Jumat, 15 September 2017

Musim Penghujan Di Rumah Nenek

Musim Penghujan Di Rumah Nenek
Oleh : Joyo Juwoto

Bulan Desember adalah libur awal semester pertama. Naila yang saat ini duduk di bangku sekolah Ibtidayiyah kelas satu juga libur.  Bulan Desember oleh orang Jawa disebut sebagai gedhe-gedhene sumber itu terasa dingin dan basah. Maklum hampir setiap hari hujan turun membasahi langit bulan Desember.

Mendung selalu menggantung dan menghiasi langit sepanjang waktu, kilat dan guntur menyambar bersautan, sebentar-bentar rintik hujan turun, sehingga alam tampak kelabu. Hawa dingin sangat terasa, apalagi jika angin bertiup kencang menerbangkan udara yang bercampur dengan uap air.

Di awal liburan itu, Naila pergi berlibur di rumah neneknya yang ada di kampung. Ia menginap di sana untuk beberapa hari. Di rumah neneknya inilah Naila biasa bermain dengan temennya, Agis, Windi, dan Indah. Tidak ketinggalan Nafa adiknya Naila juga ikut menikmati liburan di kampung sang Nenek.

Pagi-pagi sekali Naila dan teman-temannya bangun, setelah menjalanankan sholat shubuh di langgar dekat rumah nenek, Naila dan temen-temennya berencana bermain masak-masakan di pekarangan belakang rumah. Namun sayang sekali pagi itu hujan turun dengan derasnya.

“Ya! gak jadi bermain donk kita! hujannya deras sekali Nel? kata Agis sambil menutupi tubuhnya dari udara dingin.

“Iya, semoga hujannya segera reda, ya Gis? Sambung Windi yang duduk bersebelahan dengan Agis.

“Sepagi ini sudah hujan, kalau nanti bermain pasar-pasaran kan becek tanahnya, gak asik deh! Seru Naila.

Nafa hanya terdiam, dia sibuk bermain air hujan yang menetes dari tritisan di emperan rumah neneknya. Tangannya sibuk mewadahi air yang jatuh dari atas genteng rumah.

“Kita main hujan-hujanan saja yuk! Kata Nafa sambil terus bermain air hujan.

“Gak mau ah, dingin” Seru Windi.

“Tapi kan asik, bermain air, lihat ini” balas Nafa sambil terus menadongi air dengan kedua telapak tangannya. Sesekali ia mengibaskan tangannya menghalau air yang deras mengalir dari atas genting.

“Iya Win, ayo kita main hujan-hujanan di belakang rumah, nanti kita main slurutan di tebing sungai” Ajak Agis penuh semangat.

Agis memang paling suka bermain slurutan di tanah yang berlumpur, ia suka melihat para peselancar di televisi, dan ia ingin bermaian selancar seperti itu. “Bagaimana Nel, ayuk kita bermain lumpur di tepi sungai! Ajak Agis.

“Aku sich ok saja, yang penting kita heppy walau hujan turun di pagi hari” Jawab Naila.

“Ayo! Siapp” Kata keempat anak tersebut hampir bersamaan penuh semangat.

Windi yang tadinya ogah-ogahan pun akhirnya ikut bersemangat bermain selancar di atas lumpur di tebing sungai di belakang rumah nenek Naila.

Hujan belum reda, keempat anak itu segera beranjak ke belakang rumah. Seperti tidak merasakan dinginnya pagi, di bawah guyuran hujan yang deras mereka bermain dengan ceria. Berlari, berjatuhan di tanah, saling melempar tanah basah, hingga tubuh mereka belepotan lumpur, mereka juga bermain slurutan di tebing sungai, setelah puas mereka pun membersihkan diri di sungai kemudian pulang ke rumah nenek dengan wajah senang.



1 komentar:

  1. Kata katanya mengingatkan baca cerpen waktu SMA dulu. Mbah Joyo emang sip karya tulisnya. Salam&salim mbah.

    BalasHapus