Nasionalisme Ulama dan Santri Untuk Nusantara
Oleh : Joyo Juwoto*
Peran Ulama dan santri dalam memperjuangkan, membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak perlu dipertanyakan. Baik di zaman sebelum kemerdekaan hingga
zaman kemerdekaan, peran Ulama dan santri dalam perjuangan bangsa Indonesia tidak
bisa ditutup-tutupi dan dinafikan.
Sebut saja nama Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol,
Jendral Sudirman, KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Wahab Chasbullah, KH. Mas
Mansoer, KH. Ahmad Dahlan dan masih banyak lagi dan tak terhitung jumlahnya
adalah ulama-ulama yang mumpuni dan santri yang berbakti kepada Ibu Pertiwi.
Jika hari ini ada upaya penggiringan opini bahwa seorang
yang beragama Islam bukanlah seorang nasionalis, atau ajaran Islam bertentangan
dengan nilai-nilai kebangsaan adalah hal yang basi, menuduh tanpa bukti, dan
ahistoris yang tidak memiliki dasar sama sekali. Ada upaya dari pihak-pihak
tertentu, yang entah karena agenda apa mereka ingin menjauhkan Islam dari rasa
nasionalisme, sehingga dengan mudah mereka akan mengacak-acak negeri tercinta ini.
Sangat jelas dan tidak dipungkiri bahwa Ulama dan santri
mulai semenjak dulu hingga sekarang terus berjuang bahu membahu menjadi benteng
yang kokoh dan berada di garda terdepan bagi kedaulatan dan kesatuan nusantara
tercinta ini. Sehingga tidak heran banyak pihak yang berusaha memecah belah
kekuatan sinergis Ulama dan santri demi kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Nilai nasionalisme sebagai nilai dasar kecintaan
seseorang terhadap tanah airnya bukanlah hal yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Apalagi sampai menganggap nasionalisme bukan dari ajaran Islam. Rasulullah
Saw, telah mencontohkan dalam Piagam Madinah, bahwa siapapun dan dari kelompok
manapun wajib hukumnya membela kedaulatan negara Madinah Al Munawwarah hasil
konsensus bersama dengan suku-suku di Madinah dan para pemeluk agama Yahudi.
Nilai-nilai nasionalisme santri termanifestasikan dalam
semboyan hubbul wathan minal Iman, cinta tanah air adalah bagian dari
iman. Mbah Yai Abdul Wahab Chasbullah Rais Aam Syuriyah PBNU pengganti dari
Mbah Yai Hasyim Asy’ari juga menciptakan mars Syubbanul Wathan tahun 1934 untuk
menanamkan rasa cinta tanah air kepada para santri-santri saat itu. Liriknya membakar semangat nasionalisme :
Ya Lal Wathon Ya Lal WathonYa Lal Wathon
Hubbul Wathon Minal Iman
Wa la takun minal hirman
Inhaduu Ahlal Wathon
Indonesia Bilaadii
Anta 'Unwaanul Fakhoma
Kullu Man Ya'tiika Yauman
Thoomihan Yalqo Himaaman
...
Rasa nasionalisme santri bukanlah hal yang baru dan aneh,
karena santri tentu telah memiliki modal konsep besar Ukhuwwah. Konsep Ukhuwwah
yang diajarkan oleh Islam ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa kearifan lokal
sebagai tri ukhuwwah yang meliputi : Ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan sesama
pemeluk Islam), Ukhuwwah Wathaniyyah (persaudaraan sesama bangsa), dan Ukhuwwah
Basyariyah (persaudaraan sesama manusia) atau ukhuwwah insaniyyah.
Nilai-nilai dari tri ukhuwwah inilah yang menjadi dasar
berpijak bagi Ulama dan santri untuk membangun semangat nasionalisme dan
meneguhkan nilai-nilai kebangsaan Nusantara demi terciptanya peradaban dunia yang
rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana yang menjadi cita-cita luhur kita bersama.
*Joyo Juwoto, Santri Ponpes ASSALAM Bangilan Tuban Indonesia.
*Joyo Juwoto, Santri Ponpes ASSALAM Bangilan Tuban Indonesia.
up, ngrojo
BalasHapus