Minggu, 03 April 2022

Aku Ingin Menjadi Sarjana

Aku Ingin Menjadi Sarjana
Oleh: Joyo Juwoto

Matahari pagi ini terlihat suram, ia tampak malas menebar cahaya keemasannya pada sudut-sudut halaman rumahku, hingga basah daun dan rumput sisa embun semalam masih terlihat berkilauan. Suasana tampak hening, yang terdengar hanya sesekali suara kokok ayam jantan yang terdengar dari kejauhan. 

Pagi itu adalah hari kelulusanku dari sekolah berseragam abu-abu. Iya, aku sebentar lagi akan menanggalkan seragam itu, seragam yang mengukir banyak kenangan dan kisah indah semasa aku bersekolah. Seragam itu akan menjadi salah satu monumen sejarah bagi perjalanan hidupku.

Seragam itu merekam banyak hal yang membuatku tersenyum bahagia, kadang juga berlinang air mata duka, masa yang rasa-rasanya tidak mungkin terulang kembali, masa yang sangat indah untuk dikenang dan mustahil untuk dilupakan.

Jika hari kelulusan banyak dirayakan oleh teman-temanku dengan bunga, foto-foto, dan kebahagiaan, maka itu tidak berlaku untukku. Justru aku dirundung kesedihan yang tiada tara, bahkan aku seperti tidak ingin hari kelulusan itu ada. Sebab bagiku kelulusan ini memupus masa bahagiaku, masa-masa menuntut ilmu. 

Aku masih bermalasan di kamar, tidak segera beranjak untuk pergi ke sekolah dan merayakan kelulusan bersama teman-temanku. Aku yakin, Teman-temanku meneguk banyak kebahagiaan dan keceriaan, mereka akan segera lulus dan menggunakan toga kebesaran. Sedang diriku entah apa yang harus aku rayakan? Atau justru ini adalah perayaan kesedihan hatiku. Entahlah. 

Satu minggu yang lalu saat pengumuman kelulusan, teman-temanku telah menyusun rencana akan ke mana mereka setelah lulus, ada yang ke UI, UGM, ITB, UMM, dan seabrek kampus beken lainnya di dalam negeri, bahkan ada pula yang akan melanjutkan studinya di luar negeri. 

Kebanyakan teman-temanku orangtuanya memang tergolong mampu, sehingga ketika anaknya menginginkan kuliah ke mana saja, tiada masalah. Orang tua mereka akan mengabulkannya. Sungguh sangat berbeda dengan apa yang kurasa. 

Diriku ini yang bukan siapa-siapa, tak punya rencana, bahkan tidak berani untuk merencanakan akan ke mana  setelah lulus nanti. Kusadari kondisi kedua orang tuaku yang tak akan mengijinkan anaknya  melanjutkan kuliah, jangankan untuk kuliah, bisa lulus SMA saja sudah suatu anugerah yang tak terhingga. Orang tuaku hanyalah buruh tani, kuterima dan kusadari itu sepenuh hati.

Tapi bagaimanapun jiwaku tetap meronta, ingin rasanya seperti yang lainnya, lulus SMA bisa melanjutkan untuk kuliah ke Perguruan Tinggi yang kudamba dan kucita-citakan. Aku ingin kuliah di fakultas pertanian. Aku punya keinginan menjadi sarjana pertanian.

Orang-orang di desaku mayoritas adalah petani, semua menggarap sawah dan ladang, hanya saja mereka mengerjakannya sekenanya, tanpa ilmu akademisi, hanya berdasarkan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun. Mereka tidak mengenal basic ilmu pengetahuan tentang pertanian, mereka hanya mengandalkan otodidak dan langsung terjun menggarap sawah dan ladang. 

Aku memimpikan bisa mengubah desaku dengan belajar ilmu pertanian, sehingga kelak ketika aku selesai kuliah bisa mengabdikan diri di dunia yang aku cintai, dunia bercocok tanam. Ah, mustahil rasanya, dan cita-citaku hanyalah impian belaka yang tak mungkin terwujud di dunia nyata.

"Karim, ayo nak segera sarapan, nanti kamu telat lho ke sekolah!" Teriak simbokku dari luar kamar membuyarkan lamunanku. 

"Iya mbok, aku segera sarapan." Jawabku singkat. 

Aku pun menuju ruang makan, tepatnya sebuah meja kayu dengan dingklik dari bambu. Di atas meja sudah disiapkan sarapan kesukaanku. Nasi anget dengan sambal secobek, dan tidak ketinggalan lauk tempe goreng. Aku segera sarapan, sebelum jari beranjak siang.

"Mbok, nanti di sekolah ada pengumuman kelulusan," Ucapku singkat di sela-sela diriku menyendok nasi. 

"Iya nak, itu artinya sekolahmu segera selesai, dan kamu bisa membantu simbok bekerja pada Juragan Bandi." Jawab simbokku, sambil menunggui  aku sarapan. 

"Nanti gantian yang sekolah, adikmu ini juga ingin melanjutkan ke SMP di kota, jadi kamu bisa bantu simbok bekerja untuk menyekolahkan adikmu."

"Iya, mbok!." Jawabku singkat. 

Memang begitulah yang diharapkan oleh simbokku, saya tidak bisa menyalahkan beliau, tidak sampai hati, apalagi sampai menuntut simbokku yang seorang diri membesarkan kami berdua anak-anaknya, dan kemudian juga menuruti keinginan diriku yang memang tidak seharusnya itu. Akun sungguh tidak tega, dan bukankah anak yang baik adalah anak yang taat dan berbakti kepada orang tuanya, khususnya ibunya? Begitu yang diajarkan oleh guru agamaku. 

"Kamu kelihatannya tidak bahagia nak mau lulus? Apakah kamu masih memendam keinginanmu untuk kuliah? Tanya simbokku lagi. 

Nasi terakhir dalam sendokku urung ku masukkan ke dalam mulutku. Aku terdiam mendengar pertanyaan simbokku itu. Memang dulu aku sempat cerita kepada simbokku tentang keinginanku untuk kuliah, tapi itu sudah sangat lama. Itupun saya omongkan sambil lalu saja, tidak kusangka simbok masih mengingatnya.

"Emm, tidak mbok. Justru aku sedang berfikir setelah lulus aku kerja apa biar bisa membantu simbok untuk membantu sekolahnya adik Kirom." Jawabku sekenanya. 

Benarkah itu nak? Kamu tidak sedang membohongi simbokmu bukan? Selidik simbok sambil memandangi diriku. "Simbok kepengin mengkuliahkanmu nak, tapi bagaimana lagi, keadaan kita seperti ini." Lanjut simbokku kelihatan sedih. Wajahnya menjadi sendu. 

Aku hanya terdiam, kemudian sendok terakhirku akhirnya kumasukkan ke dalam mulutku. Simbok juga membisu. Aku jadi merasa sedih pula jika melihat simbokku sedih.

"Jangan sedih mbok, aku akan membantu simbok mencari uang, nanti biar Dik Kirom yang melanjutkan kuliah, setidaknya nanti mimpiku aku titipkan pada Kirom. Dia harus lulus sekolah dan melanjutkan kuliah."

"Maafkan simbokmu ya nak? Simbok tidak bisa menuruti kemauanmu. Semoga engkau besok menjadi orang sukses walau tidak kuliah."

"Gak papa kok mbok, belajar tidak harus kuliah, sebagaimana nyang selalu simbok wejangkan, di manapun kita bisa belajar, kepada apapun kita bisa belajar, belajar tidak hanya di bangku sekolah atau kuliah saja." Ucapku menirukan nasehat simbokku.

Simbok bekerja seorang diri sebagai buruh tani, bapakku telah pergi semenjak adikku belum genap berusia satu tahun. Bapakku yang juga seorang buruh tani telah pergi meninggalkan kami bertiga. Beliau sakit paru-paru. Faktor ekonomi menyebabkan kami tidak bisa mengobatkan bapak dengan layak, hingga beliau meninggal dunia. 

Sebagai anak sulung tentu aku punya kewajiban membantu simbokku untuk mencari nafkah. Juga membantu adikku untuk bisa bersekolah. Walau diriku hanya mampu menamatkan SMA, rasa-rasanya saya cukup bangga dan tidak perlu menyesal. Kukubur dalam-dalam impianku untuk kuliah, demi baktiku kepada sombokku. Aku tidak ingin beliau memikul beban yang membuat pundaknya tak mampu untuk menopangnya.

"Baiklah mbok, saya berangkat sekolah dulu, nanti pengumuman kelulusan, doakan semoga anakmu bisa lulus dengan nilai yang memuaskan."
***

Hari ini aku diwisuda sebagai sarjana S1 jurusan  pertanian di kampus impianku. Aku telah membukatkan tekad untuk mengabdikan ilmu yang kudapat untuk desaku. Walau sebenarnya sebagai lulusan terbaik di kampus, ada tawaran bekerja di kantor kementrian pertanian, namun tawaran yang menggiurkan itu kutolak dengan halus. Aku bertekad akan memajukan desaku lewat dunia pertanian. 

Masih kuingat empat tahun yang lalu, saat kelulusan di SMA, saya dengan ikhlas mengubur mimpiku untuk kuliah. Namun keajaiban itu datang, Pak Lurah memintaku kuliah, beliau saat itu yang baru saja dilantik sebagai kepala desa punya program untuk mencetak sarjana di desa yang dipimpinnya. Kebetulan beliau mencari lulusan  terbaik tingkat SMA, dan puji Tuhan saat pengumuman kelulusan namaku bertengger diurutan  pertama. 

Aku menangis haru, apalagi saat simbokku maju ke depan menemani diriku foto. Simbokku pun berlinangan air mata bahagia, saat MC membacakan namaku sebagai lulusan terbaik di kampus. Aku pun bersujud luruh penuh syukur, kemudian diriku tenggelam dalam pelukan simbokku. Kami berdua menangis sesenggukan. 

Jika tangis simbokku empat tahun yang lalu saat kelulusanku adalah tangis kepedihan, hari ini tangis simbokku adalah tangis kebahagiaan. Aku pun bahagia, impianku kini menjadi nyata. 

Air mata simbokku dan air mataku jatuh ke lantai, membasahi bumi pertiwi. Air mata itu menjadi saksi akan janji bakti, janji suci untuk berbakti kepada tanah tumpah darahku, tanah yang kucintai dengan segenap jiwa dan raga. Tanah yang selama empat tahun kutinggalkan, dan kutimbuni dengan kerinduan-kerinduan yang mendalam. 

"Nak, apa yang kau cita-citakan telah terkabul, jangan lupa tugas beratmu menanti, membangun desamu dengan ilmu yang telah engkau dapatkan di bangku kuliah."

Begitu pesan simbokku, walau lirih pesannya cukup jelas merasuk di sanubariku. Pesan itu menjadi bara yang selalu berkobar di dadaku, menjadi palu godam yang menggetarkan jiwaku, bahwa ada tanggungjawab besar yang harus kuemban. Tanggung jawab sebagai anak yang ingin berbakti kepada simboknya, tanggung jawab sebagai anak desa yang ingin mengabdi kepada ibu bumi pertiwinya. 

Bangilan, 14 Maret 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar