Minggu, 19 September 2021

Sowan Mbah Yai Hamid Pasuruan


Sowan Mbah Yai Hamid Pasuruan
Oleh: Joyo Juwoto

Sepulang dari puncak Penanjakan Bromo jalur Tosari Pasuruan, kami serombongan mengagendakan untuk sowan ziarah ke maqam mbah Yai Hamid yang berada di lingkungan Masjid besar Pasuruan dekat alun-alun.

Suul adab rasanya bagi kami, jika tidak ziarah ke maqam mbah Hamid, sedang kami sedang berada di wilayah yang dekat dengan beliau. Lagi pula biasanya perjalanan santri itu kalau tidak pergi haji, sowan kiai, ya menziarahi maqamnya para wali. Ngalap berkah.

Mbah Hamid Pasuruan terkenal sebagai waliyyullah, sayang Saya sendiri tidak pernah bertemu beliau secara fisik, Saya lahir 3 tahun sebelum mbah Yai Hamid Pasuruan pulang keharibaan Allah Swt.

Pertama kali Saya kenal nama Mbah Yai Hamid dari Mbah Yai Saya. KH. Abd. Moehaimin Tamam. Mbah Yai bercerita saat beliau sowan ke Pasuruan. Kisah ini Saya tulis dalam buku Memoar Santri mbeling, yang Saya tulis bertiga dengan teman Santri di pondok Assalam.

Dari buku yang kemarin Saya beli di toko dekat maqamnya Mbah Hamid yang berjudul: "Percik-percik Keteladanan Kiai Hamid" Saya banyak mendapati hikmah dan Keteladanan dari kisah perjalanan beliau, mulai dari masa kecil hingga beliau meninggal dunia.

Mbah Hamid muda ternyata seorang yang keras dan pemberani, beliau sering konfrontasi dengan etnis Cina yang memang banyak dijumpai di Lasem, tempat beliau tinggal. Demikian menurut shohibul hikayat dalam buku tersebut.

Mbah Hamid muda pernah nyantri ke berbagai Pesantren, seperti di Kasingan Rembang, Talangsari Jember, dan paling lama beliau mondok di Pesantren Tremas, Pacitan di bawah asuhan KH. Dimyathi.

Dari Pesantren Termas inilah yang menurut penulis buku banyak mempengaruhi kepribadian Mbah Hamid. Saya rasa ini cukup beralasan, karena Mbah Hamid muda yang nama aslinya Abdul Mu'thi menghabiskan masa belajarnya di Pesantren legendaris ini. Mbah Hamid mondok di Termas kurang lebih 12 tahun.

Sifat beliau yang dalam tanda kutip mbeling saat usia remaja ternyata sangat kontras dengan kehidupan beliau saat telah menapaki jenjang pernikahan. Beliau terkenal sebagai sosok yang sangat sabar, lembut, dan penuh kasih sayang.

Sebagaimana yang didawuhkan Gus Baha' ada wali lewat jalur keilmuannya, ada wali jalur riyadhohnya, dan ada pula wali lewat jalur istrinya. Maksudnya lewat jalur kesabaran dalam menghadapi perilaku istri yang kadang menjadi ujian bagi sang wali tersebut.

Menilik hal tersebut, Mbah Hamid ini wali dari semua jalur. Beliau seorang yang alim, suka riyadhoh, dan sangat sabar dengan istri beliau yang usianya terpaut sekitar 11 tahun. Tidak heran jika beliau dikenal sebagai wali yang memiliki banyak karomah. Mbah Hamid juga terkenal sebagai Kiai yang sangat dermawan. Banyak orang yang mengisahkan akan hal ini.

Ada yang sowan kepada Mbah Hamid kemudian mendapatkan sangu uang beberapa rupiah, dan si tamu tadi didoakan agar bisa naik haji. Entah bagaimana prosesnya si tamu segera bisa berangkat haji setelah sowan kepada Mbah Hamid. Padahal uang sangu dari Mbah Hamid masih utuh disimpan di lipatan pecinya. Kisah ini Saya dengar dari Mbah Yai Saya.

Saya tak hendak mengisahkan banyak hal tentang Mbah Hamid, selain karena keterbatasan Saya mengenai beliau, juga karena Mbah Hamid di mata umat ibarat samudera, yang tak akan habis untuk kita timba air hikmah dan keteladanan dari beliau. Saya saat ini hanya merasa senang bisa sowan dan ziarah ke maqam beliau. Semoga kita semua bisa meneladani kepribadian dari sosok Kiai yang luar biasa ini. Aamin.

Bangilan, 19/09/2021

Sabtu, 18 September 2021

Menuju Puncak Penanjakan Gunung Bromo

Menuju Puncak Penanjakan Gunung Bromo
Oleh: Joyo Juwoto

Entah saya mulai dari kelokan yang mana, saat akan aku tuliskan kisah perjalananku serombongan menuju puncak Penanjakan Gunung Bromo. Perjalanan yang tentu sangat menyenangkan. 

Saya tak menghitung berapa jumlah kelokan yang harus ditempuh sebelum sampai pos dusun Tlogosari desa Tosari Pasuruan. Yang pasti ada dua kelokan yang Saya ingat, kelokan ke kiri, dan ke kanan, cuma itu diulang-ulang entah berapa kali. Soalnya bisa pusing jika Saya hitung jumlahnya. 

Itu belum kelokan yang harus kami tempuh via Jep dari homestay menuju puncak tujuan perjalanan kami di beberapa pos wisata. Yang paling ekstrim itu jalur dari lautan pasir. Tanjakannya membuat jantung berdebar. 

Awalnya kami serombongan memilih jalur Tumpang Malang, karena suatu hal kami pindah jalur lewat Pasuruan. Wah kayaknya tepat bisa sekalian sowan dan berziarah ke maqam mbah Yai Hamid Pasuruan. Mungkin nanti akan Saya tulis sendiri tentang ziarah saya ke beliau. 

Own ya, kami berangkat dari rumah sekitar jam 16.00 WIB,   dua mobil meluncur memecah jalanan yang cukup gerah, walau hari sudah sore. Masuk kota Pasuruan via jalur tol sudah cukup malam, hingga kami sampai di penginapan Tosari kurang lebih pukul 23.00 WIB. 

Di Tosari cukup dingin bagi kami yang terbiasa di tinggal di Tuban yang memiliki suhu udara lumayan panas. Kami harus menunggu pemberangkatan sekitar pukul tiga dini hari. Ya, kami menunggu di penginapan dengan istirahat  dalam balutan jaket tebal. Tidur.

Jam tiga pagi kami dibangunkan guide yang akan membawa kami ke puncak Bromo. Kami pun mempersiapkan diri. Ada beberapa lokasi yang akan dikunjungi, diantaranya puncak Penanjakan untuk melihat matahari terbit, lautan pasir, padang savana bukit Teletubbies, dan kawah Bromo.

Setelah rombongan siap, dua jep meluncur membawa kami ke puncak. Jalannya seperti di awal Saya tuliskan, berkelok ke kiri dan ke kanan berulang-ulang entah berapa kali hitungan. Sesampainya di puncak hari masih gelap. Kami menunggu matahari terbit dengan menghabiskan segelas kopi, ada juga yang memilih jahe susu.

Saya sendiri menyeruput secangkir kopi sambil menulis puisi, untuk mengabadikan perjalanan Saya ke puncak Bromo. Saya jadi ingat Soe hok gie yang menulis puisi saat muncak ke gunung yang judulnya Mandalawangi-Pangrango. Puisinya Soe Hok Gie bagus sekali, Saya suka.

Ini bait pertama puisi Soe Hok Gie:

Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
... 

Bagi Soe Hok Gie naik gunung adalah sarana untuk belajar dan menempa diri, jadi bukan sekedar jalan-jalan menghilangkan stres dan kebosanan. Saya sendiri belum pernah naik gunung yang berjalan kaki, suatu saat Saya ingin mencoba. 

Tentu naik gunung era Soe Hok Gie dan era sekarang sudah jauh berbeda medannya, tapi setidaknya spiritnya harus tetap dijaga. Naik gunung guna belajar dan menguji keteguhan hati. Bukan sekedar jalan-jalan.

Kembali ke lokasi matahari terbit, saat itu sudah banyak orang yang akan melihat matahari terbit di puncak Penanjakan. Ya, sekitar 30an pengunjung, maklum masa pandemi.

Setelah shubuh kami pun bergabung ke lokasi matahari terbit. Saya berfikir tentang matahari terbit yang banyak ditunggu orang, secara filosofis matahari terbit adalah simbol hilangnya kegelapan dan terbitnya sinar harapan. Meminjam istilah Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang."

Setelah matahari naik sepenggalah, kami turun ke lautan pasir. Di bawah gunung batok yang berada di kawasan pegunungan Bromo. Dari kisah lautan pasir inilah, menurut tutur masyarakat menjadi salah satu legenda tentang Rara Anteng dan Joko Seger. Hal ini bisa dibaca tentang legenda Gunung Batok. 

Dari lautan pasir ini,. Kami meluncur sampai di savana rerumputan yang lebih dikenal dengan nama bukit Teletubbies. Sayang, waktu itu tidak ada boneka lucu yang terkenal dengan slogan "Berpelukan" itu.

Setelah puas foto-foto, kami pun bersepakat kembali ke homestay. Ada satu paket yang kami tinggalkan yaitu kawah Bromo. Untuk menuju ke sana rasa-rasanya sudah tidak ada tenaga, akhirnya kami pun memilih untuk pulang saja. 

Bangilan, 18/09/2021

Jumat, 17 September 2021

Derai Cemara di Puncak Bromo

Derai Cemara di Puncak Bromo
Oleh: Joyo Juwoto

Siluet wajahmu kueja sepanjang perjalanan 
Dan dalam deretan bayang-bayang cemara
Kurindui rinai senyummu dalam buai cinta yang syahdu
Mendekap  dinginnya malam yang menusuk kalbu

Kekasihku adalah pohon-pohon cemara
Yang tercipta dari kerling matamu, yang menyimpan misteri
Dan senyapnya kegelapan yang menyelimuti hati

Irama degup jantungmu masih kudengar diantara kelok jalan yang menanjak terjal
Deru mobil bagai dengus nafasmu yang berbisik lembut di lembah dadaku

Bromo, tebing dan jurangmu kujelajahi, dan kupahatkan kenangan sepanjang waktu, di bongkahan batu-batu keabadian
Desau dan risau anginmu membisik pada cemara yang menari di mabuk asmara

Bromo, wajahmu bukan hanya sekedar keindahan belaka
Ada gelap di malammu yang bisu
Ada terjal di Puncakmu yang kelabu
Ada dingin di lembah ngaraimu yang beku
Dan derai cemaramu merangkai kidung asmara di puncak keabadian cinta 

Bromo,  kenanganku padamu abadi, terpatri dalam bait-bait puisi ini. 

Puncak Penanjakan, 17/09/2021

Rabu, 08 September 2021

Hari-hari Mochi Pergi

Hari-hari Mochi Pergi
Oleh: Joyo Juwoto

Semenjak mochi pergi ada yang kurang di rumah kami, ada yang hilang dari hati kami. Bagaimanapun juga ia pernah ada dan mengisi hari-hari kami sekeluarga. Kami merasa kehilangan tanpa adanya Mochi. 

Seperti yang saya singgung ditulisan pertama, mochi bukanlah kucing yang suka heboh. Ia hampir tidak pernah bersuara, sampai saat kawin sekalipun. 

Tiap saya pulang ke rumah, mochi selalu membuntuti saya sampai ke dapur, ia biasanya saya bawakan pur kucing, selain tiap pagi saya belikan ikan asin di pasar Bangilan. 

Di rumah kami anak mochi Ada 8 ekor, seharusnya ada 11 ekor. Anak periode pertama di rumah tinggal tiga, sudah besar-besar. Yang tiga ekor diadopsi teman.

Anak mochi yang masih masa menyusui ada lima ekor, usianya belum genap sebulan. Karena mochi pergi meninggalkan kami dan anak-anaknya, praktis kami lebih repot dari hari biasanya. 

Kami harus berbagi mengasuh lima anak mochi yang belum bisa makan dan minum. Yang paling repot tentu istriku, kadang dibantu sulungku Naila. Pagi, siang, dan sore hari harus memberikan susu untuk bayinya mochi. 

Istriku membelikan susu khusus kucing dan dotnya di toko pakan burung. Alhamdulillah anak-anak mochi sudah pintar ngedot, walau awalnya agak kesusahan.

Sekarang timbul masalah baru, biasanya mochi menjilati bulu-bulu anaknya biar bersih. Sekarang jika bulu-bulunya kotor istriku yang harus ngelap anak-anak itu. Belum lagi jika anak-anak mochi buang kencing dan pub sembarangan. 

Ini benar-benar masalah, air kencing dan kotoran anak-anaknya mochi mengotori beranda belakang rumah kami.

Tadi malam saya membuka-buka laman fb, saya ingat ada yang menjual kandang kucing ukuran  besar. Saya berfikir kayaknya cocok jika beli kandang kucing. Saya cari-cari dan ketemu, kemudian Saya WA penjualnya.

Ukuran kandangnya tinggi 110 cm, panjang 100 cm, dan lebar 60 cm, Saya rasa cukup untuk rumah anak-anak mochi. Oleh penjualnya dikasih harga 370.000 dan ongkir sampai rumah 20.000. Saya pun mengiyakan. 

Barangnya katanya inden, Saya harus menunggu hari Jumat katanya mau dikirimkan. Saya berharap kandang ini menjadi jawaban dari masalah air kencing dan pub anak-anak kucing yang sembarangan.

Anak-anak mochi harus tetap kami pelihara, minimal sampai mereka bisa mangunyah makanan sendiri, kemudian ada yang mau mengadopsinya. 

Semoga kami bisa mengantarkan anak-anak mochi sampai tumbuh mandiri dan menjadi kucing-kucing yang lucu seperti mochi dulu. 

Kerek, 8/9/21

Minggu, 05 September 2021

Menulis adalah jalan sunyi namun pesannya abadi

"Menulis adalah jalan sunyi namun pesannya abadi"
Oleh: Joyo Juwoto

Sedang Quote di atas saya dapati di lembar buku kedua yang berjudul "Rekontruksi Pendidikan Nasional." Buku itu khusus dihadiahkan kepada Saya oleh penulisnya sendiri, Dr. Ngainun Naim, seorang penulis produktif yang kelahiran dari kota Tulungagung.

Membaca judul  buku yang ditulis pak Ngainun tentu kepala Saya jadi berkernyit, lidah Saya berat, otak Saya bereaksi keras, ini buku ilmiah yang bakalan menguras konsentrasi otak, dan meminjam istilah Pak Ngainun sendiri, buku ini bakalan membuat migrain pembacanya.

Membaca buku memang ada yang memiliki fungsi rekreatif, semisal membaca novel, membaca cerpen, buku traveling, ataupun membaca puisi. Ini semua adalah buku-buku yang bergenre otak kanan.

Tapi otak perlu dibiasakan juga membaca buku-buku yang serius, dan ilmiah. Semisal membaca jurnal ilmiah, agar kita terbiasa juga membaca buku yang cocok dikonsumsi otak kiri, agar seimbang diantara keduanya.

Buku Pak Ngainun ini dicetak oleh penerbit Teras yang beralamat di Jogja pada tahun 2009, namun sekilas saat Saya mengintip daftar isinya, buku ini sangat relevan dengan kondisi pendidikan kita hari ini.

Saya tak hendak meresensi buku beliau, karena Saya belum khatam membacanya. Saya baru membaca Pengantar penulis, menengok daftar isinya, dan baru mulai menapaki lembar di bab pertama.

Saya perlu pelan-pelan mengunyah buku ini, menelaahnya kembali, menikmati sensasi otak yang agak berat, dan dahi yang berkerut, Saya harus hati-hati, takut tersedak dengan bahasanya yang disajikan secara ilmiah, yang dibumbui dengan istilah yang kadang asing bagi Saya. 

Ya beginilah kalau kurang membaca buku ilmiah, susah sendiri jika menemukan kalimat-kalimat asing, sampai perlu membuka dan bertanya pada Mbah google segala. Tapi Saya bertekad mengkhatamkan buku pak Ngainun ini, bukan apa-apa, jangan-jangan buku ini bisa Saya jadikan salah satu rujukan thesis yang akan Saya tulis nanti. Tentu sangat membahagiakan sekali.

Mendapat kiriman buku dari Pak Dr. Ngainun ini adalah sebuah keberkahan tersendiri, ibarat  kejatuhan buah durian, karena buku ini Saya dapatkan secara gratis. Ada dua buku yang beliau kirim ke Saya, satunya adalah buku yang berjudul "Moderasi Beragama Dalam Bernegara" yang ditulis oleh Forum Penyuluh Agama Islam Kab. Tulungagung.

Saya tahu, pak Ngainun mengirimkan bukunya guna menyemangati Saya yang mulai kendor dalam menulis, semoga apa yang beliau usahakan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah Swt. Sebagaimana yang beliau pesankan, menulis adalah jalan sunyi namun pesannya abadi, semoga bisa Saya lampaui. Aamin. 

Bangilan, 05/09/21

Sabtu, 04 September 2021

Mochi Secepat Ini Kau Pergi.

Mochi Secepat Ini Kau Pergi.
Oleh: Joyo Juwoto

Mochi seekor kucing mixdom berwarna coklat susu yang cukup lucu, dan menggemaskan. Mochi berada di keluarga kami setahun lebih, ia cukup menghibur dan ikut mewarnai kegembiraan hati kami sekeluarga. 

Semenjak kehadiran Mochi ada hal yang berubah di rumah kami. Awalnya pasukan tikus sering mengganggu di rumah, setelah mochi menjadi satpam terdepan, tikus-tikus itu kabur entah kemana.

Padahal kami sekeluarga waktu itu sempat mentertawakan Mochi, lha kucing sebesar itu kok tidak punya suara garang. Suaranya sangat lirih dan pelan sekali. Meong.

Naila, anak sulungku adalah yang punya keinginan mengadopsi kucing yang kami dapatkan via online. Kami mengambilnya di 30KM  dari rumah tempat tinggal kami.

Setelah beberapa bulan tinggal di keluarga kami, Mochi ketemu soulmatenya, ketemu jodohnya. Seekor kucing kampung yang cukup gagah berwarna putih, hitam, berpadu warna coklat.

Tidak seperti perkawinan ala kucing  yang biasa saya kenal, yang saling berkejaran di atas atap rumah, saling mengeong, mendengus cukup keras, dan menghebohkan seisi rumah. Mochi menjalani masa birahinya dengan cukup tenang dan khidmat, hingga kami tidak mengenali kalau Mochi ternyata sudah hamil.

Kami bahagia, anak-anak senang, Mochi akan segera melahirkan. Setelah beberapa waktu tibalah saatnya Mochi melahirkan. Alhamdulillah Mochi melahirkan 6 ekor anaknya yang lucu-lucu. Ada yang berwarna hitam penuh, coklat cerah, dan ada yang berwarna hitam bercampur putih. Menggemaskan sekali.

Mochi ini termasuk ibu yang baik dan perhatian kepada anak-anaknya. Ketika usia anak-anaknya sudah mulai mendekati masa bisa makan, Mochi sering pulang dengan membawa anakan tikus hasil berburunya. 

Nalurinya mengatakan bahwa anaknya sudah waktunya belajar makan sendiri. Tapi Mochi ini sangat sayang anaknya, dia masih rela dan mau menyusui walau anaknya sudah besar dan bisa makan sendiri. Saya jadi terharu melihat Mochi yang kelihatan kurus karena menyusui 6 anaknya yang seharusnya sudah disapih itu. 

Seiring berjalannya waktu, anak-anak Mochi makin hari makin besar, Otomatis di rumah kami sekarang ada 6 ekor kucing. Kami cukup kuwalahan. Akhirnya sesuai kesepakatan dengan anak-anak, 3 kucing akan kami hibahkan kepada orang lain.

Di rumah sekarang tinggal Mochi dan tiga anaknya. Oleh Naila, Nafa, dan Ninda, anak Mochi dipanggil Si Iyenk, Si Oyenk, dan Enthut alias Caca Marica. Mochi dan ketiga anaknya menjadi primadona di keluarga kami.

Seperti kehamilan di tahun pertama yang sunyi, tiba-tiba Mochi sudah hamil lagi. Ia mengandung anaknya untuk periode kedua. Tepat tanggal 17 Agustus 2021 Mochi melahirkan 5 ekor bayi yang lucu. Alhamdulillah tepat bertepatan dengan HUT RI Ke-76.

Masa kegembiraan itu tidak berlangsung lama, pagi tadi Mochi pulang ke rumah kondisinya kelihatan lemah. Ia ambruk di ruang tengah rumah kami. Anak-anaknya tidak tahu kalau ibunya hari ini telah tiada. 

Saya sudah mengusahan apa yang Saya bisa. Mochi Saya beri pertolongan dengan meminumkan air Kelapa muda. Ia muntah, badannya lemas. Kelihatannya racun telah merayap sampai di jantungnya. Mochi akhirnya pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan anaknya yang baru berumur 2 mingguan. 

Terima kasih Mochi pernah hadir dan memberikan kegembiraan untuk kami, jangan khawatir kami akan mengurus anak-anakmu, dan mengantarkannya menjadi kucing yang lucu seperti dirimu dulu. Semoga. 😭😭

Bangilan, 04 September 2021