Jumat, 20 Oktober 2017

Karomahnya Pangeran Diponegoro Abdul Hamid Herucakra

Karomahnya Pangeran Diponegoro Abdul Hamid Herucakra 
Oleh : Joyo Juwoto*

Dalam  ceramah yang sering disampaikan oleh KH. Nur Rohmad dari Pati, seorang dai yang juga seorang Polisi yang berpangkat Briptu, satu hal yang selalu saya ingat adalah kisah Pangeran Diponegoro yang terjebak di Rawa Pening saat dikejar-kejar oleh Belanda. Kisah ini disampaikan saat beliau memberikan mauidhoh dalam acara haflah akhirussanan di Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan beberapa tahun silam. Ingatan saya ini kembali mencuat setelah saya mendengar pengajian beliau kembali di video yang dishare di group whatshap.

Pangeran Diponegoro yang memiliki nama Sulthon Abdul Hamid Herucakra  Sayyid Abdurrohman  Sayyidin Panotogomo Amirul Mukminin Khalifatullah Ing Tanah Jawa Pangeran Ontowiryo Raden Mas Mustahar, beliau adalah seorang Pangeran dari keraton Ngayogyakarta. walau berdarah ningrat keturunan raja, namun Sang Pangeran ini sangat dekat dengan ulama, beliau adalah seorang santri yang alim dan wira’i.

Hal ini terlihat dari peninggalan Pangeran Diponegoro yang ada di Magelang yaitu di eks Karesidenan Kedu, ada tiga peninggalan Pangeran Diponegoro yang masih tersimpan di sana. Benda peninggalan itu berupa : Al Qur’an, Tasbih, dan Kitab Taqrib (Syarh Fathul Qarib).

Tiga peninggalan dari Pangeran Diponegoro ini menjadi bukti bahwa beliau memang seorang santri yang ahli dzikir. Menurut Habib Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan, Pangeran Diponegoro adalah seorang mursyid Thariqah Qadiriyyah bermadzab Syafi’iyah.

Ada kisah menarik yang disampaikan oleh KH. Nur Rohmad dari Pati, yaitu kisah karomah dari Pangeran Diponegoro saat terkepung oleh pasukan Belanda di tepi Rawa Pening. Peristiwa ini terjadi satu tahun sebelum perang berakhir, tepatnya hari Jumat Pahing malam Sabtu Pon tanggal 29 September 1828.

Saat itu Pangeran Diponegoro dan pasukannya terkepung Belanda. Tidak ada jalan lain untuk meloloskan diri. Di belakang ada ribuan pasukan Belanda, sedang di depannya membentang Rawa Pening yang luas dan dalam. Dalam keadaan terjepit seperti keadaan Musa di depan laut merah yang dikejar Fir’aun dan pasukannya, Pangeran Diponegoro melantunkan shalawat burdahnya Imam Busyiri :


وِقَايةُ اللهِ أغْنَتْ عَنْ مُضَاعَفَةٍ # مِنَ الدُّرُوْعِ وَعَنْ عَالٍ مِنَ الْأُطُمِ

“Pengayome Gusti Allah Ta’ala luwih kukuh, tinimbange gedung wojo sing duwur tur bapoh”

“Perlindungan Allah jauh lebih kokoh, dari sebatas gedung besi berlapis yang tinggi dan kokoh.

          Dengan penuh kemantaban akan datangnya pertolongan Allah, Pangerang Diponegoro membedal kudanya, Kiai Gentayu (nama kuda Pangeran Diponegoro) menyebrangi Rawa Pening yang panjangnya sekitar 8 kilometer dengan kedalaman yang tak terukur. Alhamdulillah pertolongan Allah sangat dekat, karomah Allah turun kepada para auliya-Nya. Pangeran Diponegoro dan pasukannya selamat berhasil menyeberangi Rawa Pening hingga di daerah Tuntang, sedang pasukan Belanda yang melakukan pengejaran tenggelam di Rawa Pening.
***
          Perang Diponegoro yang berlangsung sekitar tahun 1825-1830 membuat kalang kabut pemerintah kolonial Belanda. Perang Jawa (De Java Oorlog) ini berhasil membuat Belanda mengalami kebangkrutan dan menanggung hutang luar negeri yang cukup banyak. Biaya yang dikeluarkan Belanda Jawa ini tak kurang dari 25.000.000 Gulden atau setara dengan Rp 127 Milyar.

Tidak heran jika Belanda berupaya dengan sekuat tenaga dan kemampuan ingin segera mengakhiri perang besar yang memakan banyak korban ini. Berbagai strategi ditempuh Belanda untuk segera bisa menangkap Pangeran Diponegoro, mulai dari strategi benteng stelsel hingga sayembara dengan hadiah uang yang tinggi bagi siapa saja yang mampu menangkap Pangeran Diponegoro hidup ataupun mati.

Dan akhirnya dengan jalan tipu muslihat, saat Pangeran DIponegoro diajak berunding di Magelang, beliau ditangkap oleh Belanda kemudian diasingkan di Makasar dan meninggal dunia di sana.


 *Joyo Juwoto, Santri Ponpes ASSALAM Bangilan Tuban Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar