Selasa, 06 Agustus 2019

Memetik Buah Hikmah dari Novel Edelweis Tak Selamanya Abadi

Memetik Buah Hikmah dari Novel Edelweis Tak Selamanya Abadi
Oleh: Joyo Juwoto

Bian, Tya, Sisil, Budhe, Rendra, Hana, Dio, Devan, Belinda, Lexy adalah beberapa nama tokoh yang saya ingat  yang diciptakan oleh Liaiko nama Pena dari Bu Guru  MAN Mojokerto 2 Yulia Yusuf Pratitis dalam novel perdananya yang berjudul "Edelweis Tak Selamanya Abadi (ETSA)". Sedang setting tempat peristiwa dalam novel ini berada Penanjakan, Surabaya, Banyuwangi, dan Lombok.

Sebagai novel perdana ETSA menurut saya berhasil membuat pembaca kagum dan terpesona dengan gaya bahasa dari Liaiko yang sangat nyastra. Membaca novel ETSA seperti dibawa memasuki taman kata yang indah bermekaran, menyusuri sungai diksi yang airnya jernih, dan juga sekaligus memasuki dunia petualangan rasa yang mendebarkan jiwa.

Ada perasaan sedih, gembira berbunga, marah yang menggelora, jiwa pengorbanan, ketololan, cinta yang tulus, dan tentunya dari perjalanan kisah dalam ETSA ini banyak pelajaran berharga yang dapat kita petik dari alur takdir yang digariskan oleh penulis terhadap perjalanan tokoh-tokoh di dalam novel ini.

Cinta memang tidak pernah usai dikisahkan, tidak lekang dibincang, dan menjadi legenda sejak Adam dan Hawa dicipta Tuhan hingga akhirnya turun ke muka bumi. Banyak kisah mengabadi karena disentuh energi cinta, hingga kemudian diceritakan secara tutur tinular dari masa ke masa, di tulis oleh para pujangga dan menjadi legenda yang tak pupus oleh sang masa.

Agaknya kisah cinta yang rumit dari seorang Tya dan Bian  akan menjadi legenda layaknya Kisah Laila Majnun, Romeo Juliet, sampek Engtai, Hayati Zainuddin dan legenda kisah percintaan lainnya. Biar sang waktu yang akan berbicara.

Cara Mbak Liaiko menyajikan tulisan di dalam novel ETSA cukup enak untuk dibaca dan mudah dipahami. Karena disetiap paragraf dicantumkan susunan kalimat itu milik siapa. Model tulisan di novel ini seperti skenario dalam naskah drama atau film. Hal ini sangat memudahkan dalam memahami alur cerita dalam novel ETSA.

Secara umum novel mbak Lia ini sangat bagus, yang mungkin menjadi salah satu kekurangan dari novel ini adalah diterbitkan oleh "penerbit indie." Padahal ETSA memenuhi kualifikasi dan standar yang sangat layak untuk diterbitkan oleh penerbit mayor, agar jangkuan dan persebaran novel ini cukup luas. Semoga ke depan ada penerbit mayor yang meminang naskah novel romantis ini.

Sejak di awal sudah saya sebutkan bahwa gaya bahasa yang dipakai oleh mbak Liaiko cukup bagus dan nyastra banget. Pembaca akan dibawa melambung bahagia saat sang tokoh merasakan kebahagiaan, begitu juga ketika sang tokoh dilanda kesedihan, maka pembaca akan ikut merasakan pedih dan perihnya perasaan. Dalam hal gaya bahasa saya memberikan nilai mumtaz untuk penulis.

Mungkin yang menjadi kekurangan lain pada novel ini, yang saya tahu adalah penulisan kata ubah yang mendapat awalan me. Dalam kaidah bahasa Indonesia seharusnya menjadi mengubah, bukan merubah sebagaimana yang seringkali ditulis dalam novel ini. Selain itu saya mendapati kata Universitas Eiden di Belanda (hal. 136). Setahu saya yang benar adalah Leiden. Kemudian di halaman 1221 kata mungkin di tulis mungki, huruf n hilang.

Kekurangan-kekurangan dalam sebuah tulisan saya kira hal yang sangat wajar, toh pembaca bisa menguratori sebuah bahan bacaan baik dari isi maupun penulisannya. Walau tentu akan sangat bagus jika kesalahan penulisan maupun ejaan bisa diminimalisir sedemikian rupa.

Well, novel Edelweis Tak Selamanya Abadi cukup membuat saya tidak tidur hingga tengah malam, dan novel setebal 1300an halaman ini berhasil saya selesaikan sebelum denting pergantian jam berbunyi. Selamat membaca, semoga Anda bahagia.


*Joyo Juwoto, penikmat sastra.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar