Sikap Tawadhu’
Ketika ditanya oleh seseorang tentang tawadhu’, Fudhail menjawab : “Tawadhu’
adalah kamu tunduk kepada kebenaran, dan patuh kepadanya sekalipun kebenaran
itu kamu dengar dari anak kecil, bahkan sekalipun kamu dengar dari orang yang
paling tidak tahu kiblatnya sholat.” Itulah salah satu definisi sikap
tawadhu’ yang bersumber dari ulama zaman dahulu, mereka tidak pernah meremehkan
sebuah kebenaran, tidak pernah memandang dari mana kebenaran itu bersumber,
kebenaran tetaplah sebuah kebenaran sekalipun bersumber dari orang yang lebih
kecil dari kita bahkan bersumber dari orang yang tidak benar sekalipun.
Abu Yazid berkata : “Selagi seorang hamba masih mengira bahwa
diantara makhluk masih ada orang yang lebih buruk darinya maka ia adalah orang
yang sombong.” Dikatakan kepadanya : Lalu kapan iamenjadi orang yang tawadhu’ ?
Abu Yazid menjawab : “Apabila tidak memandang adanya kedudukan dan hal bagi
dirinya.”
Begitulah ulama-ulama zaman dahulu menjadikan sikap tawadhu’ ini
menjadi hiasan dan kemuliaan, walau mereka memiliki kedudukan yang tinggi
secara keilmuan, maupun secara pangkat dan derajad namun hati mereka tunduk dan
tawadhu’ kepada sesama. Tidak merasa paling benar, tidak menyombongkan pangkat
dan kedudukannya. Dalam surat AL Hijr ayat 88 Allah SWT berfirman :
واخفض
جناحك للمؤمنين (88)
Artinya : “Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang
beriman.”
Begitulah Allah SWT menginginkan hamba-hambanya yang beriman untuk
salah berendah diri terhadap orang mu’min lainnya, saling menjaga silaturahmi,
menjaga ukhuwwah, dan saling berhusnudzon diantara mereka. Jika sikap tawadhu’
ini diterapkan maka persatuan umat Islam akan kuat dan kemuliaan seorang mu’min
akan terjaga.
Namun lihatlah di era sekarang, antara satu mu’min dengan mu’min
yang lain tidak ada lagi ketawadhu’an. Bahkan kata mu’min sudah jarang kita
dapati, yang ada tinggal kelompok-kelompok seperti NU, Muhammadiyah, Syi’ah,
Salafi, Wahabi, HTI dan kelompok-kelompok lain yang terpecah-belah dalam
firqoh-firqoh yang saling menyalahkan. Persatuan umat Islam tercerai-berai
dalam golongan-golongan. Mereka lupa akan nilai persaudaraan untuk saling
mengasihi, saling menjaga silaturahmi, saling menghormati, dan saling
menguatkan tentunya.
Oleh karena itu mari kita kembali pada sikap tawadhu’ yang telah
dicontohkan oleh ulama-ulama zaman dahulu yang menjadikan tawadhu’ sebagai
hiasan dalam berkehidupan, tidak mudah menyalahkan kelompok lain, saling
mengkafirkan diantara orang-orang mu’min, dan saling menghormati dan menghargai
diantara perbedaan-perbedaan yang ada. Jadikanlah perbedaan itu sebagai jalan
rahmat yang perlu disyukuri bersama.
Cukuplah dengan tawadhu’ umat Islam mendapatkan kemuliaan, dengan
lapang dada mendapatkan ketaqwaan, dan dengan keyakinan umat mendapatkan
kejayaan. Mengesampingkan motif-motif duniawi untuk meraih ridho Tuhan, guna
mewujudkan perikehidupan yang rahmatan lil ‘alamin. Dalam sebuah hadits
Rosulullah SAW bersabda :
الكرم
التّقوى, والشّرف التّواضع, واليقين الغنى
Artinya : “Kedermawanan adalah taqwa, kemuliaan adalah tawadhu’,
dan keyakinan adalah kekayaan ( Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Dunya. AL Hakim
meng-isnad-kan bagian awal dan berkata : Sahih sanad-nya)
Mari
bersama membangun kejayaan umat dengan ketawadhu’an, menghindari sikap merasa
paling benar sendiri, saling menyalahkan, menghindari saling curiga sesama
mu’min, dan tentunya meneladani sikap dan perilaku Rosulullah SAW, para
sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para ulama salafus saleh yang menjadi
panutan kita semua. Joyojuwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar