Sabtu, 23 Januari 2021

Mengantar Bapak Berobat Mata

Mengantar Bapak Berobat Mata
Oleh: Joyo Juwoto

Bapak sakit. Matanya berkabut, dua-duanya. Untuk melihat samar-samar, masih bisa berjalan tanpa dituntun. Praktis beliau tidak bisa berladang dan bersawah seperti biasanya. Walau beliau masih saja pergi ke ladang, hanya untuk tidur di tempat kesukaannya. Di gubug di tegalan.

Tentang aktivitas bapak Saya bersawah dan berladang, Saya pernah menuangkannya dalam sebuah esai yang berjudul "Bapakku Seorang Marhean" Pada akhirnya tulisan ini Saya gubah menjadi sebuah cerpen. Entahlah, esai rasa cerpen atau cerpen yang amburadul. 

Hampir satu tahun beliau sakit Mata. Sudah berobat tapi belum juga sembuh. Diperiksakan di dokter spesialis Mata oleh adik Saya, dokter menyuruh untuk operasi Mata. Bapak menderita katarak, tapi beliau tidak mau operasi. 

Makin lama mata bapak makin parah. Makin gelap, tapi masih bisa melihat samar-samar dengan bantuan sinar sentolop. Tapi gerak beliau semakin terbatas, tidak bisa lagi pergi ke gubug tempat teristimewanya. 

Bapak nyerah. Beliau mau dioperasi asal dengan duwitnya sendiri. Tidak mau merepotkan anak-anaknya. Ada sapi tiga ekor di rumah, itu yang akan digunakan biaya operasi. Karena tabungannya orang desa ya itu binatang ternak. Orang desa menyebutnya rajakaya. 

Dijuallah dua ekor sapi itu. Si babon dengan anaknya yang belum lepas menyusu. Usianya sekitar 4 bulanan. Nasib baik, hasil penjualan sapi itu harganya cukup tinggi 17 juta rupiah.

Uang sapi yang dipelihara bapak bertahun-tahun yang akan dipakai untuk biaya operasi. Saya pun berunding dengan adik untuk memberangkatkan bapak periksa sebelum di lakukan tindakan operasi mata.

Sebenarnya bapak punya BPJS kelas tiga dari pemerintah desa, tapi beliau tidak mau memakainya. Saya juga punya BPJS dari lembaga sekolah, bapak bisa Saya cover di sana. Lagi-lagi beliau juga tidak mau. Mindset bapak Saya masih khas orang desa jaman dahulu, jika berobat memakai BPJS jangan-jangan obatnya tidak manjur. Hanya mendapatkan obat yang ala kadarnya saja, dan tidak mendapatkan pelayanan yang manusiawi. 

Entah mindset ini sesuai dengan faktanya atau tidak, tapi begitu yang Saya dengar dari bapak. Entah benar entah tidak.

Senin tanggal 18 Januari 2020 Saya antar bapak bersama adik dan istrinya ke Bojonegoro. Ke dokter spesialis Mata yang terkenal, dr. Haryo. Beliau dokter spesialis Mata melanjutkan profesi ayahnya yang juga seorang dokter spesialis mata.

Setelah mendaftar kami mengantri cukup lama. Saat mengantri itulah Saya kemarin menulis tentang "NU dan dakwah Tahlilan dalam Meneguhkan Komitmen Kebangsaan" Tulisan yang sebenarnya lebih mengupas tentang diri Saya sendiri. 

Ya, daripada boring menunggu antrian yang cukup panjang akhirnya bisa menyelesaikan tulisan tersebut.

Mendekati jam 20.00 WIB bapak diperiksa oleh mungkin dr. Haryo. Karena Saya tidak kepikiran menanyakan siapa yang memeriksa bapak. Berbekal informasi dulu sudah pernah periksa, dokter tetep menyuruh untuk operasi. 

Mata kanan dulu yang akan dioperasi. Dokter memberikan obat tetes untuk dipakai tiga hari sebelum pelaksanaan operasi. Ada dua macam obat tetes Mata yang diberikan, wadahnya warna merah jambon dan biru langit. Masing-masing dari obat itu harus diteteskan sehari enam kali. Sesuai jadwal waktu shalat, dan sekali menjelang tidur. 

Tanggal 25 Januari 2021 senin depan bapak akan dioperasi oleh dokter yang terkenal itu. Ya, tetangga Saya banyak yang berobat dan operasi ke sana. Alhamdulillah  sembuh.

Saya berharap dan berdoa kepada Allah Swt. semoga operasi Mata yang akan dijalani bapak Saya berjalan lancar dan nantinya berbuah kesembuhan. 

Saya juga meminta dengan sangat, kerelaan dari para pembaca tulisan Saya ini, ikut mendoakan kesembuhan bapak Saya. Saya dan keluarga tidak bisa membalas apa-apa. Hanya Tuhan yang membalas kebaikan dan ketulusan doa para pembaca. Aamin. (Joyo Juwoto) 

Bangilan, 23 Januari 2021

2 komentar: