Rabu, 31 Januari 2018

Toleransi di Pondok Pesantren

Toleransi di Pondok Pesantren
Oleh : Joyo Juwoto

Kehidupan di pondok pesantren sangatlah beragam, apalagi jika yang mondok bukan hanya dari golongan satu madzab saja tentu perbedaan-perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Belum lagi yang mondok berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda dan dari daerah yang berbeda pula, maka lengkaplah perbedaan yang ada dalam sebuah pondok pesantren.

Seperti di pondok pesantren ASSALAM Bangilan Tuban di mana saya mengabdikan diri di dalamnya, santri-santrinya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, maka tidak aneh jika ada yang beragama dengan amaliyah NU ada pula yang beragama dengan amaliyah Muhammadiyah, perbedaan diantara dua organisasi keagamaan ini tentu berbeda namun demi keharmonisan dan ukhuwwah terjaga maka toleransi dan saling menghormati adalah jawaban dari kondisi yang demikian.

Semenjak berdirinya, pondok pesantren ASSALAM Bangilan memang telah mengikrarkan semboyan “Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Berdiri di atas dan untuk semua golongan” sebuah semboyan yang diadopsi oleh pendirinya dari pondok modern Darussalam Gontor Ponorogo. Semboyan ini menjadi ruh pesantren ASSALAM dalam kehidupan sehari-hari para santri.

Terbukti walaupun diantara santri ada yang berbeda amaliyah keagamaannya namun mereka bisa hidup rukun, saling menghormati, damai berdampingan tanpa ada saling menyalahkan diantara satu sama lain. Toleransi dalam perbedaan sudah menjadi kebiasaan dan makanan sehari-hari para santri sehingga mereka tidak asing dengan adanya hal-hal yang berbeda dalam praktek keagamaan yang mereka jalani.

Semisal saat shalat tarawih, yang berpandangan NU menjalankan rakaat tarawih sebanyak 23 rakaat, sedang  yang berpandangan Muhammadiyah 11 rakaat. Hal ini biasa dilakukan secara bergantian, walaupun kadang santri yang berpandangan NU menambah sendiri jumlah rakaatnya. Begitu juga dengan qunut shalat shubuh, ada kalanya shubuh memakai qunut adakalanya tanpa qunut karena ketepatan imamnya adalah santri Muhammadiyah.

          Tidak heran jika setelah lulus dari pesantren santri-santri bisa menyesuaikan dengan kondisi masyarakat di mana mereka tinggal. Karena mereka sudah dibiasakan memiliki jiwa toleransi yang tinggi dan saling menghargai sebuah perbedaan. Para santri tidak gagap menghadapi pluralitas  yang ada di tengah-tengah masyarakat. Karena memang mereka dididik dan digembleng untuk menjadi perekat umat bukan perusuh dan pemecah belah umat.

          Perbedaan pendapat khususnya dalam bidang kajian ilmu fikih memang sudah sangat wajar terjadi, sehingga santri-santri yang telah dibekali ilmu tentang perbedaan pendapat diantara ulama fikih tidak kaget dengan fenomena perbedaan yang bersifat fikkhiyyah, apalagi mereka-mereka yang telah membuka berbagai macam literatur tentang ikhtilaf al-ulama. Pola kehidupan santri yang telah dikenalkan dengan perbedaan ini nantinya akan menjadi bekal setelah lulus dari pesantren, dan diterapkan di tengah kehidupan masyarakat yang beragam. Dengan demikian santri akan lebih siap untuk menghadapi yang memang secara sunnatullah penuh dengan perbedaan, baik itu dalam kehidupan beragama ataupun dalam hal lainnya.

          Jika ada yang menuduh bahwa pesantren anti keberagaman dan anti toleransi maka bisa dipastikan tuduhan itu salah alamat dan tidak berdasar sama sekali, karena di pesantren justru para santri belajar langsung toleransi dari sumbernya yang paling murni, yaitu pesantren.



*Joyo Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban. Diantara buku yang ditulisnya adalah: Jejak Sang Rasul (2016); Secercah Cahaya Hikmah (2016), Dalang Kentrung Terakhir (2017,) Tiga Menguak Pram (2018), Cerita Dari Desa (2018) dan menulis puluhan antologi bersama Sahabat Pena Nusantara dan beberapa komunitas literasi lainnya”.


Senin, 29 Januari 2018

Kali Kening Berbagi Inspirasi Melalui Literasi

Ini untuk kesekian kalinya Komunitas Kali Kening berbagi pengalaman berliterasi dengan santri-santri di Madrasah Diniyah (Madin) Al Isyroq Bate Kec. Bangilan. (28/01/2018).

Komunitas Kali Kening menyambut dengan gembira dan memberikan apresiasi yang positif dengan gerakan yang dilakukan oleh Madin Al Isyroq yang membekali santri-santrinya tidak hanya dalam hal ilmu agama ansich, namun juga ilmu-ilmu lain yang pada dasarnya juga berorientasi pada kehidupan beragama para santri.

Kegiatan berliterasi bersama santri ini dimaksudkan untuk memberikan bimbingan, pendampingan  serta teladan bagi santri-santri agar supaya lebih dekat mengenal apa itu dunia literasi. 

Dunia literasi sendiri sebenarnya bukan hal yang asing bagi kehidupan santri. Dengan mengaji sepanjang hayat sebenarnya itu adalah bagian dari literasi juga. Hanya saja, era anak-anak zaman know kadang malas untuk belajar ataupun mengaji dan lebih suka bermain-main dengan gadged, membuat geng dengan teman sebayanya, atau "cangkrukan" mbruwah tanpa orientasi yang tiada manfaat dan gunanya.

Ini adalah tantangan bagi generasi emas Indonesia. Jika kita biarkan generasi itu tanpa bimbingan dan teladan yang baik maka masa depan mereka akan suram dan tertutup kabut kebodohan, dan tentunya hal ini akan berdampak sistemik pula dengan masa depan bangsa ini, karena generasi muda adalah wajah Indonesia masa depan.

Dunia literasi berusaha mengajak para santri untuk terus belajar melalui aktivitas membaca dan menulis guna menumbuhkan daya kreatif dan menanamkan nilai-nilai moral kebajikan bagi jiwa santri, agar mereka terus belajar sepanjang hayat dan mencintai ilmu pengetahuan.

Geliat literasi di negara kita rasa-rasanya masih jauh dari ideal, jangan dulu mempertanyakan produktifitas karya yang berupa buku-buku, untuk tahap membaca saja kita masih sangat kalah jauh dengan tetangga dekat kita Malaysia ataupun Singapura.

Melalui legiatan literasi di Madin Al Isyroq Bate, Komunitas Kali Kening berusaha ikut serta menyalakan lilin-lilin peradaban yang nantinya menyinari persada bumi Nusantara tercinta.



Minggu, 28 Januari 2018

Menjadi Hamba Yang Bersyukur

Google.com
Menjadi Hamba Yang Bersyukur
Oleh : Joyo Juwoto

Nabi Nuh alaihissalam adalah seorang Nabi dan hamba Allah yang selalu bersyukur. Setiap aktivitas beliau hanya hamdalah yang selalu dibacanya. Sesudah makan membaca hamdalah, sesudah minum membaca hamdalah, mengenakan pakaian membaca hamdalah, naik kendaraan juga membaca hamdalah. Doanya tiada lain selalu alhamdulillahi rabbil ‘alamin, disetiap waktu di setiap keadaan, begitu yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ka’ab.
Jika kita mau menghitung nikmat Tuhan yang dianugerahkan kepada kita, tentu hanya kesyukuran-kesyukuran yang kita lakukan demi melihat betapa banyak dan betapa nominal angka tidak bisa menghitung dan mewakili besarnya karunia Tuhan kepada kita. Oleh karena itu hendaknya kita menjadi hamba yang selalu bersyukur.
Kenapa seseorang mesti bersyukur? ketahuilah bahwasanya nikmat Tuhan terjaga dan berkah karena kita mensyukurinya, jika kita mengkufurinya dikhawatirkan nikmat itu akan dilepas dan dihilangkan dari diri kita oleh Tuhan, agar supaya nikmat kekal maka harus kita jaga dengan cara mensyukurinya.
Bacalah selalu surat Ar-Rahman, karena di situ Allah selalu mempertanyakan kesyukuran hamba-hamba-Nya :

Google.com

Artinya : “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Kalimat Fabiayyi alaa’i rabbikuma tukadzdziban oleh Allah Swt, diulang-ulang sebanyak tiga puluh satu kali di dalam surat Ar Rahman agar manusia ingat akan besarnya limpahan kasih sayang dan nikmat Tuhan yang tak terkira jumlahnya, agar manusia senantiasa mensyukurinya. Begitu pentingnya rasa syukur ini kita haturkan kepada Sang Pemberi Nikmat.

Tuhan mengulang-ulang kalimat di atas berkali-kali karena sangat sedikit sekali orang-orang yang mau bersyukur. Suatu ketika Khalifah Umar bin Khaththab mendengar seseorang berdoa, “Ya Allah, jadikan aku termasuk kelompok orang-orang yang sedikit.” Umar pun bertanya, “Apa artinya ini?” Orang itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah berfirman, “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur”. (QS. As-Saba’ : 31).

Oleh karena itu berdo’alah selalu dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw kepada Sahabat Muadz. Doa itu adalah doa agar kita selalu ingat kepada Allah dan selalu bersyukur kepada-Nya. “Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wasyukrika wahusni ‘ibadatika - Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan baik.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Sabtu, 27 Januari 2018

Sihir Dunia Yang Melenakan

Google.com
Sihir Dunia Yang Melenakan
Oleh : Joyo Juwoto

Di kalangan dunia persihiran, kota Banyuwangi bisa menjadi rujukan malang melintangnya dukun sihir dan dukun santet yang telah terkenal seantero jagad Nusantara. Saya sendiri belum pernah melakukan wawancara ataupun terjun langsung ke lapangan guna membuktikan kabar dan desas-desus yang telah saya dengar semenjak saya kecil. Namun kabar itu sudah menjadi milik masyarakat yang kebenarannya mendekati seratus persen.

Walau demikian, seampuh-ampuhnya sihir dukun Banyuwangi tentu masih kalah dengan sihirnya Harut dan Marut, dua sosok Malaikat yang awal mula mengajarkan sihir kepada penduduk bumi di negeri Babilonia, negeri subur mamur diantara lembah sungai Tigris dan Eufrat. Dua Malaikat ini memang sengaja diturunkan oleh Allah untuk menguji masyarakat apakah mereka memilih jalan sihir ataukah jalan kebenaran dari Tuhan.

Saya tidak perlu menceritakan kehebatan sihir Banyuwangi maupun sihir malaikat Harut dan Marut untuk membandingkan kehebatan dari sihir keduanya, karena memang saya belum pernah melihatnya dengan mata telanjang saya, kecuali hanya cerita-cerita yang sayup-sayup saya dengar. Karena memang bukan fokus di ilmu sihir yang akan saya bincangkan di sini.

          Yang jelas kehebatan sihir Banyuwangi maupun sihirnya Harut dan Marut sudah sangat masyhur sejak dulu hingga kini,  ternyata tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kehebatan sihir yang satu ini, yaitu sihir dunia.

          Sihir dunia sangat melenakan diri manusia. Siapapun itu akan sulit terlepas dari jeratan dunia dan terhindar dari pengaruh buruk sihir duniawi, terkecuali orang-orang yang memiliki kemampuan lebih di atas rata-rata untuk menetralisir pengaruh magis dari sihir dunia yang menulikan dan membutakan korbannya. Maka berhati-hatilah dengan daya sihir dunia ini.

          Nilai dunia dibandingkan dengan nilai akhirat memang tidak seberapa, bahkan Rasulullah mengibaratkan nilai dunia itu seperti seberat sayap nyamuk, sangat ringan dan tidak begitu berarti. Namun bias yang diciptakan dunia sungguh mampu membutakan orang-orang yang terperdaya dengan keduniaan dan melupakan kehidupan akhirat yang lebih baik dan abadi.
Dalam sebuah maqalah dikatakan :
هي الدنيا أقلّ من القليل, وعاشقها أذلّ من الذّليل
 ØªØµÙ…ّ بسحرها قوما وتعمى, وهم متحيرون بلا دليل

Artinya : “Dunia itu sedikit dan paling sedikit, pecinta-nya pun hina, nan hina dina. Sihir dunia membuat tuli dan buta, kebingungan, tak tahu ke mana jalan.


          Begitulah nilai dunia yang fana ini, sangat remeh dan sedikit sekali nilainya. Namun sihir dunia mampu membuat korbannya kebingungan dan tidak tahu arah jalan kebenaran. Oleh karena itu berhati-hatilah dengan sihir dunia.

Jumat, 26 Januari 2018

Pertaubatan Pram

Pic : https://radiostudent.si
Pertaubatan Pram
Oleh : Joyo Juwoto

Pram bertaubat benarkah? bertaubat dalam hal apa dan untuk apa pula seorang Pram memerlukan diri untuk melakukan pertaubatan? Sebenarnya kata pertaubatan kurang tepat dipakai  di sini, namun begitulah seorang Pram yang terkenal sebagai seorang yang kepala batu, menyatakan pertaubatannya dengan meminta maaf kepada orang yang pernah menjadi musuh bebuyutannya di dunia literasi, pram meminta maaf dengan cara yang unik kepada rivalnya yaitu Buya Hamka.

Secara politik memang dua orang ini berseberangan, saat itu Pram adalah seorang sastrawan yang aktif di Lekra (Lembaga kebudayaan Rakyat), sedang Buya Hamka adalah seorang pentolan Masyumi dan aktivis Muhammadiyah. Keduanya tentu memiliki pandangan politik yang sangat berbeda. Dari perbedaan pandangan politik yang berbeda inilah lewat surat kabar Bintang Timoer Pram acapkali menyerang dan membully Buya Hamka habis-habisan. Puncaknya Buya Hamka dituduh sebagai seorang plagiator oleh Pram.

Sebagai manusia yang memang memiliki perbedaan orientasi politik dan kepentingan, perseteruan hal yang demikian memang sangat lumrah terjadi. Di dalam hal apapun perseteruan itu memang kerap terjadi demi meluluskan kepentingan dan nafsu dari masing-masing pihak yang berseteru.

Di dalam tulisan-tulisan di beberapa website yang saya baca, yang sumbernya berasal dari tulisan Irfan Hamka dalam buku “Ayah” terbitan Republika (2016), dikisahkan bahwa suatu ketika Buya Hamka kedatangan dua orang tamu, laki-laki dan perempuan. Setelah dipersilakan duduk Buya Hamka pun menanyai kedua tamu itu. “Kamu Siapa?”

Tamu itu pun menjawab, “Saya Astuti, dan ini calon suami saya, Daniel Setiawan. Saya disuruh datang ke sini oleh ayah saya, agar kami belajar agama Islam” Jawab tamu perempuan itu.

“Siapa nama ayahmu? Tanya Buya melanjutkan pertanyaannya.

“Pramoedya Ananta Toer” Jawab wanita yang mengaku bernama Astuti tadi.
Singkat cerita, Buya Hamka menerima dengan lapang dada kedatangan dua sejoli yang ingin belajar agama Islam kepada beliau. Walau Buya pernah dimusuhi Pram dengan sangat keras, namun kelembutan hati Buya mampu menghapus permusuhan masa silam dengan Pram yang mungkin tidak akan bisa dihapus dan dilupakan begitu saja.

Dari cuplikan kisah yang saya ceritakan ulang  di atas, saya merasa terheran-heran dengan sosok Pram. Pram yang terkenal sebagai sosok yang kepala batu ternyata memiliki sisi kebesaran jiwa untuk meminta maaf dan melakukan pertaubatan dengan caranya sendiri. Ya, dengan cara mengirimkan anak dan menantunya untuk belajar Islam kepada orang yang pernah menjadi musuh bebuyutannya.

Mungkin saja Pram dan Buya tak sempat bertemu dan bertegur sapa, namun melihat apa yang telah dilakukan Pram dengan mengirimkan anak dan menantunya kepada Buya Hamka mengindikasikan bahwa Pram mengakui dan membuka hati kepada sosok Buya Hamka. Bahkan yang membuat saya terpana bercampur kaget ternyata Pram yang dianggap berideologi komunis tidak rela jika anaknya dinikahi lelaki yang berbeda keyakinan agama dengan anaknya.

Hal ini disampaikan oleh Dr. Hoedaifah Koeddah bahwa Pram mengatakan, “Saya tidak rela anak saya kawin dengan orang yang secara kultur dan agama berbeda”. Ternyata calon mantu Pram adalah seorang Tionghoa yang secara kultur dan agama berbeda dengan keluarga Pram, oleh karena itulah Pram mengirimkan anak dan calon menantunya kepada Buya Hamka untuk belajar agama Islam. Lebih lanjut Pram mengatakan, “Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik,” Demikian kata Pram menegaskan.

Tidak menyangka bukan? Pram yang dianggap sosok anti agama dan memiliki kesinisan terhadap agama ternyata memiliki sisi kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan agama untuk anak dan menantunya. Begitulah seseorang selalu memiliki sisi-sisi yang kadang kita tidak mengetahuinya oleh karena itu janganlah memandang seseorang dari satu sisi saja, karena dalam hidup ini banyak sisi yang tersembunyi yang mungkin tidak terjangkau oleh indera dan pengetahuan kita.

Minggu, 21 Januari 2018

Nahkoda Baru Blogger Tuban Community

Hari ini (21/01/2018) Blogger Tuban Community (BTC) mengadakan kopdar yang ketiga setelah sebelumnya mengadakan kopdar secara bergerilya di rumah Ibu Nafakhatin  Tuban, kemudian dilanjutkan kopdar di salah satu warung kopi yang ada di Montong.

Saya katakan gerilya karena memang secara resmi kepengurusan blogger tuban community belum terbentuk, walau demikian bukan berarti tanpa kepengurusan  blogger tuban mati dan tidak memiliki peran di dalam dunia perbloggeran. Blogger Tuban termasuk organisasi yang istimewa, tanpa kepengurusan tanpa komando namun sel-sel dan jaringan yang melingkupi dan membentuk identitas blogger Tuban selalu hidup dan ada. 

Banyak hal positif yang telah dilakukan oleh blogger Tuban, khususnya dalam mengangkat tema-tema lokal Tuban dan juga peran aktif para anggota di dalam menampilkan dan menyajikan konten dan informasi di dunia cyber yang mendidik dan berkeadaban. Selain itu Blogger Tuban juga selalu berada di barisan terdepan dalam memerangi berita-berita hoax dan hal-hal yang berbau kepalsuan di dunia maya.

Saya secara pribadi sangat gembira dan memberikan apresiasi super positif kepada seluruh kawan-kawan blogger Tuban community dengan segala kiprahnya. Di sela-sela kesibukannya mereka masih menyempatkan diri dan berfikir memberikan sesuatu yang berguna bagi masyarakat. 

Dan yang lebih menggembirakan lagi, hari ini di kopdar ketiga yang dilaksanakan di Mangrove Center Jenu, keluarga besar blogger Tuban juga membentuk kepengurusan. Wah bakalan seru dan makin eksis komunitas blogger ini. Eh siapa ya kira-kira yang akan menjadi punggawa-punggawa di Blogger Tuban Community? yuk kita tengok!

Setelah saya intip dari wall group WhatsApp blogger Tuban berikut para pejabat tinggi tanpa gaji dan tanpa tunjungan apalagi subsidi di Blogger Tuban Community :
Susunan Kepengurusan Blogger Tuban
Ketua : Reyvan
Wakil : anis
Sekretaris : andhika
Bendahara : nur rohmah
Humas : mas wid
Publikasi : Rovic
SDM : bachtiyar, arif, mashari

Sayang seribu sayang, saya berhalangan hadir dan tidak ikut menjadi saksi dalam prosesi mulia ini, padahal sebelumnya telah saya rencanakan untuk bisa mengikuti kopdar yang ketiga ini. Namun tak apalah, doa dan dukungan selalu saya berikan untuk blogger Tuban, semoga sukses dan berkah selalu.

Selamat ya untuk para pengurus blogger Tuban, semoga dengan adanya kepengurusan ini blogger Tuban semakin maju dan yang terpenting bisa berkontribusi positif bagi masyarakat Tuban khususnya dan masyarakat dunia internasional tentunya.



Selasa, 16 Januari 2018

Durian Jlodro dan Misteri Situs Watu Jajar

Durian Jlodro dan Misteri Situs Watu Jajar

Oleh : Joyo Juwoto

Seperti yang telah saya tuliskan kemarin tentang perburuan buah durian di desa Jlodro Kec.  Kenduruan, ada hal lain yang sederhana namun cukup menarik yang ingin saya ceritakan kembali di blog saya ini. Sekitar pukul 14.30 WIB kemarin saya meluncur dengan gembira ceria ke Jlodro dengan berboncengan motor bersama istri dan kedua anak saya, Naila dan Nafa.

Di sepanjang perjalanan udara cukup sejuk karena cuaca agak mendung sehingga terik matahari tidak sempat menyentuh kulit kami. Alam siang itu cukup bersahabat sehingga kami bisa menikmati pemandangan yang cukup indah di sepanjang jalan yang kami lewati. Terlebih jalan yang kami lewati banyak melintasi hutan, tentu pepohonan-pepohonan menjadi hiasan di pinggir-pinggir jalan.

Lepas dari hutan di sebelah barat desa Sidotentrem, kami masuk desa Nglateng yang sudah masuk wilayah Kec. kenduruan. Nglateng ini mengingatkan kenangan saya sekitar 25 tahun silam. Tepatnya saat saya masih duduk di sekolah dasar. Saat itu kami siswa SDN Sidotentrem 02 mengadakan penjelajahan alam, berjalan dari  desa Sidotentrem menuju sendang yang berada di desa Nglateng. Pembina Pramuka kami adalah Pak Didik (bapak Hadi Yuswanto). Kenangan penjelajahan alam melintasi hutan itu cukup terkenang hingga saat ini, saya memang sangat menyukai kegiatan jelajah alam dan blusukan ke hutan-hutan.

Sejak dulu desa Nglateng terkenal sebagai sentra buah jambu mente. Biasanya jika musim berbuah, para penjual jambu mente menjajakan buah yang berasa nyegrak ini hingga ke desa di mana saya tinggal. Buah jambu mente ini bisa langsung dimakan atau di masak sebagai oseng-oseng. Dan yang paling saya suka buah ini dirujak pedas saat siang hari. Wuih, rasanya mantap sekali.

Sekarang desa Nglateng selain terdapat pohon jambu mente, di pekarangan rumah warga tumbuh pula pohon rambutan. Pohon-pohon itu ternyata juga berbuah cukup lebat, sayang saya belum bisa menikmati buah-buahan yang banyak tumbuh di daerah dingin itu. Ternyata selain durian di Jlodro yang akan saya kunjungi di daerah sini juga tumbuh pohon rambutan.

Di desa Nglateng ini terdepat sebuah situs yang oleh masyarakat dikenal dengan nama situs watu wayang. Sayang sekali situs yang terletak di pinggir lapangan dekat jalan raya ini sudah rusak. Kemarin saya lihat tinggal satu batu yang menonjol di sana. Saya sendiri tidak begitu paham apa itu situs watu wayang. Dari namanya mungkin di situ dulu ada batu-batuan yang mirip dengan wayang sehingga disebut sebagai watu wayang. Menurut penduduk sekitar sisa-sisa dari situs watu wayang ditaruh di lokasi sendang Nglateng. Saya pernah melihat batu itu, memang ada kemiripannya dengan tokoh-tokoh dalam wayang kulit.

Setelah melewati desa Nglateng perjalanan saya lanjutkan ke arah desa Jamprong. Sebuah desa yang terletak diketinggian perbukitan. Pemandangan di desa ini cukup eksotis dengan hamparan sawah yang berundak-undak. Rumah-rumah penduduk berjajar di sisi kiri dan kanan jalan, rumah-rumah itu berada di bawah jalan raya yang saya lewati. Beberapa bulan yang lalu di Jamprong ini terdapat pengeboran minyak, namun sekarang sudah berhenti beroperasi, saya tidak begitu paham mengapa demikian.

Setelah sampai di puncak desa Jamprong perjalan saya sudah mendekati lokasi durian Jlodro, tinggal satu melewati satu desa lagi yaitu Sokogunung. Sebelum memasuki Sokogunung kami harus melewati hutan kembali. Udara sore itu semakin sejk dengan pohon-pohon jati yang cukup lebat. Di tengah perjalanan saya melihat nenek-nenek berjalan menenteng ember. Setelah dekat ternyata si nenek ini membawa jamur dari hasil berburu di tengah hutan.

Saya pun berhenti, istriku yang tahu kala saya penyuka jamur serta merta mendekati nenek tadi. “Nek, jamure disade? tanya istri sambil mendekati nenek pemburu jamur. “Enggih Ning, mangga yen badhe ditumbas jamure” jawab si nenek. “Pinten mbah, jamurnya? tanya saya. “Kalih Doso mawon, Gus”. Kemudian istri saya pun mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu dan memberikannya kepada si nenek. Sebagai gantinya jamur itu pun kami bawa untuk kami masak di rumah.

Saat ini memang lagi musimnya jamur, namun tentu butuh perjuangan untuk mencarinya. Di pasar jamur hasil budi daya memang banyak dijual, namun saya lebih suka jamur liar hasil budi daya alam. jadilah kami membawa seember jamur sebelum sampai ke tujuan yaitu berburu durian.

Tak berselang lama, setelah perjalanan  melewati hutan sampailah kami di Sokogunung, walau namanya Sokogunung yang berarti tiangnya gunung tapi saya tidak melihat mana tiangnya dan mana gunungnya. Ya mungkin ini hanya sekedar nama saja, dan gunung yang dimaksud adalah bukit-bukit kecil yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai gunung, bukan gunung dalam pengertian yang sesungguhnya.

Dahulu memang desa Sokogunung, Jlodro, dan termasuk Jamprong memang berada di pedalaman hutan, dan topografinya memang perbukitan. Desa Sokogunung ini berbatasan langsung dengan desa Jlodro. Di Jlodro inilah seperti saya ceritakan di tulisan pertama saya terdapat pohon durian yang sedang berbuah.  Dan ini adalah akhir dari perburuan kami sesudah mendapatkan seember jamur hutan.

Selain berpotensi menjadi daerah wisata durian, desa Jlodro juga memiliki potensi wisata sejarah. Di Jlodro terdapat situs yang disebut sebagai situs watu jajar. Oleh masyarakat setempat lokasi situs ini dijadikan punden desa yang mana tiap tahunnya sesudah musim panen diadakan upacara bersih desa, atau manganan.

Situs watu jajar ini kemungkinan adalah kuburan kuno masyarakat awal yang mendiami pegunungan kendeng utara, yaitu masyarakat kalang, atau wong kalang. Tentu perlu studi mendalam untuk menentukan apa sebenarnya situs watu jajar tersebut. Tentu pihak pemerintah desa dan dinas terkait yang memiliki wewenang untuk membongkar misteri di balik watu jajar yang ada di wewengkon desa Jlodro Kec.Kenduruan.


Senin, 15 Januari 2018

Ternyata Ada Kampung Durian Runtuh Di Jlodro Kenduruan


Ternyata Ada Kampung Durian Runtuh Di Jlodro Kenduruan
Oleh : Joyo Juwoto

Pernah melihat film kartun dari negeri jiran Malaysia, Ipin dan Upin? Film ini sangat digemari oleh anak-anak Indonesia, termasuk saya yang sudah tdak anak-anak juga sangat suka melihat kartun ini. Dua bersaudara gundul-gundul pacul ini tinggal di suatu kampung yang dikenal dengan nama Kampung Durian Runtuh. Ditilik dari namanya tentu dalam bayangan kita kampung ini terdapat pohon duriannya. Ya memang begitu, sebuah nama kampung biasanya mengisyaratkan tentang kondisi topografi maupun goegrafis kampung itu sendiri.
Saya selalu membayangkan bahwa ketika musim durian, Kampung durian runtuh ini akan berpesta pora dengan aroma sedap buah durian, atau lebih hebohnya ada semacam festival buah durian. Wuihh! mantap dan begitu menyenangkannya ya tinggal di kampung durian atau setidaknya dekat dengan kampung itu.
Saya yang di Bangilan membayangkan andai pohon durian bisa tumbuh dan berbuah di daerah saya sini, alangkah enaknya. Maklum secara geografis Bangilan dan sekitarnya bukanlah tempat yang cocok untuk jenis tumbuhan dari daerah berhawa sejuk dan dingin ini. Lebih-lebih penduduk Bangilan dan sekitarnya belum ada yang menanam pohon durian secara serius. Mungkin ya tadi sebabnya kondisi alamnya tidak cocok dengan tanaman berbau tajam dan berkulit duri lancip ini.
Tak disangka tak dinaya, seperti alam yang terus berubah ternyata di dekat daerah saya, tepatnyadi desa Jlodro Kec. Kenduruan kok ada penduduk yang memiliki beberapa pohon durian. Ini tentu sangat langka, Dan hebatnya pohon ini ternyata bisa menghasilkan buah. Saya mengetahui ini dari membaca salah satu pemberitaan media online, wah saya terpana ternyata di dekat kampung saya ada juga kampung yang mirip dengan kampungnya Ipin Upin tadi.
Sebenarnya setelah saya telisik di mbah google, pemberitaan mengenai pohon durian di Jlodro sudah ada sejak Februari 2017. Bahkan oleh pihak pemerintah desa dan kecamatan produk durian dari Jlodro telah dipamerkan juga dalam produk unggulan khas Kenduruan selain tape tawaran yang terkenal seantero kabupaten. Berarti sudah satu tahun yang lalu buah durian ini dikenalkan kepada publik. Eh ngapain saja ya saya, kok baru mengetahuinya sekarang?
Demi membaca pohon durian yang tumbuh dan berbuah di dekat kampung saya, maka tanpa perlu banyak pertimbangan satu, dua dan tiga, saya pun meluncur ke lokasi dengan istri dan anak-anak saya. Wah keren sekali ini, sekalian wisata kuliner buah durian di kampung Jlodro Kenduruan yang telah menjelma menjadi kampung durian runtuh ala Ipin dan Upin.
Untuk mencapai lokasi desa Jlodro dari tempat saya tidak jauh, sekitar 30 menitan sudah sampai di lokasi. Terlebih jalannya sudah beraspal dan cukup bagus. Saya yang dari Bangilan langsung mengambil rute dari kota kecamatan Bangilan ke barat lewat desa Sidotentrem terus menembus hutan  ke barat arah Nglateng. Dari Nglateng saya mengambil arah tanjakan desa Jamprong yang kemudian sampai di jalan raya Sokogunung. Dari Sokogunung ini Jlodro sudah sangat dekat sekali, karena memang dua desa ini saling berbatasan.
Sesampai di desa Jlodro saya pun langsung beraksi bertanya-tanya kepada warga yang saya temui tentang pohon durian yang berbuah di desa mereka. Ternyata memang tidak susah mencari berita yang sudah viral di media sosial. Langsung saja saya pun ke rumah salah satu warga yang memiliki pohon durian. Ya, saya ke rumah Mbah Sumijan, salah seorang yang mendapat berkah dari pohon duriannya yang berbuah cukup lebat. Wah ternyata bener ya, di desa Jlodro Kenduruan terdapat kampung durian runtuh kayak di film kesukaan anak-anak saya itu.
Eh,  cukup sekian dulu ya cerita  saya mengenai kampung durian di desa Jlodro Kec. Kenduruan, nanti kalau ada waktu saya tuliskan juga serunya perjalanan berburu durian di kampung durian Jlodro. Daa... terima kasih.


Kamis, 11 Januari 2018

Pram dan Pelarangan buku-bukunya

Pram dan Pelarangan buku-bukunya
Oleh : Joyo Juwoto

Buku-buku yang terlahir dari pena sastrawan dari Blora ini cukup banyak, Pram termasuk penulis produktif yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Tidak hanya produktif, karya dari Pramoedya Ananta Toer ini juga memiliki ruh yang selalu hidup dan berdenyut hingga sekarang di nadi ideologis para pecintanya,  begitu juga karya Pram masih menjadi hantu yang gentayangan di kepala para pembencinya.

Semboyan Pram menulis adalah tugas pribadi dan tugas nasional, oleh karena itu disepanjang hidupnya ia selalu menulis, menulis dan menulis. Dengan segala keterbatasannya Pram tidak menyerah oleh keadaan. Walau dalam penjara ia terus menulis. Berkat kegigihannya dalam menulis, tidak kurang dari 50 buah judul buku yang terlahir dari goresan tintanya. Sayang, tidak semua karya Pram bisa dinikmati dan dideras oleh para pembacanya, karena beberapa bukunya musnah diterkam kepicikan dan kekerdilan cara berfikir dalam khasanah tradisi literasi bangsa ini.

Saya kadang tidak habis pikir, lembaran-lembaran kertas yang dijilid menjadi sebuah buku bisa begitu ditakuti, dan menjelma menjadi momok yang menakutkan bagi penguasa kala itu. Saya sebenarnya bertanya-tanya, sudahkah buku-buku itu dibaca kemudian apakah benar buku-buku Pram berbahaya? Saya tidak yakin, kelompok-kelompok tertentu yang membakar buku Pram tahu isi dari apa yang telah ditulis oleh Pram. Jangan-jangan hanya karena prasangka, buku itu menjadi korban vandalisme yang yang jauh dari nilai-nilai berkeadaban.

Dosa apa yang dikandung oleh bukunya Pram sehingga buku itu harus dibakar dan dimusnahkan? Seharusnya sebuah buku itu dibaca bukan dibakar. Saya jadi teringat sebuah tulisan yang di pasang di dinding depan Pataba, “Bacalah bukan bakarlah!” Karena tulisan itu sudah terlalu mainstream dan lama menempel di sana, oleh Pak Soesilo Toer sebenarnya tulisan itu mau diganti menjadi begini : “Bacalah, dan bakarlah...,” untuk titik-titiknya bisa diisi sendiri oleh para pembacanya sesuai dengan selera dan mood yang dirasakan saat membaca.

Sejauh yang saya ketahui dan saya baca dari bukunya Pram, saya merasa biasa saja ketika membaca karya-karya beliau. Tidak ada hantu menakutkan di dalam tulisan Pram. Saya mungkin terlalu lugu untuk bisa menilai sebuah tulisan, namun setidaknya saya membaca tuntas buku-buku itu dan saya tidak pernah menemukan hal-hal yang dianggap membahayakan setidaknya menurut nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini saya pahami.

Tradisi vandalisme pembakaran buku memang tidak hanya terjadi pada buku Pram, jauh sebelum itu pembakaran buku-buku yang dianggap berbahaya kerap dilakukan oleh kelompok-kelompok yang merasa punya legalitas terhadap kebenaran sebuah teks. Bukan sejarah baru sebuah buku harus lenyap dengan cara yang tidak manusiawi.

Alasan pemusnahan buku-bukunya Pram mungkin saja ada hubungannya dengan keterlibatan beliau dalam sayap organisasi partai yang saat itu dilarang oleh pemerintah, tetapi seperti yang saya katakan di atas bahwa sejauh yang saya ketahui tulisan Pram sama sekali tidak ada hubungannya dengan partai-partain itu. Saya tidak sedang memberikan pembelaan terhadap Pram, toh ia sudah membayarnya dengan banyak menghabiskan sebagian besar hidupnya di penjara  sebagai konsekuensi dari sikap yang dipilihnya.

Kalau mungkin ada yang tidak setuju dengan pendapat dan pandangan saya maklum saja, karena setiap manusia tentu memiliki pandangan yang berbeda-beda. Namun saya hanya ingin memandang dengan kaca mata keadilan terhadap apa yang telah ditulis oleh Pram, bahwa Pram adalah penulis yang sangat peduli dan dipenuhi cinta terhadap tanah air di mana dipijaknya.

Di tulisan ini saya hanya ingin menegaskan sebagaimana yang ditulis oleh Pram dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja”, bahwa tugas manusia ialah menjadi manusia itu sendiri, sehingga tidak layak jika sesama manusia tidak berlaku secara manusiawi. Kita sebagai manusia harus saling mengasihi, saling menghargai, saling asah-asih dan asuh guna mewujudkan kehidupan yang baik dan beradab.