bahkan misi kebangsaan dan kemanusian tercakup dalam kegiatan tahlilan. Ini tentu hal-hal yang sangat diperlukan dalam Meneguhkan Komitmen Kebangsaan kita. Membangun kerukunan mulai dari tetangga dekat.

Anehnya warga Nahdliyin tidak pernah mengatakan dakwah tahlilan, padahal aspek relegius dan nilai-nilai kebangsaan dalam kegiatan tahlilan sangat dirasakan oleh masyarakat. NU memang sangat sederhana dalam pola dakwahnya, pelan namun menghunjam ke dalam jantung peradaban umat manusia. Saya sudah membuktikan,  tiap orang di lingkungan Saya adalah NU, ya NU kultural, walau tidak berKARTANU, dan berorganisasi ke-NUan sekalipun.

Jadi menurut Saya kata dakwah ini tidak harus menempel pada setiap aktivitas dakwah yang sedang dikerjakan. Cukuplah amalan yang dikerjakan itu bernilai kebaikan, itu sudah menjadi dakwah walau kata dakwah tidak disebutkan. Kalaupun disebutkan pun tidak menjadi masalah. Cuma jangan sampai kita terjebak pada tata formalitas belaka.

Saya jadi ingat cerita entah Mbah Hasyim Muzadi, atau Gus Dur yang diceritakan. Atau cerita ini bener-bener ada atau hanya sekedar lelucon. Saya juga tidak mengecek kebenaran cerita ini.

Saat itu beliau sedang mengantar tamu dari luar negeri yang mengajak berkeliling kota meninjau lembaga  pendidikan milik NU. Saat perjalanan ternyata yang banyak ditemui adalah lembaga milik Muhammadiyah. Lalu si tamu tadi bertanya, "Sejak tadi yang banyak Saya lihat kok lembaga milik Muhammadiyah ya, pak?"
Beliau dengan ringan pun menjawab, "Iya, yang tidak ada tulisannya itu milik NU semua." Jawabnya santai sambil tertawa. Ah, bisa-bisa saja.

Bojonegoro, 18/01/2021