Selasa, 31 Oktober 2017

Merantau

 Merantau
Oleh : Joyo Juwoto

Matahari kemarau membakar jalanan, debu-debu beterbangan memerihkan mata, langit membiru tua berkilat-kilat bagai kaca raksasa tak bertepi. Seorang lelaki muda paruh baya berambut panjang digelung ke belakang. Lelaki itu berjalan dibawah terik matahari yang membakar sambil sesekali mengusap dahinya yang berkeringat. Angkutan umum, dokar, dan bus-bus beradu cepat dengan truk-truk berlalu-lalang memenuhi pandangan matanya yang tajam. Mata itu bagai burung celepuk yang menunggu mangsa di kegelapan malam.
“Hari semakin panas, tak ada uang sepeserpun di kantong sakuku bagaimana aku harus melanjutkan perjalanan ini ?, Gumam lelaki itu.
Walau sebenarnya lelaki itu juga belum tahu kemana ia akan berjalan dan menitipkan asa, hanya mata kakinya yang sekarang menjadi penerang otaknya beku mengikuti kemana langkah-langkah itu dilepas.
Lelaki itu kemudian berhenti disebuah pertigaan yang menjadi tempat berhentinya angkutan umum, orang-orang menyebutkan pertigaan Bakalan. Pemuda itu meraba kembali sakunya seakan ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia memang tak membawa uang serupiahpun. Ia sandarkan punggungnya di sebuah lincak di bawah pohon waru. Pikirannya menerawang menghadirkan kembali saat-saat ia harus pergi meninggalkan kampung halamannya. Kampung yang dicintainya.
***
“Maling-maling !!!”“Maling-maling !!! Tolong… Tolong !!!Maling !!!”
Suara teriakan membelah sepertiga malam dari ujung kampung. Suara itu bersumber dari sebuah rumah besar yang menghadap ke jalan raya. Sesosok bayangan hitam berlari sambil membawa bungkusan yang entah apa isinya. Dengan gesit ia melompati pagar kayu setinggi orang dewasa yang mengelilingi rumah sumber suara tadi. Karena pekatnya malam, dan banyaknya rumpun bambu serta perdu sehingga dengan mudah bayangan hitam itu hilang bagai menyatu dengan gelap itu sendiri.
Penduduk kampung yang mendengar teriakan gaduh itu serentak semburat menuju ke arah titik suara, petugas ronda yang kebetulan lewat di jalan dekat rumah besar itu pun berlarian mengejar bayangan hitam, namun bagai mencari jejak hantu tidak ada petunjuk ke arah mana bayangan hitam itu lenyap tiada meninggalkan bekas.
Sementara itu di tengah sawah di pinggiran desa, sesosok pemuda dengan berkerudung sarung sedang berjalan dengan tergesa. Langkahnya panjang-panjang agar segera sampai kerumah sebelum fajar kadzib muncul di ufuk timur. Fajar kadzib adalah fajar yang membentuk garis vertical dari arah ufuk timur yang berwarna putih, namun dalam fiqh Islam ini belum saatnya subuh. Sebab setelah fajar kadzib ufuk akan kembali gelap dan sebentar kemudian akan disusul fajar sadik yang membentang horizontal sebagai penanda waktu subuh tiba.
Ketika pemuda itu memasuki pinggiran desa, ia tidak sadar kalau banyak mata sedang mengawasi langkah-langkahnya. Tepat di sebuah gang jalan pemuda itu terhenyak, tiba-tiba ia telah dikepung oleh beberapa orang laki-laki dengan senjata terhunus di tangan.
“Hai…. !!!berhenti kamu, siapa kau sepagi ini berjalan tergesa-gesa !
“Owh..mengagetkan aku saja paman-paman ini, aku Cipto. Tadi aku baru saja dari tegalan di tepi hutan” Memangnya ada apa paman ? mengapa paman-paman menghadang saya dengan senjata terhunus ?”
“Hah.-.siapa yang percaya di pagi buta ini kau dari tegal anak muda, kau pasti maling yang mencuri di rumah juragan Sutik tadikan ? Ayo mengakulah sebelum kesabaran kami habis !
“Maling… pencuri… ah ! tidak paman, aku bukan pencuri lagian aku kan juga penduduk sini paman. Untuk apa aku mengotori kampungku sendiri”.
Iya.. iya… pasti kaulah malingnya anak muda” seru salah seorang yang membawa pentungan dari bambu.
“Ayo tak usah banyak cing-cong kita tangkap pemuda ini, dan kita serahkan kepada juragan Sutik”
Serentak beberapa tangan-tangan kekar memegangi pemuda malang tadi, kemudian ia diseret kearah rumah besar di ujung kampung. Di halaman rumah tampak seorang bertubuh gemuk, bercambang lebat. Lelaki itu mondar-mandir gelisah, sesekali ia mengumpat resah.
“Juragan… juragan !!! ini tadi saya tangkap seseorang yang mencurigakan di ujung kampung sana” teriak salah seorang dari mereka.
Juragan Sutik berkacak pinggang, “Heh..bajingan! kaukah yang tadi memasuki rumahku ?” bentak lelaki tambun itu.
“Ampun juragan, bukan aku pelakunya, tadi memang aku dari arah sawah di ujung kampung tapi sumpah bukan aku pelakunya”.
“Mana ada maling yang ngaku juragan! sela Parto anak buah juragan Sutik.
“Ikat dia disitu!,  paksa agar dia mau mengaku, kalau perlu siksa dia” bentak juragan Sutik sambil meludah kearah pemuda malang itu.
***
Setelah kejadian yang menggegerkan kampungnya, Cipto pemuda yang dituduh melakukan pencurian di rumah juragan Sutik terpaksa harus pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Pedih dan hancur perasaannya, ibarat pepatah Jawa “Ora melu mangan nangkane, tapi melu kenek dadake”. Bukan dia yang melakukan perbuatan itu namun justru dirinya yang tertuduh dan menanggung malu.
Belum lagi Cipto digelandang keliling kampung diarak dan dipermalukan di depan umum. Setiap garis wajah penduduk desanya tergambar kesinisan dan kejijikan melihat pada dirinya. Cipto hanya tertunduk diam, dia mampu menahan pedih hatinya karena telah dihinakan sedemikian rupa, namun hatinya teriris pedih manakala ia melihat Nilam, gadis pujaannya berdiri mematung memandangi dirinya seperti orang asing.
***
Dengan wajah lesu Cipto beranjak dari tempat duduknya, ia melangkahkan kakinya ke jalan raya dan melambaikan tangannya kearah truk yang lewat. Siapa tahu ada sopir yang berbaik hati mau memberinya tumpangan. Tak berselang lama ada sebuah truk yang berhenti.
 “Ayo Kang naik, memang mau kemana Kang ?” Tanya sopir truk.
“Kemana saja lah Pak, saya ngikut saja, sampai bapak menurunkan saya”.
“Baiklah ayo naik !, ketepatan kenekku libur, jadi sekalian bisa menjadi teman ngobrol di jalan”
Kemudian Cipto naik dan duduk di samping sopir truk yang hampir mendekati senja. Rambutnya telah memutih, namun badannya masih tampak kekar berotot. Truk itu melaju dari arah barat, membawa batu-batu yang ditambang dari daerah Sale Jawa Tengah, mungkin batu itu sebagai bahan mentah untuk membuat kapur, juga sebagai bahan untuk membuat piring, atau mungkin digunakan untuk mengguruk tanah. Batu pedel merupakan batu berwarna putih yang memang banyak terdapat di gugusan pegunungan kendeng utara.
Di tengah perjalanan sopir truk itu bercerita tentang tempat kerjanya yang ada di Sale, tentang gunung-gunung yang habis dibolduser, tentang hutan yang meranggas karena tanah dan batu-batunya diambili dengan liar tanpa perhitungan, semua masuk ke dalam perut keserakahan manusia. Sebenarnya ia juga menyadari tentang lingkungan yang rusak akibat penambangan liar tersebut, namun mau bagaimana lagi memang itu yang menjadi mata pencahariannya untuk menghidupi istri dan anak-anaknya.
“Mau tak kasih makan apa keluargaku kalau aku tidak kerja Kang”
Truk terus menderu menerjang siang, sesekali sambil menyedot sigaretnya sopir tua terus bercerita tiada habisnya. Seakan sedang mendongengi cucunya agar cepet-cepet terlelap dalam boboknya. Setelah selesai bercerita tentang batu-batu pedel, sopir itu bercerita tentang wana wisata Semen. Sebuah sumber air yang dijadikan objek wisata local masyarakat Sale dan sekitarnya. Di dekat sumber air Semen terdapat sebuah goa yang diberi nama goa rambut.
Goa rambut menurut legenda masyarakat sekitar terkait dengan cerita rakyat mengenai seorang brandal budiman yang masyhur disebut sebagai Naya Gimbal. Nama aslinya adalah Naya Sentika. Karena rambutnya sangat panjang maka ia lebih dikenal dengan sebutan Naya Gimbal.
Naya Sentiko telah bersumpah tidak akan memotong rambutnya sebelum kompeni enyah dari bumi pertiwi. Dia adalah salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa. Karena perlawanan Pangeran dari goa Selarong berakhir oleh kelicikan Belanda, maka sisa-sisa pasukan Diponegoro secara seporadis melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Termasuk Naya Gimbal sang Robinhood dari gunung Genuk Tawunan Sale. Karena pengkhianatan saudara seperguruannya Bejo, misi perlawanan Naya Gimbal terhadap kolonial Belanda kandas di tengah jalan.
“Pengkhianatan seperti apa yang dilakukan oleh Bejo saudara seperguruan Naya Gimbal itu pak ? “ Tanya Cipto.
“Rasa iri, dengki “lan ora seneng marang kamulyaning liyan” memang benalu yang menggerogoti hati setiap insan, hanya orang-orang yang ikhlaslah yang akan selamat Kang”
“Ditambah lagi persoalan perempuan selalu membumbui setiap kisah yang tertoreh oleh tinta sejarah”. Hal ini selalu membutakan  mata setiap manusia kang”.
Naya Sentika dan Bejo sama-sama murid dari seorang sakti dari goa Nglengkir Ki Samboro namanya. Karena menurut Bejo Naya Sentika selalu beruntung, selain disayang oleh gurunya Naya Sentika juga mempunyai istri cantik bernama Dyah Ayu Sumarti. Pada suatu ketika Naya Sentika mengutarakan maksudnya untuk terus melawan Belanda. Oleh Gurunya Naya Sentika disarankan untuk bertapa di puncak Gunung Genuk.
Naya Sentika harus bertapa sampai genuk atau gana ( genuk, wadah air dari tanah liat ) yang dijaganya rebah. Kemana pun arah rebahnya gana tadi ia harus memulai peperangan dari arah situ. Karena terdorong oleh rasa irinya Bejo gelap mata dan tega melakukan kebodohan terhadap saudara tunggal banyunyaitu.Dengan diam-diam ia rebahkan mulut genuk kearah barat. Kemudian Bejo pun bersembunyi. Setelah Naya Sentika melihat genuk itu rebah kearah barat maka pulanglah ia untuk menggelar perang melawan Belanda. Dengan membawa pusaka kebanggaannya pedang Kyai Sadak Naya Sentika mengajak pasukannya menyerang Belanda dari Lasem.
“Hehe..hehe.. begitulah ceritanya, ada yang mengatakan Naya Gimbal ketangkap Belanda kemudian dimasukkan drum dan dibuang di laut. Ada versi lain yang menyatakan perjuangan Naya Gimbal berakhir di goa rambut Sale. Ia bersembunyi di dalam goa kemudian goa itu di tutup dengan batu oleh pihak Belanda dan tidak jelas bagaimana kesudahannya. Namun sampai sekarang di dalam goa itu banyak rambutnya, entah dari mana mungkin itu rambut dari Naya Gimbal tadi Kang”.
“Wah, sayang ya pak, pastinya Naya Gimbal gak jadi potong rambut kan ?hehe…. “ gurau Cipto.
“Ya begitulah kang, perjuangan yang dilakukan secara kedaerahan hampir selalu gagal di tengah jalan”
“Betul pak, tapi setidaknya Naya Gimbal telah menunjukkan baktinya pada ibu pertiwi, tempat dimana ia tlah meminum airnya, menghirup udaranya, tempat dimana jiwa dan raganya diukir dan dicatat oleh zaman”.Tambah Cipto penuh filosofis.
Percakapan pun berhenti, ketika truk yang ditumpangi Cipto berhenti di terminal Bojonegoro, Sebuah terminal yang menghubungkan daerah-daerah kabupaten di sekitarnya. Terminal yang berada di timur jalan raya itu menjadi pemberhentian bus dari berbagai jurusan, Seperti Jatirogo, Tuban, Jurusan Ngawi, Jurusan Nganjuk, dan jurusan Surabaya.
“Saya turun sini pak”, ucap Cipto kepada sopir truk yang telah berbaik hati memberikannya tumpangan.
Matahari tlah bergeser di ufuk barat, lembayung senja tersenyum meriah, memerah bagai gincu kaum hawa, angin sore mendayu lembut membelai wajah Cipto yang kelam seakan membisikinya tentang hidup yang kadang panas membakar bagai udara siang, dan kadang lembut selembut angin sore yang memeluknya di pinggir terminal. Cipto melangkah memasuki gerbang terminal.Ia melangkah tanpa arah yang kemudian membawanya ke sudut terminal. Di sebuah mushola kecil ia membasuh mukanya dari air  kran yang tersendat-sendat alirannya, seperti jalan hidup yang sedang dilaluinya. Asar sebentar lagi hilang ditelan cakrawala barat. Cipto bersimpuh mengadukan nasibnya kepada sang pemegang takdir dan garis hidup. Ia menyadarinya banyak masalah dan ketentuan Tuhan yang kadang tak perlu diselesaikan. Biar waktu sendiri yang akan menjelaskan semuanya kepada zaman.
Matahari sore telah tenggelam di ufuk barat, gelap mulai merayap, kendaraan berlalu – lalang mengejar waktu. Kondektur berteriak-teriak mencari penumpang. Cipto melangkah ragu menaiki sebuah bus. Kondektur segera menariknya masuk karena bus telah bergerak meninggalkan terminal. Bus itu menuju Surabaya. Di kaca depan tergantung tulisan Bojonegoro-Surabaya. Namun Cipto tidak peduli mau kemana tubuhnya dibawa, ia mengikutinya saja, karena memang pada dasarnya ia tidak memiliki tujuan yang pasti.
Entah berapa lama Cipto tertidur di bis, dia baru terbangun saat bis sudah berhenti di terminal Bungurasih. Cipto di bangunkan oleh kondektur bis.
“Mas bangun, bangun! sudah sampai terminal. Kata bapak kondektur setengah tua sambil menggoyangkan tubuh Cipto.
Cipto berdiri dari kursi duduknya, ia turun perlahan dari bis. Melangkah ragu di tanah yang belum pernah dipijaknya. Kota Surabaya, sebuah kota besar yang belum dikenal seluk beluknya. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan di tanah rantau yang jauh dari kampung halamannya.
Tak ada uang sepeserpun di saku bajunya, padahal ia butuh makan, tak ada tempat tinggal, tak ada sanak saudara, tak ada seorang pun yang ia kenal di belantara kota itu. Cipto berdiri mematung di tepian terminal, rambutnya yang panjang dibiarkan terurai diterpa angin sore, dilihatnya orang-orang sama berlalu lalang dengan tujuan masing-masing.
Tiba-tiba terminal menjadi gaduh, ada teriakan seorang perempuan muda yang tasnya dijambret, “tolong, tolong...!!! jambret...jambreett!!!


Kunjungan Kapolres Tuban Ke Bangilan

www.4bangilan.blogspot.com - Kapolres Tuban yang baru saja dilantik sekitar akhir bulan September 2017, Bpk AKBP Sutrisno HR, SH, S.IK, M.Si mengadakan kunjungan kerja ke berbagai jajaran kepolisian tingkat kecamatan di wilayah Kabupaten Tuban, termasuk diantaranya adalah berkunjung ke wilayah Bangilan.

Lawatan yang dilaksanakan hari Selasa, 31 Oktober 2017 mendapatkan sambutan yang hangat dan meriah dari para pejabat pemerintahan di Bangilan. Kapolsek, Danramil, dan Bapak Camat Bangilan beserta jajarannya. 

Selain para pejabat yang ada di pemerintahan Kec. Bangilan, kunjungan Kapolres Tuban Bapak AKBP Sutrisno juga dihadiri para pemangku pondok pesantren, tokoh pemuda, dan tokoh masyarakat kecamatan Bangilan.

Tidak ketinggalan group drum band Gema Nada ASSALAM (GNA) yang diikuti oleh para santriwan dan santriwati ASSALAM Bangilan ikut meemriahkan penyambutan kapolres Tuban.

Pengasuh Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, KH. Yunan Jauhar, M.Pd.I yang ikut hadir dalam acara tersebut sangat mengapresiasi sinergitas yang cukup baik antara pihak kepolisian, Danramil, Kecamatan, tokoh masyarakat, dan seluruh elemen masyarakat Bangilan yang guyup dan rukun dalam menjaga keharmonisan dan kedamaian di wilayah Kec. Bangilan.

Langgar Tua dan Kenangan Tentangnya

google.com
Langgar Tua dan Kenangan Tentangnya
Oleh : Joyo Juwoto

Kususuri kelokan sepanjang kali kening yang membelah kotaku di suatu senja, airnya jernih berkilap-kilap di terpa warna jingga senja. Pantulan gedung-gedung tua yang berdiri di pinggiran sungai tampak kokoh dan megah, indah bagai lukisan naturalistik yang sempurna. Di dam dekat pasar Bangilan, tepatnya di utara pasar kambing, air kali kening dibendung oleh Dinas pengairan. Air itu dipakai untuk keperluan pengairan sawah penduduk. Dibagi-bagi dengan sistem pintu air menuju arah selatan, dan timur.

Air Kali Kening ini ibarat darah bagi kehidupan masyarakat Bangilan, dari air itu telah mengairi berbagai macam tanaman yang tumbuh disepanjang alirannya, dari waktu ke waktu tiada henti-hentinya. Menghidupi penduduknya dari generasi ke generasi.  Belum lagi air kali kening dipakai untuk keperluan mandi dan mencuci. Jika musim kemarau tiba, kali kening memberikan hadiah berupa ikan, udang, dan juga kijing kali.

Di dam itulah, dulu biasanya aku mandi, menghabiskan senja hingga burung-burung berkejaran pulang ke sarangnya. Dan tepat saat cericit kelelawar pertama yang terbang di atas sungai, saya pun pulang ke rumah. Mega merah melukis langit barat, angin sore bertiup sepoi-sepoi dari arah persawahan penduduk. Kususuri pematang kali dengan rumputnya yang menghijau, suara adzan menggema dari arah langgar di kampungku, kampung yang bersebelahan dengan pasar.

“Ayo, segera ke langgar, Ali! masukkan dulu ayam-ayammu ke kandangnya, jangan sampai terlambat jama’ah magrib! Seru bapak, saat kakiku memasuki pelataran rumah.

Bapak memang selalu begitu, jika sore hari, saat mega di ufuk barat memerah, beliau pasti segera menyuruhku bergegas ke langgar. Tanpa banyak bicara, segera ku masukkan ayam-ayam peliharaanku ke kandangnya, kemudian kuambil sarung dan songkok, dan aku pun berlalu menuju langgar yang tidak jauh dari rumahku.

Sedang bapak sendiri telah siap berangkat ke langgar, beliau selalu menjadi orang pertama yang kakinya menginjak batas suci lantai langgar. Dengan surban yang melilit di lehernya, beliau mendahuluiku berangkat menjadi muadzin shalat magrib di langgar yang berada di tepian sungai kali kening di dekat dam pasar Bangilan.

Setelah mengumandangkan adzan, bapak biasanya melantunkan pujian sambil menunggu para jama’ah datang memenuhi langgar. Suara bapak yang tua menggema dari toa langgar yang ditaruh di atas wuwungan langgar.

Cilik-cilik diulang ngaji
mbesuk gedhe supaya ngerti
ngerti iku akeh syarate
aja eman karo bandhane

agama Islam agama suci
ora bisa ngaji mbesukke rugi
rugi dunyo ra dadi apa
rugi akhirat bakal cilaka

Sholatullah salamullah 'ala Thoha Rasulillah
Sholatullah salamullah 'ala yasin habibillah

Bisa dikatakan dari langgar itulah cerita kehidupanku selalu ku kenang. Langgar yang telah memberikan kenangan yang tak pernah lekang oleh waktu, walau kini aku telah jauh namun rindu akan langgar dan kampungku tak pernah lekang oleh waktu. Langgar menjadi pengikat hati dan pusaka jiwa yang kubawa mengarungi kerasnya tanah rantau di kota metropolitan.

Dari langgar tua yang ada di tepian kali kening itu masa kanak-kanak dan remaja ku lalui dengan indah. Sebuah langgar panggung yang memberikan dekapan hangat seperti seorang ibu yang mengasuh anak-anaknya. Langgar tua yang memberikan senyum kedamaian bagi kami anak-anak kampung di pinggiran kali kening.

Bersama teman-teman kami biasa mengaji turutan setelah bakda magrib. Bapakku sendiri yang mengajari anak-anak membaca huruf hijaiyyah. Setelah mengaji biasanya kami mendapat cerita dari bapak tentang Nabi Sulaiman, Nabi Dawud, Nabi Ibrahim, cerita konyol Abu Nawas, dan kisah-kisah sakti para Wali Songo di tanah Jawa.

Bapak memang pandai bercerita, hal ini pula yang menjadi daya tarik anak-anak senang dan betah mengaji di langgar. Cerita-cerita bapak selalu ditunggu anak-anak.

Sudah menjadi kebiasaan di kampungku, anak laki-laki biasanya kalau malam sesudah shalat isya’ tidak pulang ke rumah. Mereka akan bermain di halaman langgar, apalagi saat purnama lima belas, mereka akan bermain hingga cahaya bulan redup di ufuk barat. Langgar juga menjadi rumah kedua bagi anak-anak, mereka biasa tidur di langgar dan pulang sesudah shalat shubuh. Langgar memberikan kehangatan dan kenyamanan bagi anak-anak kampung kami.

“Ali, nanti setelah ngaji turutan, bapakmu mau cerita soal apa? ayo aku ikut ke langgar ya! sapa Arman, temanku saat kami bertemu untuk berangkat shalat magrib juga.

Sore itu aku menapaki kembali kenangan di tepian kali kening, setelah puluhan tahun lamanya kutinggalkan kampung halamanku. Langgar itu masih berdiri di tempatnya. Hanya saja kondisi langgar itu telah berubah, bersolek mewah menuruti kemajuan zaman. Langgar itu tampak kokoh dan indah dengan gemerlap warna cat dindingnya yang eksotis. Langgar panggung itu telah tiada, dan  direhap menjadi bangunan permanen yang lebih baik.

Hanya saja kemeriahan langgar seperti masa kecilku telah pudar. Tidak ada suara anak-anak mengaji turutan setelah magrib, tidak ada teriakan gaduh anak-anak yang bermain di halamannya sambil melihat bulan purnama, tidak ada anak-anak yang tidur di pelukan lantai kayu serambi langgar. Langgar itu kesepian, sendu dan tak bergairah.


Sabtu, 28 Oktober 2017

Menulis di Blog Sarana Berbagi dan Menginspirasi

Menulis di Blog Sarana Berbagi dan Menginspirasi
Oleh : Joyo Juwoto

Menulis di blog adalah salah satu media saya berbagi pengetahuan dan inspirasi untuk pembaca di dunia maya. Untuk membuat sebuah blog sangat mudah, murah, dan semua orang bisa. Bahkan banyak juga blog berbasis tidak berbayar alias  gratis yang disediakan oleh layanan google. Cukup berbekal email, kita bisa membuat blog. Setelah itu kita bisa menulis sesuka kita kemudian tulisan itu kita bagikan di media sosial.
Menurut saya menulis di blog sangat penting, karena di era cyber ini di mana internet menjadi salah satu sumber informasi dan komunikasi tercepat yang banyak diakses masyarakat, maka seorang penulis tentu memiliki tanggung jawab moral untuk ikut serta memberikan informasi pengetahuan yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Jika zaman dahulu seorang penulis membutuhkah media koran, majalah, buletin, buku, dan berbagai media cetak lainnya, maka hari ini pilihan termudah untuk berbagi pengetahuan adalah menulis lewat sebuah blog. Saya menyadari  bahwa tidak semua penulis mampu menembus ketatnya persaingan mengisi rubrik di media cetak maupun menerbitkan buku di penerbit besar, tetapi hari ini jika kita ingin menulis untuk berbagi lewat blog bisa menjadi sebuah alternatif.
Walau demikian bukan berarti sebuah tulisan di blog tidak baik, asal-asalan, dan kurang bermutu. Bagi saya setiap tulisan mempunyai nilai dan keunikan tersendiri. Jadi tidak semua tulisan yang tidak lolos di tangan editor koran, maupun penerbit adalah sampah yang tidak berguna. Selalu ada manfaat dan hikmah terpendam yang bisa kita gali dari setiap tulisan, dari manapun itu sumber dan medianya. Terbukti banyak sekali buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit mayor juga menggunakan rujukan dari blog.
Saya sendiri sebagai seorang penulis amatir juga menggunakan blog untuk membagikan apa yang saya tulis. Saya merasa bahagia jika tulisan saya direspon oleh pembaca. Dan ternyata banyak juga pembaca yang merasa mendapatkan manfaat dan terbantu dari apa yang saya tulis di blog.  Sebaliknya begitu pula saya, juga merasa banyak mendapatkan manfaat dari tulisan yang ada blog-blog di dunia maya.
Saya berkali-kali ditelpon orang yang tidak saya kenal gara-gara tulisan saya di blog. Ada yang sekedar memberikan apresiasi pujian, ucapan terima kasih, meminta info tentang apa yang saya tulis, bahkan ada yang minta ijin tulisan serta minta buku referensi untuk tulisan saya dijadikan rujukan tesisnya. Walau sampai sekarang tidak ada yang minta ijin transfer uang ke rekening saya, namun saya sudah cukup bahagia bisa berbagi dan menginspirasi lewat tulisan di blog saya.
Walau menulis di blog, bukan berarti saya tidak punya keinginan menulis di media massa mainstream, maupun menerbitkan buku. Setelah berkutat menulis di blog beberapa tahun akhirnya tulisan saya pernah dimuat di media koran, dan saya juga bisa menerbitkan buku. Semua ada proses dan tahapannya, termasuk menulis di blog bisa kita jadikan sebagai sarana belajar menulis dan tahapan untuk menyusun dan mencetak sebuah buku.

*Joyo Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban. Buku yang sudah ditulisnya adalah: Jejak Sang Rasul (2016); Secercah Cahaya Hikmah (2016), Dalang Kentrung Terakhir (2017,) dan menulis beberapa buku antologi bersama Sahabat Pena Nusantara dan beberapa komunitas literasi lainnya.”


Kamis, 26 Oktober 2017

Pesta Lumpur Sawah

Pesta Lumpur Sawah
Oleh : Joyo Juwoto

Setelah beberapa bulan hujan turun membasahi bumi, tanah-tanah menjadi gembur, petani di kampung-kampung mulai menggarap ladang dan sawah yang sekian waktu menganggur, karena tanah kering kerontang dan mengeras. Tidak ada tumbuhan yang bisa diharapkan dan dapat tumbuh subur di musim kemarau yang panas membara.

Namun kali ini para petani sama sibuk menggarap sawah dan ladangnya, hujan telah turun dari langit mengakhiri kemarau panjang dan menghidupkan tanah-tanah yang mati. Air hujan menjadi berkah yang berlimpah bagi penduduk desa, khususnya petani dengan sawah dan ladangnya yang siap digarap.

Rumput-rumput mulai tumbuh berseri, daun-daun pepohonan mulai menghijau, pohon jati di belakang rumah kakek pun daunnya mulai bersemi kembali, setelah beberapa waktu beradaptasi dengan alam dengan cara menggugurkan diri, agar bisa bertahan di musim kemarau yang panjang. Dahaga kemarau telah usai, dan kini musim tlah berganti.

          Pagi-pagi sekali kakek membawa sapi-sapinya ke sawah, hari itu kakek mulai membajak sawahnya setelah semalam hujan lebat. Saya yang saat itu sedang di rumah kakek, membantu nenek memasak di dapur menyiapkan sarapan pagi. Nanti jika sarapan telah siap, nenek yang akan mengantarkannya ke sawah untuk sarapan pagi kakek di persawahan.

          “Nek, nanti kalau ke sawah Naila ikut ya? pintaku kepada nenek yang sibuk menggoreng tempe di dapur.

“Iya nanti kamu bawa renteng panci sarapan untuk kakekmu yang di sawah” jawab nenek sambil membolak-balikkan tempe yang ada di wajan agar tidak gosong. “Sekalian saja nanti kita sarapan bersama di gubuk.”

“Hore...asyik, nanti saya ajak mbak Agis sama mbak Windi sekalian, ya nek? kataku pada nenek. “ini kan hari libur.” lanjutku.

Nenek mulai mempersiapkan bekal sarapan pagi, membungkusi nasi dengan daun pisang, menyiapkan air minum di botol pastik dan tentu tidak lupa membuat sambel trasi dengan lauknya tempe goreng.

“Semuanya telah siap, ayo kita ngirim sarapan untuk kakek di sawah! ajak nenek sambil memberesi bungkusan yang akan dibawanya ke sawah.

Naila, Agis, dan Windi segera bergegas membantu nenek membawa barang-barang bawaan. Mereka bertiga sangat gembira, di pagi yang sejuk setelah semalam diguyur hujan, matahari bersinar cukup cerah. Sinarnya berkilau kekuningan menyebar menghangatkan suasana.

          Sawah Kakek Naila tidak terlalu jauh, dari rumah hanya dibatasi sungai kecil yang airnya cukup jernih. Namun jika musim penghujan airnya sering keruh, karena sungai itu juga meluap dan menjadi banjir cukup besar. Naila dan teman-temannya juga sering bermain di sungai pada musim kemarau.

          Setelah menyeberangi sungai dan menaiki sebuah tanjakan, sampailah rombongan itu di sawah, di mana kakek Naila membajak sawah. Di pinggir sawah terdapat sebuah gubuk kecil tempat istirahat dari teriknya matahari. Di gubuk itulah mereka meletakkan barang bawaan untuk sarapan pagi.

          “Kakek, ayo sarapan dulu! teriak Naila memanggil kakeknya yang sedang bergelut dengan lumpur bersama sapi-sapi membajak tanah agar gembur. Tanah itu nantinya jika telah siap akan ditanami padi.

          “Sebentar lagi, sekalian ini selesai, biar nanti bisa pindah di kedokan sawah satunya” jawab Kakek Naila sambil terus mengatur sapi-sapi yang menarik bajaknya.

          “Ayo Nel, Gis, kita main lumpur dulu? ajak Windi.

          Kemudian Naila, Agis dan Windi ke tengah sawah menginjak lumpur yang dalamnya sampai betis. Mereka mendekati Kakek yang sedang naik di atas bajak sambil melantunkan aba-aba kepada sapi-sapinya dengan cara ditembangkan.

“Hook..hyaa, hyaa...jak, jak..her..her..howe” suara sang kakek melengking tinggi sambil mengendalikan sapi agar jalannya teratur mengikuti pola yang dibuat oleh kakek.

“Kek, Kek...kami ikut naik bajaknya! Tanpa menunggu jawaban dari kakeknya, mereka bertiga segera naik bajak. Wah, seru ya Win! teriak Agis kegirangan.

Bajak itu terus berjalan dengan pelan ditarik oleh sapi-sapi yang gemuk dan kuat, sekalipun dinaiki tiga anak, sapi itu tidak terasa kepayahan. Sedang kakek turun dari atas bajak, membiarkan cucunya naik dan bermain di lumpur sawah. Mereka bertiga sangat gembira sekali di atas bajak. Melihat lumpur dan air tersibak tergerus gerigi bajak yang terbuat dari kayu jati.

“Gis, lihat itu ada yuyu! tunjuk Naila melihat seekor yuyu berlari menghindari garukan gerigi bajak yang meratakan lumpur-lumpur sawah. Setelah beberapa putar, mereka pun disuruh Kakek untuk turun dan sarapan pagi terlebih dahulu.


“Ayo turun, kita sarapan pagi dulu.” ajak Kakek sambil melangkah menuju gubuk di mana nenek menunggu di sana.

Senin, 23 Oktober 2017

Ribuan Santri Bangilan Gelar Apel Akbar dan Pawai Ta’aruf HSN 2017

Ribuan Santri Bangilan Gelar Apel Akbar dan Pawai Ta’aruf HSN 2017
Oleh : Joyo Juwoto

Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) di Kec. Bangilan tahun ini cukup istimewa, setelah malam harinya sukses menggelar acara pembacaan shalwat nariyah, dan disambung dengan nonton bareng film Sang Kiai di pendopo Kecamatan. Pada pagi harinya dilanjutkan apel Akbar Peringatan Hari Santri Nasional sekabupaten Tuban yang dilaksanakan di lapangan Sendang Kec. Senori.

Kemeriahan peringatan HSN di Kec. Bangilan dilanjutkan dengan acara Apel Akbar dan Pawai Ta’aruf yang dipusatkan di lapangan Gelora 17 Agustus Kec. Bangilan, siang hari sekitar jam 13.00WIB hingga berakhirnya acara. Tampil sebagai pembina Apel Akbar Santri Bangilan, bapak Camat, Moh. Maftuchin Riza.

Ribuan santriwan-santriwati dari berbagai ormas, pondok pesantren, dan madrasah yang dimotori oleh NU dan DPC PGMI Kec. Bangilan meramaikan peringatan HSN di kecamatan Bangilan. Setelah apel Akbar, para santri melakukan long marc sepanjang jalan raya Bangilan dengan pakaian kebesaran santri, yaitu bersarung dan berpeci, sedangkan bagi santriwati berbusana muslimah dengan lambaian dan kibaran jilbabnya.

 “Kami mengadakan peringatan HSN 2017 dengan rangkaian acara nobar dan juga Apel Akbar serta Pawai Ta’aruf bersama masyarakat Bangilan, ingin menginspirasi kepada santri dan generasi muda penerus perjuangan bangsa, biar mereka mengetahui kegigihan serta keuletan filosofis politik kiai yang selalu istiqomah dan tangguh, bukan untuk diri beliau sendiri, akan tetapi semata-mata untuk kepentingan umat.” Demikian tutur ketua DPC PGMI Kec. Bangilan, Bapak Kiai Mukhlisin, S.Pd.I.

Lebih lanjut Pak Muklisin mengatakan bahwa “Santri bukan saja mereka yang pernah mencicipi pesantren, namun siapapun saja yang mengerti dan meneladani perjuangan Kiai dalam berjuang dan berkorban untuk negeri adalah seorang santri. Sekalipun ia tidak mengerti huruf hijaiyyah.” Demikian dawuh dari beliau.

Minggu, 22 Oktober 2017

Mau Tau Serunya Upacara Hari Santri Nasional di Ponpes ASSALAM Bangilan?



Peringatan Hari Santri Nasional (22/10/2017) Di Ponpes ASSALAM Bangilan Tuban Indonesia berjalan cukup meriah dan penuh gempita.  Maklum ini adalah hari yang istimewa bagi Santri,  setelah Bapak Presiden Indonesia Joko Widodo meresmikan Hari Santri Nasional semenjak dua tahun silam.

Lagu Indonesia Raya dinyanyikan dengan semangat serempak rancak, disambung lagu hymne pondok, dan tidak ketinggalan pula mars Subbhanul Wathan karya Mbah Wahab Chasbullah pun dinyanyikan para santri dengan penuh heroisme.


Pondok pesantren ASSALAM adalah gambaran kecil dari Indonesia tercinta. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai daerah di penjuru Indonesia. Kerukunan, gotong-royong, dan keberagaman adalah makanan sehari-hari Santri. Berbicara masalah kebhinekaan santri ASSALAM  Bangilan sudah khatam, dan langsung mempraktekkannya sehari-hari di lingkungan pesantren. 

Dalam Apel Akbar peringatan Hari Santri Nasional yang dilaksanakan di lapangan pesantren pagi tadi, pengasuh Ponpes ASSALAM Bangilan, KH. Yunan Jauhar memberikan amanat bahwa "Santri harus berani di Garda terdepan untuk membentengi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari upaya-upaya subversif yang mengancam kedaulatan bangsa dan negara".

Gus Yunan, panggilan akrab pengasuh pondok pesantren ASSALAM Bangilan itu juga mengatakan bahwa "Spirit nasionalisme adalah bagian dari iman" senada dengan lyrik lagu Hubbul Wathan Minal Iman karya mbah Wahab tersebut.

Dalam sambutan penutupnya beliau menegaskan : "Karakter santri sejati adalah santri yang berani memegang amanah kalimatul haq" sebagaimana perjanjian manusia dengan Tuhannya sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci Al Qur'an.

Selamat Hari Santri, 22 Oktober 2017. Santri ASSALAM Santri Mandiri, Dahsyat, NKRI Hebat.

Santri Bangilan Nonton Bareng Film Sang Kiai

Santri Bangilan Nonton Bareng Film Sang Kiai
Oleh : Joyo Juwoto

Sebagai bagian dari rangkaian peringatan Hari Santri Nasional yang jatuh pada tanggal 22 Oktober, para santri di wilayah Bangilan yang diprakasai oleh NU, Laskar Santri Nusantara DKC Kab. Tuban dan juga DPC PGMI Kec. Bangilan mengadakan acara nonton bareng film Sang Kiai yang diadakan di pendopo Kec. Bangilan (21/10/2017) pada malam peringatan Hari Santri Nasional 2017.

Acara nonton bareng peringatan Hari Santri Nasional tahun 2017 dihadiri oleh Pengurus NU Kec. Bangilan, Bapak Camat Bangilan, Moh. Maftuchin Riza, Ketua DPC PGMI Kec. Bangilan Bapak K. Mukhlishin, S.Pd.I berserta jajaran pengurus dan juga ketua Laskar Santri Nusantara DKC Tuban, Bapak Moh. Zainuddin.

Untuk memeriahkan acara nobar Film Sang Kiai, panitia telah mempersiapkan doorprize yang cukup menarik bagi para penonton, ada tas, handphone, dan juga sepeda gunung. Tentunya doorprize akan diundi dan diumumkan setelah tayangan filam Sang Kiai berakhir.

Film Sang Kiai ini mengisahkan tentang perjuangan dan resolusi Jihad Kiai Hasyim Asyari, yang kemudian disambut dengan penuh semangat oleh para santri dan seluruh elemen pesantren dalam membela dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari penjajahan Belanda.

Dalam sambutan pengantarnya Bapak camat Bangilan mengajak para hadirin untuk meneladani kisah perjuangan para ulama dan santri sebagaimana dalam film yang akan mereka tonton.

Senada dengan itu, Ketua Laskar Santri Nusantara DKP Tuban, Moh Zainuddin mengajak para santri untuk berani tampil di garda terdepan dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari gerakan-gerakan pengganggu, dan juga mempertahankan paham Ahlus sunnah wal jama’ah.

Peringatan Hari Santri kedua di Kec. Bangilan ini cukup istimewa daripada tahun lalu, karena selain menggelar nonton bareng, besoknya juga akan digelar apel akbar Hari Santri Nasional yang diadakan di Lapangan Gelora Kec. Bangilan yang kemudian dilanjutkan dengan pawai santri.

Dari Santri, untuk Negeri, Santri Hebat Negara Kuat, Santri Mandiri, NKRI Hebat! Demikian tema nasional yang diusung dalam peringatan Hari Santri Nasional. Salam Santri Nasional.

          

Jumat, 20 Oktober 2017

Karomahnya Pangeran Diponegoro Abdul Hamid Herucakra

Karomahnya Pangeran Diponegoro Abdul Hamid Herucakra 
Oleh : Joyo Juwoto*

Dalam  ceramah yang sering disampaikan oleh KH. Nur Rohmad dari Pati, seorang dai yang juga seorang Polisi yang berpangkat Briptu, satu hal yang selalu saya ingat adalah kisah Pangeran Diponegoro yang terjebak di Rawa Pening saat dikejar-kejar oleh Belanda. Kisah ini disampaikan saat beliau memberikan mauidhoh dalam acara haflah akhirussanan di Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan beberapa tahun silam. Ingatan saya ini kembali mencuat setelah saya mendengar pengajian beliau kembali di video yang dishare di group whatshap.

Pangeran Diponegoro yang memiliki nama Sulthon Abdul Hamid Herucakra  Sayyid Abdurrohman  Sayyidin Panotogomo Amirul Mukminin Khalifatullah Ing Tanah Jawa Pangeran Ontowiryo Raden Mas Mustahar, beliau adalah seorang Pangeran dari keraton Ngayogyakarta. walau berdarah ningrat keturunan raja, namun Sang Pangeran ini sangat dekat dengan ulama, beliau adalah seorang santri yang alim dan wira’i.

Hal ini terlihat dari peninggalan Pangeran Diponegoro yang ada di Magelang yaitu di eks Karesidenan Kedu, ada tiga peninggalan Pangeran Diponegoro yang masih tersimpan di sana. Benda peninggalan itu berupa : Al Qur’an, Tasbih, dan Kitab Taqrib (Syarh Fathul Qarib).

Tiga peninggalan dari Pangeran Diponegoro ini menjadi bukti bahwa beliau memang seorang santri yang ahli dzikir. Menurut Habib Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan, Pangeran Diponegoro adalah seorang mursyid Thariqah Qadiriyyah bermadzab Syafi’iyah.

Ada kisah menarik yang disampaikan oleh KH. Nur Rohmad dari Pati, yaitu kisah karomah dari Pangeran Diponegoro saat terkepung oleh pasukan Belanda di tepi Rawa Pening. Peristiwa ini terjadi satu tahun sebelum perang berakhir, tepatnya hari Jumat Pahing malam Sabtu Pon tanggal 29 September 1828.

Saat itu Pangeran Diponegoro dan pasukannya terkepung Belanda. Tidak ada jalan lain untuk meloloskan diri. Di belakang ada ribuan pasukan Belanda, sedang di depannya membentang Rawa Pening yang luas dan dalam. Dalam keadaan terjepit seperti keadaan Musa di depan laut merah yang dikejar Fir’aun dan pasukannya, Pangeran Diponegoro melantunkan shalawat burdahnya Imam Busyiri :


وِقَايةُ اللهِ أغْنَتْ عَنْ مُضَاعَفَةٍ # مِنَ الدُّرُوْعِ وَعَنْ عَالٍ مِنَ الْأُطُمِ

“Pengayome Gusti Allah Ta’ala luwih kukuh, tinimbange gedung wojo sing duwur tur bapoh”

“Perlindungan Allah jauh lebih kokoh, dari sebatas gedung besi berlapis yang tinggi dan kokoh.

          Dengan penuh kemantaban akan datangnya pertolongan Allah, Pangerang Diponegoro membedal kudanya, Kiai Gentayu (nama kuda Pangeran Diponegoro) menyebrangi Rawa Pening yang panjangnya sekitar 8 kilometer dengan kedalaman yang tak terukur. Alhamdulillah pertolongan Allah sangat dekat, karomah Allah turun kepada para auliya-Nya. Pangeran Diponegoro dan pasukannya selamat berhasil menyeberangi Rawa Pening hingga di daerah Tuntang, sedang pasukan Belanda yang melakukan pengejaran tenggelam di Rawa Pening.
***
          Perang Diponegoro yang berlangsung sekitar tahun 1825-1830 membuat kalang kabut pemerintah kolonial Belanda. Perang Jawa (De Java Oorlog) ini berhasil membuat Belanda mengalami kebangkrutan dan menanggung hutang luar negeri yang cukup banyak. Biaya yang dikeluarkan Belanda Jawa ini tak kurang dari 25.000.000 Gulden atau setara dengan Rp 127 Milyar.

Tidak heran jika Belanda berupaya dengan sekuat tenaga dan kemampuan ingin segera mengakhiri perang besar yang memakan banyak korban ini. Berbagai strategi ditempuh Belanda untuk segera bisa menangkap Pangeran Diponegoro, mulai dari strategi benteng stelsel hingga sayembara dengan hadiah uang yang tinggi bagi siapa saja yang mampu menangkap Pangeran Diponegoro hidup ataupun mati.

Dan akhirnya dengan jalan tipu muslihat, saat Pangeran DIponegoro diajak berunding di Magelang, beliau ditangkap oleh Belanda kemudian diasingkan di Makasar dan meninggal dunia di sana.


 *Joyo Juwoto, Santri Ponpes ASSALAM Bangilan Tuban Indonesia.