Kamis, 28 Desember 2017

Anak Singkong

Anak Singkong
Oleh : Joyo Juwoto*

Sepotong senja menggantung di langit lazuardi, awan putih menghias dinding-dinding langit, berarak perlahan, mengambang bagai kapas ditiup angin. Corak langit sore itu sangat indah dan cerah, menurut bapak dan emakku dulu, jika langit tampak cerah dengan corak awan putih bersisik-sisik seperti ikan, maka harga ikan asin di pasar sedang murah. Karena laut sedang banyak ikannya sehingga nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah.

Saya tidak pernah mempertanyakan kebenaran dari omongan bapak dan emak saya, karena selain rumah saya jauh dari laut, baik ikan asin itu sedang turun atau naik harganya, tetaplah gethuk menjadi menu sarapan terbaik kami sekeluarga. Ikan asin tidak pernah terbeli selain di waktu-waktu tertentu. Jika kami membelinya itu pun memilih  ikan asin jenis pindang juwi yang harganya murah. Maklum sebagai petani kecil keluargaku harus bisa menghemat pengeluaran demi dapur tetap mengepul setiap hari.

Agar tidak bosan dengan gethuk kadang menunya diganti, itu pun tetap sama varian dasarnya, yaitu dari singkong. Emakku dan rata-rata penduduk dilingkungan kami yang juga petani kecil memang kreatif dalam mengolah keterbatasan. Sepotong singkong bisa menjadi bermacam-macam jenis makanan. Kadang singkong itu digoreng, kadang digodog, kadang dibuat ketiwul, kadang disredek, dan dibuat berbagai ragam dan corak menu lainnya, namun hakekatnya tetap sama, yaitu makanan kami sumbernya tetap sama, yaitu singkong.

Singkong ibarat pohon kehidupan bagi penduduk kampung kami yang tinggal di tepian hutan. Daunnya bisa menjadi sayur lodeh yang citarasanya melelehkan air liur, singkongnya jelas dan terbukti menjadi makanan pokok dan beragam makanan khas lainnya, pohonnya bisa dipakai kayu bakar, sekaligus bisa dipakai bibit dan ditanam kembali menjadi singkong-singkong baru. Saya yakin yang dimaksud dalam lagu lawas Koes Plus “tongkat kayu dan batu jadi tanaman” adalah pohon singkong yang menjadi pohon kehidupan di kampungku.

Selain menjadi pokok kehidupan, singkong juga menjadi arena bermaian anak-anak di kampung saya. Saat siang yang panas, atau saat senja mulai menebar sinar jingganya, kami biasa bermain-main di sela-sela pohon singkong. Pohon singkong memang tidak sekokoh pohon jati, tidak pula serimbun pohon beringin, tetapi di bawah jari-jemari daun singkong kami bisa bersembunyi dari panas saat mencari rumput, atau saat berlindung dibawahnya membuat rumah-rumahan sambil bermain wayang-wayangan yang dirangkai dari pelepah daun singkong.

Mungkin kamu belum pernah dengar ya, wayang dari pelepah daun singkong? Saya sendiri tidak tahu apakah anak-anak sekarang mengenal model wayang dari pelepah daun singkong. Tapi saya masing mengingatnya, di waktu kecil paman saya membuatkan mainan wayang-wayangan yang dianyam dari pelepah daun singkong, sungguh saya masih ingat betul, dengan wayang itu saya mendalang tanpa pakem dan tanpa cerita.

Ah, saya banyak berceloteh dan bermonolog membosankan yang tidak jelas di cerita saya yang tidak awut-awutan ini, walau saya sendiri juga tidak tahu siapa yang mendengarkan cerita saya, atau bahkan mungkin saya bercerita dengan diri saya sendiri sebagai pendengarnya. Pokoknya saya merasa senang dan bahagia menjalani masa kanak-kanak di bawah pohon singkong, bermain di bawah pohonnya, tumbuh dan berkembang dari hasil umbinya yang diolah menjadi berbagai macam cemilan khas oleh tangan-tangan pemilik surga di telapak kakinya. Ah, bahagianya menjadi anak singkong.


*Joyo Juwoto, Pegiat Literasi di Komunitas Kali Kening Bangilan Tuban.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar