Selasa, 13 Maret 2018

Nasibmu Petani Di Negeri Agraris

google.com
Nasibmu Petani Di Negeri Agraris
Oleh : Joyo Juwoto



Nasi putih terhidang di meja
kita santap tiap hari
Beraneka ragam hasil bumi
dari manakah datangnya
Dari sawah dan ladang disana,
petanilah penanamnya
Panas terik tak dirasa,
hujan rintik tak mengapa
Masyarakat butuh bahan pangan
Terima kasih bapak tani,
terima kasih ibu tani
Tugas anda sungguh mulia

Lagu di atas masih terngiang di telinga batin saya, lagu itu sering sekali ditayangkan di layar televisi. Selain lagu Pak Petani, lagu lain yang sering diputar adalah lagu tentang jasa guru, dan juga tentang nelayan. Ketiga lagu tersebut adalah kenangan manis yang tak terlupakan. Hari ini pun saya masih suka menyanyikan dan mengenang lagu-lagu legendaries itu.

Tentang petani saya sangat setuju dengan lirik lagu di atas, bahwa menjadi petani adalah tugas yang mulia. Bahkan tidak sekedar mulia, petani adalah soko guru bagi peradapan suatu negeri, termasuk negeri Nusantara yang kita cintai ini. Menjadi petani yang begitu mulia bagi sebuah peradapan ternyata tidak menjamin nasib petani menjadi mulia. Justru nasib petani yang mayoritas di negeri ini terlunta-lunta dan tidak jelas nasibnya.

Perlindungan terhadap petani nihil, saat mencari pupuk dan benih kesulitan, saat panen harga komoditas pertanian turun, masih kadang hasil panen tidak laku alias harga jual turun karena kebijakan impor yang kadang kurang bijaksana. Owh, sungguh nasibmu wahai para petani yang merana di negeri yang agraris ini.
Dari kondisi petani yang sedemikian memprihatinkan dan kurang menjanjikan maka menjadi petani bukanlah sebuah pilihan yang bergengsi. Anak-anak muda sebagai keturunan petani sangat jarang sekali yang ingin menjadikan pekerjaan bertani sebagai pilihan hidup. Sungguh ironi negeri yang gemah ripah loh jinawe ini nantinya harus kehilangan para petani yang menjadi soko guru negeri ini.

Namun memang begitulah wolak-waliking jaman, di mana pekerjaan menjadi petani sudah tidak begitu diminati, padahal menurut dawuhe mbah Yai Maimun Zubair, “Ngalamate qiyamat iku angger wong tani iku wis aras-arasen tani, mergo untunge iku sitik”. Termasuk salah satu tanda kiamat adalah jika masyarakat sudah malas untuk bertani, karena bertani labanya sedikit. Dan tanda-tanda ini sudah mulai nampak di depan mata kita.

Entah benar-entah tidak, memang kenyataannya sekarang masyarakat sudah malas untuk bertani, akrena dari hasil pertanian untungnya sedikit dan kurang menjanjikan. Selain tentu pekerjaan se bagai petani adalah pekerjaan yang cukup berat. Ah saya jadi merindukan lagu tentang jasa-jasa petani di atas. Semoga nasib petani di negeri ini ada perhatian dari pemerintah dan pihak-pihak yang punya tanggung jawab terhadap dunia pertanian Nusantara, negeri yang subur makmur tercinta ini.

5 komentar:

  1. Memang tanah tak yg dipakai sdh berangsur-angsur turun.. Petani juga harus berinovasi dg pengolahan tanahnya. Semoga petani tetap memberikan hasilnya dengan mutu yg baik dan kualitas unggul

    BalasHapus
  2. Kulo anak petani. Tetapi kulo mboten dados petani, mbah. Soalnya ndak punya lahan pertanian.
    Nasib petani semakin hari memang semakin memprihatinkan.

    BalasHapus
  3. Lulusan pertanian banyak, mereka kemana? Kerja di bank, jadi sales, atau pekerjaan nylentang dg ijazah pertaniannya. Tidak 100 persen salah mereka. Mereka ya jelas wegah bertani kalau masih pake sistem kyak sekarang yg masih berkotor ria dengan tanah, bergelut dengan terik, dll. Harusnya sarana penunjang pertanian sudah di buat mekanisasi. Semua serba otomatis dg memanfaatkan it. Mau nyangkul tinggal remot

    BalasHapus
  4. Jangan sia-siakan hasil petani, karena orang yang sangat berjasa terhadap negeri ini. Dia adalah salah satu orang yang memproduksi pangan. Tapi, nasibnya dan isak tangisnya masih dipandang sebekah mata oleh pemerintah. Bahkan kadang diri kita sendiri saja tidak mampu memikirkan bagaimana mereka bisa terdongkrak kesejahtraanya.
    Peran pemerintah bagi saya adalh sangat keterlaluan. Salah satu bentuk intervensi adalah mahalnya harga pupuk dan pastisida, seakan tidak bisa dikontrol dengan laju harga pupuk. Bahkan, yang membuat geram kita bersama adalah membiarkan oknum yang memainkan harga pupuk.
    Sangat ironisnya, ketika petani mulai panen harga jualnya selalu anjlok dan sangat tidak sesui dengan biaya oprasional. Hal tersebut menjadikan tani merugi, dan jarang mendapat keuntungan.
    Peran pemerintah adalah sangat berharga jika ikut hadir di tengah tengah petani, berpihak ke petani. Ketika dalam keadan demikian setidaknya pemerintah harus hadir mensetabilkan harga jual hasil pertanian tersebut supaya ada kesetabilan harga. Supaya mendapatkan keuntungan dan bisa menutup biaya oprasional.
    Hal ini dialami oleh petani kita selama bertahun2. Mereka hanya bisa pasrah.
    Mau mengadu dengan siapa. Belum ada yang berpihak kepada mereka. Kalotoh ada demo mengawal kebijakan pemerintah justru menjadi bahan gunjingan. Ketika menyampekan aspirasi justru menjadi bahan olok. Otaknya dimana ?. bayangkan, mereka panas kepanasan, ndak mengenal waktu dia harus mengecangkan ikat pinggangnya. Beli baju dan pakean aja susah.
    Sudahlah, Jadi peran kita bersama adalah membela petani. Karena bagaimanapun mereka adalah kaum lemah dan minim pengetahuan. Bingung mau mengadu kemana, ke siapa. Mau marah ke siapa ?. Yang maha tau adalah Mahasiswa dan Media yang menjadi jembatan ke Pemerintah.
    Jika suara tidak di dengar maka Menulislah. Jika tidak di dengar maka menulislah . Menulislah…menulislah….

    BalasHapus
  5. Saya bukan ank petani,tetapi saya pernah merasakan jadi petani,oleh karena itu saya mencintai petani negri ini.dan saya sangat menyukai hasil tani negri ini dari pd hasil petani luar.

    BalasHapus