Kamis, 07 Desember 2017

Wejangan Presiden Jancukers di Hari Jadi Tuban Yang ke 724

Wejangan Presiden Jancukers di Hari Jadi Tuban Yang ke 724
Oleh : Joyo Juwoto

Perayaan hari  jadi Tuban yang ke 724 kemarin berjalan cukup meriah, salah satunya adalah kegiatan yang banyak dinanti oleh masyarakat yaitu ngaji budaya bersama Cak Nun dan Kia Kanjeng. Pengajian yang dilaksanakan di alun-alun kota Tuban kemarin cukup meriah dan gayeng, sayang beribu sayang, saya tidak bisa hadir di acara tersebut.

Cak Nun dan Kiai Kanjengnya selalu bisa memberikan hal-hal yang baru dan segar di setiap penampilannya, saya sendiri termasuk penyuka lagu-lagu yang dibawakan oleh Kiai Kanjeng. Tentang ngaji budaya Cak Nun dan pembangunan konstruksi pemikiran generasi muda, saya sangat suka, tapi untuk tulisan saya ini saya ingin mengulas sedikit mengenai apa yang disampaikan oleh bintang tamu sang Presiden Jancukers Indonesia, Sujiwo Tejo.

Presiden Jancukers Sujiwo Tejo dalam pembicaraannya di alun-alun kemarin banyak menggunakan bahasa-bahasa yang dalam, penuh metafor dan juga dengan lagu-lagu yang digubahnya. Menurut Sujiwo Tejo, tidak ada yang mampu mencipta kecuali Tuhan, oleh karena itu dia lebih suka menggunakan kata menggubah lagu.

Di awal berbicara Sujiwo Tejo memperkenalkan lagu kebangsaan Republik Jancukers. Dalam definisi buku Republik Jancukers (2012), Sujiwo Tejo memperkenalkan definisi kata “Jancuk” dengan sebuah syair yang luar biasa “Kalau dengan jancuk pun aku tidak bisa menjumpai hatimu dengan air mata mana lagi dapat kuketuk hatimu” wis mbuh lah sak karepmu mbah!

Sesudah membahas kata “Jancuk” lagu kebangsaan Jancukers pun dinyanyikan dengan iringan musik dari Kiai Kanjeng. Setelah membahas kalimat itu, Sujiwo Tejo membahas mengenai wayang, tentang kesejatian dalam pralambang cerita Bambang Ekalaya yang berguru pada Resi Durna. Karena tidak bisa berguru secara langsung, Ekalaya berguru pada patung Resi Durna di tempat latihannya di hutan Parang Gelung. Walau demikian kemampuan memanah Ekalaya mampu mengalahkan Arjuna yang berguru secara langsung kepada Resi Durna.

Di akhir acara, Sujiwo Tejo membahas dan menjabarkan dengan indah dan syahdu mengenai makna keikhlasan yang diambilkan dari ajaran Raden Sosro Kartono (Kakak RA. Kartini). Ajaran itu tertulis di nisan beliau yang ada di kota Kudus. Bunyi ajaran itu sebagai berikut :

“Sugih tanpa bandha
Digdaya tanpa aji
trimah mawi pasrah
sepi pamrih, tebih ajrih

Langgeng tanpa susah, tanpa seneng
anteng mantheng
sugeng jeneng”

Ajaran adi luhur dari Raden Sosro Kartono ini juga telah digubah oleh Sujiwo Tejo menjadi sebuah lagu yang bercengkok Banyuwangi. Saya termasuk orang yang ngefans dengan lagu-lagu yang digubah dan dinyanyikan oleh Presiden Jancukers Indonesia itu.

Dalam filosofi wayang, Semar berkata seseorang itu harus memiliki sifat Tadah, Pradah, Ora Wegah. Tadah adalah tiada doa lain kecuali alhamdulillah. Pradah bermakna ikhlas, ora wegah bermakna saguh, atau siap menjalankan amanah dengan sebaik mungkin. Siapapun yang  memiliki sifat tadah, pradah, dan ora wegah, tidak perduli apakah ia kaya atau miskin, apabila dia membutuhkan segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan-urusannya, maka Gusti Allah akan mengijabahi permintaannya.

Di akhir acara ngaji bareng Cak Nun, masing-masing narasumber mengakhiri pertemuan malam itu dengan kalimat inti dan closing statement. Sebagaimana biasanya Sujiwo Tejo menutup pertemuan itu dengan kalimatnya yang fenomenal yang berbunyi :

Menghina Tuhan nggak harus menginjak-injak kitab suci-Nya, nggak harus memain-mainkan nama Rasul-Nya. Besok khawatir kau tidak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan”

Demikian sedikit hal yang dapat satu tulis dan saya rangkum dari wejangan Presiden Jancuker Indonesia. Salam Rahayu.



1 komentar:

  1. Wejangan terakhir sangat sufi sekali. Aku juga lagi mikir2 bikin artikel terkait sufisme masyarakat desa yg membuat orang desa sangat sederhana dalam memaknai kehidupan. :-D

    BalasHapus