Kamis, 07 Februari 2019

Sejarah Komunitas Caping Gunung

*Sejarah Komunitas Caping Gunung*
Oleh: Joyo Juwoto

Ada icon baru yang muncul untuk sebuah nama, caping gunung. Masyarakat pedesaan era 90-an dipastikan sangat akrab dan mengenal baik dengan lagu Caping Gunung yang diciptakan oleh Ki Gesang, lambat laun lagu ini tidak begitu moncer di jagad permusikan kita.

Saya di sini tidak akan membahas lagu caping gunung yang sudah jarang kita dengar, tapi di sini saya ingin mengurai icon baru caping gunung yang digagas oleh Kiai Budi Harjono pengasuh pondok pesantren Al Islah Meteseh, Tembalang, Semarang.

Tulisan saya ini terkait dengan lorong-lorong waktu saat saya sowan Kiai Budi di pondok Al Islah Meteseh, Tembalang tempo hari. Dalam obrolan kami bersama Kiai Budi di ruang ndalem,  beliau banyak bercerita, dan cerita itu saya eksplorasi menjadi apa yang saya sajikan kepada pembaca.

Berbicara mengenai Kia Budi memang tidak lengkap rasanya jika tidak membahas tema caping gunung dengan segala filosofinya, karena beliau adalah icon dari simbol caping ini. Beruntung saat saya sowan Kiai Budi bercerita mengenai asal-usul terbentuknya komunitas caping gunung yang beliau inisiasi.

"Caping gunung ini sangat erat kaitannya dengan sosok seorang ibu, dari beliaulah ide ini muncul. Ibu saya, ibu Rukhanah adalah petani biasa, yang menggarap sawah dan ladangnya seperti petani-petani desa kebanyakan."

Cerita ini sepertinya sudah dituliskan dalam cerpen yang pernah diunggah di laman Facebook, sayang saya lupa judulnya dan tak cari namun saya tidak menemukannya. Namun tidak ada salahnya saya mengulasnya kembali sebagaimana yang Kiai Budi ceritakan saat saya sowan ke sana. Begini kisahnya:

Pada suatu pagi yang mendung, saat diriku masih tertidur pulas, petir menyambar cukup keras hingga membangunkan tidurku. Aku mencari ibuku yang pada saat itu sedang ngggecrek jagung untuk sarapan pagi kami. Melihat kedatanganku, ibuku memeluk diriku sambil berkata:

"Jangan takut nak, sini ibu gendong, tidurlah kembali" kata ibuku menenangkan diriku yang tampak ketakutan."

Aku pun tertidur kembali dalam gendongannya ibu. Sesudah nggejrek jagung ibu pun memasaknya hingga menjadi karon, sebelum menjadi nasi jagung. Ibu tahu, karon adalah kesukaan anak-anaknya, termasuk diriku.

"Nak, bangunlah, ini karonnya sudah matang" kata ibu lirih membangunkan tidurku. Diriku pun diturunkan dari gendongannya.

"Nak, sarapanlah yang kenyang, ibu harus ke sawah untuk memanen padi yang mulai menguning" kata ibuku kalem sambil beliau setengah berdiri mengelus kedua pundakku.

Aku pun berlari ke dapur, mengambil caping usang yang biasa dipakai ibu ke sawah. Aku pakaikan caping itu sambil aku pandangi bola mata ibu yang penuh cinta. Hatiku bergetar terkena pancaran kasih sayang dan cinta beliau."

"Dahsyat! Kata Kiai Budi memotong ceritanya, kami yang berada di ruangan itu tertegun, semua terdiam mendengarkan kisah dari Kiai Budi. Saya sendiri seakan melayang melewati lorong-lorong waktu menuju masa silam, masa di mana saya juga melewati masa sebagaimana yang dialami oleh Kiai Budi.

Dari kisah Kiai Budi memasangkan caping kepada ibunya, Ibu Rukhanah, kemudian dari sumber pancaran cinta dan kasih sayang dari bola mata ibundanya tercinta inilah Kiai Budi menebar cinta ke segenap semesta, dan dari peristiwa sakral ini terbentuklah komunitas caping gunung, komunitas yang berusaha menyambungkan cinta kasih kepada sesama manusia. Salam cinta.

*Joyo Juwoto,  santri pondok pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, penulis buku "Dalang Kentrung Terakhir"*

1 komentar: