Pages - Menu

Jumat, 06 Oktober 2017

Resolusi Jihad Dari Ulama dan Santri Untuk Indonesia

 Resolusi Jihad Dari Ulama dan Santri Untuk Indonesia
Oleh : Joyo Juwoto*

 Hari santri Nasional yang jatuh pada tanggal 22 Oktober memiliki akar sejarah yang cukup panjang dan heroik.  Penetapan hari santri nasional ini tentu tidak terlepas dari peran central ulama’ dan santri di dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejarah mencatat, puncak perjuangan santri dan ulama adalah karunia dan limpahan rahmat Allah Swt. yang ditandai dengan diproklamirkannya NKRI pada tanggal 9 Ramadhan 1364, Jumat Legi,  17 Agustus 1945.

Perjuangan  memang tidak boleh berhenti dan selesai, sampai kapanpun Ulama dan santri akan terus berjuang membela Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah Indonesia menyatakan victory day,-hari kemenangan dan freedom day-hari kemerdekaannya, negara yang baru berdiri seumur jagung itu ingin dirusak dan dihancurkan oleh nafsu imperialisme yang dilakukan oleh Belanda Nica (Netherlands Indies Civil Administration) yang dibonceng oleh tentara Sekoetoe.

Pendaratan tentara Sekoetoe di jakarta tanggal 29 September 1945 yang berusaha menjajah kembali negara kesatuan republik Indonesia mendapatkan reaksi keras dari umat Islam. Pertempuran-demi pertempuran meledak diberbagai wilayah. Tanggal 10 Oktober 1945 Sekoetoe dan Nica menguasai Medan, Palembang, dan Bandung. Tanggal 19 Oktober Semarang pun mereka kuasai. Di Surabaya kota kelahiran Nahdlatul Ulama pun tak luput dari pertempuran dahsyat sejak Belanda mendarat di pelabuhan Surabaya bulan September.

Pemerintah yang saat itu sedang sibuk menyusun birokrasi negeri seakan lamban mengantisipasi agresi militer Sekoetoe dan Nica. Bung Karno sebagai pemimpin tertinggi menghubungi Chodroetoes Sjeich KH. Hasyim Asj’ari di Tebu Ireng menanyakan tentang hukumnya perang membela tanah air.

Selanjutnya Rais Akbar Chodroetoes Sjeich KH. Hasyim Asj’ari, memanggil Kiai Wahab Tambakberas, dan Kiai Bisri Denanyar dan beberapa Kiai lainnya untuk merundingkan situasi yang terjadi saat itu.  Akhirnya HBNO (Hoofdbesstuur Nahdlatoel Oelama) yang sekarang menjadi PBNU membuat undangan untuk seluruh pengurus NU di seluruh Jawa dan Madura.  Mereka diminta untuk hadir di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jalan Bubutan Surabaya.

Tanggal 21 Oktober 1945, para Kiai sudah sama berdatangan, namun karena jarak saat itu yang tidak bisa ditempuh perjalanan cepat, Chodroetoes Sjeich KH. Hasyim Asj’ari meminta para undangan untuk menunggu beberapa Kiai yang belum hadir. Seperti Kiai Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon, KH. Satori dari Pesantren Arjowinangun Cirebon, KH. Amin dari Pesantren Ciwaringin Cirebon, serta Kiai Sujai dari Indramayu.

Setelah Kiai-kiai dari Jawa Barat datang akhirnya Chodroetoes Sjeich KH. Hasyim Asj’ari menunjuk Kiai Wahab untuk memimpin rapat. Hasil akhir dari rapat di Jalan Bubutan Surabaya itu adalah sebuah deklarasi seruan jihad perang sabil yang sekarang kita kenal sebagai Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama.

Diantara isi Resolusi Jihad yang paling berharga untuk NKRI adalah seruan jihad bagi umat Islam yang tinggal di radius 94 kilometer dari Surabaya berkewajiban fardhu ‘ain untuk mengangkat senjata membela Negara Kesatuan Republik Indonesia dari rongrongan penjajah. Perang pun berkobar dahsyat antara santri dan tentara Sekoetoe dan Nica diberbagai wilayah, termasuk palagan Surabaya 10 November 1945 yang begitu melegenda.

Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama yang digagas oleh Chodroetoes Sjeich KH. Hasyim Asj’ari ini kemudian mengilhami Mu’tamar Umat Islam Indonesiadi Jogyakarta tanggal 7-8 November 1945. Isi dari mu’tamar itu antara lain :

“Bahwa tiap2 bentoek pendjadjahan adalah  soeatoe kezaliman jang melanggar perikemanoesiaan dan njata2 diharamkan oleh Agama Islam, maka 60 Miljoen Kaoem M oeslimin Indonesia Siap Berdjihad Fi Sabilillah. Perang Di djalan Allah Oentoek Menentang Tiap-tiap Pendjadjahan.”

Demikianlah peran Santri dan Ulama dalam membela dan mempertahankan tanah air Indonesia, serta berjihad dengan harta, jiwa, dan bahkan nyawa demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selamat Hari Santri Nasional, dari pesantren untuk Indonesia tercinta.


*Joyo Juwoto, Santri Ponpes ASSALAM Bangilan Tuban Indonesia.

1 komentar:

  1. Belum pernah merasakan jadi santri, tapi saya merasakan bagaimana peran santri untuk kemajuan anak bangsa. Pendidikan formal sudah dimasuki idiologi luar yang dapat merusak karakter anak. Hanya melalui pesantren, melalui santri, karakter anak Indonesia tetap terjaga.. Bravo santri...

    BalasHapus