Minggu, 11 Februari 2018

“Press” Tak Perlu Dibungkam, Ia Sudah Lebih Dahulu Bisu

“Press” Tak Perlu Dibungkam, Ia Sudah Lebih Dahulu Bisu
Oleh : Joyo Juwoto

Saya bukanlah orang press kecuali wajah saya yang memang agak ngepress atau lebih tepatnya berwajah pas-pasan.  Jika saya menulis judul yang mungkin dirasa  membuat gigi senut-senut, rahang terkatup kuat, gigi menggigit gregetan yang disertai dengan dada sesak dan degup jantung yang kencang saya mohon maaf. Saya sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan perbuatan pelakoran atau tikung menikung di tempat yang tidak tepat. Saya hanya ingin menulis sesuka saya tanpa ada beban dan tendensi yang tidak baik. Saya hanya ingin menulis itu saja, tidak lebih tidak kurang.

Kebetulan malam ahad yang menjadi malam jahanam bagi para jomblo yang tidak dirindukan, entah kenapa pikiran saya yang memang sedang kosong melompong ini ingin membual sejadi-jadinya. Ya pokoknya jari tangan saya yang menggerakkan pikiran, atau pikiran saya yang menggerakkan jari tangan. Ah entahlah mana yang benar, saya tentu tidak ingin membahas hal remeh tersebut panjang lebar.

Jika Pak Sena Gumira Aji Darma pernah mengatakan, “Ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara” saya geser sedikit kalimatnya menjadi “Ketika press dibungkam, sastra harus berbicara”. Saya terus terang tidak ngonangi di mana press benar-benar dibungkam dan sama sekali tidak dapat berteriak. Jikalau ngonangi masa press dibungkam, mungkin ya masa di mana saya masih kecil dan tidak mengerti dengan yang namanya peristiwa agung bungkam membungkam ini.

Menarik senada apa yang dikatakan oleh Pak Sena bahwa press ternyata pernah punya taji yang mengorek-korek borok-borok kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga karena ulah usilnya ini, press harus dibungkam oleh tangan-tangan yang berkepentingan agar diam dan tidak banyak bicara yang bukan-bukan. Lha wong masalah bukan-bukan saja kok harus dipresskan, apa tidak lebih baik diam saja.

 Jika melihat fenomena hari ini, baik itu press televisi, koran, press internet maupun press-press yang lain kayaknya tidak perlu dibungkam. Kan bingung mau dibungkam apanya, mulut saja tidak punya, mana yang harus dibungkam memang. lucu bukan? Kalaupun punya mulut press sekarang lebih menjelma menjadi sosok nyanyi sunyi seorang bisu. Ealah, apalagi ini, nyanyi kok sunyi dan parahnya bisu lagi.

Jadi sekarang ini press tak perlu dibungkam, karena ia sudah lebih dahulu bisu dalam menyuarakan realisme sosial yang sebenar-benarnya dan setepat-tepatnya tanpa tendensi apapun kecuali karena nilai-nilai kemanusiaan yang telah kehilangan rasa manusiawinya. Walau tentu press yang bisu nanti akan disebut sebagai oknum dan tidak semua press seperti itu. Saya juga tidak mengingkari jika ada press yang memang masih memegang teguh kode etik dan undang-undang press tentunya.

Saya nulis ini karena kemarin adalah hari press, hari ulang tahunnya, hari peringatannya, eh kenapa bukannya mengucapkan selamat dan membawakan setumpuk hadiah dan tumpeng segunung Lawu kok malah melakukan pelakoran terhadap makhluk yang bernama press. Saya perlu meminta maaf ditulisan ini jika pena saya melukai. Tapi yakinlah luka yang saya goreskan ini ibarat tukang sunat yang memotong daging yang tak berguna bagi remaja tanggung. Sesudah disunat tentu tak perlu dipertanyakan lagi mengenai kedewasaan dari remaja tadi.

Saya menulis ini bukan sebuah protes atau sebuah penuntutan yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak tertentu dan oleh siapapunda juga. Seperti yang saya tuliskan di depan mungkin ini efek dari pikiran kosong dan malam ahad yang tidak dirindukan oleh para pasukan jomblo keluharan. Ya itu saja tidak lebih tidak kurang.


Jadi ya sudah tidak perlu diperpanjang lagi tulisan ini dan akhirnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada hal yang kurang berkenan, dan tentunya saya ucapkan terima kasih serta saya ucapkan selamat hari press nasional semoga press semakin di depan dalam menyuarakan bahasa kemanusiaan yang adil dan beradab sesuai dengan sila pancasila yang kita yakini bersama. Salam press, salam merdeka.

1 komentar: