Kamis, 28 Desember 2017

Anak Singkong

Anak Singkong
Oleh : Joyo Juwoto*

Sepotong senja menggantung di langit lazuardi, awan putih menghias dinding-dinding langit, berarak perlahan, mengambang bagai kapas ditiup angin. Corak langit sore itu sangat indah dan cerah, menurut bapak dan emakku dulu, jika langit tampak cerah dengan corak awan putih bersisik-sisik seperti ikan, maka harga ikan asin di pasar sedang murah. Karena laut sedang banyak ikannya sehingga nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah.

Saya tidak pernah mempertanyakan kebenaran dari omongan bapak dan emak saya, karena selain rumah saya jauh dari laut, baik ikan asin itu sedang turun atau naik harganya, tetaplah gethuk menjadi menu sarapan terbaik kami sekeluarga. Ikan asin tidak pernah terbeli selain di waktu-waktu tertentu. Jika kami membelinya itu pun memilih  ikan asin jenis pindang juwi yang harganya murah. Maklum sebagai petani kecil keluargaku harus bisa menghemat pengeluaran demi dapur tetap mengepul setiap hari.

Agar tidak bosan dengan gethuk kadang menunya diganti, itu pun tetap sama varian dasarnya, yaitu dari singkong. Emakku dan rata-rata penduduk dilingkungan kami yang juga petani kecil memang kreatif dalam mengolah keterbatasan. Sepotong singkong bisa menjadi bermacam-macam jenis makanan. Kadang singkong itu digoreng, kadang digodog, kadang dibuat ketiwul, kadang disredek, dan dibuat berbagai ragam dan corak menu lainnya, namun hakekatnya tetap sama, yaitu makanan kami sumbernya tetap sama, yaitu singkong.

Singkong ibarat pohon kehidupan bagi penduduk kampung kami yang tinggal di tepian hutan. Daunnya bisa menjadi sayur lodeh yang citarasanya melelehkan air liur, singkongnya jelas dan terbukti menjadi makanan pokok dan beragam makanan khas lainnya, pohonnya bisa dipakai kayu bakar, sekaligus bisa dipakai bibit dan ditanam kembali menjadi singkong-singkong baru. Saya yakin yang dimaksud dalam lagu lawas Koes Plus “tongkat kayu dan batu jadi tanaman” adalah pohon singkong yang menjadi pohon kehidupan di kampungku.

Selain menjadi pokok kehidupan, singkong juga menjadi arena bermaian anak-anak di kampung saya. Saat siang yang panas, atau saat senja mulai menebar sinar jingganya, kami biasa bermain-main di sela-sela pohon singkong. Pohon singkong memang tidak sekokoh pohon jati, tidak pula serimbun pohon beringin, tetapi di bawah jari-jemari daun singkong kami bisa bersembunyi dari panas saat mencari rumput, atau saat berlindung dibawahnya membuat rumah-rumahan sambil bermain wayang-wayangan yang dirangkai dari pelepah daun singkong.

Mungkin kamu belum pernah dengar ya, wayang dari pelepah daun singkong? Saya sendiri tidak tahu apakah anak-anak sekarang mengenal model wayang dari pelepah daun singkong. Tapi saya masing mengingatnya, di waktu kecil paman saya membuatkan mainan wayang-wayangan yang dianyam dari pelepah daun singkong, sungguh saya masih ingat betul, dengan wayang itu saya mendalang tanpa pakem dan tanpa cerita.

Ah, saya banyak berceloteh dan bermonolog membosankan yang tidak jelas di cerita saya yang tidak awut-awutan ini, walau saya sendiri juga tidak tahu siapa yang mendengarkan cerita saya, atau bahkan mungkin saya bercerita dengan diri saya sendiri sebagai pendengarnya. Pokoknya saya merasa senang dan bahagia menjalani masa kanak-kanak di bawah pohon singkong, bermain di bawah pohonnya, tumbuh dan berkembang dari hasil umbinya yang diolah menjadi berbagai macam cemilan khas oleh tangan-tangan pemilik surga di telapak kakinya. Ah, bahagianya menjadi anak singkong.


*Joyo Juwoto, Pegiat Literasi di Komunitas Kali Kening Bangilan Tuban.


Kamis, 21 Desember 2017

Ajaran Dari Raden Sosro Kartono

Google.com
Ajaran Dari Raden Sosro Kartono   
Oleh : Joyo Juwoto


Hari-hari ini saya sedang gandrung-gandrungnya menyanyikan lagu yang digubah oleh Sujiwo Tejo yang diadobsi dari ajaran Raden Sosro Kartono, kakak dari Pahlawan emansipasi wanita Indonesia, Raden Ajeng Kartini.   Lagu ini saya pakai rengeng-rengeng sambil saya resapi dan saya selami makna dan artinya.

Selain menelusuri arti dan makna, saya juga berusaha menangkap daya kekuatan dan mewadahi cahaya spiritual yang terpancar dari setiap kata-kata yang terangkai dalam falsafah tersebut, agar lagu ini tidak hanya sekedar lagu namun memiliki kekuatan positif yang merasuk dalam setiap pori-pori kehidupan.

Berikut saya kutipkan syair dari lagu berbahasa Jawa tersebut :

Sugih tanpa bandha
Digdaya tanpa aji
trimah mawi pasrah
sepi pamrih, tebih ajrih

Langgeng tanpa susah, tanpa seneng
anteng mantheng
sugeng jeneng”

         
Bagi masyarakat selain Jawa tentu akan kesulitan memahami bahasa tersebut, namun juga tidak menjamin setiap orang Jawa telah paham falsafah agung yang terangkai dalam bahasa ibu mereka. Ajaran dalam syair lagu ini memang menggunakan kata-kata yang berlapis, yang harus kita kupas satu persatu isi dan maknanya.


Sugih tanpa bandha
Falsafah sugih tanpa bandha ini mengingatkan saya dengan sebuah mahfudhot yang berbunyi “Al Ghaniyyu Ghaniyyun Nafsi” artinya orang yang kaya itu adalah yang kaya jiwanya. Kekayaan yang kita miliki harus kita sadari bahwa itu hanyalah titipan belaka, kekayaan itu hanya akan menjadi benda material belaka tanpa arti, yang tidak akan kita bawa mati kecuali harta yang kita pakai untuk kebaikan.

Didaya tanpa aji
Digdaja tanpa aji memiliki makna kuat tanpa perlu memakai azimat. Seseorang kadang menginginkan punya kesaktian lebih dengan laku tirakat, mengamalkan ilmu-ilmu kedigdayaan agar sakti mandraguna. Tapi pada hakekatnya tidak ada yang memiliki kekuatan dan kesaktian kecuali hanya Tuhan. Dalam falsafah Jawa lainnya dikatakan “Ora ana kasekten kang bisa madani pepesthen” tidak ada kesaktian  apapun di dunia ini yang mampu menolak takdir dan kepastian dari Tuhan. Oleh karena itu jika kita memiliki kesaktian dan kekuatan linuwih jangan merasa sombong, karena di atas langit masih ada bentangan langit yang tak terbatas.

Tidak ada di dunia ini kesaktian dalam bentuk apapun yang tidak memiliki kelemahan, hanya kebaikan dan sifat luhur budi saja yang akan bertahan di setiap waktu dan tempat. Sura dira jaya diningrat lebur dening pangestuti.

Trimah mawi pasrah
Menerima segala takdir dan ketentuan Tuhan adalah cara terbaik dalam menjalani laku kehidupan. Orang Jawa mengatakan “Urip mung sakderma nglakoni” hidup hanyalah sekedar menjalankan titah Tuhan di muka bumi. Oleh karena itu kepasrahan kepada segala ketentuan dan garis Tuhan adalah cara terindah dalam menjalani takdir kita di dunia ini. Setiap saat pujian dan doa kita hanyalah “alhamdulillah”.

Sepi Pamrih, Tebih ajrih
Sepi ing pamrih rame ing gawe, sudah menjadi sesanti masyarakat kita. Hidup tak memiliki pamrih untuk hidup itu sendiri, namun hidup hanyalah untuk Yang Maha Hidup. Hidup hanya untuk Tuhan, jalan ketuhanan, dari Allah untuk Allah dan menuju Allah. Oleh karena itu tidak perlu kita takut dengan kehidupan ini. Doa yang kita panjatkan adalah “laa hawwla wa laa quwwata illa billah”.

Jika empat point ajaran di atas telah merasuk dalam jiwa dan kehidupan kita maka hal yang akan kita capai adalah “langgeng tanpa susah, tanpa seneng”. Kita akan mencapai maqam yang oleh Cak Nun dikatakan sebagai “Laa syarqiyyah wa laa gharbiyyah” maqam yang dalam dunia pewayangan digambarkan sebagai sosok Semar. Sosok yang telah memahami alam hakekat, sehingga baginya antara senang dan susah tidak ada garis pemisah.

Anteng Mantheng adalah sikap batin yang telah mencapai kesejatian hidup, jiwanya tidak goyah dan terpesona dengan gebyarnya dunia. Hatinya tenang tidak tergoda dengan segala tetek bengeknya dunia. Orang yang hatinya anteng mantheng tinggal selangkah menuju singgahsana Tuhan. Bahkan Tuhan dengan mesra akan memanggilnya “Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’ii ila Rabbiki raadiyatam mardiyyah, fadkhulii fii ibaadii fadkhulii jannatii”.


Jika seseorang telah anteng dan  mantheng hatinya maka dipastikan kelak ia akan mendapat sebutan yang baik atau sugeng jeneng, ingkang suwargi, atau dalam bahasa agamanya dikenal dengan sebutan almarhum yang hidup di alam keabadian dan kelanggengan.

Rabu, 20 Desember 2017

Desa Akar Jiwa

Desa Akar Jiwa
Oleh : Joyo Juwoto

Jejak-jejak kakiku ini masih ada dan meninggalkan bekas, diantara rumput-rumput basah dan tanah yang berlumpur. Bau tanah yang tersiram air hujan, angin sore yang membelai dedaunan penuh kesyahduan, dan gremicik nyanyi sungai yang kesepian ditinggal anak-anak yang dicintainya.

Jejak-jejak kakiku ini masih berbekas, diantara batu-batu kali dan kedung-kedung yang kehilangan gaung. Jejak kakiku masih ada , kokoh terbangun di kedalaman palung jiwa.

Belalang sembah menari indah di panggung daun pari yang mulai tumbuh bersemi, yuyu-yuyu membuat rumah di lumpur-lumpur sawah, sepasukan kodok meniup akapela senja dengan suaranya dibalik tempias hujan yang basah.

Sawah-sawah menghampar luas, padi menghijau royo-royo, air mengalir, tanah menggembur, memendam asa  dan harapan petani-petani perkasa. Burung-burung terik beterbangan di angkasa membentuk formasi rupa-rupa disoraki gembala yang pulang dengan kerbau dan sapinya ke kandang. "Bunder-bunder koyok wader, dowo-dowo koyok ula".(Bulat-bulat seperti ikan wader, panjang-panjang seperti seekor ular).

Desa adalah lumbung kehidupan, desa adalah pengukir jiwa anak-anak yang terlahir dan dibesarkan di sana, desa menjadi tanah tumpah darah yang selalu dirindukan kapanpun dan di manapun. Desa menjadi pertalian jiwa dan tempat kembali yang membahagiakan. Desa adalah akar bagi tumbuh berkembangnya pohon-pohon kehidupan, desa adalah asal  muasal dan sangkan serta kemurnian dari pola kehidupan manusia.


Bagai bangau terbang mengangkasa, pada saatnya kembali ke pelimbahan juga. Begitu juga desa menjadi tempat kembali yang menentramkan hati. Secuail kenangannya akan terus tertanam di bumi batinmu. Kemanapun engkau pergi jangan kau lupakan desa yang menjadi ibu bumi pertiwi dan yang telah mengasuh bagi kehidupanmu yang sekarang.  

Secauk air yang engkau minum, kesegaran udara yang engkau hirup, tanah yang engkau pijak, dan tanaman-tanamannya yang telah engkau makan,  akan menjelma menjadi rindu dan kenangan yang terus ada dan berkembang menjadi taman-taman bunga surgawi. 

Sebagaimana ibu kandungmu sendiri, desa adalah punjer dan menjadi pepunden yang mana bakti dan kecintaanmu harus selalu ada. Karena desa memberimu cinta tulus dan pengorbanan yang tidak terhingga. 

Senin, 18 Desember 2017

Gerak Sastra Tuban Kini dan Masa Depan

Gerak Sastra Tuban Kini dan Masa Depan
Oleh : Joyo Juwoto

Berbicara mengenai sastra Tuban seperti berbicara pada angin yang berhembus, berdialog dengan diri sendiri atau seperti bertanya pada rumput yang bergoyang, hanya simbol dan pralambang-pralambang yang mungkin bisa kita dapati jika kita memaksa untuk terus bertanya dan menelusuri tentang geliat sastra Tuban .

Walau Tuban mungkin telah mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh besar sejak zaman Ronggolawe, namun dalam bidang sastra saya belum pernah mendengar nama cucu-cucu Ronggolawe ikut serta mewarnai jagad sastra nasional. 

Tuban sebagaimana yang dikatakan oleh Cak Sariban dalam dialog para penulis Tuban di Cafe Nusantara sabtu kemarin (16/12/2017) mengatakan bahwa sastra Tuban tumbuh dalam gerilya. Ini memiliki arti bahwa di Tuban sendiri sebenarnya gerakan sastra sudah ada, hanya saja masih dalam tahapan gerakan senyap alias para sastrawanTuban sedang berada di jalur sepi, atau istilah anak jaman now sedang jomblo tanpa pendamping.

Angin positif tampaknya mulai berhembus, hawa segar mulai terasa, setelah sekian tahun menjadi gerakan senyap sastra Tuban mulai menampakkan identitasnya. Bersama Dewan Kesenian Tuban para penulis yang kemarin berkumpul menyatakan kesiapannya untuk membangun sastra Tuban agar lebih dikenal dunia luar. Setidaknya ini adalah awal yang baik para para gerilyawan sastra Tuban.

Tidak seperti Bojonegoro, Lamongan, dan Gresik, masih menurut Cak Sariban dalam makalah yang beliau sampaikan, bahwa tetangga dekat Kabupaten Tuban bisa maksimal gerak langkah dalam meniti tangga sastra nasional salah satu sebabnya adalah daerah-daerah tersebut memiliki jaringan organisasi formal dan rapi serta memiliki dana yang dibiayai uang pajak rakyat melalui dewan kesenian masing-masing wilayah. Tuban, saya sendiri tidak tahu, apakah ada dana sejenis untuk mengembangkan dan menggerakkan sastra Tuban melalui Dewan Kesenian Tuban (DKT). 

Tetapi kita patut catat, Tuban dengan status jomblo akutnya, dengan konsep kemandirian dan gerakan senyapnya bisa bertahan bahkan menggeliat bangkit secara perlahan menuju status jomblo revolusioner dan mulai menunjukkan identitasnya, ini lho penulis Tuban. Perlahan namun pasti nama-nama penulis Tuban mulai mekar dan moncer melalui komunitas-komunitas lokal yang dihidupi oleh energi cinta dan kasih sayang.

Sekarang Tuban bisa dengan pede mengatakan dan menyebutkan nama-nama penulis dengan karya-karyanya yang luar biasa. Selain itu Tuban juga memiliki komunitas-komunitas lokal yang siap membangun jaringan organisasi yang nantinya bisa dikenal di level sastra nasional. Dalam  Pertemuan penulis Tuban dalam rangkaian TAF (Tuban Art Festival) di cafe Nusantara menjadi bukti ruh kepenulisan Tuban itu ada. 


Rabu, 13 Desember 2017

Pesan Pengasuh Ponpes ASSALAM Bangilan Di Pekan Classmeeting dan Liburan Santri

Pesan Pengasuh Ponpes ASSALAM Bangilan Di Pekan Classmeeting dan Liburan Santri
Oleh : KH. Yunan Jauhar, S.Pd., M.Pd.I

بسم الله الرحمن الرحيم
الســلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حَمْداً يُوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِى مَزِيْدَهُ، يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلاَلِ وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ  وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ.اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ بِإِحْسَان إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, أَمَّا بَعْدُ.
Bapak-Bapak Guru, Santri-santri yang kami cintai, dan Keluarga Besar Pondok  Pesantren ASSALAM yang berbahagia.
Hari ini, kami Pengasuh Pondok ASSALAM beserta para santri dan guru, ditambah asatidzah dan ustadzah, pagi hari ini menyaksikan gerak langkah, sepak terjang perjuangan Pondok ASSALAM di masyarakat. Jumlah 1500 Santri berada di tengah-tengah kita menempuh perjalanan hidup, menggapai dunia ilahi.
Betapa besarnya nikmat Allah untuk Pondok Pesantren ASSALAM dan betapa agungnya nilai-nilai perjuangannya, suatu karunia yang tak ternilai dengan apapun, sekaligus amanat menuju ridlo Allah. 
Tidak mensyukuri kemajuan orang yang tak pernah mengalami kemunduran atau kemandegan. Marilah kita semua berbuat, bekerja, berfikir dan berdo’a siang dan malam, semaksimal mungkin, dengan vitalisasi tenaga, dengan fikiran, dengan hati, berbekal ilmu dan akhlak.

عُلُوْمٌ نَافِعَةٌ – وَأَخْلاَقٌ كَرِيْمَةٌ. اِعْمَلُوْا فَوْقَ مَا عَمِلُوْا
Berbuatlah lebih dari yang para pendahulu berbuat, BERPACU MENUJU YANG LEBIH BAIK
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً (الأية).
Rasa “percaya diri” kita, pada sistem pendidikan yang memadukan ide, gerak dan langkahnya mendapatkan simpati, kepercayaan dan pengakuan semua lapisan masyarakat, sehingga meskipun menghadapi hadangan pihak yang tak suka ( يريدون ليطفؤونورالله  ), bermunculanlah sistem ini  berbarengan dengan laju pesatnya minat mengamalkan ajaran/syari’at Islam.

Anak-anakku sekalian, keluarga besar PondokASSALAM.
Semua santri & guru Pondok ASSALAM sampai yang berkeluarga, harus menghayati dengan benar isi Khutbatul ‘Arsy, yakni : Pidato tentang kebijakan-kebijakan, program-program jangka pendek dan jangka panjangnya agar tidak berfikir individual, Ayoh Mas nyang sarangan, Ayo Mas nyang selekta atau  Awake dewe oleh opo Mas?! Awake dewe duwe opo mas? Kapan duwe “anu” lho maas! Ini Penyakit, atau berfikir sektoral, hanya memikirkan urusannya. Ujung-ujungnya mudah tercemar (terkontaminasi), tersusup (terinfiltrasi), ‘anasir-‘anasir yang merusak atau memalingkan.

Memalingkan dari tugas-tugas sebagai pejuang-pejuang, suami pada istri, istri kepada suami, jangan sampai memalingkan tujuan pengabdian, perjuangan, disini adanya adalah “give, give, give” tidak ada kamus “take” dipondok ini. Suami juga demikian, bapak juga demikian “Nak izin nak, besok izin kakakmu mau kawin, “Nak minta izin kepada Kyai, besok pagi adikmu ulang tahun, Nak besok tanggal sekian, saya pulang karna kambingmu akan disunati”. “Ini penyakit, ini penyakit” “penyakit jiwa” “penyakit panca jiwa”.

Mulai tahun ini ada pernyataan penyerahan tertulis wali santri demi pencerahan hati/niat dan demi rasa tanggungjawab bersama, apalagi di zaman carut marutnya peradaban-peradaban yang ditawarkan oleh semua pihak/aliran didunia. 
Sejak Pondok dirintis oleh Abah Moehaimin Tamam, Pondok ASSALAM  tetap menanamkan risalah keislaman, keilmuan dan kemasyarakatan. Keikhlasan,Kesederhanaan,Berdikari (kemandirian),Ukhuwah Islamiyah,Kebebasan. Inilah pijakan kita dalam meneruskan amanah Abah Moehaimin Tamam. Meniti jalan, menapak bumi, menggapai dunia lillahi robbil ‘alamin.

الله أكبر…الله أكبر…الله أكبر                                       
Alangkah beruntungnya para guru dan keluarga besar Pondok Pesantren ASSALAM yang berkesempatan mengenyam KEHIDUPAN BERSAMA, berada di tengah-tengah medan perjuangan; menjaga, membantu dan membela risalah yang mulia ini. Bondo bahu pikir, lek perlu bojone pisan, kalau perlu suaminya dikorbankan, kalau perlu istrinya dikorbankan, bukan dipertahankan untuk mashlahat yang pendek, atau mashlahat pribadi.
Bapak-bapak guru dan anak-anakku.
Pandanglah putra-putra ummat yang gagah, yang ganteng-ganteng, cerah-ceria, anak-anak kita generasi yang akan datang, rapih-rapih ibarat mutiara yang bersinar cerah, secerah sinar matahari di pagi hari, berbaris rapih, serapih hati fikiran dan penampilannya. Jangan Geer kalau dipuji orang, jangan kecewa kalau diledek orang, ananda adalah seorang muslim sejati.
Melangkah kepada 21 tahun umur Pondok Pesantren ASSALAM ini, tidak cukup hanya mendengar, membaca dan berbicara, tetapi perlu dengan seksama merenungkan kembali refleksi risalah Pondok ini. Jangan sampai kecewa karena merasa kurang beruntung atau puas karena mendapatkan banyak manfaat jangka pendek. Mencari baiknya, bukan enaknya. 
Kegiatan santri di Pondok Pesantren  selama 24 jam akan menentukan nilai raport Pondok secara umum. Kurikulum Pondok Pesantren mulai bangun tidur termasuk mata pelajaran, berangkat tidur termasuk kurikulum, membangunkan anak termasuk  kurikulum, keliling malam termasuk kurikulum, berpramuka termasuk kurikulum, berorganisasi termasuk kurikulum Pondok Pesatren ASSALAM, matematika, fisika, fiqh, hadits juga termasuk kurikulum. Oleh karena itu totalitasPondok ini yang menentukan raport Pondok Pesantren ASSALAM secara umum dan secara detail.

Kekompakan keharmonisan mengharuskan pola kebersamaan tanpa meninggalkan maslahat pribadi/perorangan; pemberdayaan kader dengan etos kerja berpanca jiwa. Masa yang akan datang – dekatnya tahun ini – merupakan جدّية “Kesungguhan”. Intensifikasi di semua bidang. EVEN THE BEST CAN BE IMPROVED.  Yang terbaik masih bisa diperbaiki. Kedisiplinan harus kita jalankan, disiplin waktu, disiplin pakaian, disiplin izin, disiplin kegiatan harus kita jalankan. Kalau kita bukan yang menjalankan aturan-aturan kita akan siapa lagi ?.

Pondok Pesantren ASSALAM harus bisa menjadi benteng dari upaya penghancuran Islam (De Islamisasi); Mengisolasi Islampemojokan dan peminggiran tuntunan-tuntunannya. Berpijak pada inti amanatnya yaitu Islamisasi kehidupan menuju ridho Allah SWT. Pesantren benteng moral, melawan penjajah dan penjajahan” demikianlah sejarah mencatat. 
فىِِ أَىِّ أَرْضٍ تَطَأُ فَأَنْتَ مَسْئُوْلٌ عَنْ إِسْلاَمِهَا
Bumi yang luas ini, akan menjadi sempit karna moral disiplin dan karna disiplin moral ditinggalkan.Namun marilah kita berjihad.

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
Dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami, niscaya akan Kami beri petunjuk jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang berbuat kebaikan”. (Al-Ankabut 69)  
أَفَمَنْ يَمْشِى مُكِبًّا عَلَى وَجْهِهِ أَهْدَى أَمَّنْ يَمْشِى سَوِيًّا عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ ( الأية) 
“Apakah orang yang berjalan diatas mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap diatas jalan yang lurus” (Al-Mulk 22)                                       
Ya Allah lindungilah kami, Lindungilah guru-guru dan murid-murid kami.Lindungilah Keluarga Besar Pondok Pesantren ASSALAM Kampung DamaiDengan taufiq dan hidayah Mu Dengan ilmu yang bermanfaat Dengan kekuatan lahir dan bathin. Karunialah kami Keluarga Besar Pondok Pesantren ASSALAM kesehatan, kekuatan, kesabaran, ketabahan, istiqomah mengembangkan pondok ini. Bukakanlah jalan yang terbaik bagi kami, menuju ridho Mu Ya Allah.
Ya Allah…..
Ampunilah dosa kami, dosa orang tua – orang tua kami, dosa para syuhada’ pondok ini,dan semua yang berjasa kepada pondok ini. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.Jauhkanlah dari riya’ dan takabbur. Tumbuhkanlah kekompakan dan kebersamaan kepada kami
Ya Allah…..
اللّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ, اللّهُمَّ سَهِّلْ أُمُوْرَنَا وَيَسِّرْ أَعْمَالَنَا وحقق اعمالنا وثبت اقدامنا وبارك لنا.اللهم اعن المسلمين لاعلاء كلمتك يا الله اللهم انفق انصار معاهدنا الي ما فيه صلاح الاسلام والمسلمين. وَحَقِّقْ آمَالَنَا وَقَوِّنَا وَثَبِّتْ أَقْداَمَنَا وَبَارِكْ لَنَا وَوَفِّقْنَا فِى كِفَاحِنَا وَجِهَادِناَ وَرِيَاسَتِناَ فِى هذَا الْمَعْهَد برحمتك وكرمك يا اكرم الاكرمين, اللهم اكرمنا ولا تهنا واتنا وتحرمنا وزدنا ولا تنقصنا وارضنا وارض عنا اللهم حبلنا من ازوجنا وذريتنا قرة اعين واجعلنا للمتقين اماما.
Jadikanlah kami generasi ini, generasi anak-anak kami selalu menyenangkan hati, menyenangkan pandangan, jadikanlah kami generasi-generasi anak kami dan seterusnya menjadi generasi imam, teladan, generasi perintis, imam pedoman bagi orang-orang yang bertakwa berani menyatakan kebenaran bukan hanya membenarkan kenyataan.

ربنا ا تنا في الدنيا حسنة وفي الاخرة حسنة وقنا عذاب النار
Allahu Akbar!   Allahu Akbar!   Allahu Akbar! 
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته





Senin, 11 Desember 2017

Firasat


Firasat
Oleh : Joyo Juwoto

Setiap orang oleh Allah tentu dibekali semacam radar untuk merasakan, mengidentifikasi, membaca dan mengendus hal-hal yang berada diluar jangkauan panca indra badan jasmani. Orang-orang sering menyebut hal yang sedemikian itu dengan istilah gerak batin atau firasat.

Jika badan fisik manusia memiliki kemampuan untuk melihat yang diwakili oleh indra penglihatan, mendengar dengan indra pendengaran, mencium indra pembau, merasakan manis, asin, pahit dengan indra pengecap, tentu tubuh rohani manusia juga memiliki kemampuan yang sama. Hanya saja karena bersifat rohani, tidak semua orang mampu mendayagunakan kemampuan ini.

Sejak kecil kita terbiasa dan membiasakan diri melatih kemampuan badan fisik, namun tidak terbiasa melatih kemampuan badan rohani kita, sehingga potensi kemampuan badan rohani kurang maksimal dan kadang tidak kita sadari keberadaannya.

Berbicara tentang firasat ini bukan berarti kita berbicara tentang kesaktian dan berbagai macam kemampuan ghaib seperti yang ada di dalam film-film di layar televisi, namun berbicara firasat yang saya maksudkan di sini adalah berbicara mengenai hal-hal yang wajar dan lumrah yang kadang kita rasakan yang berkenaan dengan firasat, namun hal itu kadang kurang kita sadari.

Jika kita mampu menyadari hal-hal kecil yang kita rasakan, atau hal-hal yang terdetik dari hati dan perasaan, hakekatnya kita sedang melatih kemampuan gerak batin rohani kita. Gerak batin atau firasat bisa dilatih dengan perenungan dan komunikasi diri ke dalam diri. Kita harus lebih banyak memandang ke dalam keheningan batin kita sendiri sehingga pancaran indra batin bisa kita tangkap dan kita terjemahkan melalui firasat jasmani.

Firasat ini semacam radar cahaya Allah yang diberikan kepada badan rohani manusia sebagai sarana untuk menerjemahkan bahasa langit yang kadang tidak bisa ditangkap oleh badan fisik manusia. Dalam sebuah Hadits Rasulullah Saw bersabda :

عن ابن عمر رضي الله عنه قال : قال صلى الله عليه وسلّم : اتقوا فراسة المؤمن فإنّه ينظر بنور الله

Artinya : “Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda : Hati-hatilah kalian dari firasatnya orang mukmin, karena mereka memandang dengan Nur cahaya Allah”.

          Dari hadits di atas sangat jelas sekali bahwa orang mukmin diberi kemampuan memandang dengan firasat, dengan nur cahaya Allah. Jika kemampuan gerak firasat ini berasal dari cahaya Allah, tentu hanya hati yang bersih dan suci saja yang mampu mendayagunakan kemampuan gerak batinnya.
          Kisah-kisah tentang kemampuan daya firasat seseorang sangat banyak kita dengar, sejak zaman Nabi, para Sahabat, para ulama-ulama yang memiliki kedekatan dengan Allah adalah orang-orang yang mampu mendayagunakan kemampuan gerak batinnya dengan baik.

Begitu pula kisah-kisah kemampuan membaca zaman yang dimiliki oleh sesepuh-sesepuh masyarakat Jawa juga sangat fenomenal, seperti kemampuan Prabu Jayabaya, kemampuan pujangga keraton Surakarta, Ronggowarsito, dan mungkin kemampuan itu ada pada diri anda sendiri.


Minggu, 10 Desember 2017

Titi Kala Mangsa di Bumi Tuban

Titi Kala Mangsa di Bumi  Tuban
Oleh : Joyo Juwoto

Saat perayaan hari jadi Kota Tuban yang ke 724 kemarin ada hal yang sangat menarik bagi saya, salah satunya adalah hadirnya presiden Jancukers Mbah Sujiwo Tejo. Kehadiran Mbah Sujiwo Tejo memang tidak direncakanan,sehingga kehadirannya menjadi kejutan bagi jama’ah maiyah Tuban. Saya sendiri juga tidak mengetahui kehadirannya, namun beberapa saat sebelum Cak Nun dan Kiai Kanjeng naik panggung, saya melihat foto Sujiwo Tejo dan Cak Nun yang dishare oleh Mbak Nining penyiar radio pradya suara.

Jika diperkenankan mengaku, saya memang termasuk jama’ah maiyah Cak Nun, walau saya tidak selalu hadir di pengajian Cak Nun. Paling-paling saya hadir di pengajian yang dekat dengan tempat tinggal saya saja, namun demikian saya sering membaca dan menyimak tulisan-tulisan Cak Nun dari buku yang ditulisnya maupun dari internet.

Sedang Sujiwo Tejo, saya juga mengidolakannya. Saya suka dengan quote-quotenya yang cetar membahana. Saya juga suka tulisan-tulisannya, begitu juga dengan lagu-lagunya. Menurut saya Sujiwo Tejo orangnya ini memang njancuki. Saya dulu sering menyimak foto-foto senja di time line twitternya.

Melihat kedatangan Presiden jancukers, akhirnya melalui siaran radio Pradya  suara, saya  ikut menyimak dari rumah acara maiyah yang diselenggarakan di alun-alun Tuban itu. Sebelum  kedatangan mbah Sujiwo Tejo ke Tuban, saya sudah suka dengan lagu dan lirik-lirik yang dibawakan oleh beliau, walau demikian dari sekian lagu yang baru saya hafal hanya lagu dengan judul “Titi Kala Mangsa”. Jika tak percaya, Anda bisa mencoba meminta saya menyanyikan lagu itu, bila sedang enak hati, tentu saya dengan senang hati akan bernyanyi untuk anda.

Lagu Titi Kala Mangsa sebagaimana lagu-lagu Mbah Sujiwo Tejo lainnya bercengkok Banyuwanginan dan bernuansa kejawen magis, dan yang pasti lagu ini dan lagu-lagu Sujiwo Tejo lainnya selalu menyimpan pralambang dan makna yang cukup dalam. Coba perhatikan liriknya :

“Titi Kala Mangsa”

“Wong takon, wosing dur angkara
antarane rika aku iki
sumebyar ron-ronaning kara
janji sabar, sabar sak wetara wektu
kala mangsane Nimas, titi kala mangsa
Titi Kala Mangsa

Pamujiku dibisa
sinudya korban djiwangga
pamungkase kang dur angkara
Titi Kala Mangsa

Agar kita memahami isi dan pesan yang terkandung di lirik lagu itu, tentunya kita harus tahu arti bait perbaitnya. Karena era jaman now, tidak semua orang mampu memahami lirik lagu Mbah Sujiwo Tejo yang memakai bahasa Jawa. Secara bebas arti dari lagu itu kira-kita demikian :

“Pada Suatu Ketika”

Orang-orang sama bertanya, kapan berakhirnya keangkara murkaan
Diantara engkau dan aku
daun-daun kara betebaran
Bersabarlah, bersabarlah untuk sementara waktu
Nanti suatu ketika dinda, pada suatu ketika

Doaku semoga
korban jiwa raga berkurang
akhir dari keangkara murkaan
adalah pada suatu ketika”

Dari lagu itu, mungkin tidak secara gamblang kita memahami makna yang terkandung di bait-bait liriknya, karena memang Mbah Sujiwo Tejo gemar berteka-teki dengan lirik lagunya. Tapi setidaknya lagu ini mengisyaratkan bahwa keangkara murkaan akan selalu ada di setiap zaman dan waktu. Semua itu adalah keniscayaan kehidupan, tetapi Mbah Sujiwo Tejo juga berharap dalam doaya agar korban dari keangkara murkaan itu berkurang, karena akhir dari keangkara murkaan adalah titi kala mangsa itu sendiri, atau pada suatu ketika yag tidak pernah selesai.

 Jika keangkara murkaan tidak pernah selesai, atau akan selalu ada di setiap titi kala mangsa, maka jawabannya hanyalah apakah kita yang ikut mengusahakan dan mendoakan agar korban-korban dari nafsu angkara murka tidak banyak berjatuhan, ataukah justru kita menjadi  sumber dari keangkara murkaan itu sendiri, tentu jawabannya kita telah maklum semua. Salam Rahayu.


Kamis, 07 Desember 2017

Wejangan Presiden Jancukers di Hari Jadi Tuban Yang ke 724

Wejangan Presiden Jancukers di Hari Jadi Tuban Yang ke 724
Oleh : Joyo Juwoto

Perayaan hari  jadi Tuban yang ke 724 kemarin berjalan cukup meriah, salah satunya adalah kegiatan yang banyak dinanti oleh masyarakat yaitu ngaji budaya bersama Cak Nun dan Kia Kanjeng. Pengajian yang dilaksanakan di alun-alun kota Tuban kemarin cukup meriah dan gayeng, sayang beribu sayang, saya tidak bisa hadir di acara tersebut.

Cak Nun dan Kiai Kanjengnya selalu bisa memberikan hal-hal yang baru dan segar di setiap penampilannya, saya sendiri termasuk penyuka lagu-lagu yang dibawakan oleh Kiai Kanjeng. Tentang ngaji budaya Cak Nun dan pembangunan konstruksi pemikiran generasi muda, saya sangat suka, tapi untuk tulisan saya ini saya ingin mengulas sedikit mengenai apa yang disampaikan oleh bintang tamu sang Presiden Jancukers Indonesia, Sujiwo Tejo.

Presiden Jancukers Sujiwo Tejo dalam pembicaraannya di alun-alun kemarin banyak menggunakan bahasa-bahasa yang dalam, penuh metafor dan juga dengan lagu-lagu yang digubahnya. Menurut Sujiwo Tejo, tidak ada yang mampu mencipta kecuali Tuhan, oleh karena itu dia lebih suka menggunakan kata menggubah lagu.

Di awal berbicara Sujiwo Tejo memperkenalkan lagu kebangsaan Republik Jancukers. Dalam definisi buku Republik Jancukers (2012), Sujiwo Tejo memperkenalkan definisi kata “Jancuk” dengan sebuah syair yang luar biasa “Kalau dengan jancuk pun aku tidak bisa menjumpai hatimu dengan air mata mana lagi dapat kuketuk hatimu” wis mbuh lah sak karepmu mbah!

Sesudah membahas kata “Jancuk” lagu kebangsaan Jancukers pun dinyanyikan dengan iringan musik dari Kiai Kanjeng. Setelah membahas kalimat itu, Sujiwo Tejo membahas mengenai wayang, tentang kesejatian dalam pralambang cerita Bambang Ekalaya yang berguru pada Resi Durna. Karena tidak bisa berguru secara langsung, Ekalaya berguru pada patung Resi Durna di tempat latihannya di hutan Parang Gelung. Walau demikian kemampuan memanah Ekalaya mampu mengalahkan Arjuna yang berguru secara langsung kepada Resi Durna.

Di akhir acara, Sujiwo Tejo membahas dan menjabarkan dengan indah dan syahdu mengenai makna keikhlasan yang diambilkan dari ajaran Raden Sosro Kartono (Kakak RA. Kartini). Ajaran itu tertulis di nisan beliau yang ada di kota Kudus. Bunyi ajaran itu sebagai berikut :

“Sugih tanpa bandha
Digdaya tanpa aji
trimah mawi pasrah
sepi pamrih, tebih ajrih

Langgeng tanpa susah, tanpa seneng
anteng mantheng
sugeng jeneng”

Ajaran adi luhur dari Raden Sosro Kartono ini juga telah digubah oleh Sujiwo Tejo menjadi sebuah lagu yang bercengkok Banyuwangi. Saya termasuk orang yang ngefans dengan lagu-lagu yang digubah dan dinyanyikan oleh Presiden Jancukers Indonesia itu.

Dalam filosofi wayang, Semar berkata seseorang itu harus memiliki sifat Tadah, Pradah, Ora Wegah. Tadah adalah tiada doa lain kecuali alhamdulillah. Pradah bermakna ikhlas, ora wegah bermakna saguh, atau siap menjalankan amanah dengan sebaik mungkin. Siapapun yang  memiliki sifat tadah, pradah, dan ora wegah, tidak perduli apakah ia kaya atau miskin, apabila dia membutuhkan segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan-urusannya, maka Gusti Allah akan mengijabahi permintaannya.

Di akhir acara ngaji bareng Cak Nun, masing-masing narasumber mengakhiri pertemuan malam itu dengan kalimat inti dan closing statement. Sebagaimana biasanya Sujiwo Tejo menutup pertemuan itu dengan kalimatnya yang fenomenal yang berbunyi :

Menghina Tuhan nggak harus menginjak-injak kitab suci-Nya, nggak harus memain-mainkan nama Rasul-Nya. Besok khawatir kau tidak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan”

Demikian sedikit hal yang dapat satu tulis dan saya rangkum dari wejangan Presiden Jancuker Indonesia. Salam Rahayu.



Minggu, 03 Desember 2017

Nabi Muhammad Yang Terpuji

Nabi Muhammad Yang Terpuji
Oleh : Joyo Juwoto

Akhlaq dan perilaku Rasulullah Saw adalah teladan utama bagi umatnya, beliau mencontohkan sifat-sifat dan perilaku yang mulia. Nabi Muhammad adalah manusia yang terpuji nan sempurna, ma’sum terjaga dari segala dosa, dan selalu di jaga dan dibimbing oleh Allah Swt melalui bisikan wahyu. Nabi Muhammad adalah sosok yang agung, ibarat permata diantara batu-batu lainnya. Seorang penyair  berkata :

محمد بشر لا كالبشر # بل هو كالياقوت بين الحجر"

“Kanjeng Nabi Muhammad iku manungsa, tapi ora kaya jenise manungsa
Tapi Kanjeng Nabi iku kaya inten, kumpul karo jenise watu-wati item”

“Muhammad adalah manusia
tetapi tidak seperti manusia
melainkan bak permata diantara batu-batu lainnya”

Begitulah gambaran Nabi Muhammad, bak permata diantara batu-batu lainnya, sebagaimana nama yag disandangnya, Muhammad berarti terpuji nama yang mewakili sifat-sifat dan perilakunya.

Nabi Muhammad tidak hanya dipuji oleh penduduk bumi saja, namun penduduk langit pun sama memuji beliau, tidak hanya manusia, batu-batu dan kayu pun senantiasa mengucapkan salam dan shalawat kepadanya. Nama Nabi Muhammad tidak hanya terpuji semasa hidupnya saja, namun sesudah beliau tiada nama Nabi Muhammad selalu semerbak harum dan senantiasa disebut-sebut sepanjang masa. Bahkan sebelum kelahirannya, Nama Nabi Muhammad telah maujud dan menjadi sumber cahaya dan kehidupan semesta.

Semua makhluk memuji Nabi Muhammad yang mulia, beliau terbebas dari segala aib dan cela, tidak peduli kawan maupun lawan, semua mengakui keagungan Rasul yang mulia. Hassan Ibn Tsabit bersyair dengan sangat indah :

“Dan yang lebih baik darimu belum pernah terlihat oleh mata, dan yang lebih indah darimu belum pernah dilahirkan oleh para wanita”
Engkau diciptakan bebas dari segala aib, seakan-akan engkau dicipta seperti apa yang engkau inginkan”

Jangankan makhluk-makhluk, Tuhan pun memuji akhlak dan perilaku Nabi Muhammad Saw, dalam kalamnya yang mulia Allah berfirman :

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤)

Artinya : “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.

Mari mengagungkan Nama Nabi Muhammad dengan senandung shalawat, agar kelak kita mendapatkan syafa’atnya.