Resolusi Jihad Dari Ulama dan Santri Untuk
Indonesia
Oleh : Joyo Juwoto*
Hari santri Nasional yang jatuh pada tanggal
22 Oktober memiliki akar sejarah yang cukup panjang dan heroik. Penetapan hari santri nasional ini tentu tidak
terlepas dari peran central ulama’ dan santri di dalam membela Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Sejarah mencatat, puncak perjuangan santri dan ulama
adalah karunia dan limpahan rahmat Allah Swt. yang ditandai dengan diproklamirkannya
NKRI pada tanggal 9 Ramadhan 1364, Jumat Legi, 17 Agustus 1945.
Perjuangan memang tidak boleh berhenti dan selesai,
sampai kapanpun Ulama dan santri akan terus berjuang membela Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Setelah Indonesia menyatakan victory day,-hari kemenangan
dan freedom day-hari kemerdekaannya, negara yang baru berdiri seumur jagung itu
ingin dirusak dan dihancurkan oleh nafsu imperialisme yang dilakukan oleh
Belanda Nica (Netherlands Indies Civil Administration) yang dibonceng oleh tentara
Sekoetoe.
Pendaratan tentara
Sekoetoe di jakarta tanggal 29 September 1945 yang berusaha menjajah kembali
negara kesatuan republik Indonesia mendapatkan reaksi keras dari umat Islam.
Pertempuran-demi pertempuran meledak diberbagai wilayah. Tanggal 10 Oktober
1945 Sekoetoe dan Nica menguasai Medan, Palembang, dan Bandung. Tanggal 19
Oktober Semarang pun mereka kuasai. Di Surabaya kota kelahiran Nahdlatul Ulama
pun tak luput dari pertempuran dahsyat sejak Belanda mendarat di pelabuhan
Surabaya bulan September.
Pemerintah yang saat
itu sedang sibuk menyusun birokrasi negeri seakan lamban mengantisipasi agresi
militer Sekoetoe dan Nica. Bung Karno sebagai pemimpin tertinggi menghubungi Chodroetoes Sjeich KH.
Hasyim Asj’ari di Tebu Ireng menanyakan tentang hukumnya perang membela tanah
air.
Selanjutnya Rais
Akbar Chodroetoes Sjeich KH.
Hasyim Asj’ari, memanggil Kiai Wahab Tambakberas, dan Kiai Bisri Denanyar dan
beberapa Kiai lainnya untuk merundingkan situasi yang terjadi saat itu. Akhirnya HBNO (Hoofdbesstuur Nahdlatoel
Oelama) yang sekarang menjadi PBNU membuat undangan untuk seluruh pengurus NU
di seluruh Jawa dan Madura. Mereka diminta untuk hadir di kantor PB Ansor
Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jalan Bubutan Surabaya.
Tanggal 21 Oktober
1945, para Kiai sudah sama berdatangan, namun karena jarak saat itu yang tidak
bisa ditempuh perjalanan cepat, Chodroetoes Sjeich KH. Hasyim Asj’ari meminta para
undangan untuk menunggu beberapa Kiai yang belum hadir. Seperti Kiai Abbas dari
Pesantren Buntet Cirebon, KH. Satori dari Pesantren Arjowinangun Cirebon, KH.
Amin dari Pesantren Ciwaringin Cirebon, serta Kiai Sujai dari Indramayu.
Setelah Kiai-kiai dari Jawa Barat datang
akhirnya Chodroetoes Sjeich KH. Hasyim Asj’ari menunjuk Kiai Wahab untuk
memimpin rapat. Hasil akhir dari rapat di Jalan Bubutan Surabaya itu adalah
sebuah deklarasi seruan jihad perang sabil yang sekarang kita kenal sebagai
Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama.
Diantara isi Resolusi Jihad yang paling berharga
untuk NKRI adalah seruan jihad bagi umat Islam yang tinggal di radius 94
kilometer dari Surabaya berkewajiban fardhu ‘ain untuk mengangkat senjata
membela Negara Kesatuan Republik Indonesia dari rongrongan penjajah. Perang pun
berkobar dahsyat antara santri dan tentara Sekoetoe dan Nica diberbagai
wilayah, termasuk palagan Surabaya 10 November 1945 yang begitu melegenda.
Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama yang digagas oleh
Chodroetoes Sjeich KH. Hasyim Asj’ari ini kemudian mengilhami Mu’tamar Umat
Islam Indonesiadi Jogyakarta tanggal 7-8 November 1945. Isi dari mu’tamar itu
antara lain :
“Bahwa tiap2 bentoek pendjadjahan adalah soeatoe kezaliman jang melanggar
perikemanoesiaan dan njata2 diharamkan oleh Agama Islam, maka 60 Miljoen Kaoem
M oeslimin Indonesia Siap Berdjihad Fi Sabilillah. Perang Di djalan Allah
Oentoek Menentang Tiap-tiap Pendjadjahan.”
Demikianlah peran Santri dan Ulama dalam membela
dan mempertahankan tanah air Indonesia, serta berjihad dengan harta, jiwa, dan
bahkan nyawa demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selamat Hari
Santri Nasional, dari pesantren untuk Indonesia tercinta.
*Joyo Juwoto, Santri Ponpes ASSALAM Bangilan Tuban Indonesia.
Belum pernah merasakan jadi santri, tapi saya merasakan bagaimana peran santri untuk kemajuan anak bangsa. Pendidikan formal sudah dimasuki idiologi luar yang dapat merusak karakter anak. Hanya melalui pesantren, melalui santri, karakter anak Indonesia tetap terjaga.. Bravo santri...
BalasHapus