Jumat, 22 Juli 2022

Puisi dalam Kenangan

Puisi dalam Kenangan
Oleh: Joyo Juwoto

Saya menyukai puisi sejak remaja usia anak MTs, entah karena era itu adalah eranya sandiwara radio Tutur Tinular yang dalam beberapa episodenya menyiarkan seorang pendekar yang pandai bersyair, yaitu Pendekar Syair Berdarah. Saya cukup terpukau dengan syair-syairnya yang selalu dilantunkan sebelum ia membinasakan musuh-musuhnya. Lirik syairnya cukup indah walau diksinya mengerikan dan beraroma kematian. 

“Aku datang dari balik kabut hitam
Aku mengarungi samudera darah
Akulah pangeran kegelapan
Kan kuremas matahari di telapak tanganku
Kan kupecahkan wajah rembulan, pecah terbelah
... 

Selain diksinya yang indah, saya juga suka Arya Dwipangga ini ketika melantunkan syairnya, suaranya khas. Jadi selain mengidolakan Arya Kamandanu sebagai tokoh protagonis, saya juga mengidolakan tokoh antagonisnya karena syair-syairnya yang cukup mempesona menurut saya. 

Selain menyukai syair-syair dalam sandiwara radio tutur Tinular tersebut, saya juga pernah membaca puisi yang cukup membekas di dalam dunia kenangan. Waktu itu saya membaca sebuah puisi yang sangat dekat dengan dunia di mana saya tinggal. Puisi itu judulnya perahu kertas sama Sihir Hujan karya sang Sapardi Djoko Damono.

Perahu kertas itu seakan mewakili kegemaran saya dan kegemaran anak kecil bermain perahu yang terbuat dari lipatan kertas. Saya sering membuat perahu kertas yang kemudian saya larung di sungai di belakang rumah saya. Saya berimajinasi suatu saat akan pergi jauh menaiku sebuah perahu melanglang buana mengejar mimpi dan angan-angan.

Dalam bait puisi Sapardi itu juga mengingatkan kisah perahu Nabi Nuh, guru ngaji saya di langgar desa berkisah tentang banjir bandang yang melenyapkan kehidupan, yang selamat adalah para penumpang perahu Nuh, yang kemudian perahu itu terdampar di sebuah bukit. 

"Akhirnya kaudengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah
Banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit"

Puisi telah memantik imajinasi saya sebagai anak desa yang hidup di tepi sungai, dan juga mengingatkan aktivitas mengaji di langgar kampung saat itu. Ternyata kisah-kisah dan puisi mempunyai dampak yang melekat dalam hati dan kenangan yang tak pudar oleh waktu. 

Untuk puisi Sapardi yang berjudul Sihir Hujan cukup membangkitkan kenangan saya di musim penghujan di kampung saya. Perhatian sajaknya yang cukup sederhana tepi mempesona:

"Hujan mengenal baik pohon, jalan,
dan selokan – suaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu
dan jendela. Meskipun sudah kaumatikan lampu."

Diksinya tidak berat, apa adanya dan sederhana, tetapi sajak itu menjadi semacam hujan kenangan yang tak pernah usai dalam diri saya. Ketika membaca sajak itu yang tergambar di kepala saya adalah pada saat hujan saya sekeluarga berkumpul di rumah, ada bapak, ada emak dan adik seorang. Saat musim hujan udaranya cukup dingin, apalagi genting rumah banyak yang bocor, bapak dengan sikap membenahi kebocoran genting rumah. Sedang saya tiduran di ranjang bambu, berselimut tikar pandan menunggu hujan reda. Emakku biasanya menggoreng jagung untuk cemilan di nanangan (tembikar dari tanah liat bekas wadah ikan asin). Itulah bayangan yang muncul saat hujan atau saat membaca sihir hujannya Sapardi Djoko Damono. 

Bait-bait puisi dari pendekar syair berdarah, perahu kertas, dan juga sihir hujan berkelindan dalam imajinasi seorang anak seperti saya saat itu, ada getar kebahagiaan ketika saya membaca puisi, hingga saya mencoba-coba menulis puisi, namun saya lupa apakah saya berhasil menulis puisi atau tidak.

Walau saya belum tahu benar apa itu puisi, namun saya sudah bisa menikmati dan merasai keindahan dari sebuah puisi, setidaknya puisi itu membangkitkan beribu kenangan. Di sekolah memang diajari karya sastra puisi tapi hanya sekedar retorikanya saja, bahwa puisi begini dan begitu, normatif dan deskriptif saja, tidak lebih. 

Itu beberapa kenangan saya tentang puisi yang pernah mampir di hati, sebenarnya masih banyak kisah lainnya, lain waktu jika berkesempatan akan saya tuliskan. Lalu adakah puisi yang membuatmu terkenang  kawan? 

Bangilan, 22 Juli 2022

1 komentar: