Minggu, 01 Oktober 2017

Beridul Adha Melebur Sifat Angkara

Beridul Adha Melebur Sifat Angkara
Oleh : Joyo Juwoto

Hari Raya Idul Adha atau hari raya kurban adalah hari raya yang sejatinya penuh makna dalam kehidupan sosial kita. Baik bermakna vertikal (ilahiyyah) maupun makna horizontal (insaniyyah). Berkurban adalah ritual mengorbankan binatang ternak berupa kambing, sapi, kerbau atau unta guna mencapai tujuan tertentu.
Berkurban adalah salah satu dari upaya manusia untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Menilik makna bahasa dari kurban sendiri berasal dari bahasa arab, yaitu qarib yang artinya dekat. Makna dekat di sini adalah upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Berbicara mengenai kurban adalah berbicara mengenai pengorbanan manusia terhadap apa yang dimilikinya. Karena dengan berkorban manusia akan menemukan nilai kesejatian dalam hidupnya, bahwa apa yang sebenarnya berada dalam genggaman tangannya bukanlah miliknya semata, ada hal-hal yang harus dikorbankan untuk kehidupan ini.
Oleh karena itu manusia dianjurkan setiap tahunnya untuk berkurban di hari raya idul adha, demi mengingatkan sebuah nilai pengorbanan kepada Tuhan.
Berkorban dan menjadi korban adalah sebuah peristiwa yang secara dhohir sama, namun memiliki tendensi, nilai dan makna yang berbeda. Menjadi korban adalah karena keterpaksaan untuk kehilangan, baik itu kehilangan secara materi maupun ruhani, sedang berkorban adalah kerelaan dan keridhoan untuk kehilangan. Karena orang yang berkorban merasa dirinya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, hanya Dzat Tuhan yang sejatinya ada.
Mau tidak mau, suka ataupun tidak sebenarnya di dalam kehidupan ini banyak yang harus kita korbankan, baik itu berupa harta benda, uang, tenaga, keinginan, bahkan hingga nyawa sekalipun. Kita tidak akan pernah bisa menahan atau menghalangi fitrah berkorban ini. Oleh karena itu lebih baik kita berkorban apa yang kita miliki dengan rela hati daripada menjadi korban dengan penuh kedukaan dan penyesalan.
KH. Hasyim Muzadi pernah berkata : “Jangan takut berkorban, agar kalian tidak menjadi korban”.  Berkorbanlah selagi mampu dan bisa, give, give dan give, tak perlu berasional dan itung-itungan dengan Tuhan, maka Tuhan tentu akan memberikan balasan yang tak terhitung jumlahnya, berkali lipat dan tidak terbayangkan oleh kita.
Dalam hal berkorban ini, saya pribadi selalu ingat dawuhnya KH. Ahmad Sahal, salah seorang dari Trimurti Gontor, beliau bilang : “Bondo bahu pikir lek perlu sak nyawane sisan”. berkorban itu harus totalitas, tanpa reserve, harta, tenaga, pikiran, kalau perlu nyawa sekalian kita korbankan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Rasulullah Saw, sebagai teladan agung telah memberikan contoh nyata akan pengorbanan beliau untuk umatnya yang tak pernah selesai, bahkan hingga kelak di pengadilan padang makhsyar beliau meminta kepada Allah agar beliau bisa memberikan pembelaan, memberikan syafaat kepada kita umatnya. Aduhai sungguh besar pengorbananmu ya Rasulallah!
Peristiwa berkurban ini hampir selalu ada dalam setiap kehidupan manusia. Agama dan kepercayaan apapun mengajarkan akan berkurban. Berkurban biasanya menggunakan media hewan yang disembelih melalui suatu upacara. Namun pada zaman dahulu berkurban juga ada yang menjadikan manusia sebagai medianya. Semisal masa Khalifah Umar Bin Khattab di Mesir yang saat itu gubernurnya Amr bin Ash. 
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, jika sungai Nil airnya mengering maka perlu ada seorang gadis perawan yang harus dikorbankan dengan cara di tenggelamkan ke dalam sungai. Sebuah perilaku yang tidak manusiawi dan menciderai akal sehat. Alhamdulillah, setelah Islam masuk, ritual itu dihapuskan.
Berkorban ini dianggap sebagai upaya pembuangan dosa dan kesialan yang dialami masyarakat. Sehingga para dewa berkenan menerima kurban itu, kemudian permintaan dari orang yang berkurban dikabulkan.
Dalam kisah Walisongo, Sunan Gresik atau Syekh Maulana Malik Ibrahim juga pernah mendapati suatu kampung yang mengorbankan gadis cantik sebagai syarat meminta hujan. Kemudian Sunan Gresik mengganti ritual sadis itu dengan jalan mengerjakan salat istiska sebagai permohonan meminta hujan kepada Allah Swt.
Dalam ajaran Islam sendiri juga ada upacara pengorbanan, tepatnya di hari Idul Adha. Ritual ini sejatinya adalah pengorbanan terhadap Ismail yang dilakukan oleh ayahnya sendiri Ibrahim. Namun oleh Tuhan, Ismail diganti dengan seekor kambing gibas besar dari surga.
Bisa dibayangkan jika Ibrahim benar-benar mengorbankan anaknya, tentu juga akan menjadi syariat  dalam agama, hanya karena kasih sayang dan kelembutan dari Nabi Ibrahim kepada umatnya, Tuhan akhirnya mengganti bentuk pengorbanan manusia dengan  seekor gibas. Padahal kala itu mengorbankan manusia juga lazim dan banyak terjadi di beberapa kalangan di masyarakat.
Ketika kita berbicara masalah kurban ini, sebenarnya sedang membicarakan masalah dimensi kemanusiaan. Manusia itu memiliki ego dan nafsu untuk menguasai dan memperbudak manusia lain. manusia itu sukar mengendalikan sifat tinggi hati dan angkara. Maka untuk meredam nafsu-nafsu negatif itu semua Tuhan mengajari agar kita siap berkorban.
Secara jasmani orang yang berkurban itu menyembelih binatang, menyembelih kambing, unta, sapi, dan kerbau, namun pada hakekatnya yang perlu disembelih adalah jiwa dan ego dari manusia itu sendiri. Agar manusia tidak tinggi hati, merasa berpunya, merasa paling berharga, adigang adigung adiguna (merasa paling kuasa, merasa paling agung, dan merasa paling berguna diantara sesama).
Bersamaan dengan mengalirnya darah kurban, manusia juga harus membuang dan meleburkan sifat ego dan angkaranya ke dalam tanah, sebagaimana darah dari binatang yang disembelihnya. Oleh karena itu disyariatkan yang menyembelih korban adalah orangnya sendiri, kalau memang tidak bisa dapat diwakilkan. 
Jadi menyembelih hewan kurban bisa bermakna yang sebenarnya dan bermakna filosofis. Sebagaimana kurban itu yang diterima dan sampai di sisi Allah bukanlah darah dan dagingnya, namun kerelaan dan kesediaan jiwa berkorban dari manusia yang akan sampai ke surga.
Dalam surat Al Hajj ayat 37 Allah Swt, berfirman yang artinya :
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Setelah ritual tahunan ibadah agung Idul Adha atau Idul qurban kita lewati, masihkan tersisa di dalam jiwa ini sikap rela untuk berkorban sebagaimana teladan Abiina Ibrahim Alaihissalam?
Bisakah kita merelakan diri untuk disembelih oleh Allah sebagaimana kepasrahan dari diri Ismail?
Ataukah ritual perayaan kurban itu hanya sekedar agenda tahunan nir makna yang telah kehilangan makna dan substansi sucinya?
Masih relakah segala kenikmatan hidup ini kita tukar dengan sikap lebih mendahulukan kepentingan bersama dari pada hanya sekedar hasrat diri dan pemenuhan nafsu insani?
Ataukah jangan-jangan berkurban itu hanya sekedar lift servis, pemanis bibir semata, dan hanya memenuhi tuntutan hawa nafsu belaka?
“Katakanlah sesungguhnya salatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (Q.S. Al-An’am: 162)
Teori, tulisan, dan segala macam retorika memanglah tidaklah sama dengan pengamalan dan praktek, oleh karena itu, mari beristighfar, mari bertahmid...bertahlil...dan bertakbir bersama, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa lillahil hamd.
          Semoga kita bisa menjadi Ibrahim, Hajar sekaligus menjadi Ismail yang menyerahkan diri kepada Allah  dengan penuh keridhoan dan kepasrahan. Aamiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar